Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Akhlak Kepada Allah dan Mahabbah

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Akhlak dan Tasawuf


Dosen Pengampu : Dr. Gina Giftia Azmiana Delilah

Oleh Kelompok 1:

1. Abdul Aziz Nurhidayat MF (1217030001)


2. Agus Saefuloh (1217030003)
3. Andri Mulyawan (1217030005)
4. Epin Nurmalasari (1217030011)
5. Regina Florensia Hidayat (1217030032)
6. Reval Faozy Supriadi (1217030033)
7. Sari Ilhami Nahriyati (1217030036)
8. Thaariq Akmal Fadhillah (1217030038)

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Karya
ilmiah ini berjudul “Akhlak Kepada Allah SWT, dan Mahabbah”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi segala usaha kita. Aamiin.

Bandung, 10 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. Akhlak Kepada Allah ............................................................................................... 2
B. Mahabbah ................................................................................................................. 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 8
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai
individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung
kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir batinnya,
apabila rusak, maka rusaklah lahir batinnya.

Kewajiban seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membuat
orang menjadi aman, tenang, dan tidak adanya perbuatan yang tercela. Seseorang yang
berakhlak mulia selalu melaksanakan kewajiban- kewajibannya. Dia melakukan kewajiban
terhadap dirinya sendiri yang menjadi hak dirinya, terhadap Tuhan yang menjadi hak
Tuhannya, terhadap makhluk lain, dan terhadap sesama manusia.
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –
yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih
sayang bagi alam semesta (rahmah lil 'alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu
bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan ajaran cinta (mahabbah) posisi yang
tinggi.Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali,
menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkat puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi'ah al-
Adawiyah hingga zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik
dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang
ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut
terjadi di antaranya karena kemajuan materi ternyata banyak mengorbankan pengorbanan
spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern
membuat banyak orang menjadi ruang bagi rohani dalam dirinya.
Mahabbahadalah cinta, atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang dan tanpa syarat,tahapan
menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi
diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang
menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).

1.2 Rumusan Masalah


2. Apa pengertian Akhlak kepada Allah?
3. Mengapa seorang muslim harus berakhlak kepada Allah?
4. Bagaimana seharusnya Akhlak seorang muslim kepada Allah?
5. Apakah Pengertian Mahabbah?
6. Apakah tujuan dan kedudukan Mahabbah menurut paham tokoh sufi?
7. Apa saja macam-macam Mahabbah?
8. Apa dasar-dasar ajaran mahabbah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Kepada Allah


1. Pengertian Akhlak Kepada Allah
Akhlak menurut bahasa yaitu berasal dari bahasa arab (‫ )اخالق‬jamak dari kata ‫ خلق‬yang
berarti tingkah laku, perangai atau tabiat.
Sedangkan menurut istilah akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong
perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Dengan demikian
akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada diri mausia, sehingga manusia
dapat melakuakannnya tanpa berfikir (spontan).
Di samping itu akhlak juga dikenal dengan istilah moral dan etika. Moral berasal dari
bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik
buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi
standar dalam menentukan baik dan buruknya.
Menurut Kahar Masyhur akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan
sebagai khalik. Sehingga akhlak kepada Allah dapat diartikan Segala sikap atau perbuatan
manusia yang dilakukan tanpa dengan berfikir lagi (spontan) yang memang seharusnya
ada pada diri manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT. (sebagai Kholiq).

2. Alasan Mengapa Seorang Muslim Harus Berakhlak Kepada Allah


Seorang muslim yang baik itu memang diharuskan berakhlak yang baik kepada Allah
SWT. Karena kita sebagai manusia itu diciptakan atas kehendak-Nya, sehingga alangkah
baiknya kita bersikap santun (berakhlak) kepada sang Kholliq sebagai rasa syukrur kita.
Menurut Kahar Mashyur , Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu
beakhlak kepada Allah. Yaitu:
• Pertama, karena Allah-lah yang mencipatakan manusia. Beliau yang menciptakan
manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan tulang rusuk, hal
ini sebagai mana di firmankan oleh Allah dalam surat at-Thariq ayat 5-7, yang artinya
: (5)"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, (6). Dia
tercipta dari air yang terpancar, (7). yang terpancar dari tulang sulbi dan tulang dada.”
(at-Tariq:5-7)
• Kedua, karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan
yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
• Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya.
• Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan, daratan dan lautan.
3. Akhlak Seorang Muslim Kepada Allah
Kita sebagai umat islam memang selayaknya harus berakhlak baik kepada Allah karena
Allah lah yang telah menyempurnakan kita sebagai manusia yang sempurna. Untuk itu
akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik jangan akhlak yang buruk. Seperti kalau kita
sedang diberi nikmat, kita harus bersyukur kepada Allah.
Berkenaan dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan cara memuji-Nya, yakni
menjadikan Tuhan sebagai satu- satunya yang menguasai dirinya. Oleh sebab itu, manusia
sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri. Caranya
adalah sebagai berikut :
1. Mentauhidkan Allah
Yaitu dengan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu apapun. Seperti yang
digambarkan dalam Qur’an Surat Al-Ikhlas : 1-4.
2. Bertaqwa kepada Allah
Maksudya adalah berusaha dengan semaksimal mungkin untuk dapat
melaksanakan apa-apa yang telah Allah perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang
dilarang-Nya.
3. Beribadah kepada Allah
Allah berfirman dalam Surah Al- An’am : 162 yang artinya :”Sesungguhnya
sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
]4. Taubat
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai
dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itu, ketika
kita sedang terjerumus dalam kelupaan sehingga berbuat kemaksiatan, hendaklah
segera bertaubat kepada-Nya. Hal ini dijelaskan dalam Surah Ali-Imron : 135.
5. Membaca Al-Qur’an
Seseorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering
menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin yang mencintai Allah, tentulah ia akan
selalu menyebut asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berkata yang artinya : “Bacalah Al-Qur’an,
karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat dihari kiamat kepada
para pembacanya”.
6. Ikhlas
Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata
mengharapkan ridha Allah SWT. Dalam bahasa populernya ikhlas adalah berbuat tanpa
pamrih, hanya semata-mata karena Allah SWT.
7. Khauf dan Raja’
Khauf dan Raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus
dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf
dari bab takhalliyyah (mengosongkan hati dari segala sifat jelek), sedangkan raja’ dari
bab tahalliyah (menghias hati dengan sifat-sifat yang baik). Takhalliyyah menuntut
tarku al-mukhalafah (meninggalkan segala pelanggaran), dan tahalliyyah mendorong
seseorang untuk beramal.4

8. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan diri dari segala kebergantungan kepada selain Allah
dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepadanya. Allah berfirman dalam
surah Hud: 123, yang arinya :”Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan
di bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan urusan- urusan semuanya, maka
sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali- kali Tuhanmu tidah lalai
dari apa yang kamu kerjakan.”
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal ( ikhtiar ). Tidaklah
dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa- apa.

B. Mahabbah
1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan
mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat
pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta
kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi
sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang
dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba
mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan ma’rifah ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
tujuan untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata,
tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih,
perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat
sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah
swt menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya
mahabbah menggambarkan hubungan dengan bentuk cinta, sedangkan ma’rifah
menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.

2. Tujuan dan Kedudukan Mahabbah

Al-mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya.Mahabbah pada tingkat
selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
tertinggi yang tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran
dalam tasawuf.Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan.Jadi, Mahabbah artinya
cinta yang mendalam dalam ruhiah pada Tuhan.
Keutamaan mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya: “Diriwayatkan dari Anas bin
Malik ra: Seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah saw:
Kapankah berlakunya Kiamat? Rasulullah saw bersabda: Apakah persediaan kamu untuk
menghadapinya? Saya menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw
bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai ”. Selain itu Mahabbah dapat
mengantarkan yang memiliki kecintaan tersebut di antara penghuni langit.Sebab para
malaikat akan selalu mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah atas kedekatannya
dengan-Nya, juga mereka selalu mematuhi perintah Allah”.

3. Paham Mahabbah Menurut Tokoh Sufi


Paham mahabbah (al hubb) pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah Al Adawiyah ,
Paham Mahabbah danmenurut Tokoh Sufi adalah :
• Menurut Abu Yazid al Bustami, "Cinta adalah perihal hal-hal yang datang dari diri, dan
memandang besar hal-hal sekecil apapun dari kekasihnya".
• Menurut al-Sarraj, mahabbah memiliki tiga tingkat :
-Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, kesenangan dalam berdialog
dengan Tuhan serta memuji Tuhan.
-Cinta orang yang siddiq ( ‫)الصديق‬, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, kebesaran-
Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain yang mana hati penuh dengan perasaan
cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya .
-Cinta orang yang ' arif ( ‫)العارف‬, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat
dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai.

4. Macam-Macam Mahabah
Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1. Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”.
Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selaluberdua, enggan berpisah dan
selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak
bisa berfikir lain.
2. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap
berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih
memperhatikan orang yang dicintainya dibandingterhadap diri sendiri. Baginya yang
penting adalah kebahagiaan sangkekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat
memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya.
Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni
orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba
kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi
oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.Selanjutnya
diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber
silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang
diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.
3. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga
menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis
mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh
cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang
lama.
4. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan
memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa
seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al
Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha,
istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5. Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkannorma-norma
kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk
salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan
agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam
hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilakupenyimpang
tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketikamengkisahkan bagaimana
Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon
dimasukkan penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam
perbuatanbodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min aljahilin
(Q/12:33)
7. Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang
menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu
berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan
dalam doa ma’tsurdari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila
wajhikawa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn
al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq
(rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan
kobaran cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab
naruha fi qalb al muhibbi.
8. Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-
hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu,
membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika
menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).

5. Dasar-Dasar Ajaran Mahabbah


1) Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah
Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan
tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan
asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a. Dalil-Dalil dalam Al-Qur’an, Seperti Berikut :
• QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta
mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim
itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
• QS. Al-Maidah ayat 54
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya),
lagi Maha Mengetahui.
• QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:


‫ودفِيالْ ُك ْف ِرَك َمايَكَْرُهأَنْيُ ْق َذفَ ِفيالنَّا ِْر‬ ِ ‫ثَََلمٌثَنْ ُكن َِّفي ِهوج َدح ََلوةَاْ ِإلميَ ِاِنَنْي ُكو ََنللهورسو ُُلأَحبَِّإلَي ِه ِم َّم‬
َْ ُ‫اس َو ُاُهَ َاوأَنْيُ ِحبَّالْ َم ْرءَالَ ُُِيبُّ ُهِإالَّ ِِلل ِه َوأَنْيَكَْرَهأَنْيَ ع‬ ْ َ ُ ُ ََ ُ َ َ َ ََ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada
selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena
Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan
ke neraka.

ِ ‫ُحبَّه َفِإ َذاأَحب ب تُه ُكْن تُسمعهالَّ ِذييسمعبِ ِهوبصْرهالَّ ِذيي ب‬


…‫صُرِِبَِويَ َد ُهالَّتِييَ ْب ِط ُشبِ َه َاوِر ْجلَ ُهالَّتِييَ ْم ِشيبِ َها‬ ِ ِِ ِ
ْ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ ‫… َوَمايََزالَُعْبدييَ تَ َقَّر ُُبِلَيَّبِالن ََّوافل َحتَّىأ‬..
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah
sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia
gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.

ْ ِ‫َْجَع‬ ِ ‫وِنَحبَِّإلَي ِه ِمْن ولَ ِد ِهووالِ ِد ِهوالن‬ ِ


‫ي‬ ْ ‫َّاسأ‬ َ َ َ َ ْ َ َ ‫َح ُد ُك ْم َحتَّىأَ ُك‬ َ ‫الَيُ ْؤمنُأ‬
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.

2) Dasar Filosofi
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini,
al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup
bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana
kualitasnya, yaitu sebagai berikut:

a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan
(idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.

b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan


Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang
terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.

c. Manusia tentu mencintai dirinya


Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang


menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a) Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup


Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri
dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai
pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang
Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia
mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.

b) Cinta kepada orang yang berbuat baik


Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain.
Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan
membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap
kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan
motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada
hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu
juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta
kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada
makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena
itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

c) Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang
mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai
orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya
langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya,
meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang
penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci
oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi
sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.

d) Cinta kepada setiap keindahan


Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata.
Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang
Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu
apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak.
Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan
yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat
lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan
batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari
betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e) Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan
sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama
dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling
mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya.
Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta.
Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat
lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal
tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang
menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian
lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu,
kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu
menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-
orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut
adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang muslim itu harus berahlak baik kepada Allah SWT. Karena kita sebagai manusia
yang di ciptakan oleh Allah dan untuk menyembah kepada Allah, sesuai dengan firman Allah
SWT yang artinya dan tidaklah Kami (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.
Dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, terutama melaksanakan
ibadah-ibadah pokok, seperti shalat, zakat, puasa, haji, haruslah menjaga kebersihan badan dan
pakaian, lahir dan batin dengan penuh keikhlasan. Tentu yang tersebut bersumber kepada al-
Qur'an yang harus dipelajari dan dipelihara kemurnianya dan pelestarianya oleh umat Islam

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-
sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuan Mahabbah adalah untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang
yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang mengisyaratkan ke
pengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego, dan
menggantinya dengan cinta.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://hisbulah.blogspot.com/2011/03/akhlak-seorang-muslim-kepada-allah-swt.html
2. Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.:
Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
3. Mustofa, Drs”akhlak tasawuf” 1997; pustaka setia . bandung
4. http://faridbloger.blogspot.com/2014/05/makalah-akhlaq-terhadap-allah-swt.html

Anda mungkin juga menyukai