Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TAKWA DALAM KEHIDUPAN

Oleh :
KELOMPOK VII :
1. BOBY ANDIKA (1901155637)
2. FERRY HIDAYAT(1901155254)
3. FADJRI FAHREZI (1901124454)
4. DIWA ALTAF VICKY (1901111057)

Dosen Pengampuh :
Dr. HERVRIZAL, S.Ag.,MA

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat, taufik, hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa suatu halangan
yang berarti. Solawat bertangkaikan salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada putra
Abdullah, buah hati Aminah, kekasih Allah yakni Nabi besar Muhammad Saw. Yang telah
berhasil membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang terang benderang penuh
akan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.

Makalah yang berjudul “ Tasawuf Dalam Islam ” ini kami buat dengan tujuan agar
para pembaca dapat memperluas ilmu dan mengetahui lebih dalam mengenai isi dari judul
yang saya sampaikan tadi.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen yang mengajar mata kuliah Agama Islam
bapak Dr.Herfrizal,S.Ag.MA yang telah memberi banyak ilmu mengenai pembuatan makalah
ini.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah wawasan serta ilmu baru bagi
pembaca. Namun, terlepas dari semua itu kami penyusun memahami bahwa karya manusia
tidak ada yang sempurna, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Pekanbaru, 4 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………..i
Daftar Isi…………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...1


1.2 Rumusan Masalah..........................……………………………………………1
1.3 Tujuan Penulisan……………..………………………………………………..2

BAB II TAKWA DALAM KEHIDUPAN

2.1 Pengertian Tasawuf …...…...……………………………………………………3


2.2 Sejarah Tasawuf……….............………………………………………………..4
2.3 Ulama Ulama Tasawuf…… ...........................………….……………………...10
2.4 Syariat, Hakikat, dan Thariqat……….......……………..……………………...11
2.5 Urgensi Tasawuf di Era Millenial………………………………………………11

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan…………………………………………………………………......13
3.2 Saran.............…………………………………………………………………13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi


ruang gerak manusia. Al-Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang
menggiring manusia menuju ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu
dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat dirasakan dengan
jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan
berkomunikasi dengan Allah.
Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu,
sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian
manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah
kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf. Tasawuf merupakan
suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau
bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan mencoba memaparkan
beberapa persoalan yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu pengertian tasawuf,
sejarah perkembangan tasawuf, dalil Al-Quran dan Hadits tentang perlunya
tasawuf, manfaat tasawuf, serta istilah-istilah dalam tasawuf.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa itu Tasawuf ?


2.Siapa-Siapa saja ulama tasawuf ?
3.jelaskan maksud dari syariat,hakikat, dan thariqat !
4.jelaskan Urgensi tasawuf di zaman milenial !

1.3 Tujuan Penulisan

1. Ingin mengetahui apa itu tasawuf


2. Ingin mengetahui siapa saja ulama tasawuf
3. ingin mengetahui apa maksud dari syariat,hakikat, dan thariqat
4. Ingin menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen
Bpk.Dr.Herfizal,S.Ag.MA
BAB II
TASAWUF DALAM ISLAM

2.1 Pengertian Tasawuf

 Dari segi Bahasa terdapat jumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para
ahli untuk menjelaskan kata tasawuf, Harun Nasution, misalnya menyebutkan
lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf yaitu al-suffah( orang yang ikut
pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah ), saf ( Barisan ), Sufi ( suci ),
Sophos ( Bahasa yunani: hikmat ) dan Suf ( kain wol)

Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan.


ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf” (‫)صف‬.
Makna “shaf” ini dinisbahkan kepada orang yang ketika sholat selalu berada
di saf paling depan.ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf di nisbahkan
kepada orang-orang dari Bani Shufah.tasawuf ada yang menisbahkannya
dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yakni “Saufi” (‫)صوفى‬. Istilah ini
disamakan maknanya dengan kata “Hikmah” (‫)حكمة‬, yang berarti
kebijaksanaan.ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” (
‫ )صوف‬yang berarti bulu domba atau wol.

 Dari segi Linguistik ( kebahasaan ) , tasawuf adalah sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri,ibadah,hidup sederhana,rela berkorban untuk kebaikan
dan selalu bersikap bijaksana (Prof.Dr.H.Abuddin Nata, 2014)1

 Dari segi istilah,tasawuf dapat defenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan
cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memutuskan perhatian hanya
kepada Allah SWT,
banyak diformulasikan pula ahli yang satu dan lainnya berbeda , sesuai dengan
seleranya masing-masing.
1. Menurut Al-Jurairi, tasawuf itu “masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang
mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah. Sedangkan menurut Al- Junaidi, ia
merumuskan tasawuf “adalah (kesadaran) bahwa yang Hak (Allah) adalah yang
mematikanmu dan yang menghidupkanmu”, sedangkan ia mendefinisikan tasawuf
adalah “membersihkan hati dari apa saja yang mengganggu perasaan mahluk,
berjuang untuk menanggalkan pengaruh budi yang asala (insting) kita, melemahkan
sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu,
mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai
barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semau orang,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syari’at.”

1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.,Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia
2. Menurut Abu Hamzah yang memberikan ciri-ciri ahli tasawuf adalah, “tanda
seorang sufi yang benar adalah memilih hidup fakir setelah (seebelumnya hidup)
kaya, memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan,
memilih menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal. Adapun tanda
orang sufi palsu adalah memilih hidup kaya setelah (sebelumnya hidup) fakir,
memilih kemuliaan dunia setelah (sebelumnya hidup) dalam kehinaan, dan memilih
terkenal setelah (sebelumnya hidup) tidak dikenal”.
3. Menurut Muhammad Ali Al-Qassab, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang timbul
pada waktu mulia dari seseorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yeng mulia
juga”.
4. Menurut Syamun, “Tasawuf adalah hendaklah engkau memiliki sesuatu dan
tidak memiliki sesuatu”.
5. Menurut Ma’ruf Al-Kurkhi, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak
berharap terhadap apa yang ada di tangan mahluk”.
6. Menurut Simuh, “Tasawuf adalah proses pemikiran dan perasaan yang menurut
tabiatnya sulit didefinisikan. Tasawuf ialah mencari jalan untuk memperoleh
kecintaan dan kesempurnaan rohani, atau berpindah dari kehidupan biasa menjadi
kehidupan sufi yang selalu tekun beribadah, jernih jiwa, dan hati ikhlas karena Allah
semata”.
7. Menurut Dr. H. A. Mustafa, “Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang
merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada
dekat atau sedekat mungkin ada Allah dengan jalan membersihkan jiwa dari
kungkungan jasadnya yang menyadarkannya pada kehidupan kebendaan di samping
melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela”.

Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati


mereka dan apa yang mereka nyatakan.(Q.S An Naml Ayat 74) 2

2.2 Sejarah Tasawuf


Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran islam itu
sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan
alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping
untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan
hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk
membersihkan hati dan mensucikan noda- noda yang menghinggapi masyarakat pada masa
itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari
ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh liku- liku probelma kehidupan yang
beraneka ragam , berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat
2
Q.s An Naml Ayat 74
kebenaran , dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT,
yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai
kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.1
Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud
pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri
seorang zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun
642 M, dan meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf
dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang
lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di
kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai
tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan
disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia
( zuhud ).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai
karakter sebagai berikut:
Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang dilator
belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis( belum berwujud dalam
sistematika dan teori tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.
Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-
prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana- saranapraktisnya adalah hidup
dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak
beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk
mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada
masa itu mengarah pada tujuan moral.
Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan
Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap adhab- Nya
maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan
abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Ahkir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah
ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan
tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al-
Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu
alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak
memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.2
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf.
Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon
harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi
sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan
sufi[1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah[2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud
berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa
Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling
dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan
memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan
dan memperbanyak dzikir”[4].
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid
yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta mengingkarinya serta lebih mengutamakan
kehidupan yang kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan
makrifat perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk
dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang
sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan
di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan
seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan dunia dan tidak membuat
ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha bekerja. Hal ini hanyalah sebagai sarana
ibadah meraih keridhoan-Nya, bukan sebagai tujuan akhir hidup.
Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan lanjutan munculnya
tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin terhadap sistem social politik dan ekonomi di
kalangan islam sendiri. Ketika islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo
sahabat (zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa daulah-daulah
setelahnya banyak terjadi pertikaian politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai
beubah kondisinya dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara
antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada Utsman bin Affan.
Dengan adanya peristiwa tersebut membuat masyarakat dan ulama tidak ingin terlibat
terhadap pergolakan yang ada serta tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih
untuk mengasingkan diri agar bisa mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam
seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi SAW, para sahabat serta para pengikutnya yang
sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist pada jalan yang benar menuju Rabb
Yang Maha Esa.
Berikut ini dikemukakan beberapa hadis yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:

 Aisyah berkata:

Artinya ; Adalah Nabi bangun shalat malam (qiyam al-lail),


sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai
utusan Allâh, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allâh telah berjanji akan
mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau
menyawab, Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allâh yang bersyukur?,
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
2.3 Ulama Ulama Tasawuf
Abdullah bin Mubarak
Bagi orang yang biasa menggeluti dunia tasawuf atau kajian tentang akhlak Islam,
maka nama ini tidak akan asing di telinganya. Beliau adalah salah satu ulama salaf (hidup
sebelum abad ketiga hijrah) yang masyhur karena ilmu, akhlak, dan kebijaksanaannya. Kalam
hikmahnya menghiasi buku-buku semacam Ihya’ Ulumiddin, Qutul Qulub, dan lain-
lain.Sebelum membahas kekayaan beliau, ada baiknya digambarkan derajat keulamaan beliau
lebih dulu. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah (10/178) mengisahkan bahwa suatu hari beliau
datang ke kota Raqqa yang di situ terdapat istana Harun Al-Rasyid.Orang-orang seluruh kota
berkumpul untuk bisa bertemu beliau dan tabarrukan (meminta berkah). Selir Harun yang ada
di atas istana melihat kerumunan itu dan bertanya kenapa orang-orang berkerumun. Lalu
salah seorang pengawal menjawab bahwa seorang ulama besar bernama Abdullah bin
Mubarok berkunjung ke kota ini.
“Itulah raja yang sesungguhnya,” ujar selir Harun, “tidak seperti Raja Harun yang membuat
kerumunan menggunakan pedang dan tongkat.”
Beliau lahir dari keluarga pebisnis. Ayahnya pedagang dari Turki dan ibunya
berasal dari Khwarizma. Mengenai rizkinya yang melimpah, Ibnu Katsir menceritakan bahwa
aset tetap beliau (ra’sul mal) berjumlah sekitar empat ratus ribu yang mana semuanya itu
beliau investasikan ke beberapa daerah. Sayang sekali Ibnu Katsir tidak menjelaskan apakah
angka ini dalam mata uang dinar (emas) atau dirham (perak). Tapi andaikan dirham pun
jumlah ini tetap banyak.Namun meskipun demikian beliau adalah pribadi yang sangat
dermawan. Jika musim haji hampir tiba, beliau selalu bertkata kepada kawan-kawannya,
“Siapa yang hendak berhaji datangilah aku. Akan kuberi uang sebagai bekal.”Di hari-hari
tertentu beliau akan menghampar meja makan dan mengisinya dengan makanan-makanan
lezat. Lalu beliau akan membiarkan rombongan haji, orang miskin, atau musafir untuk ramai-
ramai menyantapnya. Padahal beliau sendiri selalu berpuasa hingga meninggal.Setiap tahun
hasil laba bisnis beliau berjumlah seratus ribu, dan itu semua beliau sedekahkan untuk para
ulama, ahli ibadah, dan lain-lain. Itulah, sosok sufi Abdullah bin Mubarak.
Syekh Abdul Qadir Jailani
Sepengetahuan penulis, tidak ada seorang ulama setelah abad lima hijriah dan
abad-abad selanjutnya yang disepakati keagungannya oleh seluruh sekte Islam Sunni, kecuali
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar Asqalan. Khusus untuk Syekh
Abdul Qodir, beliau adalah guru hampir semua ulama yang hidup di masanya. Ratusan ribu
bajingan, bromocorah, dan penganut sekte menyimpang berhasil taubat di tangan
beliau.Selain sebagai tokoh sufi, beliau juga tidak diragukan kualitas keilmuannya. Buktinya
adalah salah satu murid beliau yang bernama Ibnu Qudamah. Ibnu Qudamah adalah
pengarang al-Mughni, sebuah kitab fikih antar-mazhab yang masyhur itu.
Dalam biografi beliau karangan Dr. Abdur Rozzaq al-Kailani dikisahkan bahwa
pada usia remaja beliau berangkat ke kota Bagdad untuk menuntut ilmu dengan membawa
bekal secukupnya. Ketika beliau sampai di sana, orang-orang sedang ramai membincangkan
Imam Ghazali yang sedang mengalami krisis intelektual. Tahun itu (488 H) adalah tahun di
mana Imam Ghazali mengasingkan diri dan pergi berkelana.Di Bagdad, Abdul Qadir muda
kehabisan bekal dan akhirnya bekerja sebagai kuli angkut untuk melanjutkan kehidupannya.
Guru beliau dalam ilmu syariat bernama Abu Sa’d al-Makhromi, seorang alim dari Bagdad di
masanya. Sedangkan guru tasawufnya bernama Hamad ad-Dabbas.
Ketika gurunya, Abu Sa’d, meninggal beliau langsung dipercaya memegang
madrasah. Dari situ ketenaran beliau sebagai ulama, pendakwah, dan wali agung mulai
masyhur. Di masa itu para ulama dan pengabdi ilmu mendapatkan jatah harta wakaf dari
perkebunan-perkebunan.

2.4 Syariat, Hakikat, dan Thariqat

1. SYARIAT
Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ‫ َش َر َع – َيْش َر ُع – َشْر ًعا‬yang
berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya “Studi Tentang
Ushul Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti
sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya.
Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai
pedoman sumber pedoman.
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan
ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya.
Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai
landasan tasawuf yang diambil dari buku “Sufism and Shari‘ah” yang ditulis oleh
Muhammad Abdul Haq Ansari.Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah
syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan
penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan
yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas,
yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung (wahyu) maupun melalui
nabi-Nya itulah yang disebut syariat.
Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat
bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah
aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik
tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin
menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju
makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut
mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi.
Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat
adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang
menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka
mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan.
‘Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang
pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka
dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.’[6]
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka kasyf itu tidak
bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang
baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf
seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal
sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini
memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide
yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan
dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya
memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah
melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan
dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna
dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu.

2. HAKIKAT
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar
dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran
esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam
tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang
merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, sementara
hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut
Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.

Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah


kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu,
sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari
syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah
afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan
langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau
mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan. Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan
hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik. Sementara penafsiran Prof.
Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para
sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi
mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran yang esensial). Contoh salah satu sufi
dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922) yang mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku
adalah Tuhan). Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap
formula ‘la ilaha illa Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang
absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti
keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan.
Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan
yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan
dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut.
Dia jualah yang merupakan pemberi wujud.Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para
sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya
sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-fana’ yang merupakan
ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-
satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam)
terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai
oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang
dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu,
ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk
kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.

3. THARIKAT
Dari segi Bahasa tarikat berasal dari Bahasa thariqat yang artinya jalan, keadaan,
dan aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan, bahwa secara harfiah terikat
berarti jalan yang terang, dan lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.
Selanjutnya pengertian tharikat berbeda beda menurut tinjauan masing masing. Di kalangan
muhaddisin atau muhadditsin tharikat digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama,
menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua, didasarkan
pada system yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Selain itu tharikat juga diartikan
sekumpulan cara cara yang bersifat renungan, dan usaha indrawi yang mengantarkan pada
hakikat, atau sesuatu yang benar.
Lebih khusus lagi tharikat dikalangan sufiyah berarti system dalam rangka
mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata
untuk mengharapkan bertemu dengan atau bersatu dengan ruhiah dengan Tuhan. Jalan dalam
tharikat itu antara lain terus-menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, dan
terus-menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
Dengan memerhatikan berbagai pendapat tersebut di atas, kiranya dapat diketahui
bahwa yang dimaksud dengan tharikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi
yang di dalamya berisi amalan ibadah dan lainnya yang termakan menyebut nama Allah dan
sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tharikat ini ditunjukkan
untuk memperoleh hubungan dengan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.
Guru dalam tharikat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut musyid atau
Syaikh, dan wakilnya disebut khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Sedangkan
tempatnya disebut ribath atau zawiyah atau taqiyah. Selain itu tiap tharikat juga memiliki
amalan atau ajaran wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaannya, tata tertibnya dan upacara-
upacara lainnya yang membedakan antara satu tharikat dengan tharikat lainnya. Menurut
ketentuan tharikat pada umumnya, bahwa seseorang syaikh sangat menentukan terhadap
muridnya. Keberadaan murid dihadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya
apa-apa. Dan karena tharikat itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri
kepada Allah, maka orang yang menjalanan tharikat itu harus menjalankan syariat dan si
murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah murid;
Melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang
hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan doa guna
pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.

Ciri ciri tharikat tersebut merupakan ciri yang pada umumnya dianut setiap
kelompok, sedangkan dalam bentuk dan wiridnya berbeda beda.

2.5 URGENSI TASAWUF DI ERA MILLENIAL


Di era modern ini banyak masyarakat yang mengabaikan akhlak dan tasawuf
mereka menjadikan gaya hidup mereka menjadi gaya hidup orang pada jaman jahiliyah
seperti segala sesuatunya yang berlebihan dan boros, mereka tidak memperhatikan
masyarakat di sekitar mereka yang lebih membutuhkan dari mereka, mereka hanya mengejar
kepuasann mereka karena mereka tidak mempunyai rasa bersyukur. Mereka lupa dengan
ajaran yang telah di ajarkan oleh nabi kita Nabi Muhammad SAW yaitu selalu bersyukur
dengan apa yang kita miliki maka kita akan merasa lebih bahagia.
Bahkan kadang mereka lupa hak-hak para fakir miskin yang ada di harta mereka, mereka
tidak pernah membersihkan harta mereka dengan cara membayar zakat fitrah ataupun zakat
mal. Di era kehidupan yang serba konsumtif dan hedonis ini secara tidak lagsung kita telah
menjadi individualis yang tidak pernah memperhatikan lingkungan sekitar kita, masihkah ada
orang yang membutuhkan bantuan ku atau masihkah ada orang yang lebih sulit ekonominya
dari aku, dll. Maka dari itu kita harus belajar menghindari segala macam perilaku yang telah
menyimpang dari ajaran ilmu akhlak dan ilmu tasawuf dengan cara banyak berdzikir
mendekatkan diri kepada Allah SWT rajin ibadah belajar mengaji dengan guru yang lebih
mengerti tentang ilmu dan tasawuf, menghindari gaya hidup yang berlebihan dan boros,
berlatih untuk selalu bersyukur dengan apa yang sudah kita punya saat ini jangan mudah
tergiur dengan apa-apa yang bermerk dan berharga mahal dan itu sangat tidak kita butuhkan
(Agus, 2016: 8-11).
1. Problematika Masyarakat Modern
Revolusi teknologi yang semakin lama semakin cangih dan serba instan dapat
meningkatkan kontrol manusia pada materi, ruang dan waktu,menimbulkan evolusi ekonomi,
gaya hidup, pola pikir, dan sistem rujukan. Dan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi
telah melahirkan problematika masyarakat modern sebagai berikut:
a. Desintegrasi ilmu pengetahuan: Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya
spesialisasi dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki
paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika
seseorang mengalami masalah kemudian pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi,
ekonom psikolog dan lain-lain, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda sehingga
dapat membingungkan manusia.
b. Kepribadian yang terpecah: Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu
pengetahuan yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak itu, maka
manusia menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur oleh rumus ilmu
yang eksak dan kering. Akibatnya hal ini dapat menghilangkan nilai rohaniah, jika keilmuan
yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama maka proses kehancuran manusia
akan terus berjalan.
c. Penyalahgunaan IPTEK: Sebagai akibat dari lepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya.
Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk penjajahan satu bangsa. Kemampuan
dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Sehingga semua itu dapat
terlihat akan rusaknya moral umat dan lain sebagainya.
d. Pendangkalan Iman: Sebagai akibat dari pola fikir keilmuan diatas, khususnya ilmu-ilmu
yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal
imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi
yang diberikan oleh wahyu kadang hanya menjadi bahan tertawaan karena tidak ilmiah.
e. Pola hubungan materialistik: Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong yang
didasarkan akan panggilan iman sudah tidak nampak lagi. Pola hubungan satu sama lain
hanya dilihat dari sejauh mana seseorang memberikan manfaat secara material terhadap
lainnya. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat,
nurani, hati, kemanusiaan dan keimanannya.
f. Menghalalkan segala cara: Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola
hidup materialistik sebagaimana yang disebutkan diatas, maka manusia mudah menggunakan
prinsip menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika ini terus berlanjut akan
terjadi kerusakan akhlak dalam berbagai bidang kehidupan.
g. Stres dan Frustasi sehingga dapat kehilangan harga diri dan masa depannya; Kehidupan
modern yang kompetitif seperti ini mengakibatkan manusia terus bekerja dan bergerak tanpa
mengenal batas dan kepuasaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah ada rasa syukur yang
muncul dari hati manusia. Ketika mengalami kegagalan tekadang mereka stress dan frustasi
sehingga mereka tidak dapat berfikir dengan jernih akibat dari jauhnya kehidupan mereka
dari nilai-nilai spiritual. Maka dari itu pengambialn keputusan yang salah pada kondisi ini
sering terjadi. Tak sedikit orang terjerumus kedalam hal yang negatif dimana dapat
menghilangkan harga diri mereka dan masa depan kelak.
2. Bukti Minat Masyarakat Modern Terhadap Tasawuf
Persoalan besar yang muncul ditengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah
krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme,
empirisme, dan positifisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern dimana
menjadikan sekuralisme menjadi mentalitas jaman. Ada empat sebab yang menjadikan
tarekat begitu menarik masyarakat Islam sejak abad ke 6M/12H. Pertama, ialah faktor Al-
Ghazali. Dalam suasana pertentangan klaim jalan untuk mencapai kebenaran, ia telah
mempelajari dengan cermat berbagai aliran utama Islam. Dan pada akhirnya setelah
mengalami krisis intelektual ia menemukan tasawuf sebagai jalan yang paling valid untuk
melihat kebenaran. Begitu kuatnya pengaruh pikiran Al-Ghazali yang bukan saja menata
teologi Islam dan membersihkan tasawuf dari elemen-elemen yang tidak Islami, Al-Ghazali
berhasil menjadikan tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Melalui Al-Ghazali
tasawuf menerima ijma’ umat Islam. Kedua, ialah jatuhnya imperium Islam dan dengan
demikian muncul perasaan tidak aman dikalangan masyarakat Islam. Pada tahun 1258
Baghdad dihancurkan oleh bangsa mongol yang kemudian menguasai wilayah-wilayah Persia
dan Asia tengah. Wilayah-wilayah itu mengalami kehancuran baik oleh mongol maupun
penguasa-penguasa berikutnya. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat mencari perlindungan
yang akhirnya menemukan tarekat sebagai institusi yang mengisi kevakuman pemerintah
yang stabil dan menjamin tatanan social. Ketiga, ialah keyakinan bahwa tasawuf mampu
mengantarkan manusia berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan jaminan itu diberikan
oleh tarekat. Ajaran tarekat tentang berkah, syafaat, karamah, dan ziarah kubur berfungsi
mempertautkan batin manusia dengan Tuhan melalui tarekat. Keempat, ialah bahwa tasawuf
yang diajarkan oleh tarekat bersikap sangat toleran terhadap keyakinan dan praktek
keagamaan local. Sikap ini sangat menarik mereka yang baru saja masuk Islam atau
dikalangan Islam yang masih awam.
3. Relevansi Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Banyak cara yang dianjurkan para ahli untuk mengatasi masalah, salah satu cara yang
dianjurkan para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan
bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi
masalah modern adalah Husein Nasrh, menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat
tempat dikalangan masyarakat, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dimana
sufisme yang dapat menjawab persoalan mereka. Tujuan sufisme dimasyarakatkan itu ada 3
yaitu:
a. Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari
kondisi kebingungan akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual.
b. Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteric (batin) Islam, baik
terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya
terhadap masyarakat barat.
c. Untuk memberikan penegasan kembali bahwasannya sesungguhnya aspek esoteric Islam,
yakni sufisme, adalah jantung dari ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak
berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam. Dalam hal ini Nasrh menegaskan “
tarikat ” atau “ jalan rohani ” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah
merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam Islam, sebagaimana syariat berakar
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menjadi jiwa dan risalah Islam, seperti hati yang ada pada
tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Intisari ajaran tasawuf bertujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan
kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Upaya ini dilakukan antara lain dengan melepaskan
diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Orang yang telah
sampai pada tujuan tersebut akan selamat dari jeratan duniawi. Ketika telah sampai pada
tahap ma’rifat yakni tahap tempat antara hamba dengan Tuhan-Nya tidak ada tabir yang
menutup, sementara hati sang hamba telah dipenuhi dengan cinta bukan rasa takut kepada
Tuhan.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan
dunia dan memutuskan perhatian hanya kepada Allah SWT.

3.2 Saran

Setelah menguraikan berbagai macam penjelasan tentang Tasawuf dalam kehidupan.


Diharapkan makalah ini mampu menjadi acuan bagi mahasiswa agar mampu memahami dan
mengetahui Bagaimana mengimplementasikan Tasawuf dalam kebidupan sehingga dapat
memiliki pengetahuan yang lebih luas kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M. (2014). AKHLAK TASAUF DAN KARAKTER MULIA. Jakarta:
PT.RajaGrafindo persada.

Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M. (2014). AKHLAK TASAUF DAN KARAKTER MULIA. Jakarta:


PT.RajaGrafindo persada.

Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.

Prof. Dr. Nur Syam, M. (2008). TASAWUF KULTURAL. Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta:
LKiSYogyakarta.

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M. (2014). AKHLAK TASAUF DAN KARAKTER MULIA. Jakarta:


PT.RajaGrafindo persada.

Alniezar, F. (2019, MEI 20). Menata Hati dan Mengobarkan Perlawanan lewat Tasawuf. Retrieved
from Perlawanan Tasawuf: https://tirto.id/menata-hati-dan-mengobarkan-perlawanan-
lewat-tasawuf-dHJu

Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.

Prof. Dr. Nur Syam, M. (2008). TASAWUF KULTURAL. Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta:
LKiSYogyakarta.

Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M. (2014). AKHLAK TASAUF DAN KARAKTER MULIA. Jakarta:


PT.RajaGrafindo persada.

Anda mungkin juga menyukai