2021/2022
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ......................................... 4
2.2 Sejarah Berdirinya NU.............................................................. 6
2.3 Perbedaan Antara NU dan Muhammadiyah ........................... 10
2.4 Titik Temu Antara NU dan Muhammadiyah ......................... 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................ 17
3.2 Saran ...................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20
BAB 1
PENDAHULUAN
1. bagaimanakah urgensi literasi media diera disrupsi digital dan post truth
2.apa ancaman terhadap moderasi beragama diera disrupsi digital dan post truth
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui urgensi literasi media diera disrupsi digital dan post truth.
2. Untuk mengetahui ancaman terhadap moderasi beragama diera disrupsi digital dan post
truth.
PEMBAHASAN
2.1 Urgensi literasi media di era dirupsi digital dan post truth.
Post truth sebagai suatu era pasca-kebenaran ketika fakta atau realitas objektif sudah
tidak lagi dominan dalam mempegaruhi opini publik dan justru opini publik hari ini lebih
mudah digiring atas dasar kepercaayaan dan ketertarikan emosial yang mendapat dukungan
terbanyak dari masyarakat. Karena itu, realitas sesungguhnya ditinggalkan dan diganti oleh
kepercayaan atau narasi yang tidak harus benar hanya dengan memerlukan persetujuan dan
dukungan dari kelompok yang lebih besar.
Meningkatkan budaya literasi sebagai salah satu upaya untuk mencegah dari ancaman
di balik era pos truh menjadi salah satu senjata utama, khususnya dalam bidang literasi
digital. Dengan cara mengerti dan memahami informasi yang didapat mulai dari sumber, isi,
penanggung jawab dan mengetahui secara tepat hal-hal yang dilarang dalam dunia
kepenulisan kita bisa lebih memilih dan memilah informasi yang salah dan benar, serta belum
terbukti kebenaranya.
Hal ini sangat bermanfaat mengingat saat ini begitu derasnya arus informasi yang
beredar. Ketidaktepatan dalam menerima dan mengolah informasi akan berdampak buruk
pada iklim sosial masyarakatnya. Di dalam peningkatan literasi keagamaan, para pemuda
memiliki peran yang signifikan untuk menyuarakan moderasi beragama di kanal-kanal
digital. Di zaman yang serba pragmatis dan instan ini, pemahaman kegamaan masyarakat
cenderung kontraproduktif dan bias. Banyak yang mengkaji ayat terlalu tekstual dan
berlebihannya sikap fanatisme yang justru mengarah kepada eksklusivisme, ekstrimisme,
sampai dengan terorisme.
Di lain sisi, ada yang menafsirkan ajaran kitab suci hingga kebablasan dalam
memaknainya. Sisi lainnya terdapat pihak yang mempermainkan pesan Tuhan menjadi pesan
pribadi untuk memuluskan kepentingannya. Konsekuensi logis dari fenomena tersebut adalah
potensi konflik yang semakin tinggi. Berbagai kepentingan-kepentingan tersebut berbenturan
dan dapat mengoyak tali harmoni kehidupan beragama dan bernegara. Pada konteks ini, maka
moderasi beragama menjadi suatu kewajiban untuk disebarluaskan, diviralka,
disosialisasikan, atau bahkan dilafalkan di dalam ruang digital untuk dapat
diimplementasikan pada tataran praktis realitas kehidupan.
2.1 ancaman terhadap moderasi beragama di era disrupsi digital dan post truth
Dunia digital saat ini telah memproduksi ide dan gagasan sehingga membentuk
sebuah pemikiran yang tertanam dalam pemahaman masyarakat. Pengalaman keagamaan
yang bersifat personal, fatwa-fatwa yang tak berdasar, serta pengetahuan yang tidak jelas
sanadnya, terus diciptakan sedemikian rupa untuk menggiring masyarakat. Otoritas
keagamaan mengalami pergeseran berkat kolonialisasi informasi dan pelipatan kesadaran.
Sebelumnya, otoritas keagamaan hanya dimiliki oleh para Ulama, ustadz, mursyid, guru
agama, dan pemerintah melalui Kementerian Agama.
Namun, saat ini otoritas keagamaan direngkuh oleh media baru yang tampak
impersonal dan berbasis pada jejaring informasi. Setiap orang dengan mudah mengakses
pengetahuan menurut selera dan kebutuhan masing-masing.18 Narasi keagamaan disediakan
seperti menu prasmanan yang bebas diambil dalam format yang tersedia. Kondisi masyarakat
kita saat ini yang tengah tenggelam dalam ekstasi komunikasi virtual dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu untuk menawarkan ide, pendapat, fatwa kepada orang lain tanpa batas.
Kondisi ini telah menggeser pemahamaman moderat dalam Islam keaarah non-
mainstream yang cenderung ekslusif, keras, rigid, dan bahkan memonopoli kebenaran. Narasi
keagamaan yang diciptakan telah menggeser otoritas Ulama sebagai rujukan dalam
memahami teks uci yang kemudian melahirkan fabrikasi dan distorsi pemahaman.19 Dunia
digital kemudian memiliki dampak negatif dalam struktur dan narasi keagamaan.
Teknologi informasi memiliki peran yang sangat vital dalam mempercepat pelipatan
ruang dan waktu. Maraknya dunia virtual yang mudah diakses telah mengantarkan
masyarakat pada problem paradoksial. Satu sisi, masyarakat sedang dalam semangat tinggi
untuk memperbaharui dan mengekpresikan identitas keislaman, namun disatu sisi, pelbagai
ruang digital diwarnai oleh narasi keagamaan yang tidak objektif, bahkan cenderung
mengandung nilai-nilai fanatisme yang membenci terhadap kelompok lain. Hal inilah yang
dikategorikan sebagai siklus Islamisasi yang didorong oleh kebutuhan akan informasi
pengetahuan agama. Semakin religius seseorang, maka tentu akan lebih memilih untuk
membaca teks-teks keagamaan yang cenderung Islamis, praktis, dan pragmatis.
2.3 Literasi media diera disrupsi digital dan post truth : strategi moderasi beragama
dikalangan generasi millennial.
Dalam konteks inilah penguatan moderasi beragama bagi kaum muda, diperlukan
untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang hormat terhadap paham yang tidak sama,
menebarkan kedamaian dan kasih sayang, serta enjauhkan sikap keberagamaan dari paham
anarkis dan merasa paling benar sendiri, di tengah gencarnya perkembangan media bagi
kalangan millenial, generasi muda harus selektif dan mampu memilah informasi dan sumber
bacaan. Menah berharap kaum muda terus mengedepankan pemahaman ajaran agama yang
membawa damai, bukan kebencian apalagi mengobarkan perang terhadap moderasi
beragama.
Beberapa tahun belakangan ini, kaum milenial menjadi satu kelompok yang paling
menjadi sorotan publik. Begitu dekatnya generasi milenial dengan teknologi informasi,
kehidupan sehari-hari generasi pengguna Smartphone dan media sosial ini selalu bergelimang
informasi, salah satunya adalah informasi atau konten keagamaan sehingga mereka memiliki
jaringan yang sangat luas dan lebih sering berhubungan dengan berbagai kultur, gaya berfikir,
bahkan beraneka ragam keyakinan. Tak heran jika banyak dari generasi milenial ini
(termasuk muslim) banyak yang terpengaruh oleh ajaran keagamaan yang tersebar di internet.
a. Dapat memanfaatkan media sosial dengan baik dalam penyebaran nilai-nilai moderasi
beragama.
c. Dapat memaksimalkan fungsi keluarga sebagai kunci pembaharuan karakter yang positif.
d. Melakukan dialog bersama generasi milenial, baik dilingkungan rumah, sekolah, atau
masyarakat sekalipun.
e. Dapat memilih dan memilah berita yang datang dari media sosial atau dunia nyata, dan
mengkaji kebenarannya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Post truth sebagai suatu era pasca-kebenaran ketika fakta atau realitas objektif sudah tidak
lagi dominan dalam mempegaruhi opini publik dan justru opini publik hari ini lebih mudah
digiring atas dasar kepercaayaan dan ketertarikan emosial yang mendapat dukungan
terbanyak dari masyarakat. Karena itu, realitas sesungguhnya ditinggalkan dan diganti oleh
kepercayaan atau narasi yang tidak harus benar hanya dengan memerlukan persetujuan dan
dukungan dari kelompok yang lebih besar.
Dalam konteks inilah penguatan moderasi beragama bagi kaum muda, diperlukan untuk
menumbuhkan sikap keberagamaan yang hormat terhadap paham yang tidak sama,
menebarkan kedamaian dan kasih sayang, serta enjauhkan sikap keberagamaan dari paham
anarkis dan merasa paling benar sendiri, di tengah gencarnya perkembangan media bagi
kalangan millenial, generasi muda harus selektif dan mampu memilah informasi dan sumber
bacaan. Menah berharap kaum muda terus mengedepankan pemahaman ajaran agama yang
membawa damai, bukan kebencian apalagi mengobarkan perang terhadap moderasi
beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019.
Kodir, Koko Abdul. Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2014. Kosasih,
Engkos. “Literasi Media Sosial Dalam Pemasyarakatan Sikap Moderasi Beragama.”