MAHABBAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu : Moh. Munawar Said, M.Pd.I.
Disusun oleh:
M. Habibullah A (23060210067)
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, taufik, serta
hidayah-Nya sehingga makalah kelompok ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktumya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita menuju zaman kemenangan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman materi tentang
tasawuf yang sangat diperlukan dalam suatu harapan agar mahasiswa khususnya
kelompok kami, dapat memahami dan mengamalkan apa yang dinamakan mahabbah,
dikarenakan mahabbah ini sangat penting dan erat kaitannya dengan kondisi rohaniah
kita.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini mempunyai banyak kekurangan.
Maka dari itu, kami mengharapkan Kritik dan Saran dari semua pihak untuk
memperbaiki penelitian ini, guna kesempurnaan penyusun diwaktu yang akan datang.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
PENUTUP................................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 10
B. Saran ............................................................................................................................. 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Cinta memiliki eksistensi yang tak diragukan lagi, dikarenakan demi cinta seseorang
dapat melupakan waktu, masalah dan hakikat hidup di dunia ini, seakan-akan tanpa ada
penawarnya cinta telah membuat semua orang buta karenanya.
Cinta dalam perspektif Islam memiliki makna yang dalam dan luas. Dalam Islam,
mahabbah atau cinta merujuk pada hubungan yang tulus dan mendalam antara individu
dengan Allah SWT serta sesama manusia. Cinta dalam Islam tidak terbatas pada perasaan
semata, tetapi juga melibatkan sikap dan tindakan nyata yang mencerminkan kasih sayang,
pengertian, dan kemurahan hati. Dalam pandangan Islam, cinta kepada Allah SWT menjadi
dasar utama dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Cinta kepada sesama
manusia juga merupakan bagian penting dalam agama Islam, yang mengajarkan
pentingnya persaudaraan, tolong-menolong, dan saling menghormati.
Suatu cinta bukan hanya dimiliki oleh orang Kristen saja, tetapi agama Islam juga
memiliki cinta yang dicontohkan oleh nabi Muhammad saw. Dalam penyebarannya beliau
membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil „alamin). Lebih jauh
lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan
betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi.
Mahabbah adalah suatu kecintaan sepenuh hati yang mendalam terhadap Tuhan,
tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan
spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh
seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho) hub (cinta) dan
kerinduan (syauq).
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham
atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan kepada
Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga
yang cocok dengan arti mahabbah yang di kehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang
artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
“al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT., oleh hamba, selainjutnya yang dicintai
itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seseorang hamba
mencintai Allah SWT”.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang dicintai-Nya itu selanjutnya dapat
mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam
bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena
mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat
duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan
ingin mendapatkan sesuatu walaupun harus mengorbankan segalanya.[2]
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang
dimaksud cinta ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
2
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj, sebagai
dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang
shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang yang biasa mengambil bentuk
selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh
kesenangandalam berdialog dengan Tuhan, senantiasa memuji Tuhan.
Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian
dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan
dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya
sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif
adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan, Cinta serupa ini timbul karena telah tahu
betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Dari uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah
sesuatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang
dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh
kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan
oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah
merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebagainya. Hal pertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha
manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanan
mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan al-mahabbah Adalah satu istilah
yang hampir selalu berdampingan dengan ma‟rifah, baik dalam kedudukannya maupun
dalam pengertiannya. kalau ma‟rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan
melalui mata hati (al-qolb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah SWT.
rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sagat jelas
dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu maninfestasi dari ma‟rifah kepada
Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan
mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma‟rifah oleh al-
Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagai dikemukakan
al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga.
Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma‟rifah.
3
B. Alat untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi untuk mencapai mahabbah, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun
Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistis dalam islam mengatakan, bahwa alat untuk
memperoleh ma‟rifah oleh sufi disebut sir ( ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi,
Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qolb ( )بلقلhati sanubari,
sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( ) sebagai alat untuk
mencintai Tuhan. Ketiga, sir ( ), yaitu alat untuk mencintai Tuhan. Sir lebih halus dari
roh. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan roh lebih halus dari
qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci
sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah
roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari
kecintaan kepada segala sesuatu, melaikan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada
manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan
demikian, alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu
sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
) ٨٥)
dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(QS Al-Isra‟
[17]: 85).
) ٢٩)
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud[796]. (QS Al-Hijr
[15]: 29).
Selanjutnya di dalam Hadits pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh
Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadits
tersebut selanjutnya berbunyi:
Dua ayat dan satu Hadits tersebut di atas selain menginformasikan bahwa
4
manusia dianugerahkan roh oleh tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya
memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah
yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.
C. Macam-macam Muhabbah
2. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap
berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih
memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang
penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat
memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
3. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga
menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan.
4. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan
memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa
seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al
Qur‟an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha,
istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5. Mahabbah ra‟fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma
kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya
untuk salat, membelanya meskipun salah.
6. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang
tanpa sanggup mengelak.
7. Mahabbah syauq (rindu). Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al
Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada
sang kekasih, dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta.
8. Mahabbah kulfah yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-
hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu,
membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur‟an
ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. (QS. Al Baqarah [2] : 286)
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan
wanita pula. Rabi‟ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan
syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan
syauq yang mewarnai kehidupannya adalah :
Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula
tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencuri
imbalan yang berakhlaq buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta
dan rindu kepada-Nya.
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari
ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku, bila aku
menyembahmu lantaran aku takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan
bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga;
Namun jika aku menyembah-Mu demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan
6
abadi-Mu.
Kecintaan Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi‟ah terhadap
Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:
Aku cinta Kau dengan dengan dua model cinta, Cinta rindu dan cinta karena Kau layak
dicinta. Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu bukan selainMu. Adapun
cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku.
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu. Tapi sekalian puji, hanya bagiMu selalu.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan
gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbui
dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa
yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang
bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, penyusun berharap agar para pembaca dapat memahami
materi mengenai Mahabbah. Serta tidak lupa, penyusun mengharapkankritik dan saran, agar
kami dapat memperbaiki kesalahan yang mungkin tidak kami sadari dalam penyusunan
makalah ini, agar dapat melakukan perbaikan pada penyusunan makalah selanjutnya.
8
DAFTAR PUSTAKA