Anda di halaman 1dari 10

Nama : Rindi Aisyah Setyowati

Class : 5D

NIM : 216121151

Ujian Akhir Semester Akhlak Tasawuf

Judul Buku : Tasawuf Jawa Kesalehan Spiritual Muslim Jawa, Karya Sri Harini

Kelompok 7

Tasawuf Jawa Kesalehan Spiritual Muslim Jawa

Peta Konsep

Bab I
Pengertian Tasawuf

A. Definisi B. Sejarah C. Ajaran- D. Tujuan


Tasawuf Kemunculan dan ajaran Tasawuf Tasawuf
Perkembangan
Tasawuf

BAB I Pengertian Tasawuf

A. Definisi Tasawuf
Di dalam Islam sudah umum dikenal tiga tingkatan dalam beragama: syari'at, tarekat
dan hakikat. Syari'at merupakan jalan bersama atau jalan umum bagi seluruh umat
Islam yang biasanya lebih banyak mengacu pada fikih atau hukum Islam, sementara
tarekat merupakan jalan khusus yang lebih menekankan pada aktivitas perenungan dan
penghayatan spiritual, dan hakikat tiada lain adalah ketulusan dan keikhlasan dalam
melakukan penghambaan terhadap Allah (Kazhim, 2003:89).
Sementara tarekat dan hakikat, karena representasi dari ilmu tasawuf, sering disebut
dimensi batiniyah (esoteris) dari agama. Maka, tarekat dan hakikat merupakan obyek
dan tema utama dalam pembahasan ilmu tasawuf. Secara sederhana merupakan ilmu
yang lebih concern pada persoalan-persoalan batin; persoalan-persoalan hati, pikiran
dan jiwa seseorang. Jadi kalau ilmu syari'at (fikih) adalah ilmu untuk memperbaiki
keadaan dhahir, maka ilmu tasawuf itu untuk memperbaiki keadaan batin.

Dalam beragama, seseorang dituntut bukan hanya bertumpu pada syari'at (fikih) saja;
tetapi harus disempurnakan dengan tasawuf, supaya kualitas keberagamaan kita bukan
hanya baik di tataran luarnya, tetapi juga baik di tataran dalamnya. Tasawuf harus tetap
berada dalam koridor syari'at. Para ulama menyatakan tidak sah praktik tasawuf yang
tidak didasarkan pada syari'at. Sebab, tasawuf itu, meski lebih bersifat rohani, tidak bisa
bergerak seenaknya sehingga keluar dari kaidah-kaidah syari'at. Artinya bagi orang
yang hendak menempuh jalan tasawuf, ia mau tidak mau harus berangkat dari syari'at.
Dengan kata lain, syari'at merupakan titik tolak bagi seseorang yang hendak menekuni
laku tasawuf. Beragama yang sempurna adalah beragama yang bertumpu pada syari'at
dan tasawuf. Puncak dari penggabungan syari'at dan tasawuf adalah akhlak.

Bahwa tujuan beragama di dunia ini sesungguhnya adalah untuk membangun akhlak
yang mulia (akhlakul karimah). Untuk membangun akhlak yang baik seseorang harus
menempuhnya dengan cara menjalankan ajaran-ajaran syari'at, lalu melengkapinya
dengan ajaran-ajaran tasawuf. Orang yang menjalankan nilai-nilai syari'at dan tasawuf
itu sesungguhnya orang yang sedang berproses mendidik, melatih dan menempa
dirinya untuk menjadi pribadi yang baik. Dengan kepribadian yang baik, maka
seseorang menjadi terbiasa untuk berbuat baik; ia menjadi natural dalam menjalankan
kebaikan.

Namun sebaliknya, jika ada orang yang beragama, mengaku sudah menjalankan
seluruh ajaran agama baik yang ada dalam syari'at maupun yang ada dalam tasawuf,
misalnya setiap hari shalat, membaca al-Qur'an, puasa, qiyamullail dan sebagainya,
habis itu ia masih mengikuti majelis zikir, tarekat, mujahadah, dan seterusnya, tetapi
dalam kenyataannya perilakunya masih buruk; dirinya masih suka berbuat kerusakan;
masih suka bertindak kasar terhadap sesamanya; masih suka menyebar hoax, fitnah,
kebohongan dan sebagainya, maka perlu dipertanyakan praktik beragamanya.

Di Barat tasawuf disebut dengan mistisisme Islam (Islamic mysticism). Secara


etimologis, tasawuf mempunyai beragam jenis pengertian. Pertama, istilah tasawuf
berasal dari kata Shuffah yang artinya serambi. Sebutan ini lebih merujuk pada orang-
orang yang hidup di gubuk-gubuk yang dibangun oleh Rasulullah Saw. di sekitar
Masjid Madinah, ketika mereka memilih untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.

Selain itu, tasawuf juga berasal dari kata shuf dengan maknanya adalah pakaian yang
terbuat dari bulu domba atau wol. Mereka disebut sufi karena memakai pakaian yang
bahannya terbuat dari bulu domba. Inilah pakaian yang banyak dikenakan oleh kaum
sufi. Pengertian tasawuf dalam tinjauan etimologis. Kemudian, secara terminologis,
Tasawuf atau sufisme merupakan ilmu yang memberikan petunjuk tentang bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak juga untuk memperoleh kebahagian yang
abadi. Dalam pengertian ini, tasawuf berawal dari gerakan zuhud yakni menjaga jarak
dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Gerakan ini mengalami perkembangan signifikan
di dalam tubuh umat Islam sehingga melahirkan tradisi mistisme Islam atau yang
disebut dengan tasawuf.

Istilah 'tasawuf' mengandung makna baru yang sering dikaitkan pada tiga yaitu (1),
tasawuf sering dipahami sebagai serangkaian akhlak atau petunjuk moral yang harus
dijalankan manusia ketika ingin mendekatkan diri kepada Allah, lalu (2), tasawuf
merupakan cara untuk mencapai makrifat atau untuk menggapai pengetahuan yang
hakiki. Dan (3) dalam kaiatannya dengan filsafat, tasawuf bisa disebut sebagai mazhab
etika.

Baik dari sisi bahasa maupun istilah, bisa dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental
yang senantiasa memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan umat manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan
mudah bagi manusia menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, bertakarub dan
bermusyahadah dengan Allah swt.
Dalam praktiknya, perkembangan tasawuf ini juga ditandai oleh munculnya beragam
aliran tarekat. Aliran-aliran tarekat ini bukan hanya tumbuh di kalangan masyarakat
Sunni melainkan juga dalam komunitas Syi'ah. Hingga dalam perkembangannya lebih
lanjut, gerakan sufisme dalam tarekat ini mengalami konseptualisasi, dimana muncul
banyak pemikir dan ulama yang menyusun secara sistematis pemikiran dan
wacana soal tasawuf.

B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf


Sesungguhnya sejarah tasawuf, mulai dari kemunculan hingga perkembangannya
sangat terkait dengan dinamika sejarah umat Islam secara umum. Tasawuf bukanlah
gerakan dan pemikiran yang tiba-tiba muncul. Ia lahir seiring dengan munculnya
peristiwa-peristiwa lain dalam sejarah termasuk peristiwa politik dan kekuasaan.
Karenanya, tasawuf sesungguhnya bagian integral dari sejarah umat Islam.

Secara historis benih-benih tasawuf secara praktis sudah muncul di masa Nabi. Hanya
saja di zaman Nabi Saw. ini tasawuf belum dibakukan sebagai sistem ilmu
pengetahuan. Fenomena tasawuf di zaman Nabi Saw. ini di antaranya bisa dilihat
melalui perilaku dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari dari pribadi Nabi
Muhammad Saw. Di mana hidup Nabi Saw. yang sangat sederhana dan usahanya yang
tak kenal lelah untuk mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati dan
mengajarkan akhlak yang mulia. Imam Ghazali ketika menjelaskan soal tasawuf
senantiasa merujuk kepada Al-quran, hadis, pendapat para sahabat lalu dilengkapi
dengan pemikirannya sendiri.

Pada abad ke-15 gerakan sufisme memasuki tahap tha'ifah atau tahap penyebaran. Di
sini mulai digalakkan penyebaran ajaran tasawuf yang telah mengalami formalisasi
oleh para murid atau santri. Akibat penyebaran ini, muncullah cabang-cabang
organisasi tarekat atau tasawuf di berbagai negara. Selain dari itu, pemujaan dan
pemuliaan terhadap guru atau mursyid di tahap ini juga semakin kuat. Karenanya pada
tahap tha'ifah ini tasawuf mempunyai artian yang baru yaitu menyebarkan ajaran-
ajaran sufisme sang mursyid atau guru tasawuf (Amiruddin, 2002:21-22).

Hingga sekarang gerakan tarekat atau tasawuf ini semakin berkembang pesat. Ada
banyak aliran tasawuf di berbagai dunia, termasuk di Indonesia. Jamaahnya pun sangat
banyak. Di era kontemporer, perkembangan tasawuf selain ditandai oleh
berkembangnya gerakan tasawuf atau tarekat, juga ditandai oleh berkembangnya
pemikiran- pemikiran sufistik.

C. Ajaran-ajaran Tasawuf
Tasawuf, seperti telah disinggung di muka, disebut juga sebagai mistisisme Islam.
Menurut Annemarie Schimmel dalam bukunya yang terkenal Mysticism Dimension of
Islam menjelaskan bahwa ada dua tipologi ajaran mistik yaitu Mistisisme Yang tak
terbatas (Mysticism of Infinity) dan Mistisme Personalitas (Mysticism of Personality).

Mistisisme Yang tak terbatas (Mysticism of Infinity) merupakan paham mistik yang
memandang Tuhan sebagai realitas absolut, tak terjangkau dan tak terhingga. Adapun
Mistisisme Personalitas, yaitu sebuah aliran mistik atau spiritual yang lebih concern
pada dimensi personal manusia dan Tuhan. Dalam pandangan mistik ini, hubungan
antara manusia dengan Tuhannya dipandang sebagai hubungan antara makhluk
(ciptaan) dengan Khaliq (Pencipta). Pandangan ini berdasar pada teori penciptaan
(creation) yang sangat dikenal di kalangan agama samawi: Creatio ex Nihilo
(penciptaan dari ketiadaan). Kedua paham di atas, kata Simuh, ada dalam tasawuf.
Pahaman mistisisme transcendental telah dianut oleh al-Ghazali sementara paham
wahdatul wujud atau union-mistik dianut oleh al-Hallaj, Ibn Arabi, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Pasai dan yang lainnya (Simuh, 2016: 45).

Selain itu, ajaran pokok tasawuf juga terdiri atas ahwal dan maqamat. Baik ahwal
maupun maqamat mempunyai tingkatan masing-masing. Ahwal, sebagai bentuk jamak
dari kata hal, dalam tasawuf mempunyai arti sebuah kondisi mental atau situasi
kejiwaan yang dicapai seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya
sendiri. Ahwal ini bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam
perjalananya mendekati Tuhan (Asmaran, 1994:137).

Terkait dengan ahwal atau hal ini, Imam Ghazali menjelaskan bahwa hal merupakan
satu waktu di mana seorang hamba berubah karena ada sesuatu yang lain dalam hatinya.
Hati seorang hamba pada saat tertentu berada dalam kondisi tertentu namun pada saat
yang lain kondisi hatinya itu berubah. Inilah disebut dengan hal. Hal di dalam tasawuf
jenisnya sangat beragam, yakni sebagai berikut:
1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
2. Cinta (Mahabbah)
3. Berharap (Raja')
4. Takut (Khauf)
5. Rindu (Syauq)
6. Intim (Uns)

Berbeda dengan hal yang murni pemberian atau anugerah dari Tuhan, maqamat
merupakan hasil kerja keras dan perjuangan manusia yang memang sungguh-sungguh
menekuni laku tasawuf.
Jenis maqamat juga beragam dan berjenjang dari tingkat terrendah ke tingkat tertinggi.
Jenis-jenis tingkatan maqamat dalam tasawuf tersebut adalah:
1. Taubat
Taubat ini seperti dijelaskan Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawufi Al-
Islam merupakan perasaan menyesal dengan sepenuh hati atas segala tindakan dosa
dan kesalahan kita. Dalam hal ini, Imam Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi
tiga tingkatan:
➢ Meninggalkan segala bentuk kejahatan dan kemungkaran, kemudian mulai
melakukan segala kebajikan karena takut akan siksa Allah.
➢ Mengubah diri dari kondisi yang sudah baik untuk menjadi lebih baik.
➢ Rasa penyesalan yang dilakukannya tiada lain kecuali kecintaannya
terhadap Allah swt.
2. Zuhud
Secara literal zuhud mempunyai arti tidak adanya keinginan terhadap segala sesuatu
yang berbentuk duniawi. Dengan kata lain, zuhud atau asketis adalah menjaga jarak
dengan segala godaan duniawi. Konsekuensi dari sikap zuhud ini adalah lepasnya
ketergantungan jiwa kita dari kehidupan duniawi dan lebih fokus mengutamakan
kehidupan akhirat.
3. Faqr (Fakir)
Al-Faqr mempunyai arti tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki
atau diusahakan, sehingga tidak rakus, terutama rakus terhadap dunia.
4. Sabar
Sabar mempunyai arti sebuah sikap konsekuen dan konsisten dalam hal
melaksanakan seluruh perintah Allah. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, apa
yang disebut dengan sabar itu ada tiga kategori:
➢ Bersabar kepada Allah: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
➢ Bersabar bersama Allah: menerima ketetapan Allah, termasuk atas segala
kesulitan dan musibah.
➢ Bersabar atas Allah: bersabar atas rezeki, keberuntungan, dan kecukupan
yang telah diberikan oleh Allah kepada kita serta pahala yang dijanjikan
Allah di kampung akhirat (Sholihin, 2008:78)
5. Syukur
Syukur merupakan rasa berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat dan kasih
sayangnya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga membagi syukur menjadi tiga
macam :
• Syukur dengan lisan: mengakui adanya nikmat dan merasa tenang, biasanya
kita ucapkan lafal Hamdalah.
• Syukur dengan badan dan anggota badan: melaksanakan ibadah sesuai
perintah-Nya.
• Syukur dengan hati
6. Rela (Rida)
Rida adalah menerima dengan rasa puas atas segala apa yang dianugerahkan Allah
swt. Menurut Abdul Halim Mahmud, rida' bisa mendorong seseorang untuk
berusaha sekuat tenaga mencapai segala sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan seluruh akibatnya
dengan cara apapun yang juga disukai Allah.
7. Tawakal (Pasrah)
Hakikat tawakal menerima dengan ihkas dan sepenuhnya menyerahkan segala
urusan kepada Allah swt. dan tetap disertai dengan ikhtiar dengan cara yang benar.

D. Tujuan Tasawuf
Kalau ajaran tasawuf memang demikian halnya, maka apa kemudian tujuan dari
tasawuf? Paling tidak ada dua jenis tujuan dalam tasawuf: secara transenden-vertikal
dan secara imanen-horisontal. Secara transenden vertikal, tujuan dari tasawuf adalah
untuk bermakrifat kepada Allah atau untuk bisa sampai langsung kepada Dzat Allah
bahkan ada yang hendak menyatu dengan Allah (Simuh, 2016:29).

Adapun jalan untuk mencapai makrifat atau menyatu dengan Tuhan itu adalah tarekat
(thariqah). Makrifat kepada Allah di sini, kata Simuh, bukan sekadar pengetahuan,
melainkan juga pengalaman mengenai hal yang transendental dan spiritual. Karenanya
untuk mencapai tujuan yang sifatnya transendental ini, ada sejumlah ritual dalam
praktik tarekat. Al-Ghazali dalam al- Munqidz Min al-Dhalal menjelaskan bahwa
dalam rangka menuju hakikat Allah itu, tarekat merupakan sebuah tahap awal.
Sementara itu syarat-syaratnya adalah penyucian hati secara menyeluruh dari segala hal
yang selain Allah.

Selain tujuan transenden-vertikal, ada juga tujuan tasawuf yang sifatnya imanen-
horisontal. Tujuan tasawuf dalam konteks imanen-horisontal ini adalah untuk
membangun akhlak yang mulia. Menyatunya seorang hamba dengan Tuhannya melalui
sejumlah ritual tasawuf itu, tiada lain untuk menghasilkan nilai-nilai akhkak yang
bagus. Dengan kata lain, ketika seseorang telah sampai kepada-Nya, maka ia
seharusnya terbiasa untuk berbuat baik; dirinya harus mencerminkan sifat-sifat, ayat-
ayat dan nilai-nilai keilahian di dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan tujuan seperti itu, maka tasawuf ini mempunyai fungsi penting yakni mendidik
manusia untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebab, manusia yang tidak sanggup
mengendalikan hawa nafsunya akan cenderung jauh dari Tuhan, alih-alih untuk sampai
pada Tuhan.

Dengan dua tujuan itulah, Guru Besar bidang Tasawuf UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Prof. Dr. H. Mukhtar Solihin sebagaimana yang dirilis oleh NU Online
(24//04/2016) mengatakan bahwa ada tiga alasan seseorang harus bertasawuf; pertama,
tasawuf merupakan basis yang sifatnya fitrah (alamiah) pada diri setiap manusia.
Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendalian diri, agar dimensi kemanusiaan
tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah dekadensi moral dan anomali nilai,
sehingga tasawuf mampu mengantarkan pada keunggulan moral (supreme morality).
Ketiga, tasawuf mempunyai relevansi dengan problem manusia, karena tasawuf secara
seimbang memberi kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus.
Jadi, dalam konteks tasawuf ini, sebuah akhlak yang baik atau kepribadian yang baik
harus dibangun dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian hati dari
segala hal yang bersifat nafsu dan duniawi. Hawa nafsu dengan demikian merupakan
faktor yang menjadikan hati manusia kotor. Nafsu memang tidak mungkin bisa
dihilangkan. Tetapi ia bisa dikendalikan. Apa yang ditekankan oleh tasawuf adalah
mengendalikan hawa nafsu supaya hati kita tidak terkotori oleh hal-hal yang bersifat
buruk karena ciri khas nafsu yang tak terkendali adalah mengarahkan manusia kepada
keburukan dan kesesatan.

Karenanya supaya diri kita tidak diperbudak oleh hawa nafsu atau hasrat dan keinginan,
maka kita harus pandai- pandai mengontrol hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri
kita. Hal yang harus kita usahakan sebagai langkah awal untuk mengontrol dan
menjinakkan hawa nafsu atau hasrat kita ini adalah menghidupkan akal sehat dan hati
nurani; menjernihkan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang buruk.

Maka, untuk menyehatkan dan menjernihkan hati dan pikiran kita itu, kita memerlukan
tasawuf; membutuhkan laku sufistik. Karena dengan tasawuf itulah, kita bukan hanya
bisa mengenali dan mengindentifikasi penyakit-penyakit hati, tetapi juga bisa
mendapatkan petunjuk untuk menghilangkan bahkan menangkal penyakit-
penyakit hati tersebut.
Kesimpulan

Tasawuf merupakan ilmu yang menekuni persoalan batin, persoalan hati, pikiran danjiwa
seseorang. Dan kalua ilmu syari’at (Fikih) adalah ilmuuntuk memperbaiki keadaan Dzahir,
maka ilmu tasawuf itu untuk memperbaiki keadaan batin. Dalam beragama, seseorang dituntut
bukan hanya bertumpu pada syari'at (fikih) saja; tetapi harus disempurnakan dengan tasawuf,
supaya kualitas keberagamaan kita bukan hanya baik di tataran luarnya, tetapi juga baik di
tataran dalamnya.

Tasawuf harus tetap berada dalam koridor syari'at. Para ulama menyatakan tidak sah praktik
tasawuf yang tidak didasarkan pada syari'at. Sebab, tasawuf itu, meski lebih bersifat rohani,
tidak bisa bergerak seenaknya sehingga keluar dari kaidah-kaidah syari'at. Artinya bagi orang
yang hendak menempuh jalan tasawuf, ia mau tidak mau harus berangkat dari syari'at. Dengan
kata lain, syari'at merupakan titik tolak bagi seseorang yang hendak menekuni laku tasawuf.
Beragama yang sempurna adalah beragama yang bertumpu pada syari'at dan tasawuf. Puncak
dari penggabungan syari'at dan tasawuf adalah akhlak.

Anda mungkin juga menyukai