Anda di halaman 1dari 14

Tugas Mandiri Dosen Pengampu

Aqidah Akhlah Dr, Bisri Mustofa

MAHABBAH KEPADA ALLAH SWT

DOSEN PENGAMPU:

UIN SUSKA RIAU

OLEH:

SYAHMI AQIL BIN SYAIRUL FAHMI (12260113230)

PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU

2022

1
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan
Hidayah- Nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari. Penyusun juga mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan
kerido’an-Nya makalah ini terselesaikan.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
”Aqidah Akhlak” Adapun yang penulis bahas dalam makalah sederhana ini mengenai ”
Mahabbah kepada Allah SWT ”. Dalam penulisan makalah ini penulis menemui berbagai
hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan saya mengenai hal yang berkenaan
dengan penulisan makalah ini.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah
ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna,penulis menyadari bahwa banyak terdapat
kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua
yang membaca.

Pekanbaru, Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..…..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG………………………………………………………….…1
1.2 RUMUSAN MASALAH………………………………………………………….2
1.3 TUJUAN MASALAH…………………………………………………………….2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MAHABBAH................................................................................3-4
2.2 CARA MENCAPAI MAHABBATULLAH...........................................................4-6
2.3 SYARAT MENCAPAI MAHABBATULLAH.......................................................7-8
BAB 3 PENUTUP
3.1 KESIMPULAN...........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................10

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cinta kepada Allah SWT adalah: yang paling luhur dalam segelap maqamat-maqamat
yang ada. Selain merupakan derajat yang paling tinggi karena setelah derajat itu tidak ada lagi
kecuali hanya buah dari Cinta itu sendiri yang selalu selaras dengannya, seperti: kerinduan,
damai, dan ridha. Adapun maqamat-maqamat yang ada sebelum Cinta adalah tak ubahnya
semacam muqadimah untuk dapat menuju Cinta, seperti taubat, sabar, dan zuhud.
Mendefinisikan cinta bukan pekerjaan gampang, sesulit menjelaskan lezatnya madu pada
seseorang yang tidak pernah merasakan atau melihat madu.

Al-Mahabbah adalah keinginan yang kuat untuk bertemu dengan kekasih yang dambakan,
menurut pendapat sufi adalah perlu melakukan upaya yang besar untuk mencapai hal cinta
terhadap Allah, contohnya; mensucikan diri dari segala bentuk dosa dan najis melalui maqam
dan hal-hal yang telah ditetapkan, meskipun membutuhkan pengorbanan. Keinginan ini dapat
terpenuhi jika Allah swt. rela, karena al-Mahabbah adalah karunia dari Allah SWT. kepada
hamba yang diinginkannya.

Bagi Al-Ghazali, Mahabbah merupakan bentuk kecintaan seseorang terhadap yang


berbuat baik kepada-Nya. Cinta timbul dari kasih dan anugerah Tuhan bagi manusia, yang telah
memberi kehidupan, makanan, kegembiraan, dan lainnya. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan
bahwa Mahabbah kepada merupakan tujuan tertinggi dari maqam dan derajat.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
a) Apakah pengertian Mahabbah?
b) Apakah cara mencapai Mahabbatullah?
c) Apakah syarat mencapai Mahabbatullah?

1.3 TUJUAN MASALAH


a) Untuk mengetahui pengertian Mahabbah.
b) Untuk mengetahui cara mencapai Mahabbatullah.
c) Untuk mengetahui syarat mencapai Mahabbatullah.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN MAHABBAH

Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada tuhan. Lebih luas lagi,
bahwa “Mahabbah” memuat pengertian yaitu; Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan
membenci sikap yang melawan kepada Tuhan, Berserah diri kepada Tuhan, Mengosongkan
perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari Dzat yang dikasihi.

Secara etimologi, dikatakan cinta atau al-mahabbah berasal dari kata al-habab
(gelembung air), artinya air yang meluap setelah hujan lebat, jadi al-mahabbah adalah luapan
hati dan kegelisahannya saat diliputi keinginan bertemu kekasih. Dikatakan demikian karena
cinta merupakan puncak segalanya dalam hati. Dikatakan pula bahwa cinta itu berasal dari istilah
menetapi. Jika dikatakan, “Dia mencintai unta, maka ia menetapi bersama unta dan tidak
meninggalkannya, seolah-olah orang yang jatuh cinta ini hatinya tidak pernah melupakan untuk
mengingat kekasihnya.

Manakala secara terminologi pula, Pandangan para teolog yang dikemukakan oleh
Webster bahwa al-mahabbah artinya; a) keredhaan Allah bagi manusia, b) keinginan manusia
untuk menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada
lainnya. Pengertian ini bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada al-
mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahbbah manusia kepada Tuhan dan
sesamanya. Sejalan dengan hal tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa jumhur Mutakallimin
menyatakan bahwa al-mahabbah adalah salah satu bagian dari Iradah. Iradah itu tidak berkaitan
kecuali apa yang dapat dijangkau, sehingga al-mahabbah tidak dapat menghubungkan dengan zat
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi dengan ketaatan kepada-Nya.

Imam al-Ghazali sebagai seorang sufi mengatakan bahwa al-mahabbah adalah


kecenderungan hati terhadap sesuatu. Jika perkataan ini dipahami, ada beberapa jenis al-
mahabbah manusia karena kecenderungan hati di antara setiap orang berbeda-beda. Ada orang

3
yang cenderung kepada harta, ada cenderung terhadap orang lain dan ada pula terhadap Tuhan.
Kecenderungan mereka tidak terlepas dari pemahaman, penghayatan, dan pengalaman mereka
terhadap ajaran agama.

Namun demikian, bagi Imam al-Gazali tentunya yang dimaksud adalah kecenderungan
kepada Tuhan karena bagi kaum sufi al-mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya al-
mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya bahwa “barang siapa yang
mencinai sesuatu tanpa kaitannya dengan al-mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan
dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai”.

2.2 CARA-CARA MENCAPAI MAHABBATULLAH

Al-mahabbah menurut pandangan ahli sufi adalah anugerah Tuhan kepada hambanya yang
suci, maka seseorang harus melatih untuk mensucikan diri, menghilangkan sifat nasut yang
dimiliki, kemudian mengisi dengan sifat lahut. Oleh karena itu, dalam ajaran tasawuf dikenal
suatu derajat penyucian diri yang dikenal dengan maqam.

Para ahli berbeda dalam menetapkan maqam yang harus dilalui, seperti Abu Nasr al-Sarraj
al-Tusi membagi maqam kepada tujuh tingkatan; taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal dan
rida. Sementara Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi (w. 995 M.)32 membagi sepuluh tingkatan;
taubat, zuhud, sabar, faqr, tawaddu, taqwa, tawakkal, rida, al-mahabbah dan ma’rifah. Begitu
pula dengan Abu Hamid al-Gazali menetapkan delapan tingkatan; taubat, sabar, faqr, zuhud,
tawakkal, al-mahabbah, ma’rifah dan rida.

Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan pengetahuan dan pengalaman mereka. Namun


demikian, jika dilihat pembagian di atas, tampak antara satu dengan lainnya saling melengkapi.
Sementara itu, al-mahabbah dan ma’rifah diperselisihkan, apakah masuk dalam maqam atau hal.
Jadi, maqam-maqam yang harus ditempuh untuk mencapai al-mahabbah adalah:

4
1. Taubat
Taubat berasal dari kata yang berarti kembali. Artinya kembali kepada kebenaran setelah
melakukan kesalahan atau dosa. Dosa merrupakan penghalang untuk sedekat mungkin dengan
Tuhan, sehingga harus menyucikan diri. Jalan pertama yang perlu diambil adalah dengan
bertaubat. Namun demikian, taubat dalam ajaran tasawuf bukan hanya karena melakukan
pelanggaran terhadap ajaran agama, melainkan juga taubat karena lalai mengingat Tuhan.

2. Wara’
Wara' artinya menahan dan memegang. Menahan diri agar tidak melakukan penyimpangan dan
tetap berpegang teguh pada ajaran agama, agar terhindar dan terpelihara dari segala macam
bentuk dosa. Bagi kaum sufi, wara’ diartikan meninggalkan yang syubhat (samar), baik dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan. Dalam perkataan adalah menahan diri dari segala ucapan
yang sia-sia. Sedang dalam perbuatan adalah kewaspadaan terhadap makanan, pakaian, minuman
dan lain-lain, semuanya harus berasal dari yang halal

3. Zuhud
Zuhud secara segi bahasa berarti berpaling dan pergi. Berpaling dan meninggalkan segala
sesuatu yang mungkin menjadi alasan untuk melalaikan dari mengingat Allah, terutama yang
menyangkut dunia dan segala kemewahannya. Pendapat imam al-Ghazali pula mengatakan
bahwa zuhud ibarat kebencian terhadap dunia dengan berpaling kepada Allah itulah derajat yang
tertinggi. Dunia dengan segala kemewahannya dianggap sebagai penghalang dalam mendekatkan
diri kepada-Nya, sehingga harus dijauhi. Karena itu, untuk kesempurnaan zuhud bagi kaum sufi,
harus mengasingkan diri jauh dari keramaian.

4. Faqr
Faqr dari segi bahasa berarti patah tulang punggungnya. Faqr bagi kaum sufi adalah tidak
menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi kebutuhan primer, tetapi juga bererti
tidak memiliki sesuatu dan tidak dikuasai oleh sesuatu. Kaum sufi lebih bahagia tidak memiliki
sesuatu daripada punya sesuatu, tetapi jauh dari Tuhan. Dengan demikian, faqr adalah tidak
membutuhkan sesuatu kecuali Allah. Mengosongkan hati dari pengaruh dan ikatan materi atau
selain Tuhan, agar dirinya tetap suci dan bersih serta berada bersama Tuhan.

5
5. Sabr
Sabar berartii menahan dan meninggikan sesuatu. Menahan diri dari segala ha yang tidak sesuai
dengan ajaran agama, sehingga pertahanan dan pengendalian diri semakin tinggi. Karena itu,
kesabaran merupakan suatu perjuangan mempertahahankan diri agar tetap dalam kebenaran.
Dalam kehidupan sufi, kesabaran diperlukan karena tidak ada maaqam yang dapat diatasi tanpa
kesabaran karena semua maaqam perlu banyak perjuangan karena banyak cobaan dan rintangan
di dalamnya. Oleh karena itu, arti sabar adalah sabar dalam segala hal, yakni
sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta sabar dalam
menerima segala macam cobaan. Bahkan merasa sedih manakala tidak mendapat
cobaan karena khawatir Tuhan telah jauh darinya.

6. Tawakkal
Tawakkal bermaksud mewakilkan urusan kepada yang lain. Maksudnya menyerahkan segala
urusan kepada Tuhan setelah melakukan usaha semaksimal mungkin karena Dialah yang
menentukan segala-galanya. Menurut kaum sufi, dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa
tawakkal adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, apapun yang terjadi diterima
dengan senang hati, susah atau senang. Semuanya dianggap sebagai karunia Tuhan, mereka tidak
meminta dan tidak menolak ataupun menduga-duga apa yang terjadinya.

7. Rida
Dari segi bahasa berarti merestui, kebalikan dari murka atau marah. Maksudnya senantiasa
dalam keadaan suka dan senang dengan menghilangkan perasaan benci dalam hati. Segala coban
diterima dengan senang hati, sehingga sama saja mendapat nikmat atau malapetaka. Disini kita
akan sadar bahwa rida merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal, sehingga melahirkan
sikap tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Suka dan duka diterima dengan
gembira, sebab apapun yang terjadi adalah kehendak Allah.

6
2.3 SYARAT MENCAPAI MAHABBATULLAH

Syarat mencapai Mahabbatullah atau Cinta terhadap Allah SWT terdiri dari empat syarat:_

1. Tauhid al-Mahabbah

Mahabbah dalam Islam adalah hakikat Iman. orang sempurna mahabbahnya kepada allah SWT
akan sempurna pula imannya. Allah SWT berfirman:

Artinya: “ Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”.
(Q.S Al-baqarah :165)

Imam ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya:

Orang beriman, karena amat cintanya kepada Allah SWT dan karena kesempurnaan ma‟rifatnya
kepada-Nya. Juga karena pengagungan dan pentauhidannya. Maka dia tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun. Bahkan mereka menyembah Dia semata bertawakal dan berlindung
kepada-Nya dalam segala urusannya.

Cinta dunia adalah penyebab terbesar munculnya syirik mahabbah. Diantara sebab menjauhi
mahabbah adalah cinta dunia. Dia adalah sebab terbesar yang memisahkan seorang hamba dari
cintanya kepada Allah SWT.

2. Ittiba’ (mengikuti) Rasulullah SWT

Mengikuti Rasulullah itu banyak tingkatannya. Pengamalan dalam amalan adalah wajib,
kemudian mengikuti beliau dalam amalan sunnah muakkadah, kemudian sunnah-sunnah lainnya
meski tanpa muakkadah, dan mengikuti beliau, meskipun dalam adat istiadat dan tatacara hidup
keseharian beliau meski bukan ajaran agama tetapi jika itu dilakukan untuk cinta dan

7
keteladanan beliau Allah SWT tidak akan membiarkan seseorang mencintai Nabi Nabinya
bertepuk tangan dengan sebelah tangan.
3. Ikhlas hati kepada Allah SWT

Ikhlas artinya ikhlas, suci. Ikhlas dalam mengabdi kepada Tuhan SWT. Dengan segenap hati dan
dengan segenap jiwa. Dari sudut pandangan Islam, keikhlasan adalah penguatan konsep keesaan
Tuhan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kalimat syahadat, “Bahwa
sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah SWT”.

Al-Ghazali berkata, pengertian ikhlas ialah keikhlasan hati hanya kepada Allah SWT.
Sehingga tidak ada sedikitpun penyekutuan terhadap-Nya pada hatinya itu. Lalu Allah SWT
menjadikan satu-satunya yang dicintai hatinya, yang disembah hatinya dan menjadi tujuan
hatinya semata.

4. Berakhlak dengan akhlak orang-orang yang cinta karena Allah SWT

Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang menghiasi setiap tindakan dan perbuatan tanpa
pertimbangan atau keinginan jangka panjang. Dalam beberapa kasus akhlak ini sangat meresap
sehingga menjadi bagian dari kepribadian seseorang dan karakter seseorang. Nabi Muhammad
adalah rasul yang diutus sebagai teladan yang baik dan rahmat bagi semesta alam dan orang-
orang yang beriman wajib mengikuti dan mencontohnya sebab kepatuhan kepadanya berarti
bukti kepatuhan kepada Allah SWT. Akhlak nabi SAW adalah Alquran. Jiwa Rasulullah SAW
merangkul banyak akhlak mulia, seperti sifat malu, mulia, berani, menepati janji, ringan tangan,
cerdas, ramah, sabar, memuliakan anak yatim, berperagai baik, jujur, pandai menjaga harga diri,
senang menyucikan diri, dan berjiwa bersih.

8
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Justeru itu, Al-mahabbah yang sebenarnya bagi hanyalah kepada Allah swt., yang lainnya
mengantar kepada al-mahabbah Allah swt., bahkan jika yang lain dapat menghalangi al-
mahabbah kepada Allah swt. maka selain Allah harus ditinggalkan, karena al-mahabbah dapat
dicapai jika Allah swt. menganugerahkan kepada hamba-Nya yang mencintai-Nya, yang suci
dari segala macam bentuk dosa, yang sudah mampu menghilangkan sifat nasut yang dimiliki,
sehingga ia dapat menyaksikan Tuhan melalui hati sanubari atau merasa dekat atau bersatu
dengan Tuhan. Karenaitu, untuk mendapatkan anugerah tersebut harus melalui beberapa maqam
yang telah ditetapkan, seperti maqam taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal dan rida. Selain
itu,
seseorang tidak akan puasa, tidak sholat, tidak berinfak dan tidak berjihad kecuali jika dia cinta
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

9
DAFTAR PUSTAKA

a.) Damis, R. (2011). Al-Mahabbah dalam Pandangan Sufi. Sulesana: Jurnal Wawasan
Keislaman, 6(1).
b.) Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2014), P.240-241

10

Anda mungkin juga menyukai