Oleh :
KELOMPOK VII :
1. BOBY ANDIKA (1901155637)
2. FERRY HIDAYAT(1901155254)
3. FADJRI FAHREZI (1901124454)
4. DIWA ALTAF VICKY (1901111057)
Dosen Pengampuh :
Dr. HERVRIZAL, S.Ag.,MA
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat, taufik, hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa suatu halangan
yang berarti. Solawat bertangkaikan salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada putra
Abdullah, buah hati Aminah, kekasih Allah yakni Nabi besar Muhammad Saw. Yang telah
berhasil membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang terang benderang penuh
akan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Makalah yang berjudul “ Tasawuf Dalam Islam ” ini kami buat dengan tujuan agar
para pembaca dapat memperluas ilmu dan mengetahui lebih dalam mengenai isi dari judul
yang saya sampaikan tadi.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen yang mengajar mata kuliah Agama Islam
bapak Dr.Herfrizal,S.Ag.MA yang telah memberi banyak ilmu mengenai pembuatan makalah
ini.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah wawasan serta ilmu baru bagi
pembaca. Namun, terlepas dari semua itu kami penyusun memahami bahwa karya manusia
tidak ada yang sempurna, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………..i
Daftar Isi…………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
3.1 Simpulan…………………………………………………………………......13
3.2 Saran.............…………………………………………………………………13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari segi Bahasa terdapat jumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para
ahli untuk menjelaskan kata tasawuf, Harun Nasution, misalnya menyebutkan
lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf yaitu al-suffah( orang yang ikut
pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah ), saf ( Barisan ), Sufi ( suci ),
Sophos ( Bahasa yunani: hikmat ) dan Suf ( kain wol)
Dari segi Linguistik ( kebahasaan ) , tasawuf adalah sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri,ibadah,hidup sederhana,rela berkorban untuk kebaikan
dan selalu bersikap bijaksana (Prof.Dr.H.Abuddin Nata, 2014)1
Dari segi istilah,tasawuf dapat defenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan
cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memutuskan perhatian hanya
kepada Allah SWT,
banyak diformulasikan pula ahli yang satu dan lainnya berbeda , sesuai dengan
seleranya masing-masing.
1. Menurut Al-Jurairi, tasawuf itu “masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang
mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah. Sedangkan menurut Al- Junaidi, ia
merumuskan tasawuf “adalah (kesadaran) bahwa yang Hak (Allah) adalah yang
mematikanmu dan yang menghidupkanmu”, sedangkan ia mendefinisikan tasawuf
adalah “membersihkan hati dari apa saja yang mengganggu perasaan mahluk,
berjuang untuk menanggalkan pengaruh budi yang asala (insting) kita, melemahkan
sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu,
mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai
barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semau orang,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syari’at.”
1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.,Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia
2. Menurut Abu Hamzah yang memberikan ciri-ciri ahli tasawuf adalah, “tanda
seorang sufi yang benar adalah memilih hidup fakir setelah (seebelumnya hidup)
kaya, memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan,
memilih menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal. Adapun tanda
orang sufi palsu adalah memilih hidup kaya setelah (sebelumnya hidup) fakir,
memilih kemuliaan dunia setelah (sebelumnya hidup) dalam kehinaan, dan memilih
terkenal setelah (sebelumnya hidup) tidak dikenal”.
3. Menurut Muhammad Ali Al-Qassab, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang timbul
pada waktu mulia dari seseorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yeng mulia
juga”.
4. Menurut Syamun, “Tasawuf adalah hendaklah engkau memiliki sesuatu dan
tidak memiliki sesuatu”.
5. Menurut Ma’ruf Al-Kurkhi, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak
berharap terhadap apa yang ada di tangan mahluk”.
6. Menurut Simuh, “Tasawuf adalah proses pemikiran dan perasaan yang menurut
tabiatnya sulit didefinisikan. Tasawuf ialah mencari jalan untuk memperoleh
kecintaan dan kesempurnaan rohani, atau berpindah dari kehidupan biasa menjadi
kehidupan sufi yang selalu tekun beribadah, jernih jiwa, dan hati ikhlas karena Allah
semata”.
7. Menurut Dr. H. A. Mustafa, “Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang
merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada
dekat atau sedekat mungkin ada Allah dengan jalan membersihkan jiwa dari
kungkungan jasadnya yang menyadarkannya pada kehidupan kebendaan di samping
melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela”.
Aisyah berkata:
1. SYARIAT
Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata َش َر َع – َيْش َر ُع – َشْر ًعاyang
berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya “Studi Tentang
Ushul Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti
sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya.
Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai
pedoman sumber pedoman.
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan
ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya.
Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai
landasan tasawuf yang diambil dari buku “Sufism and Shari‘ah” yang ditulis oleh
Muhammad Abdul Haq Ansari.Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah
syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan
penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan
yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas,
yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung (wahyu) maupun melalui
nabi-Nya itulah yang disebut syariat.
Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat
bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah
aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik
tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin
menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju
makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut
mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi.
Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat
adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang
menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka
mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan.
‘Mereka yang lebih maju (dalam sufisme) membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang
pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka
dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.’[6]
Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka kasyf itu tidak
bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang
baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf
seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal
sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini
memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide
yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan
dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya
memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah
melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan
dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna
dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu.
2. HAKIKAT
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar
dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran
esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam
tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang
merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, sementara
hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut
Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.
3. THARIKAT
Dari segi Bahasa tarikat berasal dari Bahasa thariqat yang artinya jalan, keadaan,
dan aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan, bahwa secara harfiah terikat
berarti jalan yang terang, dan lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.
Selanjutnya pengertian tharikat berbeda beda menurut tinjauan masing masing. Di kalangan
muhaddisin atau muhadditsin tharikat digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama,
menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua, didasarkan
pada system yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Selain itu tharikat juga diartikan
sekumpulan cara cara yang bersifat renungan, dan usaha indrawi yang mengantarkan pada
hakikat, atau sesuatu yang benar.
Lebih khusus lagi tharikat dikalangan sufiyah berarti system dalam rangka
mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata
untuk mengharapkan bertemu dengan atau bersatu dengan ruhiah dengan Tuhan. Jalan dalam
tharikat itu antara lain terus-menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, dan
terus-menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
Dengan memerhatikan berbagai pendapat tersebut di atas, kiranya dapat diketahui
bahwa yang dimaksud dengan tharikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi
yang di dalamya berisi amalan ibadah dan lainnya yang termakan menyebut nama Allah dan
sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tharikat ini ditunjukkan
untuk memperoleh hubungan dengan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.
Guru dalam tharikat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut musyid atau
Syaikh, dan wakilnya disebut khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Sedangkan
tempatnya disebut ribath atau zawiyah atau taqiyah. Selain itu tiap tharikat juga memiliki
amalan atau ajaran wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaannya, tata tertibnya dan upacara-
upacara lainnya yang membedakan antara satu tharikat dengan tharikat lainnya. Menurut
ketentuan tharikat pada umumnya, bahwa seseorang syaikh sangat menentukan terhadap
muridnya. Keberadaan murid dihadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya
apa-apa. Dan karena tharikat itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri
kepada Allah, maka orang yang menjalanan tharikat itu harus menjalankan syariat dan si
murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah murid;
Melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang
hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan doa guna
pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Ciri ciri tharikat tersebut merupakan ciri yang pada umumnya dianut setiap
kelompok, sedangkan dalam bentuk dan wiridnya berbeda beda.
3.1 Simpulan
Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan
dunia dan memutuskan perhatian hanya kepada Allah SWT.
3.2 Saran
Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.
Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.
Prof. Dr. Nur Syam, M. (2008). TASAWUF KULTURAL. Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta:
LKiSYogyakarta.
Alniezar, F. (2019, MEI 20). Menata Hati dan Mengobarkan Perlawanan lewat Tasawuf. Retrieved
from Perlawanan Tasawuf: https://tirto.id/menata-hati-dan-mengobarkan-perlawanan-
lewat-tasawuf-dHJu
Daradjat, P. D. (1997). ISLAM UNTUK DISIPLIN ILMU FILSAFAT. Jakarta: DEPARTEMEN AGAMA RI.
Prof. Dr. Nur Syam, M. (2008). TASAWUF KULTURAL. Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta:
LKiSYogyakarta.