Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Mahabbah Dan Ma’rifat Rasa Cinta Kepada Allah”


Guna Memenuhi Tugas Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: Luluk Aryani Isusilaningtyas, M.Pd.I.

Disusun oleh :

Mia Fajriati ( 63030190049 )


Cahya Wahyuningtyas ( 63030190052 )
Fifi Amylia Yahya ( 63030190061 )

PROGTAM STUDI (S1) AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. kami
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Akhlak Tasawuf deangan tema
“Mahabbah Dan Ma’rifat Rasa Cinta Kepada Allah “.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi kita
semua terimakasih.

Salatiga, 28 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................................

Kata Pengantar.......................................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................................ii

Bab I PENDAHULUAN......................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................iii
B. Rumusan Masalah......................................................................................................iii
C. Tujuan Masalah..........................................................................................................iii

Bab II PEMBAHASAN.......................................................................................................
1. Pengertian Mahabbah, Tujuan, Dan Keutamaan Mahabbah......................................1
2. Alat untuk Mencapai Mahabbah................................................................................4
3. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah..................................................................5
4. Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis Mengenai Mahabbah.......................................6
5. Pengertiam Ma’rifah, Tujuan, Dan Keutamaan ma’ rifah.........................................7
6. Alat untuk Mencapai Ma’rifah...................................................................................9
7. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah.....................................................................10
8. Pandangan Al-Qur’an dan Hadist Mengenai Ma’rifah..............................................11

Bab III PENUTUP...............................................................................................................


A. Kesimpulan ...............................................................................................................13
B. Saran...........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kata mahabbah bersal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Al-mahabbah dapat
pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. mahabbah dapat diartikan
sebagi cinta yang luhur, suci dan abdi kepada Allah. Mahabbah dapat pula diartikan sebagai
suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya dapat memperoleh kerohanian
yang tinggi, dan kecintaan yang mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah. Sehingga menjadi ma’rifatan
yang diartikan “pengetahuan” Ma’rifah dapat juga disebut sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubarinya.Secara istilah, ma’rifat artinya suatu pengetahuan yang
didasarkan atas suatu keyakinan yang penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-
raguan. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta
tujuan, keutamaan, alat untuk mencapai mahabbah dan ma’rifah, tokoh sufi,serta mahabah
dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian mahabbah, tujuan, dan keutamaan mahabbah ?
2. Apasaja alat untuk mencapai mahabbah ?
3. Siapa tokoh yang mengembangkan mahabbah ?
4. Bagaimna pandangan al-qur’an dan al-hadis mengenai mahabbah?
5. Apa pengertiam ma’rifah, tujuan, dan keutamaan ma’rifah ?
6. Apasasaja alat untuk mencapai ma’rifah ?
7. Siapa tokoh yang mengembangkan ma’rifah ?
8. Bagaimana pandanganal-qur’an dan al-hadis mengenai ma’rifah ?
C. TUJUAN MASALAH
1. menambah pengetahuan lebih dalam mengenai pengertian, tujuan, dan keutamaan,
mahabbah dan ma’rifah.
2. menambah wawasan lebih luas tentang tokoh-tokoh yang mengembangkan mahabbah &
ma’rifah, serta pandangan al-qur’an dan hadis mengenai mahabbah dan ma’rifah.

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. MAHABBAH

1. Pengertian Mahabbah, Tujuan, dan Kedudukan Mahabbah

Kata mahabbah bersal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Al-
mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Istilah
mahabbah sering muncul dalam ilmu tasawuf, mahabbah dapat diartikan sebagi cinta
yang luhur, suci dan abdi kepada Allah. Mahabbah dapat pula diterjemahkan sebagai
suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya dapat memperoleh
kerohanian yang tinggi, dan kecintaan yang mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa1

Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga
yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang
arti kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan. Pengertian mahabbah dari segi
tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:

‫َاْلَم َح َّبُة َح اَلٌة َش ِر ْيَفٌة َش ِهَد ْالَح َّق ُسْبَح اَنُه ِبَهاِلْلَع ْبِد َو َاْخ َبَر َع ْن َم َح َّبِتِه ِلْلَع ْبِد َفاْلَح ُّق ُسْبَح اَنُه‬
‫ُيْو َص ُف ِبَاَّنُه ُيِح ُّب اْلَع ْبَد َو اْلَع ْبُد ُيْو َص ُف ِبَاَّنُه ُيِح ُّب اْلَح َّق ُسْبَح ا َنُه‬

“al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintai
itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai
Allah SWT.”

Cinta seorang hamba kepada Allah bila dipelihara dengan benar maka akan
terpelihara untuk selamanya meski mati sudah dilaluinya, bahkan setelah mati akan
dirasakan hasil yang telah diperjuangkannya selama masih hidup di dunia.

1 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 179.

1
Orang yang sudah mencintai Allah akan selalu bersedia untuk menghadapi berbagai
tantangan kendati harus menjadikan cinta kepada selain-Nya sebagai korban, yaitu
mengorbankan semua kenikmatan dunia. Ketika kita mencintai Allah, tidak akan berarti
bila Allah tidak mencintai kita. Dan Allah mencintai siapapun yang menyambut
panggilan-Nya dan menyambut semua aturan-Nya. Allah berfirman:2

‫ا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َم ْن َيْر َتَّد ِم ْنُك ْم َع ْن ِد يِنِه َفَس ْو َف َيْأِتي ُهَّللا ِبَقْو ٍم ُيِح ُّبُهْم َو ُيِح ُّبوَنُه َأِذ َّلٍة َع َلى‬
‫اْلُم ْؤ ِمِنيَن َأِع َّز ٍة َع َلى اْلَك اِفِر يَن ُيَج اِهُد وَن ِفي َس ِبيِل ِهَّللا َو اَل َيَخاُفوَن َلْو َم َة اَل ِئٍم ۚ َٰذ ِلَك َفْض ُل‬
‫ِهَّللا ُيْؤ ِتيِه َم ْن َيَش اُء ۚ َو ُهَّللا َو اِس ٌع َع ِليٌم‬

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari
agamanya, maka Allah kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah
dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang
diberikan-nya kepada siapa yang dikehendaki, dan Allah maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.”

Dari ayat tersebut dapat diketahui apa yang mesti kita lakukan demi meraih
nikmatnya cinta yang hakiki dari Allah SWT, di antaranya:
1. Menyambut panggilan Allah SWT atas dasar iman kepada-Nya.
2. Cinta kepada Allah tidak akan tercapai selama ajaran-nya tidak dilaksanakan.
3. Mewaspadai diri kita jangan sampai mengaku mencintai Allah padahal Dia
membenci kita akibat tidak melaksanakan perintah-Nya.
4. Bagaimanapun banyak amal seseorang yang dilaksanakan dengan penuh harap
kepada Allah dan bersih dari niat yang lain, tetap akan Dia tolak selama ia
meninggalkan aturan-Nya.
5. Dalam mewujudkan kecintaan kepada Allah mereka tidak pernah takut kehilangan
harta, keluarga tau jiwa selama digunakan demi membela agama-Nya.3
Selanjutnya Harun Nasutian mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang
dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
2 KH. Saiful Islam, Lc., M.Ag Cinta Menggapai Hakikat Mahabatullah, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media: 2005) hal 3.

3 KH. Saiful Islam, Lc., M.Ag Cinta Menggapai Hakikat Mahabatullah, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media: 2005) hal 10.

2
1. Memeluk Kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj, sebagai


dikutip Harun Nasutian, ada tiga macam yaitu mahabbah orang biasa, Mahabbah orang
shidiq dan mahabbah orang yang arif.
 Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka
menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan
Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
 Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-
Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog
dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini
membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-
Nya.
 Sedangkan cinta orang arif adalah cinta orang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa
ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai . akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri
yang mencintai.4

Ketiga tingkatan mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai,


yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir,
dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu. Dan akhirnya menyatu
kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dengan uraian tersebut, kita dapat memperoleh
pemahaman bahwa mahabbah adalah, suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan.

Sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.

4 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 181.

3
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah suatu
istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannnya
maupun dalam pengertiannya. Kalu ma’rifah adalah merupakan tingkatan pengetahuan
tentang Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa cinta kasih dan cinta
kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan
sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta,
tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi
dari ma’rifah kepada Tuhan.5

keutamaan Mahabbah dapat mengantarkan hambanya supaya mencintai kepada


pemilik langit dan bumi, seperti malaikat mencintai Allah atas kedekatan dengan-Nya,
sebagaimana sabda Rasullullah yang artinya:
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, dia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Allah
mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Kemudian Jibril pun mencintainya. Lalu jibril
menyerukan kepada seluruh penghuni langit. Kemudian, penghuni langit itupun
mencintainya. Lalu, orang tersebut didudukkan sebagai orang yang diterima di muka.”
(HR. Imam Bukhari).

2. Alat Untuk Mencapai Mahabbah

Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi sebagai alat untuk mencapai
mahabbah. Pendekatan psikologi yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah
yang ada dalam diri manusia. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution
mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb hati sanubari, sebagai alat untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua roh sebagai alat untuk mencapai Tuhan. Ketiga, sir
yaitu alat untuk melihat Tuhan.

Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus daripada qalb, dan sir timbul dan
dapat menerima iluminasi dari Allah, jika qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun. Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui
bahwa alat untuk mencapai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa

5 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 182.

4
dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya
diisi oleh cinta kepada tuhan.6

3. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah

Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang


memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan
pada ungkapan-ungkapan yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di
Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. 7
menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup
selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya.
Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada
dekat dengan Tuhan.8

Rabi’ah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam sebagai peletak dasar
tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama
mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan
Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya. Menurut rabi’ah, cinta dan rindu kepada illahi
mempunya dua bentuk, yaitu cinta rindu dan cinta karena ia layak dicintai.9

Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat pada
ungkapan doa-doa yang disampaikannya.
“Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah
diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka

6 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 183.

7 Drs. H. Riza Afthoni, M. Pd. l., Modul Akidah Akhlaq MA, (Demak: Lp Ma’arif NU, 1975), hlm 5.

8 Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia: 2010) hal 254.

9 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 185.

5
jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka
janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.”10

4. Mahabbah dalam Al-Qur’an dan al- Hadist

Paham mahabbah sebagaimna disebutkan diatas mendapatkan tepat di dalam al-


qur’an. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia
dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang bebunyi:

‫قل ان كنتم تحبون هللا فاتبعوني يحببكم هللا‬

“Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu.”
(QS. Ali’Imron, [3]: 30).

‫ياءتى هللا بقوم تحبهم و يحبونه‬

“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya.”
(QS. al-Maidah, [5]: 54).

Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:

‫وال يزال عبدى يتقرب الي با انوافل حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا‬

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan


hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,mata,dan tangan-Ku.”

Kedua ayat dan satu hadist di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan
Tuhan dapat saling mencintai. Karena alat untuk mencintai Tuhan,yaitu roh. Roh adalah
berasal dari roh Tuhan.Roh Tuhan dan roh yang ada pada diri manusia sebagai anugrah
Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadist tersebut juga menjelaskan
bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang
mencintai yang digambarkan dalam telinga,mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai
keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh.11

10 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 186.

6
11 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 188.
B. MA’RIFAH

1. Pengertian, Tujuan, dan Kedudukan Ma’rifah

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah. Kata
‘arafa’ (arafu ~ untuk orang ketiga jamak) diartikan ‘pengetahuan’ atau ‘pengalaman’
terhadap kebenaran yang mendorong munculnya keimanan pada diri seseorang. Artinya
orang yang sudah tahu pada tingkatan ini adalah orang yang telah memperoleh keyakinan
yang sangat tinggi. Allah menegaskan penggunaan kata ‘arafa itu sebagai pengetahuan
terhadap tanda-tanda kebesaran Allah yang terhampat di muka bumi bahwa orang-orang
yang sudah mencapai tingkatan arif itu adalah mereka yang telah memahami secara
mendalam ayat-ayat Allah yang terhampar disekitarnya.12

Ma’rifah dapat juga disebut sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubarinya. Secara istilah, ma’rifat artinya suatu pengetahuan yang didasarkan atas
suatu keyakinan yang penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-raguan.
Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir,
tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Selanjutnya
ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf.
Dijelaskan pula bahwa ma’rifah merupakan sifat-sifat orang-orang yang mengenal Allah
dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan
melaksanakan ajaran-Nya dalam perbuatan.13

Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan


hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.

Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun
Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat
melihat Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepala akan
tertutup, dan ketika itu yang dilihat hanya Allah.
2. Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dlihatnya
hanya Allah.
12 Agus Mustofa, Ma’rifat Di Padang Arafah, (Jakarta, CV Pustaka Pelajar: 2010) hal 40.

13 Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset: 2004) hal 83.

7
3. Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat kepada-Nya
akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahan-Nya dan semua
cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.14

Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang
ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam
diri Tuhan. Danlam pandangan al-Junaid (w.381 H), ma’rifah dianggap sebagai hal,
sedangkan dalam Risalah al-Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara
itu, al-Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum al-Din memandang ma’rifah datang sebelum
mahabbah. Sedangkan al-Khalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah
mahabbah.Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah
merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan
keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain, mahabbah
dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang
sufi dan Tuhan.

Dengan demikian keutamaan Ma’rifah yaitu mengenal hak dan kewajiban dengan
sebenar-benarnya pada asma dan sifat-sifat-Nya. Ma’rifat memiliki keistimewaan yang
tertinggi pada hati, karena seseorang yang sudah memiliki ma’rifat hubungannya
dengan-Nya sudah sangat dekat dan harmonis, sehingga dirinya selalu menyatu dengan-
Nya.

2. Alat untuk Mencapai Ma’rifah

Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifah telah ada dalam diri manusia,
yaitu qalb (hati), karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk
berpikir. Bednya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangakan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala
yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia rahasia Tuhan. Qalb
yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid

14 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 190.

8
secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut
disinari cahaya Tuhan.

Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli,
tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan
perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri
dengan akhlak yang mulia. Dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukannya hijab
sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. 15 Tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifah,
dan terjadi setelah terjadinya al-fana yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan,
dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli ini
adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahya dari Tuhan. Dengan limpahan
cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
Dengan cara demikian ia dapat mengetahu hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia
biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan
sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati tang telah dilimpahi cahya.16 Allah berfirman:

‫َو َفْو َق ُك ِّل ِذ ي ِع ْلٍم َع ِليٌم‬


“Dan di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah).”

(QS Yusuf [12]: 76)

3. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah

Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifah ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al-Ghazali nama lengkapnya
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. Di Ghazaleh, suatu kota
kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-
Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyauf. Setelah ia mempelajari ilmu
agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain akhirnya ia

15 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 192.

16 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 193.

9
memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun menggembara sebagai
sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. dan meninggal disana tahun 1111 M.

Adapun Zun Al-Misri berasal dari Naubah, suatu negri yang terletak Sudan dan
Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun
wafatnya, yaitu 860 M. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum Sufi dalam abad
ketiga hijrah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan.
Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan
dan takut berpaling dari jalan yang benar.

Bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham ma’rifah dapat diikuti dari
pendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazali misalnya megatakan, ma’rifah adalah:

‫اإلطالع على أسرار الربوبّية والعلم بترتب األمور اإللـهّية المحيطة بكل الموجودات‬

“Tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan


ketuhanan yang mencakup segala yang ada.”17

Bagi al-Ghazali ma’rifah urutanya lebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah
timbul dari ma’rifah. Namun, mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan
mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk
cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan
rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan
sebagainya. Menurut al-Ghazali ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya
tingkat yang dicapai oleh Sufi.

Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.18

Adapun ma’rifah yang dimajukan oleh Zun al-Nur al-Misri adalah pengetahuan
hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup
melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan
Tuhan kepada kaum sufi. Ma’ rifah yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi,
sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifah
tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil
17 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 195.

10
18 Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta, Fajar Interpratama Offset: 2004) hal 86.

11
pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan Rahmat Tuhan. Ma’rifah
adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

4. Ma’rifah dalam Al-Qur’an dan al-Hadis

Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai


tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan
Tuhan.

Misalnya ayat yang berbunyi,

‫ومن لم يجعل هللا له نورفماله من نور‬


“Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. al-Nur, 24: 40).

‫افمن شرح هللا صدره لالسالم فهو على نور من ربه‬


“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama
islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membantu
hatinya).” (QS. al-Zumar, 39: 22).

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang
mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan
mereka yang tidak mendapatkan cahya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam
ma’rifah kepada Allah, yang tidak didapat seorang sufi adalah cahaya.19

Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai Sabda Rasulullah yang berbunyi:

‫ فأحببت أن أعرف فخلقت خلقًا فعرفتهم بي فعرفوني‬،‫كنت كنزًا ال أعرف‬

“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang berbunyi (Ghaib), Aku ingin


memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku.”
(Hadis Qudsi)

19 Prof. Dr. H. Abbudin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2017) hal 198.

12
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.
Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah
dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran islam.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mahabbah dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh supaya dapat memperoleh kerohanian yang tinggi, dan kecintaan yang mutlak
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
keutamaan Mahabbah dapat mengantarkan hambanya supaya mencintai kepada pemilik
langit dan bumi yaitu Allah. Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi
sebagai alat untuk mencapai mahabbah. Yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi
rohaniah yang ada dalam diri manusia. Hampir seluruh literatur bidang tasawuf
menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah
al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang menggambarkan bahwa
ia menganut paham tersebut.
Ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah. Menjadi ma’rifatan
“pengetahuan” Ma’rifah dapat juga disebut sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati sanubarinya. Secara istilah, ma’rifat artinya suatu pengetahuan yang
didasarkan atas suatu keyakinan yang penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu
keragu-raguan. Tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-
rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Keutamaan Ma’rifah yaitu mengenal hak dan
kewajiban dengan sebenar-benarnya pada asma dan sifat-sifat Allah. Alat yang dapat
digunakan untuk mencapai ma’rifah, yaitu qalb (hati), karena qalb selain dari alat untuk
merasa adalah juga alat untuk berpikir. Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang
tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri.

B. SARAN
Dengan adanya pembahasan mengenai mahabbah dan ma’ rifah rasa cinta kepada
Allah, kita diharapkan supaya mengetahui lebih dalam mengenai mahabbah dan
ma’rifah, dan kita juga mendapat manfaat dari ilmu tersebut. Sebagai generasi muda, kita
diharapkan mampu menerapkan ilmu-ilmu dari mahabbah dan ma’rifah rasa cinta kepada
Allah ke dalam kehidupan sehari-hari agar kita lebih dekat kepada Allah dalam berbagai
hal. Sehingga akan banyak pengetahuan yang kita dapat dari Allah.
13
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nata, Abudin. 2014. Akhlak tasawuf dan karakter mulia. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Afthoni, Riza. 1975. Modul Akidah Akhlaq. MA. Demak: Lp Ma’arif NU.

Mustofa, Agus. 2010. Ma’rifat Di Padang Arafah. Jakarta: CV Pustaka Pelajar.

Islam, Saiful. 2005. Cinta Menggapai Hakikat Mahabatullah. Bandung: PT Syaamil


Cipta Media.

Tebba, Sudirman. 2004. Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta: Fajar

Interpratama Offset
14

Anda mungkin juga menyukai