Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MAHABBAH ALHULUL DAN WAHDATUL WUJUD

MATA KULIAH : AKHLAK TASAWUF


DOSEN PENGAMPU : IMRON

DISUSUN OLEH :

MOHAMMAD ARI MUFTI


EKA SAPUTRA

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI MIFTAHUL HUDA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia nikmat dan
kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di
Staima Banjar. Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah Fiqih. Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah
yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna bagi agama, bangsa dan
negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran yang
sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya sendiri
umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih

Wassalamu’alaikum.wr.wb.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………..

BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………………………………….

1. MAHABBAH………………………………………………………………………………
A. PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG
MAHABBAH…………………………………………………………..
B. MAHABBAH (CINTA) MENURUT RABIAH AL-
ADAWIYAH…………………………………………………………………
C. CARA MERAIH MAHABBAH (CINTA) KEPADA ALLAH SWT………..........
2. ALHULUL………………………………………………………………………………………
A. PENGERTIAN WUDHU………………………………………………………….
B. RUKUN WUDHU…………………………………………………………………
C. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU………………………………
3. WAHDATUL WUJUD…………………………………………
BAB II

1. Mahabbah (Cinta)

1) Secara Etimologi

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan tau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-
Falasafi, Jamil Shaliha mengatakan mahabbah lawan dari al-Baghd, yakni cinta lawan dari
benci. Mahabbah dapat pula diartikan al-Wadud yang berarti sangat kasih atau Penyayang.
Dalam bahasa Indonesia kata cinta yang berarti;
a) suka sekali, Sayang sekali
b) kasih sekali
c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin Ditindas makin terasa rindunya, dan
d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.
Sementara dalam bahasa Inggris dikatakan Love, artinya;
a) Cinta, asmara, asmara pada pandangan pertama, ia jatuh cinta
b) Kecintaan
c) kasih
d) kasih sayang.
Ada pendapat mengatakan bahwa kata mahabbah berasal dari Kata “al-habâb” yang berarti
“air meluap ketika hujan deras turun”. Sehingga, kata mahabbah adalah luapan hati ketika
seorang pecinta Merindukan kekasih. Ada pula yang berpendapat bahwa kata mahabbah
diambil dari Kata “hubb” yang berarti bejana besar yang dapat dipakai untuk memuat
Berbagai macam benda sampai penuh sehingga tidak ada ruang lagi untuk menempatkan
benda lain. Demikianlah adanya hati seorang pecinta juga tidak akan menyisakan ruang lagi
selain sang kekasih. Ada pula yang berpendapat bahwa kata mahabbah diambil dari kata
“hubb” yang berarti empat batang kayu yang digunakan untuk meletakkan bejana atau wadah
lainnya. Hal itu menggambarkan bahwa seorang pecinta selalu siap memikul beban apapun
demi sang kekasih sebagaimana halnya kayu “hubb” siap memanggul bejana yang berat.
berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dimengerti bahwa Mahabbah adalah kecintaan
kepada sesuatu yang sangat mendalam, Hatinya diliputi dengan kecintaanya, dan tak ada
yang dapat mengisi Hatinya kecuali yang dicinta. Dirinya ingin menyatu dengan yang dicinta
Sekalipun dengan pengorbanan.
2) Secara Terminologi

Dalam perspektif mayoritas kaum sufi, hakikat cinta tidak akan Pernah dapat didefinisikan.
Imam al-Qusyairi mengatakan, cinta tidak dapat dilukiskan dengan suatu gambaran dan tidak
dapat dibatasi dengan suatu penjelasan melainkan dengan kehadiran cinta itu sendiri. Justru
dengan mendefinisikannya, ia akan semakin kabur. Definisi cinta adalah wujud itu sendiri,
karena pada dasarnya definisi hanya berlaku untuk ilmu. Sedang cinta adalah sebuah keadaan
perasaan yang terpendar ke dalam lubuk hati para pengagungnya. Tak ada yang dapat
diutarakan kecuali perasaan cinta itu sendiri. Tak ada yang dapat dibicarakan tentangnya
kecuali penjelasan tantang bekas-bekas yang ditinggalkannya, ungkapan atas buahnya, dan
segenap penjelasan tentang sebab-sebabnya. Meskipun demikian, kaum sufi tetap
menguraikan tentang makna cinta dalam segala bentuk keterbatasannya. Cinta kepada Allah
adalah tujuan yang paling luhur dalam segenap maqamat-maqamat yang ada, selain
merupakan derajat yang Paling tinggi karena setelah derajat itu tak ada lagi kecuali hanya
buah dari cinta itu sendiri yang selalu selaras dengannya, Seperti: kerinduan, damai, dan
ridla. Adapun maqamat-maqamat yang ada sebelum cinta adalah tak ubahnya semacam
mukaddimah untuk dapat menuju cinta, seperti taubat, Sabar, dan zuhud. secara istilah
mahabbah terdapat perbedaan menurut kalangan ulama ataupun sufi, karena persepsi yang
mereka ungkapkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Pendapat kaum
Teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa Mahabbah berarti:
a) keridhaan Tuhan yang diberikan kepada manusia,
b) Keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan
c) perasaan berbakti dan
Bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat umum, sebagaimana
yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada
mahabbah manusia kepada uhan dan sesamanya. Sejalan dengan hal tersebut, al-Razi
menjelaskan bahwa jumhur Mutakallimin mengatakan bahwa mahabbah merupakan salah
satu kebahagian dari iradah. Iradah itu tidak berkaitan kecuali apa yang dapat dijangkau,
sehingga mahabbah tidak mungkin berhubungan dengan Zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
melainkan ketaatan dengan-Nya. Begitu pula pendapat al-Zamakhsyari sebagai salah seorang
tokoh Mu’tazilah bahwa Mahabbah adalah iradah jiwa manusia yang ditentukan dengan
ibadah kepada yang dicintai-Nya bukan kepada selain-Nya. Sedangkan Imam al-Ghazali
mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Namun, tentunya
yang dimaksud adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi Mahabbah yang
sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya,
“Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan
adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Sementara
itu, Al-Harits al Muhasibi berkata, “Cinta itu terjadi Jika kau condong kepada sesuatu,
kemudian kau menyukainya melebihi esukaanmu pada dirimu, jiwamu, dan milikmu sendiri.
Lalu, kau meridhainya lahir dan batin, dan kau mengetahui kekurangan cintamu kepada-Nya.
Al-Junaid pernah ditanya tentang cinta, lalu dijawab, “Cinta adalah masuknya sifat-sifat
kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya.” maksudnya, orang yang mencintai itu selalu
memuji yang dicintainya, Sehingga orang yang mencintai tenggelam dalam ingatan sifat-sifat
yang dicintainya dan melupakan sifat-sifat dirinya sendiri dan perasaaanya pada sifat-sifat
yang dimilikinya. Suhrawardi mengatakan, “sesungguhnya, mahabbah adalah mata Rantai
keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya, ketertarikan kepada kekasih,
yang menarik sang pecinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia
menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zat-Nya dalam genggam
Qudrah
(Allah).”
adapun pengertian mahabbah menurut Harun Nasution antara lain adalah yang berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap
Melawan pada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Yang dimaksud dengan yang dikasihi di sini ialah Tuhan. Pengertian tersebut diatas, sesuai
dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak
semuanya mampu menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam mahabbah-Nya
termasuk pada pengertian pertama. Sejalan dengan itu, menurut Abu Nashr as-Sarraj: orang-
orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah Ini dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a. Cinta orang awam, dimana mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang
Allah Swt. Kepada mereka. Kondisi spiritual ini memerlukan syarat yakni senantiasa
mengingat Tuhan dengan Zikir, suka menyebut Nama-nama Allah dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senatiasa memuji Tuhan.
b. Cinta orang yang siddiq, cinta yang muncul karena hati orang yang selalu melihat
keagungan dan kebesaran Allah, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain.
Cinta yang dapat menghancurkan tutup penghalang dan menyingkap rahasia-rahasia
yang ada pada Tuhan. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c. Cinta orang yang arif, di mana rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan
mengetahui keqadiman Cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Maka
demikian pula mereka harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Berdasarkan
uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa
yang mencintai Allah dan tak ada sesuatu di hati kecuali Allah, sehingga sifat-sifat
yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Serta untuk mencapainya harus
dilakukan dengan sebuah perjuangan dan pengorbanan.
A. . Pandangan al-Qur’an tentang Mahabbah
Ketahuilah umat itu sependapat jika cinta kepada Allah Swt. itu wajib yang ditetapkan
dengan dalil qath’i (pasti). Dan, bagaimana diwajibkan apa yang tidak ada wujud baginya.
Juga bagaimana kecintaan itu ditafsirkan dengan taat, dan taat itu mengikuti kecintaan serta
buahnya. Maka tidak boleh tidak mendahulukan kecintaan. Kemudian, sesudah yang
demikian orang akan menaati orang yang dicintai. Dan, yang menunjukkan atas ketetapan
kecintaan kepada Allah Swt.

“Hai orang-orang yang beriman, Barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-
Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”

“Katakanlah, jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintai kalian.”

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,
mereka mencintai-Nya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allahsemuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal.”
Pada surah al-Maidah/5: 54, Allah menyebutkan cinta-Nya kepada para hamba sebelum cinta
mereka kepada-Nya. Sedangkan pada surah Ali Imran/ :31, Allah menyebutkan cinta mereka
kepada-Nya kemudian disusul cinta-Nya kepada para hamba.
Dan pada surah al-Baqarah/2: 165, Allah menyebutkan cinta mereka kepada-Nya
sebagaimana cinta-Nya kepada mereka. Menurut Imam al-Qusyairi, cinta adalah suatu hal
yang mulia. Allah Yang Maha Suci menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun
memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa Dia mencintainya.
Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah Yang Maha Suci.
Dalam Surah al-Baqarah/2: 165, Said Hawa menjelaskan, “Orang beriman sangat cinta
kepada Allah, hal itu merupakan bagian dari tuntutan iman yang nyata dan besar tentang
mahabbah terhadap Allah, mahabbah kepada Allah menjadi berpengaruh dalam merasakan
nikmat-nikmat yang dianugerahkannya.”
Dalam surah al-Maidah/5: 54, Said Hawa menafsirkan ayat ini terkait makna mahabbah, “Di
dalam maksud ayat tersebut, Allah meridai amal mereka yang menyanjung-Nya. Mereka taat
kepada-Nya dan mengutamakan sikap rida terhadap ketetapan Allah, di samping itu mereka
berprilaku pada jalan yang meningkatkan mahabbah terhadap Allah dan menghindari jalan
yang tidak disukainya.”
B. Mahabbah (Cinta) Menurut Rabiah al-Adawiyah
Sufi yang termasyhur dalam mahabbah ialah Rabiah al-Adawiyah. Ia dipandang sebagai
pelopor tasawuf mahabbah dan dikenang sebagai “Ibu Para sufi Besar (The Mother of The
grand Master). Bukan hanya itu, karena prestasi sufistiknya itu, Rabiah al-Adawiyah juga
disebut-sebut sebagai “Ratunya Perempuan Sufi” (The Queen of Saintly Women). Gelar itu
disematkan kepadanya karena kezuhudannya. Hingga saat ini, perempuan hebat ini menjadi
simbol cinta spiritual dan sufistk, yang pemikiran dan sejarah hidupnya senantiasa terus
menginspirasi bagi para pencari Tuhan. Bahkan tokoh sufi perempuan hanya Rabiah al-
Adawiyah yang paling banyak ditulis dan dikaji oleh orang, baik dari kalangan sesama sufi
maupun para penyair. Seperti, Abu Amr al-Jahizh (Bayan wa al-Tibyan), Abu Thalib al-
Makki (Qut al-Qulub), Imam al-Qusyairi (al-Risalah), Abdurrahman al-Sulami (Dzikr al-
Niswah al-Mut’abbidat al-Shufiyyat), Ibn al-Jauzi, Farid al-Din al-Atthar (Tadzkirah al-
Awliya) dan yang lainnya. Rabiah al-Adawiyah di dalam hidupnya senantiasa melakukan
ibadah, bertobat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak
segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud
dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan. Pada akhirnya Tuhan baginya merupakan zat yang
dicintai dan meluaplah dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Ajaran
mahabbah yang dikembangkan Rabiah al-Adawiyah merupakan kelanjutan konsep zuhud
yang diajarkan Hasan al-Basri, yang berawal dari ajaran khauf (takut) dan raja’ (berharap),
Lalu dikembangkan oleh Rabiah al- Adawiyah ketingkat Mahabbah. Cinta suci yang murni
itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan. Rabiah al-Adawiyah mengatakan:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin
masuk surga tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.”
Pada suatu hari Rabiah al-Adawiyah terlihat membawa obor disebelah tangannya dan air
ditangannya yang sebelah lagi sambil berlari dengan cepat. Orang-orang bertanya kepadanya
ihwal arti dari perbuatannya itu dan kemana ia akan pergi. Ia menjawab, “Aku akan
membakar surga dan menyiramkan air ke dalam neraka, agar kedua hijab (yang menjadi
penghalang untuk melihat Allah secara benar) sama sekali akan hilang bagi mereka yang
beribadah, dan tujuan mereka menjadi pasti, serta hamba-hamba Allah akan bisa melihat-Nya
tanpa disertai perasaan khauf dan raja”.” Aku beribadah kepada Allah bukan karena takut
neraka dan bukan karena ingin surga. Aku beribadah kepada Allah semata-mata karena cinta
kepada-Nya dan bukan menginginkan sesuatu dari-Nya. Kalaupun tidak ada surga dan
neraka, bukankah beribadah kepada Allah adalah tugas kita. Dia layak disembah tanpa motif
apapun. Rabiah al-Adawiyah mengatakan:
“Tuhanku, jika kupuja Engkau Karena takut kepada neraka, bakarlah aku didalamnya, dan
jika kupuja Engkau Karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku darinya, tetapi jika Engkau
kupuja semat mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal
itu dariku.” Ja’far bin Sulaiman berkata: aku mendengar Rabiah al-Adawiyah mengatakan
bahwa Sufyan ats-Tsawri bertanya kepadanya, “Apakah cara yang paling baik bagi seorang
hamba untuk mendekati Allah? Rabiah al-Adawiyah menangis dan menjawab: “Bagaimana
bisa orang seperti aku ditanya hal eperti itu? Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk
mmendekati adalah bahwa dia harus tau bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia ini
atau diakhirat nanti selain Dia.” Adapun ungkapan Rabiah al-Adawiyah tatkala ada seseorang
bertanya kepadanya, “Apakah engkau benci kepada setan?”. Ia menjawab, “Tidak, cintaku
kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada
setan.” Ia pun pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw. Rabiah al-
Adawiyah menjawab, “Saya cinta kepada Nabi, Tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan
diriku dari cinta kepada makhluk.” Dengan demikian, masih ada persoalan lagi dalam
konteks cintanya Rabi’ah al-Adawiyah ini, mana yang lebih dipentingkan dan diutamakan
olehnya: Allah atau cinta? Jawabnya tentu saja Allah. Kenapa? Karena bagi Rabi’ah al-
Adawiyah cinta bukanlah sebuah tujuan (ghayah), Melainkan sebatas jalan (wasilah). Satu-
satunya tujuan bagi Rabi’ah adalah Allah itu sendiri. Itulah sebagian ungkapan Rabiah al-
Adawiyah yang menggambarkan kecintaannya kepada Allah Swt. Seorang hamba yang
benar-benar mencintai-Nya dan tak ada lagi ruang dihatinya untuk mencintai selain Allah.
Cinta suci murni kepada Tuhan tanpa dibarengi dengan pengharapan apapun adalah Puncak
dari tasawuf Rabiah al-Adawiyah.

C. CARA MERAIH MAHABBAH (CINTA) KEPADA ALLAH MENURUT

a. Mahabbah (Cinta) Menurut Syekh Zulfiqar Ahmad


Dalam buku “Cinta Abadi Para Kekasih Allah”, Syekh Zulfiqar Ahmad mendefinisikan cinta
(mahabbah) adalah kondisi hati di mana pecinta rindu ingin bertemu Kekasih.1 Sebagian para
ulama sufi juga mengatakan bahwa cinta adalah kecenderungan yang abadi dalam hati yang
dimabuk rindu. Seorang pecinta yang sedang dimabuk rindu, tiada yang dia harapkan kecuali
bertemu dengan Kekasih. Ia melewati seluruh hidupnya untuk mempersiapkan pertemuan ini.
Sasaran satu-satunya yang memenuhi hatinya, ia menolak untuk tertarik kepada sesuatu yang
lain. Cintanya kepada Allah telah menutup hatinya untuk mencintai selain Allah.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Zulfiqar Ahmad:
Engkau kekasihku, motivasiku, kebahagianku, Hatiku menolak mencintai yang lain selain
Engkau wahai kekasihku, motivasiku, harapanku, Lama aku merindu,kapan akhirnya aku
bertemu denganmu? Aku tidak mencari kesenangan surga, Hasratku hanya bertemu dengan-
Mu.
Rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa
motivasi lain hanya Allah. Allah telah menjadi satu-satunya motivasi dalam hidupnya dan
sekaligus merupakan tujuan dalam pengabdianya kepada Allah. Dari ungkapan di atas juga
menunjukkan bahwa pengabdian kepada Allah bukan bertujuan untuk mengharapkan
kesenangan surga atau menghindari neraka, melainkan semata-mata cintanya kepada Allah. ia
tidak peduli dengan surga dan neraka, pengabdian dan ibadahnya murni cinta kepada Allah.
karena perjumpaan dirinya dengan Tuhan lebih membuat dirinya senang, dibandingkan
kesenangan surga dan lainnya. Maka tidak ada tujuan yang paling hakiki yang membuat diri
pecinta bahagia, kecuali berjumpa kepada Tuhan. Syekh Zulfiqar Ahmad mengungkapkan:
“Engkau adalah hasrat hatiku yang benar-benar sangat dalam,Mencintaimu adalah pemikiran
terdalam yang ada dalam hatiku. Kemanapun aku sekejap memandang dunia sekitarku, hari
ini aku tidak melihat apa-apa selain diri-Mu, dan besok tidak menyimpan apa-apa selain diri-
Mu.” Cintanya kepada Kekasih telah menjadi hasrat yang terdalam didalam hatinya. Segala
sesuatu tertuju kepada-Nya pandangan, pikiran dan hatinya sudah dipenuhi oleh Allah dan
tidak ada selain-Nya, tak ada yang dapat mengisi dan tersimpan dihati pecinta kecuali
kekasih-Nya. Seseorang yang jiwanya telah dipenuhi oleh cinta ilahiyah, maka tidak ada yang
lain di dalam hatinya hanya Allah yang ada. Syekh Zulfiqar Ahmad mengatakan, Cinta
kepada Allah Swt. adalah menghapus segala sesuatu kecuali Allah Swt. dari hati pecinta yang
tulus. Hatinya tidak memiliki ruang bagi yang lain selain Allah Swt. terkait dengan hal itu, ia
mengutip perkataan Hadrat Syibli rah. “Cinta (mahabbah) disebut cinta karena ia menghapus
segala sesuatu dari hati kecuali kekasih.” Hati seorang pecinta yang benar-benar mencintai
Kekasih, ia harus menghilangkan segala sesuatu yang bukan Allah didalam hatinya, karena
hanya Allah yang boleh mengisi ruang hatinya. Syekh Zulfiqar Ahmad mengungkapkan:
Kekasihku adalah Dia yang tidak ada yang tercinta disisi-Nya, Juga tidak ada tempat dihatiku
untuk yang lain, Kekasihku bisa jadi tersembunyi dari pandangan, Tetapi Dia tidak pernah
absen dari hatiku. Syekh Zulfiqar Ahmad juga mengutip perkataan Abul Qasim Qusyairi.
“Cinta adalah terhapusnya sifat-sifat pecinta, menetapkan wujud ssensial (dzat) Kekasih.”6
Bila dipahami yang dimaksud yakni menghapus sifat kemanusiaan (nasut) yang ada pada diri
seorang pecinta, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia materi dan menggantikan
dengan sifat ketuhanan (lahut) sehingga terjadilah kesesuaian dan dapat bertemu. Syekh
Zulfiqar Ahmad mengungkapkan:
Aku boleh lupa segalanya demi mengingat-Mu, Dan aku boleh tidak ingat yang lain. Aku
boleh meninggalkan semua yang ada dihatiku demi Engkau, Dan hatiku boleh diisi oleh-Mu.
Aku boleh membakar kesenangan dan kebahagiaanku, Dan hatiku boleh rindu kepadamu
semata. Aku boleh buta terhadap semua yang kuketahui,Dan aku boleh berpaling hanya
kepada-Mu, bukan ke yang lain.
Cintanya kepada Allah telah menenggelamkan dirinya sehingga dirinya mampu melupakan
segalanya kecuali Allah. Ia menyerahkan seluruh hidup dan jiwa raganya hanya untuk Allah,
bahkan dia rela untuk mengorbankan kesenangan dan kebahagiannya demi cintanya kepada
Allah. Segalanya hanya Allah, selain Allah salah dan palsu. Apapun kenikmatan dunia ini
tiada artinya jika dibandingkan dengan Allah. Syekh Zulfiqar Ahmad Mengatakan:
Segala sesuatu yang kamu tinggalkan, ada gantinya, Tetapi jika kamu berpisah dari Allah,
tidak ada ganti baginya. Syekh Zulfiqar Ahmad juga mengutip perkataan Abul Hasan
Samnun Bin Hamzah al-Khawas berkata, “Orang-orang yang mencintai Allah telah Pergi
dengan kemuliaan dunia dan akhirat. Hal itu dikarenakan Nabi Muhammad Saw bersabda di
dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim

Anda mungkin juga menyukai