Correspondence address:
bagusk399@gmail.com
zamzam.muhammad.zm@gmail.com
ABSTRACT
Dalam tasawwuf, tidak ada cara lain dalam menempuhnya kecuali dengan melaksanakan
ibadah-ibadah syar’i. Semakin ia menjadi sufi, semakin intens pula ibadahnya. Antara syariat,
tarikat, hakikat dan makrifat bukanlah hal yang saling terpisah, namun merupakan suatu tatanan
hirarkis dalam perjalanan spiritual seseorang. Syariat merupakan tahapan seorang muslim yang
paling pertama, kemudian disusul oleh tarikat , hakikat dan yang terakhir adalah makrifat. Setiap
manusia, utamanya muslim, tentulah harus menempuh tiga tahapan ini untuk meningkatkan kualitas
iman dan spiritualnya agar dapat mendekatkan diri kepada Allah swt secara tepat dan mendalam
Tasawuf amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlak, yaitu bahwa seseorang tidak dapat dekat
dengan Tuhan hanya mengandalkan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya.
Jiwa yang bersih menjadi syarat utama agar bisa kembali kepada Tuhan, karena Tuhan sendiri
merupakan zat yang suci.
ABSTRACT
In essence, Sufism is a model of the tendency of human spirit, attitude, and behavior, so
Sufism must be seen from a perspective about the inner world of man as the subject of the journey
of life and the area in which and where it goes. The writings of the ancient Sufis not only show
various revelations, but also deeper thoughts on mystical experiences which are described in
increasingly refined language. In the prayers of the Sufis, in addition to the poems that they
specifically wrote, it is an experience that is unspoken but managed to be abstracted through words
whose level of beauty is immeasurable and forgotten. Although there are almost similarities
between Sufi poetry and religious poetry, there are differences in views between the two. Sufi
literature is a religious invitation that uses Sufism idioms which are more swooping into the inner
world and are esoteric. The distance between me (the poet) and Him (God) is no longer limited,
such as the poetry samples of the three Sufi figures that will be discussed in this study. While
religious poetry can almost be spoken by all poets, because it contains expressions of the greatness
of God, love of God, where God is everything, and in the eyes of God humans are small.
B. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode penelitian pustaka (library research)
melalui sumber yang berasal dari penelitian lapangan (fieldresearch) dan studi literatur (literature
study). Penelitian kualitatif ialah jenis penelitian yang temuannya tidak didapatkan dengan prosedur
statistik. Kemudian, pemilihan penelitian kualitatif disebabkan dari peneliti yang sudah mantab atas
dasar pengalaman penelitian dan metode kualitatif bisa memberi rincian yang lebih kompleks
mengenai fenomena yang sulit diungkap. Proses penelitian kualitatif supaya bisa menghasilkan
temuan yang sangat bermanfaat perlu diperhatikan dengan serius untuk hal-hal yang dianggap
penting. Ketika membahas proses penelitian kualitatif setidaknya ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yakni kedudukan teori, desain penelitian dan metodologi penelitian kualitati
C. PEMBAHASAN
1. Maqam Syariat
Dari segi bahasa artinya tata hukum. Disadari bahwa di dalam alam semesta ini tidak ada
yang terlepas dari hukum. Dalam hal ini termasuk manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai
hamba Tuhan, perlu diatur dan ditata sehingga tercipta keteraturan yang menyangkut hubungan
antar manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Maha Pencipta.
Dalam ajaran Islam, melaksanakan aturan dan ketentuan hukum tanpa menghayati dan
memahami tujuan hukum, maka pelaksanaannya tidaklah memiliki nilai yang sempurna. Dalam
kaidah ini tujuan hokum adalah kebenaran (hakikat). Pengamalan agama oleh kaum sufi
berwujud amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud aktifitas ruhani. Akan
tetapi dalam proses menuju peningkatan maqam dan hal, titik berat kegiatan ditampilkan pada
kegiatan ruhani. Dalam hal ini diantara sufi ada yang beranggapan bahwa syari’at hanyalah alat,
3
Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan, 2005). h 139.
2
oleh karena itu jika tujuan telah tercapai maka alat tidak diperlukan lagi. Paham ini dikoreksi
oleh seorang sufi juga yaitu Abu Al-Qasim al-Qusyairi (wafat 1072 M)5 yang menyatakan bahwa
tidak benar orang menuju hakikat dengan meninggalkan syari’at
Menurut kaum sufi Syari’ah itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi.
Shalat misalnya, bagi akum sufi bukanlah sekedar sejumlah gerakan dan kata-kata, tetapi lebih
dari itu merupakan percakapan spiritual antaramakhluk dengan khaliq. Demikian juga ibadah lain
seperti hajji.4
Dalam aplikasinya, yang menjadi beban (taklif) ialah segala aktifitas manusia, khususnya
berupa ibadah danmu’amalah yang pada dasarnya berkenaan dengan keharusan, larangan,
kewenangan untuk memilih, dengan rincian berupa hukum yang lima, yaitu wajib, sunnat,
mubah, makruh, dan haram.
Bagi kaum syari’ah dunia ini bukan sesuatu yang kotor, melainkan tempat untuk beramal,
disamping sebagai amanat dari Tuhan. Penetapan bahwa manusia ialah khalifah Allah di bumi
berarti manusia tidak boleh meninggalkan dunia dan materi. Bahkan dalam Al-Qur’an ada
ditegaskan agar manusia tidak melupakan hidupnya di dunia ini. Karena itu manusia harus
mengolah dunia ini untuk mencari rizki sesuai dengan aturan hukum yang telah ditetapkan.
Dengan demikian cita-cita hidup manusia ialah bahagia di dunia dan akhirat. Sebagaimana kaum
sufi tidaklah membenci dunia, tetapi mereka menjadikan dunia itu sebagai alat menuju Allah.
Syariat mengandung ajaran etika dan moral yang merupakan dasar dari tasawwuf. Syariat
diberikan kepada setiap muslim tanpa terkecuali dan memberi petunjuk kepada setiap orang
untuk hidup secara tepat. Syariat didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang
dijelaskan dalam makna harfiah bahwa syariat adalah berjalan menuju sumber air yang berarti
syariat membawa kita ke sumber asalnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Syariat juga disebut hukum
keagamaan eksoterik atau merupakan syarat pertama dalam tahapan kesufian dan akan
mengantarkan seseorang yang menempuh perjalanan sufi ke dalam hakikat.5 Syariat berisikan
undang-undang yang telah ditentukan seperti hukum-hukum halal-haram, yang diperintahkan dan
yang dilarang, yang sunnah, makruh atau pun mubah. Dalam pandangan kaum sufi, syariah
bersifat lahir (eksoterik). Oleh karena itu, mengerjakan syariat berarti mengerjakan amalan yang
bersifat lahir dari apa-apa yang telah ditentukan oleh agama. “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS 5 : 48).
Mencoba mengikuti tasawuf tanpa mengikuti syari’at bagaikan membangun rumah
berfondasikan pasir. Tanpa kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip moral dan etika yang
kuat maka tidak ada mistisisme yang dapat berkembang. Kebutuhan manusia terhadap syariat
sering dikaitkan dengan Perahu Nuh yang dibangun dari papan (sebagai ilmu) dan pasak (sebagai
amal). Jika tanpa perahu tersebut, seseorang akan terombang-ambing di lautan keserbabendaan
(kehidupan duniawi). Syaikh Ahmad Sirhindi menyatakan, “di dalam syariat terkandung tiga
macam, yaitu ilmu, amal dan ikhlas. Artinya, meyakini kebenaran syariat dan melaksanakan
perintah-perintahNya dengan tulus dan ikhlas demi mendapatkan keridaan Ilahi.”
2. Maqam Thariqat
Menurut bahasa, thariqat berasal dari kata bahasa arab tariqah yang berarti jalan atau
metode atau aliran. Thariqat merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
tujuan untuk sampai kepada-Nya. Metode thariqat ini harus ditempuh seorang sufi dengan
berdasarkan petunjuk dari guru atau mursyid dari masing-masing thariqat. Thariqat juga dapat
diartikan sebagai metode pendidikan jiwa bagi mereka yang menempuh perjalanan sufi dan lebih
mendekati suatu alam pikiran yang dipergunakan untuk memperdalam syariat sampai ke
hakikatnya demi mencapai maqamat atau ahwal tertentu. 6 Untuk mencapai tujuan tertentu
memerlukan jalan dan cara. Tanpa mengetahui jalannya, tentu sulit untuk mencapai maksud dan
4
Juhaya S. Praja,Model Tasawuf Menurut Syari’ah, (Suryalaya: Latifah Press, 1995), cet.I, h. 4
5
Azra, Azyumardi, dan tim. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung : Angkasa, 2008). h 1187
6
Eliade, Mercea. The Encyclopedia of Religion. (New York : Macmillan Publishing Company). h 14
7
Muhammad Nizam as-Shofa, Mengenal Tarekat (Naqsyabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah), (ttp.:
Risalah Ahlus-Sofa wal-Wafa, tt.), h. 11 dan 13
8
Abu Bakar Aceh,Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo : Ramadhani, 1995), h. 67.
9
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 99
10
Ibid, h 100
11
Kurniawan, M. A., Munir, M., & Cholidi, C. (2021). Suluk Gus Dur Reconstruction of Local Culture
in the Context of Sufism. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 8(9), 308-312.
4
3. Maqam Hakikat
Istilah ini sudah dibahasa-Indonesiakan berasal dari bahasa Arab “Haqiqat” yang berarti,
“kebenaran”, “kenyataan asal” atau “yang sebenar benarnya”. Kebenaran dalam hidup dan
kehidupan, inilah yang dicari dan ini pulalah yang dituju. Dalam kesempurnaan sistem kebenaran
ditunjang oleh petunjuk untuk dapat memahami syari’at. 12 Menurut terminologi, hakikat dapat
didefinisikan sebagai kesaksian akan kehadiran peran serta ke-Tuhan-an dalam setiap sisi
kehidupan. Hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya
serta yang disembunyikan dan ditampakkannya Selanjutnya dikatakan hakikat bersumber
dominasi kreativitas Al-Haq.
Kebenaran bukan hanya terletak pada akal pikiran dan hati, tetapi juga pada “rasa”, yakni
rasa-jasmani yang dapat dirasakan dengan rasa pahit, manis, asam, asin, dan sebagainya. Ada
yang disebut rasa-rohani; yang dapat merasakan gembira, sehat, bingung, ceria, dan sebagainya.
Pada diri manusia terdapat rasa ruhani (rasa yang penuh cahaya), di sinilah kebenaran dengan
istana kebebasan dan cinta kasih yang hakiki. Tatkala thariqat telah dijalani dengan kesungguhan,
dan memegang segala syarat rukunnya, akhirnya bertemu dengan hakikat. Pada intinya, hakikat
adalah keadaan si salik pada tujuan ma’rifat billah dan musyahadah nur al-tajali. Dengan
demikan hakikat tujuannya membuka kesempatan kepada salik mencapai maksudnya, yaitu
mengenal Tuhan dengan sebenarnya.
Ilmu hakikat itu pada dasarnya dapat disimpulkan dalam tiga jenis pembahasan, Pertama,
hakikat tasawuf, ini diarahkan untuk membicarakan usaha-usaha membatasi syahwat dan
mengendalikan duniawi dengan segala keindahan dan tipu dayanya. Kedua, hakikat ma’rifat,
yaitu mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dengan sungguh-sungguh dalam pekerjaan
sehari-hari, dan menjaga kesucian akhlak.Ketiga, hakikat al-haq, yaitu puncak hakikat yang
dinamakan hadrat al-wujud. Hakikat ini memberi batas kepada zat dan hakikat Muhammadiyyah
serta memberi ma’na hakikat yang mukminat dalam ilmu Tuhan.
Untuk mencapai hakikat ditentukan oleh empat hal, yang intinya yaitu: (1) baik buruknya
atau sehat tidaknya kondisi jiwa atau hati, (2) sabar dalam kesibukan untuk mencapainya dengan
berbagai amaliyah yang diridhoiNya, (3)munajat dengan hukum Ilahy sehingga mampu
mendekatkan diri kepada-Nya, dan (4) mendapatkan taufiq dari Allah dan ditunjukkan jalan yang
buruk sehingga dapat menghindarinya.
Dengan demikian ilmu hakikat merupakan bagian ilmu batin yang kondisinya adalah
terbaik bagi salik yang dimanifestasikan dalam waspada (muhasabah), mawas diri (muraqabah),
mahabbah, roja’, khouf, rindu (al-Syauq), dan intim (al-Uns). Oleh karena itu antara syari’at,
thariqat, dan hakikat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
Secara terminologi, hakikat dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala
amal, inti dari syariat dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Hakikat yang
disebut sebagai kebenaran adalah makna terdalam dari praktik dan petunjuk yang ada pada
syariat dan tarikat. Haqiqah merupakan negasi berbagai efek dari sifat-sifat hamba oleh
sifatsifatNya, sehingga Dia menjadi pelaku melalui, di dalam, dan dari, sang hamba. Ia adalah
pengalaman langsung akan kebenaran gaib. Tanpa pemahaman yang didasari pengalaman
tersebut maka kita ditakdirkan untuk taklid, meniru mereka yang telah mencapai tingkat haqiqah
seperti layaknya sebuah mesin. Oleh karena itu, pencapaian pada tingkat hakikat memperkuat
praktik di dua tingkat pertama. Yaitu, sebelum mencapai tingkat hakikat, seluruh praktik
merupakan bentuk peniruan. Rumi, pada kesempatan ini, memberikan deskripsi mengenai ketiga
hal tersebut;
“Syariat ibarat pelita : ia menerangi jalan. Tanpa pelita, kalian tak dapat berjalan. Ketika
sedang menapaki jalan, kalian sedang menempuh tarekat, dan ketika telah sampai pada tujuan,
itulah hakikat.13
12
Sayyid Mahmud Abdul Faidh al-Manufi al-Husaini,Jumharatul Auliya A’lamu Ahli Tasawuf, (Beirut:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1996) h. 61
13
Azra, Azyumardi, dan tim. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung : Angkasa, 2008). h.1189
14
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 1996), h. 220
15
Irwan Kurniawan, Pilar-Pilar Rohani, Terjemah Rawdhah Ath-Thalibin wa ‘Umdah As-Salikin,
(Jakarta, Lentera, 1998). h, 37-38.
16
Abdul Qadir al Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi,
(Yogyakarta, Citra Risalah, 2009), h. 113.
6
orang bertambah ma’rifat maka semakin bertambah ketentramannya, sehingga apa yang
diketahui dari pengalaman itu, membuahkan manfaat berupa ketenangan batin. 17
Dalam pandangan Harun Nasution yang dikutip Abudin Nata mengatakan “Ma’rifat berarti
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat memandang Tuhan, hal itu memiliki
ciri sebagai berikut : Pertama, Orang arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut
nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa rendah. Kedua, Jika mata
yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilihatnya
hanya Allah SWT. Ketiga, Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka
yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. Keempat, Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur
maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT. Kelima, Seandainya ma’rifat berupa bentuk materi,
semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa
cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat
gemilang tersebut”. 18
Banyak orang sufi berbicara tentang kesatuan dari pengetahuan, yang mengetahui dan yang
diketahui (‘alim, ‘ilm, dan ma’lum). Bentuk penyatuan ini dapat dijelaskan dengan baik melalui
konsep “Ilmu Khudhuri” di mana objek-objek pengetahuan diketahui secara langsung setelah
mereka dihadirkan dalam kesadaran atau jiwa seseorang. karena ketika objek-objek itu hadir
dalam kesadaran seseorang, maka ia dapat mengidentifikasikan objek-objek tersebut dengan
dirinya. Ketika itu terjadi, maka objek-objek itu telah menjadi dirinya, sehingga pengetahuan
tentang objekobjek itu kini mempunyai keintiman yang sama dengan keintiman terhadap diri
sendiri, sedangkan pengetahuan tentang diri sendiri dapat diketahui secara langsung, tanpa
pemilahan dan pembagian antara subjek dan objek.
Ajaran ma’rifat secara teoritis tekstualis berawal dari penafsiran ayat QS al-Dzariyat: 56
yang artinya “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” Kalimat “supaya mereka mengabdi kepada-Ku” menurut Ibnu Abbas berarti “agar
mereka mengenal-Ku (Allah), yaitu ma’rifat. Sementara pada QS. al-An’am: 91 yang artinya
“dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya” 19
Sementara ajaran ma’rifat secara praktis bersumber dari teks Al Qur’an dan sunnah seperti
kisah Umar ibn al-Khattab ketika sedang berkhutbah shalat Jum’at tiba-tiba ia memerintahkan
pasukan perangnya untuk bertahan di tempat pada satu peperangan, kisah sahabat Nabi Sulaiman,
Asif, (QS. anNaml: 40) dan kisah tentang Nabi Khidir dan Nabi Musa (QS.al-Kahfi: 71-83). Dari
dua sumber di atas kemudian muncul berbagai penafsiran yang kemudian melahirkan beberapa
konsep ma’rifat yang berbeda dari beberapa tokoh sufi seperti al-Busthami, alHallaj, al-Ghazali
dan Ibn Arabi.
Al-Junaidi memandang bahwa ahli ma’rifat itu membatasi diri tingkah lakunya menjadi
empat perkara: (1) Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan
langsung denganNya, (2) Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk
Rasulullah SAW, (3) Berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya, dan (4)
Merasa bahwa dirinya milik Allah, dan kelak pasti akan kembali kepada-Nya20
Ilmu yang diilhamkan ke dalam hati ahli ma’rifat itu baru dapat dimengerti setelah dipikir
dan ada perenungan. Apabila hasil pemikiran dari ahli ma’rifat itu dilihat secara sepintas, maka
akan nampak (seolaholah) bertentangan dengan syari’at. Namun jika dipikir dan dikaji secara
lebih mendalam, maka ternyata hal itu tidak bertentangan (tidak menyalahi) dengan hukum
agama (syara’).21
Menurut Ibnu Arabi, seseorang bisa disebut waliyullah apabila ia sudah mencapai tingkatan
ma’rifat. Kaum sufi yakin bahwa ma’rifat itu bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung
17
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung,
Penerbit Pustaka, 1994) h 313
18
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, OpCit , h. 221
19
Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah, Terj. (Kairo: Muhammad Ali Shabih wa Awladih 2007) h. 168
20
Labib MZ.,Kuliah Ma’rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996), h. 17
21
Kurniawan, M. A. (2021). SYI'IR TANPO WATON RECONSTRUCTION OF LOCAL CULTURE
IN THE CONTEXT OF TASAWUF. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan, 6(2), 201-216.
D. KESIMPULAN
Pada dasarnya untuk mencapai tingkat ke-wali-an, bisa dicapai yang pertama adalah jalannya
kaum mahbubun murodun, yaitu orang yang dicintai dan dikehendaki Tuhan. Mereka ini adalah
orang-orang yang mendapat derajat dan kemuliaan dengan anugerah Allah tanpa dicari
sebelumnya. Dalam kategori ini termasuk para Nabiyullah dan para Rasulullah. Setelah Allah
menghilangkan hijab dari hati mereka, barulah berijtihad dan beramal dengan lezatnya Nurul
yaqin. Keadaan yang kedua adalah jalannya orang-orang yang disebut muhibbun muridun, yaitu
orang-orang yang cinta kepada Allah dan menyiapkan dirinya menuju jalan Allah. Pertama-tama
mereka giat beribadah, riyadlah, dan mujahadah, barulah mereka mendapat hidayah, yaitu kasyaf
(tersingkapnya hijab pada hati mereka). Menurut Ibnu ‘Arabi puncak suluknya disebut dengan
wahdatul wujud, yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan. Manusia dan Tuhan pada hakikatnya
adalah satu kesatuan wujud. Sedangkan al-Hallaj menamainya dengan hulul. Oleh karenanya
ma’rifat yaitu mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung,
Penerbit Pustaka, 1994)
Abdul Qadir al Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi,
(Yogyakarta, Citra Risalah, 2009)
Abu Bakar Aceh,Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo : Ramadhani, 1995)
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 1996)
Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah, Terj. (Kairo: Muhammad Ali Shabih wa Awladih 2007)
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002)
Azra, Azyumardi, dan tim. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung : Angkasa, 2008)
Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. (Bandung : Mizan, 2005)
Eliade, Mercea. The Encyclopedia of Religion. (New York : Macmillan Publishing Company)
Irwan Kurniawan, Pilar-Pilar Rohani, Terjemah Rawdhah Ath-Thalibin wa ‘Umdah As-Salikin,
(Jakarta, Lentera, 1998)
Juhaya S. Praja,Model Tasawuf Menurut Syari’ah, (Suryalaya: Latifah Press, 1995)
Kurniawan, M. A. (2021). SYI'IR TANPO WATON RECONSTRUCTION OF LOCAL CULTURE IN
THE CONTEXT OF TASAWUF. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan, 6(2), 201-216
Kurniawan, M. A., Munir, M., & Cholidi, C. (2021). Suluk Gus Dur Reconstruction of Local Culture in
the Context of Sufism. International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding, 8(9), 308-312.
Labib MZ.,Kuliah Ma’rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996)
Muhammad Nizam as-Shofa, Mengenal Tarekat (Naqsyabandiyah Mujaddadiyah Khalidiyah), (ttp.:
Risalah Ahlus-Sofa wal-Wafa, tt.)
Sayyid Mahmud Abdul Faidh al-Manufi al-Husaini,Jumharatul Auliya A’lamu Ahli Tasawuf, (Beirut:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1996)