Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

METODE STUDI ISLAM


TENTANG KONSEP MA’RIFATULLAH DALAM ISLAM

DOSEN PEMBIMBING: DRS. SAIFUL AHYAR MA

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK I : INDAH MARIANA
LIMAYSHA AULIA SITORUS
MUHAMMAD FAKHROZI

INSTITUT AGAMA ISLAM DA’AR AL ULUUM KISARAN

FAKULTAS TARBIYAH

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

T.A : 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatlkan kepada Ilahi Robbi, yang dengan
limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan mata
kuliah Metode Studi Islam yang membahas tentang konteks Ma’rifatullah Dalam
Islam dengan sebaik mungkin.

Dalam upaya penyelesaian makalah ini penulis telah banyak mendapat


bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karna itu kami mengucapkan ribuan
terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah kami.

Kami menyadari meskipun dalam penulisan makalah ini telah mengupayakan


seoptimal mungkin tentu masih ada kekurangan maupun kekeliruan yang tidak
disengaja, untuk itu para pembaca yang budiman kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya bagi
penulis serta memperoleh ridho dari Allah semata.

Kisaran September 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….…..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG…………………………………………………………….1

2. RUMUSAN
MASALAH…………………………………………………………..2

3. TUJUAN PENULISAN MASALAH……..………………………………………2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ma’rifatullah….…………………
……………………………………..3

B. Landasan Esensial Ma’rifatullah….………………………………….……………

C. Mekanisme Jalan-Jalan Ma’rifatullah……………………………………………….

D. Konseptualisasi Ma’rifatullah dalam Sehari-hari……….……………………...

BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN………………………………………………………..….........

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad


Shallallahu’alaihi wa sallam, dan intinya adalah iman dan amal. Iman dan amal, atau
aqidah dan syari’ah kedua-duanya berkaitan satu sama lainnya seperti keterkaitan
antara buah dan pohonnya.Iman mencerminkan aqidah dan pokok-pokok yang
menjadi landasan syari’at Islam. Dan dari dasar-dasar ini keluarlah cabang-
cabangnya. Amal mencerminkan syari’ah dan cabang-cabang yang dianggap sebagai
tindak lanjut dari iman dan aqidah.

Keindahan cinta yang hakiki bagi seorang muslim adalah ketika mencintai Allah swt.,
yang dimana fondasi yang pertama kali dibangun adalah dengan ma’rifatullah
(mengenal Allah). Bagi seorang muslim ma’rifatullah ini adalah salah satu bekal yang
harus disediakan supaya bisa menggapai prestasi yang setinggi-tingginya. Sebaliknya
tanpa ma’rifatullah seorang muslim akan kehilangan keyakinan dan keteguhan hati
dalah menjalani hidup dan kehidupannya.

Ma’rifat tidak dapat diraih melalui jalan indrawi karena hal itu seperti halnya
mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang
laut dari darat. Ma’rifat juga tidak bisa diperoleh dari lewat penggalian nalar, karena
itu akan sama seperti orang yang menimba air laut untuk mendapatkan mutiara itu.
Untuk mendapatkan mutiara ma’rifat, seseorang membutuhkan penyelam ulung dan
beruntung, dengan kata lain butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan
Rumi mengingatkan bukan hanya sekedar Penyelam ulung, tetapi juga beruntung,
yakni bergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang yang ada di
laut mengandung mutiara yang didamba.

1
2. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Ma’rifatullah?

2. Apa sajakah landasan esensial Ma’rifatullah?

3. Apa sajakah mekanisme jalan-jalan Ma’rifatullah?

4. Apa sajakah konseptualisasi Ma’rifatullah dalam sehari-hari?

3. TUJUAN PENULISAN MASALAH

1. Untuk mengetahui pengertian Ma’rifatullah

2. Untuk mengetahui landasan esensial Ma’rifatullah

3. Untuk mengetahui mekanisme jalan-jalan Ma’rifatullah

4. Konseptualisasi Ma’rifatullah dalam sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MA’RIFATULLAH

Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui,


mengenal,1 atau pengetahuan Ilahi.2 Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif. 3
Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara
rinci, atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas
Realitas Mutlak Tuhan.4 Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu
maqam tingkatan atau hal kondisi psikologis dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam
wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT
ma’rifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.5

Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat


eksoteris zahiri, tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris batiniyyah
dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan.6 Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya,

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, h.
919.
2
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Jakarta,
2005, h. 139.
3
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya,
Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1993, h. 103.
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, h. 219.
5
Abuddin Nata, Akhlak..., h 220
6
Abuddin Nata, Akhlak..., h. 219-220.

3
pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang
pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.7

Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan bertafakkur melalui
penzahiran manifestasi sifat keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara
langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini.

Para sufi ketika berbicara tentang ma’rifat, maka masing-masing dari mereka
mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa yang datang
kepadanya saat tertentu. Dan salah satu tanda ma’rifat adalah tercapainya rasa
ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah ma’rifat maka semakin bertambah
ketentramannya. Sehingga apa yang diketahui dari pengalaman itu, membuahkan
manfaat berupa ketenangan batin.

B. LANDASAN ESENSIAL MA’RIFATULLAH

Landasan untuk mengenal Allah Swt lebih dekat Sebagaimana dalam hadist
qudsi disebutkan bahwa:8 Artinya: ‘Aku adalah harta berharga yang tersembunyi dan
Aku ingin diketahui, sehingga Aku menciptakan dunia!.’ Adapun Ayat-ayat yang
berkaitan dengan ma’rifatullah (pengenalan Allah ) diantaranya :

a. Q.S. Ali-Imran 3:190-191 (mengenal Allah melalui tanda kekuasaan dan Ciptaan-
Nya / ayat aqliyah)
b. Q.S. Ar-Rum 30:20-24 (mengenal Allah melalui tanda kekuasaan dan Ciptaan-Nya
/ ayat Aqliyah)
c. Q.S. Al-Baqarah 2:255 (mengenal Allah melalui tanda kekuasaan dan Tauhid
Rububiyah)
d. Q.S. Al-An’am 6:12 (mengenal Allah melalui tauhid uluhiyah)
7
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus ..., h. 47
8
Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung, Penerbit Teraju,
Jakarta, 2004, h. 70.

4
e. Q.S. Muhammad 47:19 (mengenal Allah melalui tauhid uluhiyah)
f. Q.S. Al-Hajj 22:72-73 (mengenal Allah melalui ayat Qauniyah)
g. Q.S. Fatir 35:28 (mengenal Allah melalui ilmu, takut dan tauhid Asma Wa Sifat)
h. Q.S. Adh-Dhariyat 51:20-21 (pengenalan Allah melalui ma’rfatul nafs)
i. Q.S. An-Nahl 16:78 (pengenalan Allah melalui pendengaran, penglihatan dan hati)
j. Q.S. Luqman:23 (pengenalan Allah melalui berita wahyu dan hati)
k. Q.S. Al-Araf 7:179 (Pengenalan Allah melalui hati, mata dan telinga)
l. Q.S Al-Anfal 8:2 (Pengenalan Allah melalui Qur’an dan hati).

Dari beberapa aya di atas banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah dalam
Al-Qur’an dan alam semesta agar manusia dengan potensi akal dan hatinya untuk
merenungkan kebesaran Allah sekaligus untuk mengenal Allah Swt. Kesadaran ini
akan menghasilkan kecerdasan spritual tertinggi di dalam diri peserta didik, sehingga
ia akan selalu bertasbih dan berdizikir serta memaksimalkan untuk beramal dan
berakhlak mulia. Sebagaimana di dalam Qur’an surat .Ali-Imran 3: 190-191 yang
artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Di dalam tafsir Qurthubi menjelaskan tafsir surat Ali-Imran ayat 190 sampai
191, bahwa Allah SWT memerintahkan serta mengajarkan kepada kita semua untuk
melihat, merenung, dan mengambil kesimpulan pada tanda-tanda ke-Tuhanan.
Karena tanda-tanda tersebut tidak mungkin ada kecuali diciptakan oleh Yang Maha
Hidup, Yang Maha Suci, Maha Menyelamatkan, Maha Kaya (Qurthubi, 2008 : 768),
sedangkan di dalam tafsir Al-Maraghi menjelaskan merupakan tanda dan bukti yang

5
menunjukkan kebesaran dan keesaan Allah, kesempurnaan pengetahuan dan
kekuasaan-Nya.(Al-Maraghi, 2014 : 289), sedangkan di tafsir Al-Azhar Orang yang
melihatnya dan mempergunakan pikiran untuk memikirkan segala ciptaan-Nya sesuai
dengan kesanggupan dan keahlian di dalam bidang ilmu yang dikuasinya , seperti
seorang ahli ilmu alam, ahli ilmu binatang, ahli ilmu tumbuh-tumbuhan, ahli
pertambangan, ahli filosof, ataupun seorang penyair dan seniman sekalipun.
Semuanya akan dipesona dan takjub oleh keteraturan alam semesta yang luar biasa di
bumi ini. Sehingga dengan adanya upaya untuk mengenal Allah Swt, maka akan
semakin melihat kebesaran dan kekuasaan-Nya (HAMKA, 2015 : 6).9

C. MEKANISME JALAN-JALAN MA’RIFATULLAH

1. Jalan yang dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam

Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih beranggapan bahwa
Allah tidak ada, hanya gara-gara mereka tidak dapat melihat-Nya dengan panca
inderanya sendiri (al-hawas), dengan alasan mereka tidak mempercayai sesuatu yang
ghaib. Padahal panca indera kita sangat terbatas kemampuannya dalam menganalisa
benda-benda yang nampak, apalagi terhadap benda-benda yang tidak nampak.

Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan dapat mengenal
Allah. Manusia hanya dapat melihat-Nya di surga nanti bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Mereka tidak mampu melihat-Nya, bahkan karena kesesatannya lalu mereka
menjadikan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan tertentu yang
mempengaruhi kehidupannya sebagai Tuhan mereka selain Allah (ghairullah).
Tersebutlah kemudian kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai
matahari, bintang, langit, air, udara dan lainnya. Selain itu ada pula yang karena jenuh
mencari namun tak juga berhasil, lalu berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada.

9
Hasbiyallah, Konsep Pengenalan Allah, Jurnal Perspektif, Vol. 3 No. 1 Mei 2019.

6
Pencarian tak tentu arah ini lalu menimbulkan sikap skeptis. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan diri dan juga gejala-gejala alam yang terjadi dalam lingkungan
kehidupannya dipandangnya dengan nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap
lebih ilmiah dari pada harus mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib, mistik,
takhayul dan sebagainya. Ilmu filsafat kemudian muncul memuaskan segala nafsu
dan akal manusia.

Akal manusia bisa jadi akan mampu mengenal keberadaan Allah melalui
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang tersebar di pelosok bumi. Namun karena mereka
tidak mempunyai keimanan, segala pengetahuan itu kemudian dijadikan diskursus
ilmu semata.10

Penggambaran yang salah terhadap metode untuk mengenal Allah ini, dulu
maupun sekarang, merupakan faktor terbesar yang menjauhkan manusia dari metode
iman yang benar kepada Allah. Padahal penggambaran macam ini jelas-jelas salah.
Secara aksiomatik, akal mengatakan bahwa Allah adalah pencipta materi tetapi Dia
bukan materi. Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika puncak pencerapan
indera di dalam kehiduapan dunia kita hanya terbatas pada materi yang tercerap
secara inderawi saja, maka Allah tidak akan bisa menjadi obyek pengetahuan kita.
Yang jelas pada bangsa atau orang kafir manapun juga pasti akan muncul kekacauan
di seputar metode inderawi untuk mengenal Allah ini. Itulah sebabnya mengapa di
zaman sekarang kita mendengar ada orang-orang tertentu yang menjadikan “tidak
bisa dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab timbulnya atheisme. Demikian pula,
kita mendengar beberapa negara tertentu menegaskan demikian, seperti yang
dilakukan oleh siaran Uni Soviet ketika meluncurkan satelit industrinya yang pertama
ke ruang angkasa.  

10
Di akses dari http://trimssukron.blogspot.com/2013/05/marifatullah-mengenal-allah.html?m=1 pada
sabtu, 12 september 2020 pukul 13.00 wib

7
Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan aqli (akal pemikiran)
karena tidak diikuti dengan keimanan terhadap hasil pencariannya itu, timbullah
sakwasangka dan keragu-raguan (al irtiyab) dan pada akhirnya membuat mereka
menjadi kafir.

2. Jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam 

Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan menggunakan


prinsip keimanan dan akal pemikiran melalui tanda-tanda (al ayat), yaitu melalui
ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an dan hadits), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), dan
melalui mu’jizat.

Dari ayat-ayat qauliyah, Allah mewahyukan firman-Nya kepada para utusan-


Nya. Ada yang berupa shuhuf, al kitab dan juga hadits qudsi. Dalam Al Qur’an kita
dapati maklumat Allah mengenai keberadaan diri-Nya.

 “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka mengabdilah
pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (QS. Thaha :14).

Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui apa-apa
yang ada di alam semesta dan juga pada diri kita sendiri. (lihat QS. Adz Dzariyat :21-
22 dan QS. Fushshilat :53). Misalnya adalah yang ada pada telapak tangan kita. Ruas-
ruas tulang jari (tapak tangan maupun telapak kaki) kita terkandung jejak-jejak nama
Allah, Tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini. 

Perhatikan salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi
dengan seksama:

Jari kelingking                                     = membentuk huruf alif

Jari manis, tengah dan jari telunjuk      = membentuk huruf lam (double)

8
Jari jempol (ibu jari)                             = membentuk huruf ha

Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan
mendapati bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).

Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan keberadaan Allah
dan membenarkan keimanannya kepada Allah (tashdiqul mu’min ilallah) . Sehingga
rukun iman yang enam perkara yang selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan
dalam lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq (dibenarkan) dalam hati dan pola
tingkah kita sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
53:11 ,”Hatinya tidak mendustai apa yang telah dilihatnya”.11

D. KONSEPTUALISASI MA’RIFATULLAH DALAM SEHARI-HARI

Ma’rifat merupakan capaian puncak dari keseluruhan amalan-amalan yang


telah dijalankan salik. Apabila seorang salik sudah memperoleh ma’rifat, maka
hatinya akan terputus dari segala hal karena tertutup oleh keagungan Allah SWT. Di
saat itu seorang sufi tidak lagi mempunyai keinginan apapun termasuk pahala ataupun
surga, namun semuanya dikembalikan kepada Allah SWT. Segala amal yang
dilakukannya hanyalah untuk Allah SWT, tanpa mengharap apapun termasuk surga
dan pahala.40 Zu al-Nun al-Misri (w.246 H) membagi pengetahuan tentang Allah
SWT menjadi tiga macam, yaitu : Ma’rifat al-Tauhid (awam), Ma’rifat al- Burhan wa
alIstidlal (khas), Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas).12

1. Ma’rifat al-Tauhid (awam) sebagai ma’rifatnya orang awam, yaitu ma’rifat yang
diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara syahadat,
11
Di akses dari http://trimssukron.blogspot.com/2013/05/marifatullah-mengenal-allah.html?
m=1 pada sabtu, 12 september 2020 pukul 13.00 wib

12
A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999, h. 129.

9
tanpa disertai dengan argumentasi. Ma’rifat jenis inilah yang pada umumya dimiliki
oleh orang muslim.13 Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut,
mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan
tanpa difikirkan secara mendalam.14

2. Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) yang merupakan ma’rifatnya mutakalimin


dan filsuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah SWT melalui pemikiran
dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif.
Ma’rifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf, sastrawan, dan
termasuk dalam golongan orang-orang khas.15 Golongan ini memiliki ketajaman
intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan segenap
kekuatan akalnya.16

3. Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas) merupakan ma’rifat Waliyullah, yaitu ma’rifat


tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh melalui hati
nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena ma’rifat ini diperoleh
tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan anugerah dari Allah
SWT kepada orang-orang sufi atau auliya’ yang ikhlas dalam beribadah dan
mencintai Allah SWT.17

Imam al-Ghazali juga membagi ma’rifat menjadi tiga macam sebagaimana Zu


al-Nun, dan memberikan contoh sebagai berikut: Seorang awam, seandainya dia
mendapat pemberitahuan dari yang dipercayainya bahwa di dalam sebuah rumah ada
seseorang, maka dia akan membenarkannya dengan tidak sedikitpun terbesit dalam
benaknya untuk menyelidiki. Sedang seorang teolog atau filsuf (khas), dalam hal ini,
bagaikan seorang yang mendengar omongan seseorang di dalam rumah tersebut, lalu
13
A. Rivay Siregar, Tasawuf..., h. 129
14
Hamka, Tasauf..., h. 127.
15
A. Rivay Siregar, Tasawuf..., h. 129
16
Hamka, Tasauf..., h. 127.
17
A. Rivay Siregar, Tasawuf..., h.130

10
dijadikan bukti bahwa ada orang di dalam rumah itu. Sementara seorang sufi (al-
khawa), seperti halnya seseorang yang masuk ke dalam rumah tersebut dan melihat
orang yang di dalamnya secara langsung, penyaksian inilah pengetahuan yang hakiki.

BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

11
1. Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris zahiri, tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris
batiniyyah dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud
penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa
mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa
didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan
sedikitpun.
2. Ayat-ayat yang berkaitan dengan ma’rifatullah (pengenalan Allah)
diantaranya: Q.S. Ali-Imran 3:190-191, Ar-Rum 30:20-24, Al-Baqarah 2:255,
Al-An’am 6:12, Muhammad 47:19, Al-Hajj 22:72-73, Fatir 35:28, Adh-
Dhariyat 51:20-21, An-Nahl 16:78, Luqman:23, Al-Araf 7:179, Al-Anfal 8:2.
3. Jalan menuju ma’rifatullh terbagi dua yaitu: jalan yang didasari petunjuk
islam dan jalan yang bukan didasari dengan petunjuk islam
4. Konseptulisasi ma’rifatullah dalam kehidupan sehari-hari yaitu: Ma’rifat al-
Tauhid (awam), Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) dan Ma’rifat hakiki
(khawas al-khawas).

DAFTAR PUSTAKA

Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka


Progresif.

12
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta:
Amzah.
Malik Karim Amrulah, Abdul. 1993. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya.
Jakarta: Pustaka Panji Mas
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Kartanegara, Mulyadhi, Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung. 2004.
Jakarta: Penerbit Teraju.
Hasbiyallah, Konsep Pengenalan Allah, Jurnal Perspektif, Vol. 3 No. 1 Mei 2019..
Di akses dari http://trimssukron.blogspot.com/2013/05/marifatullah-mengenal-
allah.html?m=1 pada sabtu, 12 september 2020 pukul 13.00 wib.

Rivay Siregar, A. 1999. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.

13

Anda mungkin juga menyukai