Anda di halaman 1dari 15

AL-MAHABBAH

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Geneologi Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana
IAI As’adiyah Sengkang
OLEH :
BASRI
NIM: 09221301309
Dosen Pemandu : Gurutta Dr. H. Muh. Harta, M.Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS’ADIYAH SENGKANG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“BERBASIS TEKNOLOGI DAKWAH”
TAHUN AKADEMIK 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah menganugerahkan kepada kita semua

kecerdasan, sehingga kita sebagai khalifah di muka bumi ini, merupakan makhluk

paling mulia derajatnya dari sebaik-baik kejadian dari semua makhluk yang

diciptakan Allah Swt. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad Saw. Nabi yang telah membawa kita dari lembah kegelapan menuju

ke alam yang terang benderang seperti sekarang ini yang telah jauh dari zaman

kebodohan.

Dalam kesempatan kali ini kami sebagai penulis telah menyelesaikan sebuah

makalah yang membahas tentang “Al-Mahabbah”. Makalah ini dibuat untuk

menyelesaikan tugas mata kuliah Geneologi Pemikiran Islam yang dalam hal ini

sekaligus bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca agar mudah

dipahami.

Tidak banyak kata yang bisa diutarakan oleh penulis mengingat manusia

adalah tempatnya salah, oleh karena itu kami sadar bahwa dalam pembuatan

makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kritik dan saran dari

pembaca sangat diharapkan.

Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Doping, 01 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................i

Daftar Isi....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................2

C. Tujuan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahabbah ....................................................................3

B. Sejarah Pendiri Al-Mahabbah........................................................6

C. Kedudukan Al-Mahabbah............................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................13

B. Saran.............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan

Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf,

agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi

buatan manusia. Bahkan para ulama telah memberikan putusan hukum wajib

‘ain bagi setiap muslim. Seperti dalam perkataan Ali Abi Hasan Asy Syadzili

yakni: “Barangsiapa yang tidak menyelami ilmu tasawuf maka tatkala dia

meninggal akan membawa dosa yang besar tetapi dia tidak mengetahuinya”.

Demikian karena dengan tasawuf adalah seorang muslim akan mengetahui

kondisi nafsunya dan sifat-sifatnya yang tercela serta mengetahui cara

beradab dengan Allah Swt. disetiap waktu, tempat dan dalam kondisi apapun.

Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada

Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan.

Komunikasi yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan

apapun. Sehingga pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh

untuknya. Tetapi pada perkembangannya, sebagian mutashowifin

memberikan istilah yang berbeda-beda dalam menanamkan puncak maqamat.

Seperti Robi’ah al Adawiyyah dengan teorinya “al Mahabbah”. Yang

berpandangan bahwa beribadah hanyalah murni karena cinta kepada sang

Kholiq, bukan karena takut akan siksaan neraka dan bukan karena meraih

janji kenikmatan surga.

Di sisi lain, Hujjah al Islam al Imam al Ghazali memberikan istilah al

Ma’rifat bagi salikin yang sudah berada pada maqam tertinggi. Beliau

1
2

berpendapat bahwa tidaklah cukup seorang mengenal Allah dengan akal saja,

tetapi harus dengan perantara intuitif.

“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang

suci dan tanpa syarat, tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu:

keihklasan,perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian,

sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang

menyelaminya. Di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan

keintiman (uns).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Mahabbah ?

2. Bagaimana sejarah pendiri Al-Mahabbah ?

3. Bagaimana kedudukan Al-Mahabbah menurut paham tokoh sufi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Mahabbah

2. Untuk mengetahui sejarah pendiri Al-Mahabbah

3. Untuk mengetahui kedudukan Al-Mahabbah menurut paham tokoh sufi


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
1. Secara Etimologi
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta
yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falasafi, Jamil Shaliha mengatakan
mahabbah adalah lawan dari al-Baghd, yakni cinta lawan dari benci.
Mahabbah dapat pula berarti al-Wadud, yang berarti sangat kasih atau
penyayang.1
Dalam bahasa Indonesia kata cinta yang berarti; a) suka sekali, sayang
sekali, b) kasih sekali, c)ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas
makin terasa rindunya, dan d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.
Sementara dalam bahasa Inggris dikatakan Love, artinya; a) cinta, asmara,
asmara pada pandangan pertama, ia jatuh cinta, b) kecintaan, c) kasih, d)
kasih sayang.2
Jadi dapat diartikan bahwa mahabbah adalah kecintaan kepada sesuatu
yang sangat mendalam, hatinya diliputi dengan kecintaan, dan tak ada yang
dapat mengisi hatinya kecuali yang dicinta. Dirinya ingin menyatu dengan
yang dicinta sekalipun dengan pengorbanan.
2. Secara Terminologi
Dalam perspektif mayoritas kaum sufi, hakikat cinta tidak akan pernah
dapat didefinisikan. Imam al-Qusyairi mengatakan, cinta tidak dapat
dilukiskan dengan gambaran dan tidak dapat dibatasi dengan suatu penjelasan
melainkan dengan kehadiran cinta itu sendiri.3
Secara istilah mahabbah terdapat perbedaan menurut kalangan ulama
ataupun sufi, karena persepsi yang mereka ungkapkan berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman mereka.

1
Badrudin, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Serang: A-Empat, 2015), h. 71.
2
M. Echols John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia, 1993), h. 366.
3
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016), h. 55.

3
4

Menurut Imam al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah adalah


kecenderungan hati kepada sesuatu. Namun, tentunya yang dimaksud adalah
kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang
sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dari
ucapannya, “Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya
dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan
karena hanya Allah yang berhak dicintai.”4
Adapun pengertian mahabbah menurut Harun Nasution antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-
Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Yang dimaksud dengan yang dikasihi di sini ialah Tuhan.5
Pengertian tersebut diatas, sesuai dengan tingkatan kaum muslimin
dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu
menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam mahabbahnya
termasuk pada pengertian pertama. Sejalan dengan itu, menurut Abu Nashr
as-Sarraj: orang-orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah ini
dibedakan menjadi 3 tingkatan:
a. Cinta orang awam, dimana mahabbah ini lahir karena kebaikan dan
kasih sayang Allah Swt kepada mereka. Kondisi spiritual ini
memerlukan syarat yakni senantiasa mengingat Tuhan dengan zikir,
suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan Tuhan, senantiasa memuji Tuhan.
b. Cinta orang yang siddiq, cinta yang muncul karena hati orang yang
selalu melihat keagungan dan kebesaran Allah, pada kekuasaan-Nya,
pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghancurkan tutup
penghalang dan menyingkap rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
4
Badrudin, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 64.
5
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
2010), h.55.
5

Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan


kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c. Cinta orang yang arif, di mana rasa cintanya muncul karena mereka
melihat dan mengetahui keqadiman Cinta Allah yang tanpa sebab dan
alasan apapun. Maka demikian pula mereka harus mencintai Allah
tanpa sebab dan alasan apapun. Maka demikian pula mereka harus
mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun. Akhirnya sifat-sifat
yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.6
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah
adalah suatu kejadian jiwa yang mencintai Allah dan tak ada sesuatu di hati
kecuali Allah, sehingga sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang
mencintai. Serta untuk mencapainya harus dilakukan dengan sebuah
perjuangan dan pengorbanan.
B. Sejarah Pendiri Al-Mahabbah
a. Mahabbah (Cinta) Menurut Rabiah al-Adawiyah
Sufi yang termahsyur dalam mahabbah ialah Rabiah al-Adawiyah. Ia
dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah dan dikenang sebagai “Ibu
Para Sufi Besar (The Mother of The Grand Master). Bukan hanya itu, karena
prestasi sufistiknya itu, Rabiah al-Adawiyah juga disebut-sebut sebagai
“Ratunya Perempuan Sufi” (The Queen of Saintly Women). Gelar itu
disematkan kepadanya karena kezuhudannya. Hingga saat ini, perempuan
hebat ini menjadi simbol cinta spiritual dan sufistik, yang pemikiran dan
sejarah hidupnya senantiasa terus menginspirasi bagi para pencari Tuhan.
Bahkan tokoh sufi perempuan hanya Rabiah al-Adawiyah yang paling
banyak ditulis dan dikaji oleh banyak orang, bak dari kalangan sesama sufi
maupun para penyair. Seperti, Abu Amr al-Jahizh (Bayan wa al-Tibyan), Abu
Thalib al-Makki (Qut al-Qulub), Imam al-Qusyairi (al-Risalah),

6
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’ rujukan lengkap ilmu tasawuf, Penerjemah
Wasmukan dan Samson Rahman, (Surabaya: Risalah Gusti, 2014), h. 121.
6

Abdurrahman al-Sulami (Dzikr al-Niswah al-Mut’abbidat al-Shufiyyat), Ibn


al-Jauzi, Farid al-Din al Atthar (Tadzkirah al-Awliya) dan yang lainnya.7
Rabiah al-Adawiyah di dalam hidupnya senantiasa melakukan ibadah,
bertobat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan
menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan
dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Ia betul-betul hidup dalam zuhud dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan.
Pada akhirnya Tuhan baginya merupakan zat yang dicintai dan meluaplah
dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan.8
Ajaran mahabbah yang dikembangkan Rabiah al-Adawiyah merupakan
kelanjutan konsep zuhud yang diajarkan Hasan al-Basri, yang berawal dari
ajaran khauf (takut) dan raja’ (berharap), lalu dikembangkan oleh Rabiah al-
Adawiyah ketingkat Mahabbah. Cinta suci yang murni itu lebih tinggi dari
pada takut dan pengharapan. Rabiah al-Adawiyah mengatakan:

“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka,


Bukan pula karena ingin masuk surga
Tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.”9

Pada suatu hari Rabiah al-Adawiyah terlihat membawa obor di sebelah


tangannya dan air ditangannya yang sebelah lagi sambil berlari dengan cepat.
Orang-orang bertanya kepadanya ihwal arti dari perbuatannya itu dan kemana
ia akan pergi. Ia menjawab, “Aku akan membakar surga dan menyiramkan
air ke dalam neraka, agar kedua hijab (yang menjadi penghalang untuk
melihat Allah secara benar) sama sekali akan hilang bagi mereka yang
beribadah, dan tujuan mereka menjadi pasti, serta hamba-hamba Allah akan
bias melihat-Nya tanpa disertai perasaan khauf dan raja’.” Aku beribadah
kepada Allah bukan karena takut neraka dan bukan karena ingin surga. Aku
beribadah kepada Allah semata-mata karena cinta kepada-Nya dan bukan

7
Muhammad Muhibbuddin, Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia, (Yogyakarta:
Araska, 2018), h. 20.
8
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 55.
9
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 56.
7

menginginkan sesuatu dari-Nya. Kalaupun tidak ada surga dan neraka,


bukankah beribadah kepada Allah adalah tugas kita. Dia layak disembah
tanpa motif apapun.10 Rabiah al-Adawiyah mengatakan:

“Tuhanku, jika kupuja Engkau Karena takut kepada neraka, bakarlah


aku didalamnya, dan jika kupuja Engkau Karena mengharapkan surga,
jauhkanlah aku darinya, tetapi jika Engkau kupuja semata mata karena
Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu
dariku.”11

Ja’far bin Sulaiman berkata: aku mendengar Rabiah al-Adawiyah


mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsawri bertanya kepadanya, “Apakah cara
yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah? Rabiah al-
Adawiyah menangis dan menjawab: “Bagaimana bisa orang seperti aku
ditanya hal seperti itu? Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk
mendekati Allah adalah bahwa dia harus tau bahwa dia tidak boleh mencintai
apapun di dunia ini atau diakhirat nanti selain Dia.”12
Adapun ungkapan Rabiah al-Adawiyah tatkala ada seorang bertanya
kepadanya, “Apakah engkau benci kepada setan?” ia menjawab, “Tidak,
cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk
rasa benci kepada setan.” Ia pun pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi
Muhammad Saw. Rabiah al-Adawiyah menjawab, “Saya cinta kepada Nabi,
tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada
makhluk.”13 Dengan demikian, masih ada persoalan lagi dalam konteks
cintanya Rabiah al-Adawiyah ini, mana yang lebih dipentingkan dan
diutamakan olehnya: Allah atau cinta? Jawabnya tentu saja Allah. Kenapa?
Karena bagi Rabiah al-Adawiyah cinta bukanlah sebuah tujuan (ghayah),

10
Margaret Smith, kala Tuhan “Jatuh Cinta”: Biografi Ringkas dan Ajaran-
ajaran Para Kekasih Allah, Penerjemah Nuruddin Hidayat, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2007), h. 24.
11
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 56.
12
Abdurrahman as-Sulami, Sufi-sufi Wanita: Tradisi yang Tercadari,
Penerjemah Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), h. 90.
13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 58.
8

melainkan sebatas jalan (wasilah). Satu-satunya tujuan bagi Rabiah adalah


Allah itu sendiri.14
Itulah sebagan ungkapan Rabiah al-Adawiyah yang menggambarkan
kecintaannya kepada Allah Swt. seorang hamba yang benar-benar mencintai-
Nya dan tak ada lagi ruang dihatinya untuk mencintai selain Allah. Cinta suci
murni kepada Tuhan tanpa dibarengi dengan pengharapan apapun aalah
puncak dari tasawuf Rabiah al-Adawiyah.
C. Kedudukan Al-Mahabba Menurut Paham Tokoh Sufi
1. Kedudukan Al-Mahabbah Menurut Paham Tokoh Sufi
- Menurut Abu Yazid al Bustami, “Cinta adalah mengabaikan hal-
hal yang datang dari diri, dan memandang besar hal-hal sekecil apapun
dari kekasihnya”.15
- Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
a. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir,
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan serta
senantiasa memuji Tuhan.
b. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan,
kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain yang
mana hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu
rindu pada-Nya.
c. Cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan.
Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai.
- Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang
yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, bahkan
ia melupakan dirinya sendiri.
- Cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
a. Cinta Ilahiyah: cinta khaliq kepada makhluk yang diciptakan, dan
cinta makhluk kepada khaliqnya.

14
Muhammad Muhibuddin, Kitab Cinta Ulama Klasik, h. 15.
15
Abu Qasim Abdul Karim hamazin Al-Qusyairi an Naisaburi, Risalah
Qusyairiyah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 67.
9

b. Cinta spiritual: cinta makhluk yang senantiasa mencari wujud


Penciptanya, tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki
apapun selain sang kekasih.
c. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan
hasratnya sendiri tanpa mempedulikan kepuasan kekasih.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Kesimpulan pada pembahasan makalah sebagai berikut :

1. Secara etimologi, kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,


mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam,
atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Sedangkan menurut
terminologi mahabbah adalah suatu kejadian jiwa yang mencintai Allah
dan tak ada sesuatu di hati kecuali Allah, sehingga sifat-sifat yang
dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Serta untuk mencapainya
harus dilakukan dengan sebuah perjuangan dan pengorbanan.
2. Sufi yang termahsyur dalam mahabbah ialah Rabiah al-Adawiyah. Ia
dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah dan dikenang sebagai
“Ibu Para Sufi Besar (The Mother of The Grand Master). Bukan hanya
itu, karena prestasi sufistiknya itu, Rabiah al-Adawiyah juga disebut-
sebut sebagai “Ratunya Perempuan Sufi” (The Queen of Saintly
Women). Gelar itu disematkan kepadanya karena kezuhudannya.
Hingga saat ini, perempuan hebat ini menjadi simbol cinta spiritual dan
sufistik, yang pemikiran dan sejarah hidupnya senantiasa terus
menginspirasi bagi para pencari Tuhan. Sedangkan Ma’rifat adalah satu
ajaran dalam tasawuf yang untuk pertama kalinya dibangun oleh
Dzunnun al-Mishri. Menurutnya, makrifat adalah cahaya yang
dilontarkan Tuhan kedalam hati Sufi. Jadi orang yang tahu (‘Arif) tidak
memiliki wujud tersendiri tetapi berwujud melalui Wujud Tuhan.

3. Kedudukan al-mahabbah menurut paham para sufi yaitu Menurut Abu

Yazid al Bustami, “Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang datang dari

diri, dan memandang besar hal-hal sekecil apapun dari kekasihnya.”

10
11

Sedangkan menurut Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu

pendapat ulama Tasawuf.

B. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini, kami berharap agar para pembaca

umumnya dan kami sebagai penulis khususnya dapat dijadikan acuan sebagai

bahan pembelajaran, oleh karenanya kami juga berharap kepada semua pihak

yang membaca makalah ini dapat memahami tentang “Al-Mahabbah wa Al-

Ma’rifat”. Dalam penulisan makalah ini, kami sebagai manusia menyadari masih

banyak kesalahan dan kekurangan baik dari segi penulisan maupun tata bahasa.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

A, Faqihuddin. Dzun Nun al-Mishri: al-Ma’rifah, Ar-Risalah. 2015.

an Naisaburi, Abu Qasim Abdul Karim hamazin Al-Qusyairi Risalah

Qusyairiyah. Jakarta: Pustaka Amani. 1998.

As-Sarraj, Abu Nashr. Al-Luma’ rujukan lengkap ilmu tasawuf. Penerjemah

Wasmukan dan Samson Rahman. Surabaya: Risalah Gusti. 2014.

As-Sulami, Abdurrahman. Sufi-sufi Wanita: Tradisi yang Tercadari. Penerjemah

Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka Hidayah. 2004.

Badrudin. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat. 2015.

John, M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia. 1993.

Muhibbuddin, Muhammad. Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia. Yogyakarta:

Araska. 2018.

Mustofa, Drs. H. A. Akhlak Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia. 2008.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

2010.

Smith, Margaret. kala Tuhan “Jatuh Cinta”: Biografi Ringkas dan Ajaran-ajaran

Para Kekasih Allah. Penerjemah Nuruddin Hidayat. Bandung: Pustaka

Hidayah. 2007.

Solihin, M. Penyucian Jiwa dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali. Bandung: CV

Pustaka Setia. 2000.

Zaprulkhan. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada. 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai