Disusun oleh:
Atika Permani Suci (180911050)
Zulfa Qurotul A’yun (180911064)
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
tulis ini tepat pada waktunya. Banyak rintangan dan hambatan yang kami hadapi
dalam menyusun makalah ini, namun berkat bantuan dan dukungan serta
mohon maaf kepada semua pihak apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ma’rifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu
tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan
Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw.
Ma’rifat tidak dapat diraih melalui jalan indrawi karena menurut Rumi, hal
itu seperti halnya mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya
dengan datang dan memandang laut dari darat. Ma’rifat juga tidak bisa
diperoleh dari lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang
yang menimba air laut untuk mendapatkan mutiara itu. Untuk mendapatkan
mutiara ma’rifat, seseorang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung,
dengan kata lain butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan Rumi
mengingatkan bukan hanya sekedar penyelam ulung, tetapi juga beruntung,
yakni bergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang
yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba.
Salah satu perbedaan antara ma’rifat dan jenis pengetahuan yang
lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui
usaha keras, seperti belajar, merenung dan berfikir keras melalui cara-cara
berfikir yang logis. Jadi, manusia betul-betul berusaha dengan segenap
kemampuannya untuk memperoleh objek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat
tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya
tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan
persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan
penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela. 1
1
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm. 11.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ma’rifat ?
2. Bagaimana pengertian Ma’rifat menurut tokoh-tokoh tasawuf ?
3. Bagaimana jenjang-jenjang Ma’rifat ?
4. Bagaimana metode-metode menuju Ma’rifatullah ?
C. Tujuan
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Ma’rifat dan
pengertian Ma’rifat menurut tokoh-tokoh tasawuf, juga memahami jenjang-
jenjang Ma’rifat dan metode-metode menuju Ma’rifatullah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui,
mengenal, atau pengetahuan Ilahi. 2
Menurut terminologi, ma’rifat berarti
mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau diartikan juga
sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas Mutlak
Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqam
(tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu,
dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat
kepada Allah SWT (ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus
menjadi inti ajaran tasawuf.3
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang
bersifat eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek
esoteris (batiniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini
berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan.Sehingga tidak
sembarang orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai
hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan
didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.
Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan
bertafakkur melalui penzahiran (manifestasi) sifat keindahan dan
kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang
diciptakan Allah SWT di alam raya ini. 4
2
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Jakarta, 2005,
h. 139.
3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, h. 220.
4
Abdul Qadir al-Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi, Citra
Risalah,Yogyakarta, 2009, h. 113.
3
B. Ma’rifat Menurut Tokoh-Tokoh Tasawuf
Para sufi ketika berbicara tentang ma’rifat, maka masing-masing
dari mereka mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa
yang datang kepadanya saat tertentu. Dan salah satu tanda ma’rifat adalah
tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah ma’rifat
maka semakin bertambah ketentramannya. Sehingga apa yang diketahui
dari pengalaman itu, membuahkan manfaat berupa ketenangan batin. 5
Dalam pandangan Harun Nasution (w. 1998 M) ma’rifat berarti
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat memandang
Tuhan, hal itu memiliki ciri sebagai berikut :
1). Orang arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut
nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia
merasa miskin.
2). Jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan saat itu yang dilahatnya hanya Allah SWT.
3). Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin
maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.
4). Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat
terjaga hanyalah Allah SWT.
5). Seandainya ma’rifat berupa bentuk materi, semua orang yang
melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat
luar biasa cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan
dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang tersebut.
5
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, Penerbit
Pustaka, Bandung, 1994, hal.313.
4
1. Ma’rifat Menurut Zu al-Nun al-Misri
Zu al-Nun al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru
tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Ia membedakan
antara ma’rifat sufiyah dengan ma’rifat aqliyah. Ma’rifat yang
pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasanya
digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua
menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para
teolog. Pandangan-pandangan Zu al-Nun tentang ma’rifat pada
mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga ia
dianggap sebagai seorang zindiq dan kemudian ditangkap oleh
khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa
pandangannya tentang hakikat ma’rifat :
a) Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu
tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai
orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan
nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli balaghah,
tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus
dimiliki para Waliyullah. Hal ini karena mereka adalah
orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya,
sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b) Ma’rifat yang sebenarnya adalah ketika Allah SWT
meyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni
seperti halnya matahari tidak dapat dilihat kecuali
dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat
kepada Allah SWT sehingga ia merasa dirinya hilang,
lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba,
mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah
SWT pada lidah mereka, mereka melihat dengan
penglihatan Allah SWT, den berbuat dengan perbuatan
Allah SWT.
5
Pandangan Zu al-Nun di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada
Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktianpembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Allah
SWT menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan. Melalui
pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas
dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah
SWT, sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-
Nya. 6
6
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, hal. 238-239.
7
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Vol 1, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hal. 11.
6
cita rasa batin (az-zauq atau al-wujdan) tentang manisnya iman
bukan dalam pengertian penyatuan (ittihad) atau inkarnasi
(hulul) dengan Tuhan. Lebih lanjut ibn Taimiyyah juga
menerima pengalaman ma’rifat sebagai ilmu mukasyafah yang
dikategorikan pada sesuatu hal yang luar biasa (khariqul al-adah)
dalam wujud pengetahuan. Dia mengingatkan ada tiga macam
mukasyafah. Pertama, mukasyafah dalam pengertian
pengetahuan atau kekuatan yang datang dari malaikat atau
Tuhan (mukasyafah al-malaikat wa ar-Rahman). Kedua,
muka>syafah, dalam pengertian pengetahuan yang datang dari
bisikan jiwa (mukasyafah an-nafs). Ketiga, mukasyafah dalam
pengertian pengetahuan dari bisikan setan (mukasyafah al-
Syaithan).
C. Jenjang-Jenjang Ma’rifat
Ma’rifat merupakan capaian puncak dari keseluruhan amalan-
amalan yang telah dijalankan salik. Apabila seorang salik sudah
memperoleh ma’rifat, maka hatinya akan terputus dari segala hal karena
tertutup oleh keagungan Allah SWT. Di saat itu seorang sufi tidak lagi
mempunyai keinginan apapun termasuk pahala ataupun surga, namun
semuanya dikembalikan kepada Allah SWT. Segala amal yang
dilakukannya hanyalah untuk Allah SWT, tanpa mengharap apapun
termasuk surga dan pahala.
Zu al-Nun al-Misri (w. 246 H) membagi pengetahuan tentang Allah
SWT menjadi tiga macam, yaitu : Ma’rifat al-Tauhid (awam), Ma’rifat al-
Burhan wa alIstidlal (khas), Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas)
1. Ma’rifat al-Tauhid (awam) sebagai ma’rifatnya orang awam,
yaitu ma’rifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal
Allah SWT. Melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan
argumentasi. Ma’rifat jenis inilah yang pada umumya dimiliki
oleh orang muslim.
7
2. Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) yang merupakan
ma’rifatnya mutakalimin dan filsuf (metode akal budi), yaitu
ma’rifat tentang Allah SWT melalui pemikiran dan pembuktian
akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir
spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum
ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-
orang khas.
3. Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas) merupakan ma’rifat
Waliyullah, yaitu ma’rifat tentang Allah SWT melalui sifat dan
ke-Esa-an-Nya, diperoleh melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis
ketiga inilah yang tertinggi, karena ma’rifat ini diperoleh tidak
hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan
anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliya
yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT.8
8
A. Rivay Siregar, Tasawuf ..., h.130
9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus, hlm. 141
8
tubuh sang sufi telah disinari oleh cahaya. Dalam situasi demikian hati dan
pikiran sang sufi sudah mulai terbuka untuk menangkap kebenaran ilahi.
Ketiga, pada tahap ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan
dan kegaiban kepada setiap sufi yang telah menempuh kedua tahap di atas.
Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini hanya diketahui oleh
Allah. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi
dengan fana’ yang menyebabkan baqa.
10
ibid,hlm.11.
9
dan menghalangi dirinya dalam menempuh tahap akhir menuju
Allah SWT (mi’raj). Dalam kenaikan menuju Allah SWT
(mi’raj) ini, terdapat suatu tempat yang disebut dengan “Pohon
Teratai di Batas Terjauh” (Sidrah Al-Muntaha) yang
menunjukan “tempat” akal (belenggu) harus ditinggalkan. Dari
tempat ini, sang penempuh jalan spiritual (sang sufi)
meneruskan perjalanan dengan cinta (isyq) , kerinduan (syauq) ,
dan ketakjuban (hayrah).
Mengenai bagaimana bentuk kongkrit dari penerapan
metode akal dalam mencapai ma'rifatullah, Muchtar Adam dan
Fadlulah Muh. Said menyatakan: “Secara umum dan sederhana
dapat dipahami bahwa akal adalah kekuatan untuk membedakan
kebaikan dan kemashlahatan baik material maupun non material
kemudian keharusan untuk menjaga dari perbuatan khilaf, lupa
atau tersalah. Istilah akal bermakna pengetahuan akan kebaikan
dan keburukan yang dipraktikan dalam kehidupan spiritual dan
material. Hal-hal yang menyertainya adalah menahan diri,
tadabbur, jeli, penjagaan, dan mengetahui apa yang dibutuhkan
dalam hidupnya termasuk menjaga dari godaan hawa nafsu dan
keinginan-keinginan rendah manusia. Akal merupakan sarana
yang paling kuat dan penting untuk mencapai kebahagiaan dan
kesempurnaan, dimana tanpa akal, ibadah tidak akan
bermanfaat.11
2. Metode Asmaul Husna
Mengenai metode asmaul husna dalam ma'rifatullah,
Muchtar Adam dan Fadlulah Muh. Said menyatakan demikian:
“ Dalam upaya memperkenalkan siapa diri Tuhan itu ?
Bagaimana manusia mengenal dan menghampiri-Nya, maka
Allah menurunkan Al-Qur'an sebagai kumpulan wahyu yang
11
Muchtar Adam dan Fadlullah Muh. Said, Ma'rifatullah. hlm 27-28
10
bersifat informasi dari Allah yang disampaikan lewat RasulNya
Muhammad SAW yang berbentuk teks. Di dalam AlQur'an
itulah Allah memperkenalkan diri-Nya. Siapapun yang mengaku
mengenal Tuhan tanpa melalui wahyu (AlQur'an), keotentitasan
pengenalannya dapat dipertanyakan dan diragukan. Dari Al-
Qur'an dan asma-Nya dikenal atau yang lebih populer Al-asmau
Al-husna. Asma-nya merupakan salah satu metode yang
ditempuh untuk mengenal-Nya karena ia sumber
ma'rifatullah.”12
3. Metode Ibadah
Metode inilah yang diyakini paling tinggi dan paling mantap
dalam mencapai ma'rifatullah, karena muncul dari pengalaman-
pengalaman yang melahirkan pengalaman baru. Ibadah sangat
penting peranannya karena disinilah manusia didorong untuk
meningkatkan kualitas pengalaman ruhaninya. Pengalaman-
pengalaman inilah yang memiliki nilai tinggi dalam
ma'rifatullah dibandingkan dengan metode lainnya yang telah
dibahas.
Untuk melaksanakan metode ibadah ini, Muchtar Adam dan
Fadlulah Muh. Said menyarankan lima langkah penting yang
harus ditempuh: Pertama, muhasabah (intropeksi). Dengan
melakukan perhitungan baik dan buruk atas perbuatan yang
dilakukan seseorang. Kedua, mu’aqabah (sanksi terhadap
pelanggaran). Bila seseorang melakukan kejelekan, maka
seseorang secara otomatis mengecam dirinya sendiri, bahkan
kalau perlu menghukum sekaligus memberi sanksi terhadap
kelakuannya itu. Ketiga, muhasanah (memperbaiki). Seseorang
secara kontinyu dan berkesinambungan memperbaiki kualitas
kepribadiannya. Keempat, mujahadah (optimalisasi). Seseorang
12
Hujair dan Sanaky. Paradigma. hlm. 33
11
harus berjuang keras untuk mengoptimalkan segala yang baik.
Ini adalah upaya total mendayagunakan segala potensi yang
dimiliki sang sufi ke arah kebaikan. Kelima, istiqomah
(disiplin). Aktifitas kebaikan yang dilakukan seseorang harus
terus dijaga ritmenya.
13
Muchtar Adam dan Fadlullah Muh. Said, Ma'rifatullah. hlm. 44
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut Muchtar Adam dan Fadlulah Muh. Said sedikitnya ada tiga metode
menemukan ma'rifatullah. Paling tidak, ada tiga langkah menuju ma'rifatullah.
Pertama, metode akal. Kedua, metode asmaul al-husna. Ketiga, metode ibadah.
Tiga metode ini sebagai manifestasi dari surah Muhammad [47] :19 yang artinya:
Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Ilah (Tuhan yang wajib disembah), kecuali
Allah SWT.
13
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro Totok dan Amin Munir Samsul. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta.
Amzah
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi. 1994. Risalah Sufi al-Qusyayri. Bandung.
Pustaka
Bukhari Imam, Bukhari Shahih. Kitab al-Iman Vol 1 Dar al-Fikr. Beirut
14