Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MA’RIFAT ILAHIYAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Akhlak Tasawuf”
Dosen Pembimbing : Bapak Drs. H. Taufikurrahman, M.MP.d

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8

MUHAMMAD MUZAKI : 2204117335


NURIL AMRI : 2204117346
HUJJATUL BALIGHAH : 2204117377
MAULA MUSLIMAH : 2204117391

STAI RASYIDIAH KHALIDIYAH


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya yang berjudul : “MA’RIFAT ILAHIYAH”.

Sholawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
Saw beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Dan kami juga
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntutan Allah Swt.
Adapun maksud penyusunan makalah yang berjudul “Ma’rifat Ilahiyah” ini adalah untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Akhlak Tasawuf. Dan tidak lepas daripada
bantuan atau bimbingan serta arahan dari dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Akhlak Tasawuf Islam yaitu Bapak Drs. H. Taufikurrahman, M.M.Pd.
Kami juga meyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang miliki sehingga dapat selesai dengan baik,
Oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,
saran, dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
Yarabbal Alamin

Sabtu,8 Juli 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI……………................................................................................................... ii

BAB I …………………………......................................................................................... 1

PENDAHULUAN……………… ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang….. .................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
C. Tujuan ………… .................................................................................................... 1

BAB II……………………………………......................................................................... 2

PEMBAHASAN………… ................................................................................................. 2

A. Pengertian Ma’rifat ................................................................................................. 2


B. Alat Untuk Mencapai Ma’rifat................................................................................ 4
C. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifat ................................................................. 7
D. Ma’rifat Dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis .................................................. 9

BAB III……………………….. ......................................................................................... 12

PENUTUP……………………........................................................................................... 12

A. Kesimpulan……………….. ................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA…………. ........................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Islam kita semua diwajibkan mengenal siapa yang kita sembah, agar kita ikhlas
dan senang mengerjakan semua perintah yang diberikan-Nya kepada kita. Kita sering
ِ ‫ اَ ﱠو ُل اﻟ ﱢﺪﯾْﻦِ َﻣ ْﻌ‬yang
mendengar ungkapan yang tidak asing lagi ditelinga kita yaitu: ِ‫ﺮﻓَﺔُ ﷲ‬
pertama agama itu mengenal Allah.

Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam
kajian ilmu tasawuf “Ma’rifah” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan
membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat,
seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifah.

Dalam makalah ini kita akan membahas tentang pengertian ma'rifat, alat untuk
mencapai ma'rifat, tokoh yang mengembangkan ma'rifat, dan ma'rifat dalam pandangan al-
Qur’an dan al hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ma’rifat ?
2. Bagaimana alat untuk mencapai Ma’rifat ?
3. Siapa tokoh yang mengembangkan Ma’rifat ?
4. Bagaimana Ma’rifat dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadis ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Ma’rifat.
2. Agar mengetahui alat untuk mencapai Ma’rifat.
3. Untuk mengetahui tokoh yang mengembangkan Ma’rifat.
4. Untuk mengetahui Ma’rifat dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadis.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ma’rifat

Dari segi bahasa Ma’rifah berasal dari kata ‘‫ ﻋﺮﻓﺎ‬, ‫ﯾﻌﺮف‬, ‫ﻋﺮف‬dan ma’rifah yang artinya
adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga bisa berarti pengetahuan tentang rahasia
hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmubiasa yang didapati oleh orang-
orang pada umumnya1. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang
bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
2
ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.

Definisi beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pandapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:
‫ت‬
ِ ‫اَ ْﻟ َﻤ ْﻌ ِﺮﻓَﺔُﺟَﺰْ ﻣُﺎ ْﻟﻘَ ْﻠﺒِﺒِ ُﻮﺟُﻮْ دِا ْﻟ َﻮاﺟِ ﺒِﺎ ْﻟﻤَﻮْ ﺟُﻮْ ِد ُﻣﺘﱠﺼِ ﻔًﺎﺑِﺴَﺎﺋِﺮِا ْﻟ َﻜﻤ َُﻼ‬
Artinya: “ Ma`rifah adalah suatu ketetapan hati (dalam mempercayai kahadirannya)
wujud yang wajib adanya ( Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kurdiriy mengemukakan pendapat Abu Ath-


Thayib A-Samiriy yang mengatakan:

‫اَ ْﻟ َﻤ ْﻌ ِﺮﻓَﺔُطُﻠُﻮْ ﻋُﺎ ْﻟ َﺤﻘﱢ َﻮھُ َﻮاْﻟﻘَ ْﻠﺒُﺒِ ُﻤ َﻮاﺻِ ﻠَﺔِاﻷَ ْﻧ َﻮا ِر‬

Artinya: “Ma`rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai ketingkatan
ma`rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah, memiliki tanda-tanda tertentu,
sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang
dimiliki oleh Sufi apabila sudah sampai kepada tingkatan Ma`rifah, antara lain:

a) Selalu memancar cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku, karena itu,
sikap wara` selalu ada pada dirinya.

1
Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979, hlm. 72.
2
Ibid,. Hal.219-220

2
b) Tidak selalu menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c) Tidak mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa membawanya
kepada perbuatan yang haram.

Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan
yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT.sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan
bahwa ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagian bathin kepadanya,
karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.

Selanjutnaya ma`rifah itu disamping merupakan anugerah dari Allah, dapat pula dicapai
melalui syari`at, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat. Apabila syari`at dan thariqat
sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan
ahwal. sedangkan tujuan terakhir ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan mencintainya yang
sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.

Dalam kitab “Syarhul Maqashid” Taftazani menyatakan: “apabila seseorang telah


mencapai tujuan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia akan
tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat
Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut fana
dan lenyap dalam keadaan “maa siwallah” (segala yang lain daripada Allah) ia tidak lagi
melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah. Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu
disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan,
bukan sekedar mengetahui Tuhan itu ada.

Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya
Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang
ditempuh oleh kaum Sufi.

Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat


mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi
bertanya”. Beliau berkata lagi: “Bahwa hatilah yang dapat mencapai haqiqat sebagaimana
yang telah tertulis pada Lauh Mahfudh, yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni.
Sehingga tempat untuk mengenal dan melihat Allah adalah Hati.

3
B. Alat Untuk Mencapai Ma’rifah

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Dzun al-
Nun al-Mishri. Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :

‫ﻋﺮﻓﺖ رﺑّﻰ ﺑﺮﺑّﻰ وﻟﻮ ﻻ رﺑّﻰ ﻟﻤﺎ ﻋﺮﻓﺖ رﺑّﻰ‬

“Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya
aku tidak akan mengetahui Tuhanku”.3

Dzun al-Nun al-Mishri adalah orang yang pertama sekali meletakkan dasar ilmu
tasawuf, karena setiap orang mengambil darinya dan dinisbahkan kepadanya. Dia-lah orang
yang pertama kali menafsirkan isyarat-isyarat sufi dan membicarakan hal ini di jalan sufi.
Pengarang kitab Tadzkirah seperti yang dikutip oleh Dr. Ibrahim Basyuni dalam kitabnya,
Nas’ah at-Taswwuf al-Islami, pernah mengemukakan ungkapan Dzun al-Nun dalam
membicarakan "afir dan ma’rifah” sekitar dua halaman. Dia dikatakan sebagai bapak paham
ma’rifah merupakan orang pertama yang membawa paham ma’rifah. Reinold Nicholson
mengatakan bahwa ia adalah orang yang membedakan antara ma 'rifah dengan ilmu. Ketika
ia ditanya orang tentang perbedaan orang yang alim dengan orang yang arif, dia berkata:
"orang yang alim itu ditauladani, sedangkan orang yang arif diminta petunjuknya."

Ketika membicarakan ma’rifah Dzun al-Nun membagi tiga bentuk ma’rifah.yaitu:

a. Ma’rifah tauhid, terdapat pada diri mu'min awam.


Ma’rifah tauhid yaitu pengetahuan awam mengenai keesaan Allah melalui perantara
syahadat tanpa disertai dengan logika.Ma’rifah jenis pertama ini dimilki oleh
mayoritas orang Islam.
b. Ma’rifah hujjah (alasan) dan uraian berupa pengetahuan yang didapat melalui hasil
pembuktian nalar. Ma’rifah jenis ini dimiliki oleh orang khawash.
c. Ma’rifah sifatkeesaan Allah, bagi para wali dan kekasih Allah.

Dua bentuk ma’rifah pertama disebut sebagai ilmu (al-llm), sementara bentuk terakhir
disebut ma’rifah hakiki yaitu pengetahuan tentang keesaan Tuhan dengan perentaraan hati
sanubari. Ma’rifah ini hanya terdapat pada kaum sufi.

3
H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.

4
Dalam ungkapannya yang lain Dzun-al-Nun mengatakan bahwa ma’rifah hakiki
terhadap Allah bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang dipercayai semua orang mukmin
dan bukan pula ilmu yang berdasarkan pembuktian dan pengamatan para filosof serta
mutakallimin, tetapi ini adalah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Allah yang diperoleh
wali-wali Allah tertentu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah melalui
hatinya, sehingga Allah menyingkapkan kepada mereka sesuatu yang tidak diperlihatkan
Allah kepada hamba-hambanya yang lain.

Hal ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah
pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil dari pemikiran manusia tetapi bergantung
pada kehendak dan rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Adapun persoalan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada ma’rifah
secara sistematis belum diketemukan keterangan dari Dzun al-Nun. Namun menurut Imam
al-Qusyairi, pokok pembicaraannya tidak terlepas dari empat hal, yakni:

1. Mengikuti wahyu.
2. Menjauhkan diri dari takut berubah dan berpalingnya sesuatu darinya atau disebut juga
membenci kekikiran.
3. Menganggap kecil dunia dan berpaling darinya.
4. Mencintai Allah.

Pada tahap pertama sufi harus mentaati syari'at, yaitu Alquran dan hadits. Hal ini sesuai
dengan kecenderungan Dzun al-Nun mengaitkan ma’rifah dengan syariat.Kedua, timbulnya
rasa takut untuk melakukan kejahatan, sebab semakin banyaknya dosa yang dilakukan, maka
manusia semakin terhijab untuk berhubungan dengan Allah.Ketiga, menganggap kecil dunia,
harta benda dan kehidupan dunia hanya sebagian kecil saja dari yang sebenarnya. Maka pada
tahap ini akan muncul sikap zuhud, qana’ah, sabar dan tawkkal dan lain sebagainya.
Keempat, kecintaan kepada Allah bersemi dalam diri seseorang sufi. Di sinilah baru didapat
Mahabbah dan ma’rifah. Mahabbah menggambarkan mesranya hubungan seseorang sufi
dengan Tuhan. Sedangkan ma’rifah melukiskan hubungan yang erat dalam bentuk
pengetahuan dengan hati sanubari.

Selain itu alat untuk memperoleh ma’rifah. Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :

1) Qalbu ‫( اﻟﻘﻠﺐ‬hati) fungsinya untuk dapat mengetahui siffat Tuhan.


2) Ruh ‫( اﻟﺮّوح‬roh) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.

5
3) Sirrun ‫( اﻟ ﱢﺴ ﱞﺮ‬rahasia) fungsinya untuk melihat Tuhan.

Selain Dzun al-Nun, Imam al-Ghazali juga banyak berbicara tentang ma’rifah. Al-
Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah al-Nazru ila wajh Allah, atau mengetahui
Tuhan dengan mata hati. Ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata
indranya. Oleh karena itu kata al-Ghazali, orang arif atau yang sudah mencapai ma’rifah,
tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat "ya allah", karena ucapan seperti itu menunjukkan
pengertian, bahwa Aliah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang arif tabir itu
sudah tidak ada, maka tidak pernah lagi saling memanggil. Menurut al-Ghazali inilah maqam
tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi. la menolak faham ittihad yang dibawa oleh Abu
Yazid al-Bustami bahwa tingkatan ma’rifah itu masih bisa dilampaui manusia. Jadi menurut
al-Ghazali, bahwa ma’rifah tidak menyebabkan seseorang menjadi padu dan bersatu dengan
Tuhan.

Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma'rifat antara lain dengan bentuk latihan terhadap
jiwa, yaitu menghilangkan sifat-sifat marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya.
Kemudian melalui tingkatan-tingkatan seperti, taubat, zuhud, sabar, tawakkal, juga melalui
hal, seperti, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, rendah hati, ikhlas dan
sebagainya.Menurut al-Ghazali "sarana ma’rifah seorang sufi adalah kalbu".Kalbu
menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak bagian kiri pada seorang manusia,
tapi adalah percikan rohaniah yang merupakan hakekat realitas manusia.Lebih lanjut dia
mengatakan bahwa kalbu itu bagaikan cermin.Sementara ilmu adalah pantulan gambar
realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas realitas ilmu. Menurut al-Ghazali lagi, yang membuat cermin kalbu
tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.Sementara"ketaatan" kepada Allah serta keterpalingan
dari tuntutan hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang.

Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan tentang


Tuhan itu ada tiga macam:

a. Pengetahuan Awam, Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan
syahadat.
b. Pengetahuan Utama, Memberi penjelsan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
c. Pengetahuan Sufi, Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati
sanubari.

6
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama diatas belum dapat memberikan pengetahuan
haqiqi tentang Tuhan.Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat
dikatakan sebagai Ma’rifat. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifat adalah
pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifat). Sehingga ma’rifat hanya
dapat diperoleh pada kaum sufi. Mereka mampu melihat Tuhan dengan cara melalui hati
sanubarinya. Disamping juga mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.Ada perbedaan
antara makna ma’rifat versi al-Gazali dengan versi Dzunnun al-Misri.Menurut al-Gazali
ma’rifat dapat diperoleh dengan latihan dan metode tertentu, karena itu tingkatan ma’rifat
seseorang diukur dari latihan dan metodenya.Lain halnya dengan al-Misri, yang mengatakan
bahwa ma’rifat merupakan pemberian Allah dan tidak bisa diusahakan. Ma’rifat datang
dengan sendirinya ketika hal seseorang telah mencapai keadaannya. Selain itu, al-Gazali
menganggap dalam urutan maqamat bahwa ma’rifat mendahului mahabbah, sebaliknya
dengan Dzunnun.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat,
maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan
berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan yang diliputi rasa
kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga
membawa pada kelupaan dirinya.4

C. Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah

Dalam literature tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenal paham Ma’rifat,
yaitu Al-Ghazali dan Zun Al-Nun Al-Misri.

a) Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, yang
karena kedudukan tingginya dalam lslam dia digelari Hujjah al-Islam.Ayahnya, menurut
sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal

4
Ibid,.

7
dengan al-Ghazzali (yang memintal wol) dan juga terkenal dengan al-Ghazali (dengan
memakai satu huruf "z") dinisbahkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Ia
dilahirkan di Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H atau 451 H. Ia menerima pendidikan
mistisnya di rumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Pada
masa kecilnya ia belajar fiqih kapada Ahmad al-Radzkani di Thus, lalu belajar kepada Imam
Abu Nashr al-Isma'ili di Jurjan dan belajar kepada Abu al-Ma'ali al-Juwaini, yaitu salah
seorang teolog aliran Asy'ariyah yang bergelar Imam al-Haramain di Nishapur.

Di bawah bimbingan gurunya inilah dia bersungguh-sungguh belajar dan berijtihad


sampai benar-benar menguasai mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya,
teologinya, ushul fikihnya, logikanya, dan membaca filsafat dan ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan itu.Dan dia terus mendapingi gurunya, al-Juwaini, sampai gurunya meninggal dunia
tahun 478 H. Dia lalu meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di sana dia bertemu dengan
seorang menteri yang terkenal, Nizham al-Mulk dan dia ditawarkan untuk mengajar di
perguruannya, yaitu al-Nizhamiyah di Baghdad. Maka al-Ghazali menyambut baik tawaran
mengajar itu.Selama kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu,
dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali untuk menghilangkan
keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Ternyata ilmu-ilmu ini tidak memberinya
ketenangan jiwa.Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya
tertimpa krisis psikis yang kronis, yang diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-
Munqidz min al-Dalal.Di antara ungkapannya adalah,"Lalu keadaan diriku pun kurenungi,
dan temyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi
diriku dari segala sudut.Amal-amalku pun kurenungi, khususnya amalku yang terbaik, yaitu
mengajar, dan temyata aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak
berguna.Akupun memikirkan niatku dalam mengajar, dan tertyata niatku tidak ikhlas demi
Allah.Bahkan hanya didorong keinginan untuk menadapatkan jabatan serta menjadi
terkenal”. Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai
guru besar di al-Nizhamiyah dan kemudian hidup menyendiri. Dalam penyendiriannya, ia
menggeluti bidang tasawuf, tasawuf yang dipilihnya adalah tasawuf Sunni yang berdasarkan
doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah. Menurut Al-Ghazali Ma’rifah urutannya terlebih
dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari Ma’rifah.

8
b) Dzun Al-Nun Al-Misri

Nama aslinya adalah Abul Faidh Dzun al-Nun Tsauban bin Ibrahim al-Mishri (155 H
245H/859 M). Ayahnya adalah orang Naubi, luar biasa kepandaiannya.Dia-lah satu satunya
orang yang berilmu pada masanya, bersikap wara’ dan hal serta serta berakhlak.Ia pun pernah
dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di
hadapan Khalifah al-Mutawakkil. Berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak diantara
Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak yang mengetahui, yang diketahui hanya
tahun wafatnya, yaitu 860 M.

Menurutnya Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan
dengan hati sanubari mereka. Baginya Ma’rifat tidak diperbolehkan begitu saja, tetapi
melalui pemberian Tuhan.Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada
kehendak dan rahmat Tuhan.

D. Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits

Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang
baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau
tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power
untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu
pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan
hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan
secara indrawi tanpa mempertimbangkan penghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia
hanya hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati
adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati
dan hati adalah Allah yang menggerakkan. Seperti yang ada dalam QS.Al Bayyinah:4-6 yang
artinya :“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya " (QS.Al Bayyinah:4-6).

◌ۚ ‫ْﻤ َﻮھُ ْﻤﺄُﻟُﻮﻓٌ َﺤ َﺬ َرا ْﻟﻤَﻮْ ﺗِﻔَﻘَﺎﻟَﻠَﮭُﻤُﺎﻟﻠﱠﮭُﻤُﻮﺗُﻮاﺛُ ﱠﻤﺄ َﺣْ ﯿَﺎھُ ْﻢ‬ .

“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi manusia kebanyakan


tidak bersyukur " (QS.Al Baqarah:243)

9
ٌ‫ۚ◌ َوﻟِ ْﻠﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻨَ َﻌﺬَاﺑٌ ُﻤﮭِﯿﻦ‬ ◌ۖ ‫ِﻣ ْﻨ ِﻌﺒَﺎ ِد ِه‬

“Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hamba


Nya " (QS.Al Baqarah:90).

Allah telah menyediakan dan memberikan beberapa kelebihan untuk manusia sehingga
manusia yang asal mulanya sama diciptakan dari tanah kemudian mempunyai tingkat
kelebihan yang berbeda disisi Allah karena ketaqwaan dan usaha mereka untuk mencapai
kehadhirat-Nya. Kelebihan Allah yang diberikan kepada manusia diluar adat kebisaan
manusia biasa (Khariqul Adat) dan diluar akal manusia, sehingga manusia yang mendapat
kelebihan dapat berbuat diluar adat dan akal manusia.

Dengan limpahan cahaya Allah itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang
ada pada-Nya.Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia
biasa.Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu
yaitu Allah.Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena
parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.

Allah swt berfirman:

◌ۚ ُ‫َﷲ‬
‫ﻣَﺎﻛَﺎﻧَﻠِﯿَﺄْ ُﺧ َﺬأَ َﺧﺎھُﻔِﯿﺪِﯾﻨِﺎ ْﻟ َﻤﻠِ ِﻜﺈ ﱠِﻻأَ ْﻧﯿَﺸَﺎء ﱠ‬ ◌ۖ َ‫َﻛ َٰﺬﻟِ َﻜ ِﻜ ْﺪﻧَﺎﻟِﯿُﻮﺳُﻒ‬ ◌ۚ ‫ﻓَﺒَ َﺪأَﺑِﺄَوْ ِﻋﯿَﺘِ ِﮭ ْﻤﻘَ ْﺒﻠَ ِﻮﻋَﺎ ِءأَﺧِﯿ ِﮭﺜُﻤﱠﺎ ْﺳﺘَﺨْ ﺮَ َﺟﮭَﺎ ِﻣ ْﻨ ِﻮﻋَﺎ ِءأَﺧِﯿ ِﮫ‬
‫ﻧَﺮْ ﻓَ ُﻌ َﺪ َر َﺟﺎﺗٍ َﻤ ْﻨﻨَﺸَﺎ ُء ۗ◌ َوﻓَﻮْ ﻗَ ُﻜﻠﱢﺬِﯾ ِﻌ ْﻠ ٍﻤ َﻌﻠِﯿ ٌﻢ‬.

Artinya : ” dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata:
"Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)

Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi


menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian).5

Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan al


Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh
(pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan
menamakannya sebagai wangsit.

Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang


rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya
yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan

5
Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm. 56

10
dengan Nur (Cahaya Tuhan).Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur”
dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.6

Misalnya ayat yang berbunyi:

‫ﻀﮭَﺎﻓَﻮْ ﻗَﺒَﻌْﻀٍ ﺈِذَاأَﺧْ َﺮ َﺟﯿَ َﺪھُﻠَ ْﻤﯿَ َﻜ ْﺪﯾَﺮَاھَﺎ َو َﻣ ْﻨﻠَ ْﻤﯿَﺠْ ﻌ َِﻼﻟﻠﱠﮭُﻠَﮭُﻨُﻮرًاﻓَﻤَﺎﻟَﮭُ ِﻤ ْﻨﻨُﻮ ٍر‬
ُ ‫أَوْ َﻛﻈُﻠُﻤَﺎﺗٍﻔِﯿﺒَﺤْ ٍﺮﻟُﺠﱢ ﯿﱟﯿَ ْﻐﺸَﺎھُﻤَﻮْ ٌﺟ ِﻤ ْﻨﻔَﻮْ ﻗِ ِﮭﻤَﻮْ ٌﺟ ِﻤ ْﻨﻔَﻮْ ﻗِ ِﮭ َﺴﺤَﺎﺑٌﻈُﻠُﻤَﺎﺗٌﺒَ ْﻌ‬

Artinya : “ atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di
atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia
mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. An Nur :
40)

Dan di dalam Q.S Az-Zumar : 22 yang artinya :

“ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam
lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah.mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az Zumar : 22)

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan.Cahaya tersebut ternyata
dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan
cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak
mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat
seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi
dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi
berikut: “ Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka mengenal Aku”.7

Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.Caranya
dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi,
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

6
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987,
hlm. 725-726
7
Ibid,.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang bersifat dzahir, tetapi
lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan
bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang
maujud berasal dari yang satu.

Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu
qalb (hati). Selain sebagai alat untuk merasa, qalb juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya
qalb dengan akal ialah bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

Tokoh yang mengembangkan Ma’rifat

a. Al-Ghazali
b. Dzun Al-Nun Al-Misri

Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan
demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:

“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan
siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada
mereka.Maka mereka mengenal Aku”.

Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.Caranya
dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi,
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979, hlm. 72.

H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.

Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm. 56

Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar

al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726

13

Anda mungkin juga menyukai