Anda di halaman 1dari 16

MUQOMAT ILMU TASAWUF

Disusun Guna Memenuhi Tugas Makalah

Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu : Rosidin, M.Pd.I

Disusun oleh:

Nama / NIM :

1. Dheviana Oktavianingsih (20111344)


2. Kholisotun Ni’matul khasanah (20111413)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL ( STIK )

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufiq, hidayah, dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini tanpa halangan suatu apapun. Tak lupa penulis haturkan shalawat serta
salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir
pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul “MUQOMAT ILMU TASAWUF” bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf. Dalam penyusunan makalah ini,
kami banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, oleh
karena itu saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tantowi, M.Si, M.Pd selaku Ketua Sekolah Tinggi Islam
Kendal (STIK) yang telah memberikan kesempatan untuk membuat makalah
ini.
2. Bapak Rosidin, M.Pd.I selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ilmu Tasawuf
yang telah memberikan banyak pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini.
3. Semua pihak yang berperan dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan kritik dan saran demi
perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kendal, 17 Mei 2022

Penyusun
Daftar Isi

JUDUL…………………………………………………………………………………..I
KATA PENGANTAR……………………………………………………….................II
DARTAR ISI…………………………………………………………………………...III

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………………1.1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...1.1
C. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………………1.1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf ……………..………………………………………………....2.2


B. Pengertian Muqamat dan Ahwal……..………………………………………….....2.3
C. Macam-macam Muqamat…………..…….………………………………………...3.4
D. Puncak tahapan Muqamat…………………………………………..………………4.5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………………...5.5
B. Saran…………………………………………………………………………….5.5
BAB 1
(PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang

Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat serta puncak-puncaknya


dan ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak
mungkin ada tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa
kehadiran maqamat dan ahwal. Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat
itu, jiwa seseorang sufi terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup,
manusia dan Tuhan Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga
mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang tak terkatakan
dan tak bisa dilukiskan keindahannya.

Puncak kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut
ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj
menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan
mahabbah. Begitulah, setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk
melukiskan nikmat dan indahnya bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu
sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-
keterbatasan (bahasa) manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tasawuf?
2. Apa Pengertian Muqamat dan Ahwal?
3. Apa saja macam-macam dari Muqamat?
4. Apa Saja puncak dari Muqamat?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mendeskripsikan Pengertian Tasawuf
2. Mendeskripsikan Pengertian Muqamat dan Ahwal
3. Mengetahui Macam-macam Muqamat
4. Mengetahui puncak dari Muqamat
BAB II
(PEMBAHASAN)

A. Pengertian Tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
Makna Tasawuf secara bahasa berasal dari kata al-shuffah atau orang yang
ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah. Selanjutnya bisa dimaknai pula
sebagai suf (barisan), suf (kain wol), hingga ke bahasa Yunani sophos (hikmat).
Kata al-suffah misalnya, menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan
jiwa-raga, harta-benda, dan lainnya hanya untuk Allah SWT. Setia mengikuti dakwah
Rasulullah selagi susah. Namun demikian, dari sisi linguistik tasawuf dapat dipahami
sebagai sikap mental. Yakni sikap mental yang senantiasa memelihara kesucian diri,
ibadah, menjalani kehidupan dengan sederhana, hingga sikap rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu bijaksana. Dari sisi istilah, pengertian tasawuf, manusia yang
memiliki keterbatasan berupaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia. Kemudian mereka memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
Sehingga disimpulkan dalam buku tersebut bahwa, tasawuf pada intinya adalah upaya
untuk melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh kehidupan dunia. Hal itu dilakukan guna tercermin akhlak yang mulia dan
senantiasa pelakunya dekat dengan Allah SWT.

2. Ciri Khas dan Karakteristik Tasawuf


a) Memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi.
b) Mencari hakikat kebenaran atau realitas melalui penyingkapan tabir
penghalang yang mengantarai sufi.
c) Bahwa pada setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan
kualitas moral.
d) Peleburan diri dengan sifat-sifat tuhan dan penyatuan diri dengan-Nya.
e) Penggunaan kata simbolis dalampengungkapan pengalaman.

3. Sejarah dan perkembangan Tasawuf


• baru dikenal abad ke-2 Hijriah => fase aksetisme, munculnya individu yg
lebih mengejar kepentingan akherat dan mengabaikan keasikan duniawi.
• Pada abad ke-3 Hijriah => sudah terlihat adanya peralihan konkret dari
aksetisme Islam ke sufisme (peralihan sebutan zahid menjadi sufi).

4. Alasan munculnya Gerakan tasawuf


➢ sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekuler dan glamour dari kelompok
elit dinasti penguasa di istana.
➢ Kekerasan pergulatan politik pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang
ingin memepertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah, terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan
sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan
politik.

5. Tujuan Tasawuf
➢ Secara umum tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin
dengan Allah.
➢ Tujuan Tasawuf secara khusus:
1. pembinaan aspek moral
2. ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung
3. membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada
Allah
➢ Tujuan akhir sufisme:
1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan
2. Penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari
sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial)
3. Peniadaan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada
perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari selain dia.

B. Pengertian Muqamat dan Ahwal


1. Pengertian Muqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti
pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah
stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui
peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang
tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis
maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk
meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah
swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah
pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyaini sebagai amalan
yang lebih tinggi nilai spirituanya di hadapan Allah swt.

Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk


melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan
(tharikat) menuju Allah swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi
tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan).

Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat) secara


rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan mengetahui
penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt. Walaupun ia
adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (al-iman al-aqli an-nazhari) dan iman
secara rasa (al-iman asy- Syu’ri adz- dzauqi).

2. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf
sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. Hal,
sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari
peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa
kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan,
ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya dalam
kalbu hamba tersebut.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan
kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu
keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai
anugrah dan kerunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat
dicapai melalui usaha, keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa
diduga duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga
banayak. Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari
Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa
melalui usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi
dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan
hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.

C. Macam-macam Muqamat
Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk
mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap perbedaan
beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli
tasawuf, yaitu:
1) Al-Zuhud
Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat keduniaan.
Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap melepaskan diri
dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan
kehidupan akhirat. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, inti
dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan
akhir. Jangan sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan susutnya waktu dan
perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi.
Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan. Pertama menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga mengucilkan dunia bukan karna takut atau
berharap, tetapi karena cinta karen Allah. Orang yang berada pada tingkat
tertinggi ini akan memandabg segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai
apa-apa.

2) At-Taubah
At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan
dosa. At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni ; yang pertama taubat yang
paling rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang
telah dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua taubat yang lebih tinggi
tingkatannya yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari sifat dendam,
sombong, iri, riya’, pamer, dll. Sedangkan yang ketiga taubat tertinggi yaitu taubat
untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan kelalaian dari mengingat
Allah.

3) Al-Wara’
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Mereka
yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah
meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil. Seseorang yang bersifat wara’
adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala perilakunya sehingga tidak
terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau diridai Allah baik yang
hukumnya makruh apalagi haram.

4) Al –Faqr (Fakir)
Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah
diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau meminta
sesutu yang bukan haknya. Dengan demikian, seseorang yang faqr selalu merasa
berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan. Sikap ini sangat
penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al-
Faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan zuhud terhadap kehidupan
dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia, sesorang akan merasa puas dan
cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain itu sifat al-Faqr akan menghasilkan
sifat wara’, karena dengan menerima apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia
akan bersikap hati-hati dan tidak akan menuntut yang bukan haknya.

5) As-Shabr (sabar)
Sifat As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar
merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang
memiliki yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul al-
‘azmi. Jadi sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dari-Nya,
menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.
Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sabar dalam beribadah kepada Allah.
b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
c. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.

6) Tawakkal
Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan
kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada
Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap Allah dalm menjalani
setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan
diri kepada qada’ dan qadar Allah.

7) Rela (Rida’)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di anugerahkan
Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat hikmah dan kebaikan
dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha
sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya sehingga tidak menegeluh
dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.

8) Mahabbah
Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna
menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar, Maha
Penguasa, Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.

9) Ma’rifah
Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya
“mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. Jadi
mak’rifat artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung perjalanan
dari segala ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi. Unsur ma’rifat
adalah “cinta” dan hasil dari ma’rifat adalah “pandangan”.

D. Puncak tahapan Muqamat


Manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu raga dan jiwa. Oleh karena itu dalam
upayanya memenuhi kebutuhan jiwa itu, pembahasan tentang manusia selalu menarik,
terutama dari sisi jiwa, yaitu religius-spritualis. Cepat atau lambatnya perjalanan
spiritual seseorang ditentukan bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas
mujahadah dan riyadhah. Bagi kaum Sufi itu dapat terjadi dengan melalui beberapa
jalan yang panjang dan berliku, yang cukup melelahkan dengan berbagai maqāmāt, di
antaranya; al-zuhud, al-taubat, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-
ridha, al-mahabbah, al-ma’rifah, al-baqa’ wa al-fana’ sampai pada al-ittihad, al-hulul,
dan wihdat al-wujud. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah
maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu
sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur li an Nursi, hal. 220).

Kesemua maqāmāt tersebut merupakan metode yang ditempuh oleh seorang Sufi
untuk sampai ke puncak-puncak capaian sufistik, namun metode yang ditempuhnya
antara satu sufi dengan sufi yang lain tidak sama. Bahkan keadaan yang dialami
ketika ia berada pada puncak tersebut sangat bervariasi.
Jadi seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Tetapi, ia harus
menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan. Jumlah maqam yang harus
dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang
lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan
pengalaman sufi itu sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur Li an
Nursi, hal. 220). Yang dimaksud maqam di sini ialah puncak pencapaian spiritual
yang dapat dicapai seseorang. Ibarat tangga yang mempunyai beberapa anak tangga,
harus didaki para pencari Tuhan (salik) melalui berbagai usaha. Dari anak tangga
pertama hingga puncak memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan
riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap
tarekat.

Pencapaian maqam tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi tentu bersatunya sang
pencinta dan yang dicinta. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal
dengan istilah Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah hulul, bagi Al-Jilli disebut
Insan al-Kamil, bagi Al-Ghazali disebut wushul dan bagi lbnu Arabi menyebutnya
dengan istilah wahdat al-wujud. Namun demikian secara konsepsi ada sedikit
perbedaan yang mendasar diantara para sufi tersebut.
1. Ittihad
Yang dimaksud dengan Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang
sufi, karena dalam upayanya menyucikan jiwanya yang terus-menerus, sehingga ia
mabuk dengan Tuhan, dan merasa dirinya telah lenyap dan yang ada hanya wujud
Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan katakata:
Duhai Aku. Duhai al-Haq! (A. R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah aL-
Misriyah 1949, hal. 63).

2. Hulul
Hulul secara bahasa halla, yahullu, hululan adalah menempati, menurut keterangan
Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma‟ adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. (Abu Nasr al-Tusi, al-
Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah al-Haditsah, 1960, hal. 53) Pencetus konsep hulul
adalah al-Hallaj, nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain lbnu Manshur
ibnu Muhammad al-Baidhawi. Dia lahir sekitar tahun 244 H di al-Baidha, Persia.
Digelari al-Hallaj karena penghidupannya dia peroleh dari memintal kain hallaj (wol).

Al-Hallaj berpendapat, bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu
ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya
yang berjudul at-Tawasin. Dalam teorinya disebutkan, bahwa sebelum Tuhan
menjadikan makhluk, ia hanya melihat dirinya sendiri.
Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri,
dialog yang di dalamnya tak terdapat kata-kata atau huruf-huruf, dan yang dilihat
Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya. Allah melihat kepada dzat-Nya
dan Dia pun cinta pada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta
inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dan yang banyak ini. (Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang 2006, hal. 72)

3. Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah kesatuan wujud, paham ini dibawa oleh lbnu Arabi, nama
lengkapnya Abu Bakn Muhammad ibnu li ibn Ahmad ibn Abdullah al-Thai al-Hatimi,
lahir di Muncia Andalusia Tenggara, tahun 560 H. Menurut paham ini tiap-tiap yang
ada mempunyai dua aspek.
Aspek luar merupakan ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek
dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata
lain, dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat
kemakhlukan atau khalq.
Dalam teorinya tentang wujud, lbnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu
Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ibnu
Arabi menafsirkan wujud segala yang ada sebagai teofani abadi yang tetap
berlangsung dan tertampaknya yang Maha Besar di setiap saat dalam bentuk-bentuk
yang terhitung bilangannya. (lbnu Arabi, Fushush al-Hikam, pendahuluan. Dalam
Abu al-Wafa at-Ghanimi 2003, hal. 202).

4. Wushul
Wushul secara bahasa adalah telah sampai. Maksudnya adalah dalam perjalanan yang
panjang seseorang sampai pada tujuan terakhirnya, yaitu Allah. Pengusung terma
wusuhul ini adalah Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, sebagaimana yang tertuang
dalam karyanya Misykat al-Anwar. Al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H./1058 M. di
Thus, salah satu kota di Khurasan.
Menurutnya, dengan dzauqnya (seganap jiwanya) seorang bisa sampai kepada Allah,
dan pengalaman-pengalaman itulah yang membuat seorang hamba bisa menyatu
dengan Allah, tetapi penyatuan ini bukan dua dzat yang berbeda menjadi satu dzat,
melainkan penyatuan secara maknawi akan perjumpaan (Al-Ghazali, Misykat Al-
Anwar, 291-292).
Bagi al-Ghazali pengalaman penyatuan itu bersifat majazi. Karena manusia memang
dirancang oleh Allah secara sempurna, baik secara shurah (bentuk), maupun an-nafs-
nya (sifat). Setelah memperhatikan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
seseorang, al-Ghazâlî, merasa perlu mengagaris bawahi, bahwa ilmu itu tergolong
pada dua hal, yaitu al-hissiyat (yang diperoleh melalui indera maupun imajinasi) dan
al-dharuriyyat (yang sifatnya priori, logika dan aksiomatis). (Al-Ghazâlî, Al-Munqidz
min al-Dhalâl, hal. 7).
5. Insan al-Kamil
Konsespi insan al-Kamil (manusia paripurna) dikenalkan oleh Abdul Karim Al-Jilli.
Menurut Al-Jilli, pengertian insan al-Kamil adalah Ruh Nabi Muhammad yang
terkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad Saw,
para wali dan orang-orang shalih terpilih, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas
namaNya dan refleksi dari gambaran dari asma-asma dan sifat-sifatNya. (Abdul
Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 58, 74, 78). Tauhid sebagai konsep pokok
tasawuf dipahami sebagai pemusnahan dari ketidaktahuan akan identitas manusia
yang hakiki dan tak tergoyahkan dengan satu-satunya yang nyata, bukan lagi kesatuan
kehendak, akan tetapi pengungkapan selubung-selubung ketidaktahuan. (Abdul Karim
Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 78)

Ajaran tentang Insan al-Kamil al-Jilli tak bisa dilepaskan dari ittihad al-Bustami, hulul
diri al-Hallaj dan Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi, dimana pengalaman penyatuan
manusia, mengandung penyatuan ruh manusia dan ruh Tuhan akan bertajalli karena
keduanya sama-sama sempurna. Proses tajali tesebut melalui tiga tahapan tanazul
(turunan); huwawiyah, ahadiyah dan inaniyah. (Al-Jilli, Syahr Musykilat Futuhat,
halaman 8). Meski Al-Jilli mengaku mendapat inspirasi dari al-Bustami, al-Hallaj dan
Ibnu Arabi, menurutnya ada perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-
Hallaj, yaitu dalam hulul diri al-Hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam
ittihad diri AbuYazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.

Jadi dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi
bersatu dalam satu tubuh. Dalam teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai
terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu
menjadi wujud materi. Filosofi dari ketiga konsep di atas (ittihad, hulul, dan wahdat
al-wujud) adalah bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar dirii-Nya. Sehingga
dijadikan-Nya alam ini yang merupakan cermin bagi Allah dikala ingin melihat diri-
Nya.
BAB III
(PENUTUP)

A. Kesimpulan
Tasawuf pada intinya adalah upaya untuk melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang
dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia. Hal itu dilakukan guna
tercermin akhlak yang mulia dan senantiasa pelakunya dekat dengan Allah SWT.
Sedangkan, Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang
diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta
(berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt.
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum sufi
untuk menunjukkan kondisi spiritual.

Maqamat dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion, tempat seorang calon sufi
menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca Alquran, dan dzikir. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah
mendekatkan diri. Tentang berapa jumlah stasion atau maqamat yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama
pendapatnya.

Muhammad al- Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li mazhab ahl al- Tasawwuf,
sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya
ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al -taqwa, al-
tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al- Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al -zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-
ridla. Kemudian Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-
mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.
DAFTAR PUSTAKA

17 Mei 2022, pukul 09.35 WIB melalui


http://ilhamberkuliah.blogspot.com/2015/09/makalah-maqamat-dan-ahwal.html
17 Mei 2022, pukul 09.55 WIB melalui
https://media.neliti.com/media/publications/287338-maqamat-tahapan-yang-harus-
ditempuh-dala-6c0fc240.pdf
17 Mei 2022, pukul 10.15 WIB melalui
https://www.republika.co.id/berita/n6b58g/belajar-dari-suasana-batin-ketika-
mencapai-maqam-puncak-1
18 Mei 2022, pukul 08.45 WIB melalui
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197601052005011-
ENCEP_SUPRIATNA/presentasi_tasawuf.pdf

Anda mungkin juga menyukai