Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TAUHID DAN AKHLAK TASAWUF

MAHABBAH DAN MA’RIFAT DALAM TASAWUF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid dan Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. H. Darmu’in M. Ag.

Disusun Oleh :
Dian Rachmawati : 2107026080
Imelda Puspita Sari : 2107026081

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala


taufik, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Mahabbah dan Ma’rifat Dalam Tasawuf dengan baik dan lancar tanpa suatu halangan
yang berarti.
Makalah Mahabbah dan Ma’rifat Dalam Tasawuf dapat tersusun dengan baik
berkat bantuan, bimbingan, masukan dan motivasi dari banyak pihak. Maka dari itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus terhadap semua pihak yang terlibat.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Dr. H. Darmu’in M. Ag. pada mata kuliah Tauhid dan Akhlak Tasawuf. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Mahabbah dan Ma’rifat
Dalam Tasawuf bagi para pembacanya dan juga bagi penulis.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah Mahabbah dan Ma’rifat
Dalam Tasawuf masih banyak kekurangan, namun kami berharap dengan pembuatan
makalah ini akan meningkatkan pengetahuan kami. Kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan, guna memperbaiki makalah ini di kemudian hari.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 4
Latar Belakang ................................................................................. 4
Rumusan Masalah ............................................................................ 5
Tujuan .............................................................................................. 6
Manfaat Kepenulisan ....................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 7


Definisi Mahbbah............................................................................. 7
Pandangan Al-Qur’an Tentang Mahbbah ........................................ 8
Konsep Mahabbah Menurut Rabiah Al Adawiyah ........................ 10
Prinsip-Prinsip Meraih Mahabbah Kepada Allah .......................... 11
Cara Untuk Mencapai Mahbbah .................................................... 13
Definisi Ma’rifat ............................................................................ 14
Ciri-Ciri Orang Ma’rifat ................................................................ 15
Cara Mencapai Ma’rifat ................................................................. 15
Jenjang-Jenjang Ma’rifat ............................................................... 16

BAB III PENUTUPAN ................................................................................ 18


Kesimpulan .................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan aspek
spiritual dan kerohanian. Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati. Banyak
sekali paham yang merupakan cabang dari ilmu tasawuf yang dijalankan dan
dikemukakan oleh kaum sufi, dan diantaranya adalah mahabbah dan ma’rifat.
Mahabbah adalah cinta atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa
syarat yang merupakan luapan rasa cinta yang mendalam dari makhluk kepada
Sang Kholiq. Sedangkan ma’rifat ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh
melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf, ma’rifat adalah pengetahuan tentang
Tuhan dalam sanubari, yang keduanya merupakan upaya mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata hati.
Istilah mahabbah selalu berdampingan dengan istilah ma'rifah. Mahabbah
sebagai rasa cinta kepada Allah. Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,
mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam (Yunus, 1990).
Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari
al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud
yakni yang sangat kasih atau penyayang (Shaliba, 1973). Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,
yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf yang artinya kecintaan
yang mendalam secara ruhaniah pada Tuhan. Ma’rifah adalah tingkatan untuk
mengenal Allah, mengenal Allah bukanlah mengandai-andaikan dengan
penglihatan mata, tetapi mengenal Allah dengan hati sanubari. Istilah Ma’rifah
berasal dari kata Al-Ma’arif, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu.
Apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah Ma’arif di sini
berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf
(Mustafa, 2010). Ma’rifah berasal dari kata ‘Arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang

4
artinya pengetahuan atau pengalaman (Yusuf, 1990). Dapat pula berarti
pengetahuan tentang rahasia hakekat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada
ilmu biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya (Shaliba , 1979). Ma’rifah
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini di
dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakekat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Mahabbah dan ma`rifah, keduanya merupakan langkah dan wujud kedekatan
kepada Allah SWT.
Dengan melihat sangat pentingnya kedua paham ini berkaitan dengan
kehidupan tasawuf maka sekiranya sangat menarik untuk dijadikan sebagai
pembahasan dalam makalah yang berkaitan dengan masalah ini yang berjudul
“MAHABBAH DAN MA’RIFAT”. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, tujuan, kedudukan, paham dan pandangan menurut Al-Quran dan al-
hadists. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah Mahabbah dan Ma’rifat Dalam Tasawuf
antara lain :
1. Apa definisi Mahbbah?
2. Bagaimana pandangan al-qur’an tentang Mahbbah?
3. Bagaimana konsep Mahabbah menurut Rabiah Al Adawiyah?
4. Apa prinsip prinsip meraih Mahabbah kepada Allah?
5. Bagaimana cara untuk mencapai Mahbbah?
6. Apa definisi Ma’rifat?
7. Apa ciri-ciri orang Ma’rifat?
8. Bagaimana cara mencapai Ma’rifat?
9. Apa jenjang-jenjang Ma’rifat?

5
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah Mahabbah dan Ma’rifat Dalam Tasawuf
antara lain :
1. Mengetahui definisi Mahbbah?
2. Mengetahui pandangan al-qur’an tentang Mahbbah?
3. Mengetahui konsep Mahabbah menurut Rabiah Al Adawiyah?
4. Mengetahui prinsip prinsip meraih Mahabbah kepada Allah?
5. Mengetahui cara untuk mencapai Mahbbah?
6. Mengetahui definisi Ma’rifat?
7. Mengetahui ciri-ciri orang Ma’rifat?
8. mengetahui cara mencapai Ma’rifat?
9. Mengetahui jenjang-jenjang Ma’rifat?

D. Manfaat Kepenulisan
Membantu mahasiswa dalam memahami dan mendalami pokok bahasan,
khususnya tentang Mahabbah dan Ma’rifat Dalam Tasawuf, serta memberikan
informasi kepada mahasiswa mengenai definisi mahabbah, pandangan al-quran
tentang mahabbah, konsep mahabbah menurut rabiah al-adawiyah, prinsip-prinsip
meraih mahabbah kepada Allah, cara untuk mencapai mahabbah, definisi ma’rifat,
ciri-ciri orang ma’rifat, cara mencapai ma’rifat, dan jenjang-jenjang ma’rifat.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Mahabbah
Kata Mahabbah berasal dari kata Arab Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan,
beberapa maknanya adalah mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang
mendalam. Jamil Shaliba dalam dalam kitab al-Mu’jamal-Falsafi menjelaskan
bahwa Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci). Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-Wadud, yakni yang sangat penyayang lagi pengasih.
Al-Muhasibi mendefinisikan mahabbah sebagai “kecenderungan hati secara
total pada sesuatu, hingga perhatian terhadapnya melebihi perhatian pada diri
sendiri, jiwa dan harta, sikap diri dalam menerima baik secara lahiriah maupun
batiniah, perintah dan larangannya; dan perasaan diri akan kurangnya cinta yang
diberikan padanya.
Imam al-Gazali sebagai seorang sufi mengatakan bahwa al-mahabbah adalah
kecenderungan hati kepada sesuatu. Jika dipahami pernyataan tersebut, maka
almahabbah manusia ada beberapa macam karena kecenderungan hati di antara
setiap orang berbeda-beda. Ada yang cenderung kepada harta, ada kepada
sesamanya dan ada pula kepada Tuhan. Kecenderngan mereka tidak terlepas dari
pemahaman dan penghayatan serta pengalamannya terhadap ajaran agama.
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:1) Patuh kepada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.2) Menyerahkan seluruh diri
kepada yang dikasihi.3) Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan.
Pengertian tersebut diatas, sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam
pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup
kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah
kelompok awam yang al-mahabbahnya termasuk pada pengertia yang pertama.
Mengacu dari pandangan Harun Nasution dan mengaitkan dengan berbagai
pandangan ahli Bahasa Arab di atas dapat dirangkum bahwa mahabbah atau cinta
adalah mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya,

7
mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah dengan ketulusan hati di atas kesadaran
bahwa itu adalah wujud kecintaan kepada Allah.
Sejalan dengan hal tersebut, al-Sarraj (337 H.) membagi al-mahabbah kepada
tiga tingkatan, yaitu:
a. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut
namanama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
b. Cinta orang sidiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya,
pada kekuasaan-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang
memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat
rahasia-rahasia pada Tuhan.
c. Cinta orang yang arif, yaitu tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan
lagi cinta, diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam
diri yang mencintai.
Menurut Harun Nasution, mengutip dari al-Sarraj, alat untuk mencapai
mahabbah ada tiga yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan:
1) Al- qalb, yaitu hati sanubari sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan
2) Roh, sebagai alat untuk mencintai Tuhan
3) Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan
Tujuan mahabbah yaitu untuk memperoleh kesenangan bathiniyah yang sulit
dituliskan dengan kata-kata tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Serta mencintai Tuhan
dan berharap dicintai Tuhan.

B. Pandangan Al-Qur’an Tentang Mahabbah


Ketahuilah umat itu sependapat jika cinta kepada Allah Swt. itu wajib yang
ditetapkan dengan dalil qath’i (pasti). Dan, bagaimana diwajibkan apa yang tidak
ada wujud baginya. Juga bagaimana kecintaan itu ditafsirkan dengan taat, dan taat
itu mengikuti kecintaan serta buahnya. Maka tidak boleh tidak mendahulukan
kecintaan. Kemudian, sesudah yang demikian orang akan menaati orang yang
dicintai. dan, yang menunjukkan atas ketetapan kecintaan kepada Allah Swt. Dalam
firmannya Surah al-Maidah/5: 54

8
ٍ‫علَى ْال ُمؤْ مِ نِيْنَ اَع َِّزة‬ ‫ف يَأْتِى ه‬
َ ‫ّٰللاُ بِقَ ْو ٍم يُّحِ بُّ ُه ْم َويُحِ ب ُّْون َٓٗه ۙا َ ِذلَّ ٍة‬ َ ‫س ْو‬ َ ‫ٰيٓٗاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َم ْن ي َّْرتَدَّ مِ ْن ُك ْم‬
َ َ‫ع ْن ِد ْين ِٖه ف‬
‫ع ِل ْي ٌم‬َ ‫ّٰللاُ َوا ِس ٌع‬ ‫ّٰللا يُؤْ تِ ْي ِه َم ْن يَّش َۤا ۗ ُء َو ه‬ ِ ‫ض ُل ه‬ ْ َ‫ّٰللا َو ََل يَخَافُ ْونَ لَ ْو َمةَ َ َۤل ِٕى ٍم ٰۗذلِكَ ف‬ َ ‫علَى ْال ٰكف ِِري َْۖنَ يُ َجا ِهد ُْونَ فِ ْي‬
ِ ‫سبِ ْي ِل ه‬ َ

Yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, Barang siapa diantara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-
Nya dan yang mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”

Adapun firman Allah didalam Surah Ali Imran/: 31 berikut ini :


‫غفُ ْو ٌر َّرحِ ْي ٌم‬ ‫ّٰللاُ َويَ ْغف ِْر لَ ُك ْم ذُنُ ْوبَ ُك ْم ۗ َو ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫قُ ْل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُحِ ب ُّْونَ ه‬
‫ّٰللا فَات َّ ِبعُ ْونِ ْي يُ ْح ِب ْب ُك ُم ه‬
Yang artinya :
“Katakanlah, jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintai kalian.”

juga firmannya Surah al-Baqarah/2: 165 berikut ini:


َ‫لِّل َۙولَ ْو يَ َرى الَّ ِذيْن‬ َ َ ‫ّٰللا ۗ َوالَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓٗوا ا‬
ِ ‫شدُّ ُحبًّا ِ ه‬ ِ‫ب ه‬ ِ ‫اس َم ْن يَّتَّخِ ذُ مِ ْن د ُْو ِن ه‬
ِ ‫ّٰللا ا َ ْندَادًا يُّحِ ب ُّْونَ ُه ْم َك ُح‬ ِ َّ‫َومِ نَ الن‬
ِ ‫ش ِد ْيدُ ْال َعذَا‬
‫ب‬ ِ ‫اب ا َ َّن ْالقُ َّوة َ ِ ه‬
َ ‫لِّل َجمِ ْي ًعا َّۙوا َ َّن ه‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ۙ َ‫ظلَ ُم ْٓٗوا اِذْ َي َر ْونَ ْال َعذ‬
َ
Yang artinya :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah, mereka mencintai-Nya sebagaimana mereka mencintai
Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal.”

Pada surah al-Maidah/5: 54, Allah menyebutkan cinta-Nya kepada para


hamba sebelum cinta mereka kepada-Nya. Sedangkan pada surah Ali Imran/ :31,
Allah menyebutkan cinta mereka kepada-Nya kemudian disusul cinta-Nya kepada

9
para hamba. Dan pada surah al-Baqarah/2: 165, Allah menyebutkan cinta mereka
kepada-Nya sebagaimana cinta-Nya kepada mereka.

C. Konsep Mahabbah Menurut Rabiah Al Adawiyah


Sufi yang termasyhur dalam mahabbah ialah Rabiah al-Adawiyah. Ia
dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah dan dikenang sebagai “Ibu Para Sufi
Besar (The Mother of The Grand Master). Bukan hanya itu, karena prestasi
sufistiknya, Rabiah al-Adawiyah juga disebut-sebut sebagai “Ratunya Perempuan
Sufi” (The Queen of Saintly Women). Gelar itu disematkan kepadanya karena
kezuhudannya. Hingga saat ini, perempuan hebat ini menjadi simbol cinta spiritual
dan sufistk, yang pemikiran dan sejarah hidupnya senantiasa terus menginspirasi
bagi para pencari Tuhan. Bahkan tokoh sufi perempuan hanya Rabiah al-Adawiyah
yang paling banyak ditulis dan dikaji oleh orang, baik dari kalangan sesama sufi
maupun para penyair. Seperti, Abu Amr al-Jahizh (Bayan wa al-Tibyan), Abu
Thalib al-Makki (Qut al-Qulub), Imam al-Qusyairi (al-Risalah), Abdurrahman al-
Sulami (Dzikr al- Niswah al-Mut’abbidat al-Shufiyyat), Ibn al-Jauzi, Farid al-Din
al-Atthar (Tadzkirah al-Awliya) dan yang lainnya.
Rabiah al-Adawiyah di dalam hidupnya senantiasa melakukan ibadah,
bertobat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak
segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia
tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup
dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan. Pada akhirnya
Tuhan baginya merupakan zat yang dicintai dan meluaplah dari hatinya rasa cinta
yang mendalam kepada Tuhan.
Ajaran mahabbah yang dikembangkan Rabiah al-Adawiyah merupakan
kelanjutan konsep zuhud yang diajarkan Hasan al-Basri, yang berawal dari ajaran
khauf (takut) dan raja’ (berharap), Lalu dikembangkan oleh Rabiah al- Adawiyah
ketingkat Mahabbah. Cinta suci yang murni itu lebih tinggi dari pada takut dan
pengharapan.
Adapun ungkapan Rabiah al-Adawiyah tatkala ada seseorang bertanya
kepadanya, “Apakah engkau benci kepada setan?”. ia menjawab, “Tidak, cintaku
kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci

10
kepada setan.” Ia pun pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad
Saw. Rabiah al-Adawiyah menjawab, “Saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku
kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.”29 Dengan
demikian, masih ada persoalan lagi dalam konteks cintanya Rabi’ah al-Adawiyah
ini, mana yang lebih dipentingkan dan diutamakan olehnya: Allah atau cinta?
Jawabnya tentu saja Allah. Kenapa? Karena bagi Rabi’ah al-Adawiyah cinta
bukanlah sebuah tujuan (ghayah), melainkan sebatas jalan (wasilah). Satu-satunya
tujuan bagi Rabi’ah adalah Allah itu sendiri.
Itulah sebagian ungkapan Rabiah al-Adawiyah yang menggambarkan
kecintaannya kepada Allah Swt. seorang hamba yang benar-benar mencintai- Nya
dan tak ada lagi ruang dihatinya untuk mencintai selain Allah. cinta suci murni
kepada Tuhan tanpa dibarengi dengan pengharapan apapun adalah puncak dari
tasawuf Rabiah al-Adawiyah.

D. Prinsip prinsip meraih Mahabbah Kepada Allah


Menurut Syekh Zulfiqar Ahmad dalam bukunya yang berjudul “Cinta Abadi
Para Kekasih Allah”, ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan, agar
dengan itu dia bisa sampai pada derajat seorang hamba yang betul-betul mencintai-
Nya, dan bisa menempuh jalan yang dilalui oleh orang-orang mulia. di antara
prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan agar kita bisa meraih cinta kepada Allah
adalah:
1. Kerinduan yang tulus.
Syarat utama untuk meraih cinta kepada Allah Swt. adalah mengharapkan cinta
semacam itu dengan rasa tulus. Orang mungkin mendapatkan dunia materi
dengan pasif, tetapi cinta sejati adalah khazanah, karena itu tidak dapat diperoleh
jika seseorang tidak aktif mencarinya.
2. Melepaskan kenikmatan- kenikmatan duniawi.
Seorang pecinta tidak boleh ada yang dicinta selain Allah Swt. ia harus
menghilangkan kecintaannya kepada yang lain, sehingga hanya ada Allah yang
ada di dalam hatinya. Syekh Zulfiqar Ahmad mengatakan, seseorang harus
melewati tiga tangga untuk melepaskan segala sesuatu selain Allah Swt.

11
diantaranya: menjauhkan eksistensi dunia dari seseorang, meninggalkan dunia
materi, mengarahkan perhatian pada akhirat.
3. Memperbanyak tahlil.
Seorang pencari (salik) harus membaca tahlil “La ilaha ilallah” secara terus
menerus. Membaca tahlil merupakan senjata ampuh bagi seorang pencari untuk
dapat meraih cinta kepada Allah, ia meniadakan semua tuhan yang salah yang
bisa jadi bersarang dihati seorang pencari. Karena syarat utama bagi orang yang
menempuh jalan Allah Swt. adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari
selain Allah Swt.
4. Merenung (fikr)
Merenung merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencapai cinta kepada
Allah Swt. Menurut metode dzikir ini, pencari merenungkan bahwa limpahan
spiritual (faidh) Allah turun kehatinya.Merenung (fikr)
5. Bersahabat dengan mereka yang benar dalam ucapan dan tindakan (shadiqin).
Jika seorang pecinta tetap bersahabat dengan para pecinta, ia juga akan menjadi
pecinta. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasululah Saw.
Bersabda: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang
penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin
akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi
darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan
kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” Dari
hadis tersebut kita dapat mengambil makna pelajaran, bahwasanya kita itu
tergantung bagaimana sahabat kita. Jika kita bersahabat dengan orang baik kita
akan menjadi baik, atau mendapatkan kebaikan dari teman kita. dan sebaliknya,
jika kita bertemen dengan orang buruk kita akan ikut buruk atau terkena imbas
dari keburukannya.
6. Berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah.
Jika seseorang pencari telah melakukan segala sesuatu menurut kemampuannya,
ia harus memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah Swt. Karena
sesungguhnya dialah yang mengarahkan pencari ketujuannya.

12
E. Cara Untuk Mecapai Mahabbah
Seperti yang telah dijelaskan bahwa al-mahabbah dalam pandangan kaum sufi
adalah anugerah Tuhan kepada hamba-Nya yang suci, sehingga memerlukan latihan
mensucikan diri, menghilangkan sifat nasut yang dimiliki, kemudian mengisinya
dengan sifat lahut. Karena itu, dalam ajaran tasawwuf ada jenjang pensucian diri
yang disebut dengan maqam. Para ahli berbeda dalam menetapkan maqam yang
harus dilalui, seperti Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi membagi maqam kepada tujuh
tingkatan; taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal dan rida. Sementara Abu
Bakar Muhammad al-Kalabazi (w. 995 M.) membagi sepuluh tingkatan; taubat,
zuhud, sabar, faqr, tawaddu, taqwa, tawakkal, rida, al-mahabbah dan ma’rifah.
Begitu pila dengan Abu Hamid al-Gazali menetapkan delapan tingkatan; taubat,
sabar, faqr, zuhud, tawakkal, al-mahabbah, ma’rifah dan rida.
1. Taubat.
Taubat berasal dari kata berarti kembali. Maksudnya kembali kepada kebenaran
setelah melakukan kesalahan atau dosa. Dosa erupakan penghalang untuk berada
sedekat mungkin dengan Tuhan, sehingga perlu membersihkan ddiri. Jalur
pertama yang ditempuh adalah bertaubat. Namun demikian, taubat dalam ajaran
tasawuf bukan hanya karena melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama,
melainkan juga taubat karena lalai mengingat Tuhan. Karena Zu al-Nun al-Misri
membagi taubat kepada dua bahagian; a) taubat orang awam adalah taubat dari
dosa dan b) taubat khawas adalah taubat dari kelalaian mengingat Tuhan
2. Wara
Wara’ berarti menahan dan memegang. Menahan diri agar tidak meakukan
penyimpangan dan tetap memegang teguh ajaran agama, sehingga terpelihara
dari segala macam bentuk dosa.
3. Zuhud
Zuhud dari segi bahasa berarti berpaling dan meninggalkan. Berpaling dan
meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjadi sebab lalai mengingat Tuhan,
terutama yang berhubungn dengan duniawi dan segala kemewahannya.

13
4. Faqir
Faqir bagi kaum sufi adalah tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atu
melebihi kebutuhan primer, tetapi juga bererti tidak memiliki sesuatu dan tidak
dikuasai oleh sesuatu.
5. Sabar
Sabar berartii menahan dan meninggikan sesuatu. Menahan diri dari segala ha
yang tidak sesuai dengan ajaran agama, sehingga pertahanan dan pengendalian
diri semakin tinggi. Karena itu, kesabaran merupakan suatu perjuangan
mempertahahankan diri agar tetap dalam kebenaran.
6. Tawakal
Menurut kaum sufi, dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa tawakkal adalah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, apapun yang terjadi diterima
dengan senang hati, susah atau senang.
7. Rida
Rida menurut Zu al-Nun al-Misri, seperti yang dikutip oleh al-Kalabazi bahwa
rida adalah merasa bahagia dengan segala ketentuan Tuhan sekalipun pahit.
Maksudnya senantiasa dalam keadaan suka dan senang dengan menghilangkan
perasaan benci dalam hati. Segala coban diterima dengan senang hati, sehingga
sama saja mendapat nikmat atau malapetaka.

F. Definisi Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata “arafa, yu’rifu, irfan” Yang memiliki arti
mengetahui, mengenal, atau pengetahuan Illahi. Menurut termiologi, ma’rifat
diartikan sebagai mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara detail atau
terperinci, dapat juga diartikan sebagai pengetahuan atau pengalaman secara
langsung atas Realita Mutlak Tuhan. Ma’rifat umumnya digunakan untuk
menunjukan salah satu maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) di dalam
tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Di dalam tasawuf,
penghayatan ma’rifat kepada Allah atau yang disebut dengan Ma’rifatullah
merupakan tujuan utama dan inti dalam ajaran tasawauf. Orang yang mempunyai
ma’rifat disebut arif.

14
Ma’rifat adalah ilmu pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris (zahiri), melainkan mendalami terhadap penekanan aspek esoteris
(batiniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Oleh karena itu pemahaman ini
berupa penghayatan atau pengalaman kejiawaan, sehingga tidak semua orang tidak
mendapatkanya.
Dari beberapa definisi diatas, dapat di ketahui atau disimpulkan mengenai
definisi ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan
hati sanubari, sehingga memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan
yang seyakin-yakinnya, dari keyakinan tersebut akan muncul ketenangan dan
bertambahnya ketaqwaan kepada Allah SWT.

G. Ciri-Ciri Orang Ma’rifat


Menurut Harun Nasution (1998), ma’rifat diartikan sebagai mengenal tuhan
lebih dekat, sehingga hati sanubari dapat meyakini tuhan, hal-hal tersebut memiliki
ciri sebagai berikut :
a. Orang yang arif akan bangga dalam ketidakberdayaanya, apabila disebut nama
Allah SWT dia akan bangga. Apabila disebut namanya sendiri dia akan merasa
miskin.
b. Jika mata hatinya terbuka, walaupun dalam keadaan mata nya tertutup, yang
dilihatnya hanyalah Allah SWT.
c. Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang
dilihatnya hanyalah Allah SWT.
d. Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah
Allah SWT.
e. Seandainya ma’rifat adalah materi, maka orang tidak akan kuat melihat betapa
luar biasa cantik dan indahnya, serta bersinarnya.

H. Cara Mencapai Ma’rifat


Meneliti dan mengenali diri sendiri adalah kunci utama dari untuk mengenal
Allah SWT. Oleh karena itu, sebelum mencapai ma’rifat hendaknya kita mengenali
diri sendiri terlebih dahulu, yaitu dengan cara menyadari bahwa diri ini tersusun
dari bentuk lahir yang disebut badan dan batin yang disebut qalb (ruh). Hati ini

15
merupakan hal yang penting untuk mendapatkan ma’rifat karena dengan hati kita
dapat memahami, mengetahui, berhubungan, dan berdialog dengan hal-hal yang
ghaib, khususnya dengan Allah SWT. Hati atau qalb yang dapat melakukan ini
adalah hati atau qalb yang benar-benar hidup dan suci dari sifat-sifat tercela, dan
melawan mujahadah.
Maka ma’rifat tidak datang dengan sendirinya, melainkan dengan proses yang
berkepanjangan yaitu dengan proses melatih diri dalam hidup keruhanian (riyadah)
dan memerangi hawa nafsu (mujahadah). Berkaitan dengan ini, sesuai apa yang
diterangkan oleh Imam al-Qusyairi (w. 465 H), yaitu : ”Ma’rifat adalah sifat bagi
orang yang mengenal Allah SWT dengan segala sifat dan nama-Nya. Dan berlaku
tulus kepada Allah SWT dengan perbuatanperbuatannya, yang lalu mensucikan
dirinya dari sifat-sifat rendah serta cacatcacat, yang berdiri lama dipintu, dan
yang senantiasa mengundurkan hatinya (dari hal-hal duniawi). Kemudian dia
menikmati kedekatan dengan Tuhan, yang mengukuhkan ketulusannya dalam
semua keadaannya, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada pikiran apapun
yang akan memancing perhatiannya kepada selain Allah SWT”
Berdasarkan penjelasan dari Imam al-Qusyairi (w. 465 H), dapat disimpulkan
bahwa ma’rifat bisa didapatkan setelah sesorang melakukan penyucian diri dan
riyadah, baik lahir maupun batin. Dan tidak memberikan ruang dalam hatinya
kecuali hanya untuk Allah SWT.
Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak semua orang bisa mendapatkan
ma;rifat karena Karena bakat, minat, dan niat dari masing-masing orang berbeda-
beda. Ada yang butuh waktu singkat dan ada pula yang memakan banyak waktu,
disitulah banyak yang gagal, tidak tahan, dan putus asa.

I. Jenjang-Jenjang Ma’rifat
Ma’rifat merupakan tingkatan puncak dari keseluruhan amalan-amalan yang
telah dijalani salik. Jika orang salik telah mencapai tingkatan ma’rifat maka hatinya
akan terputus dari segala hal karena tertutup oleh keagungan Allah SWT. Saat itu
seorang sufi tidak lagi menginginkan hal apapun termasuk pahala dan surga, namun
semuanya dikembalikan kepada Allah SWT. Segala amal yang dilakukannya
hanyalah untuk Allah SWT, tanpa mengharap apapun termasuk surga dan pahala.

16
Zu al-Nun al-Misri (w. 246 H) membagi pengetahuan tentang Allah SWT
menjadi tiga macam, yaitu :
a. Ma’rifat al-Tauhid (awam), ma’rifat yang dimiliki oleh orang awam yang
diperoleh melalui perantara syahadat tanpa argumentasi. Ma’rifat ini umumnya
dimiliki oleh semua umat muslim. Orang awam umumnya memiliki sifat lekas
percaya dan menurut tanpa difikirkan secara mendalam.
b. Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) merupakan ma’rifatnya mutakalimin
dan filsuf (metode akal budi), ma’rifat tentang Allah SWT melalui pemikiran
dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir
spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf,
sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-orang khas. Golongan ini
memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa
membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya.
c. Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas) merupakan ma’rifat Waliyullah, adalah
ma’rifat kepada Allah melalui sifat dan ke Esaan-Nya yang diperoleh melalui
hati nurani. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena ma’rifat ini
diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan
anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliya’ yang ikhlas
dalam beribadah dan mencintai Allah SWT.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata Mahabbah berasal dari kata Arab Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan,
beberapa maknanya adalah mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang
mendalam. Jamil Shaliba dalam dalam kitab al-Mu’jamal-Falsafi menjelaskan
bahwa Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci). Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-Wadud, yakni yang sangat penyayang lagi pengasih. Tujuan
mahabbah yaitu untuk memperoleh kesenangan bathiniyah yang sulit dituliskan
dengan kata-kata tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Serta mencintai Tuhan dan
berharap dicintai Tuhan.
Pada surah al-Maidah/5: 54, Allah menyebutkan cinta-Nya kepada para
hamba sebelum cinta mereka kepada-Nya. Sedangkan pada surah Ali Imran/ :31,
Allah menyebutkan cinta mereka kepada-Nya kemudian disusul cinta-Nya kepada
para hamba. Dan pada surah al-Baqarah/2: 165, Allah menyebutkan cinta mereka
kepada-Nya sebagaimana cinta-Nya kepada mereka.
Prinsip-prinsip untuk mencapai mahabbah kepada Allah adalah dengan
kerinduan yang tulus, melepaskan kenikmatan duniawi, memperbanyak tahlil,
merenung (fikr), bersahabat dengan mereka yang benar dalam ucapan dan tindakan,
berdo’a dan meminta pertolongan kepada Allah SWT.
Cara untuk mencapai mahabbah adalah dengan taubat, wara, zuhud, faqir,
sabar, tawakal, dan rida.
Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati
sanubari, sehingga memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan yang
seyakin-yakinnya, dari keyakinan tersebut akan muncul ketenangan dan
bertambahnya ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ciri-ciri orang yang ma’rifat adalah orang yang arif akan bangga dalam
ketidakberdayaanya, jika mata hatinya terbuka, walaupun dalam keadaan mata nya
tertutup, yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. Ma’rifat merupakan cermin, jika
seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. Semua
yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT.

18
Seandainya ma’rifat adalah materi, maka orang tidak akan kuat melihat betapa luar
biasa cantik dan indahnya, serta bersinarnya.
Berdasarkan penjelasan dari Imam al-Qusyairi (w. 465 H), dapat disimpulkan
bahwa ma’rifat bisa didapatkan setelah sesorang melakukan penyucian diri dan
riyadah, baik lahir maupun batin. Dan tidak memberikan ruang dalam hatinya
kecuali hanya untuk Allah SWT.
Jenjang-jenjang ma’rifat adalah ma’rifat al-tauhid, ma’rifat al- burhan wa al-
istidlal (khas), dan ma’rifat hakiki (khawas al-khawas).

19
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Mubasyirrah Muhammad. 2018. Maqamat, Ahwal Dan Konsep Mahabbah


Ilahiyah Rabi‘Ah Al-‘Adawiyah (Suatu Kajian Tasawuf). Jurnal al-Asas, Vol. I,
No. 2. Sulawesi Selatan.
Damis, R.(1). Al-Mahabbah Dalam Pandangan Sufi. Sulesana: Jurnal Wawasan
Keislaman, 6(1). Makassar.
Gofur, Abdul. 2014. Skripsi : Konsep Ma’rifat Menurut Imam Al-Ghazali dan Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilani (Studi Komperatif). Semarang. Fakultas Ushuluddin.
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
Hasnawati. 2015. Faham Mahabbah Dan Ma’rifat Dalam Tasawuf Islam. Jurnal
Psikologi Islam: Al-Qalb. Padang.
Saputra, Ali. 2019. Konsep Mahabbah (Cinta) Dalam Pemikiran Syekh Zulfiqar Ahmad.
Yogyakarta.
Wati, Mina. 2018. Konsep Mahabbah Dan Ma’rifat Dalam Tasawuf Dzunnun Al-Misri.
Yogyakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai