Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH ILMU HADIST

PENGERTIAN , RUANG LINGKUP DAN TUJUAN


IBADAH

OLEH KELOMPOK 1 :

- Aulia Apriliyanti . S (60800114005)


- Annisa Winarti Maulidyah (60800114016)
- Hardini Agustina (60800114017)
Kelas : A

UIN Alauddin Makassar


Fakultas Sains dan Teknologi
Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
2014

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dari kelompok 1 dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengertian , Tujuan dan
Ruang Lingkup Ibadah “ dalam mata kuliah Ilmu Hadist. .

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua dan dosen
pembimbing sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami meng harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Terima Kasih

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sungguminasa, Oktober 2014

Kelompok 1

2
Daftar Isi

Kata Pengantar …………………………………………………..………………1


Daftar Isi …………………………………………………….……………….…...2

BAB I (PENDAHULUAN)
Latar Belakang ……………………………………………………………..….…3

Rumusan Masalah ………………………………………………………….……4

Tujuan Masalah…………………………………………………………………..4

BAB II (ISI)
Pengertian Ibadah……………. …......………………….…………………..……5

Tujuan Ibadah…………..……………………...………………………………….14

Ruang Lingkup Ibadah ……………………………………….......…..……...…..17

BAB III (PENUTUP)


Kesimpulan …………………………………………………………...…….……18

Daftar Pustaka……………………………………………………………………19

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu
hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap
kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah
tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu.
Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid
tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah
Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri,
ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah
suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-
Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin)
maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita
ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa
pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan
melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita
anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat
diremehkan begitu saja, misalnya :

 Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta


dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan
perkataan yang bisa menyakiti hati.
 Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
 Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya
dengan penuh tanggung jawab.
 Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih
tua dari kita.
 Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
 Menepati janji.
 Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi
munkar.
 Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
 Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan
bekal di perjalanan).
 Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal
kita.
 Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun
kita berada.
 Membaca Al Qur’an.

4
 Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari
ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah,
inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan)
hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari
siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah
kepada Allah”

1.2 Rumusan Masalah


1. apa pengertian ibadah?
2. apa tujuan ibadah?
3. apa saja ruang lingkup ibadah?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui tentang pengertian ibadah
2. Mengetahui tentang tujuan ibadah
3. Mengetahui tentang ruang lingkup ibadah

5
BAB II
ISI
IBADAH
1. PENGERTIAN IBADAH
Sumber : Buku Filsafat Hukum Islam

Kata ibadah terabil dari kata yang biasa diartikan antara lain dengan
mengabdi, tunduk. Taat , merendahkan diri dan sebagainya . Sehingga
tidak heran bila beberapa kamus-kamus Bahasa mengemukakan definisi
ibadah berdasarkan arti-arti tersebut .
Al-Fairuzabidi misalnya , mengartikan ibadah dengan Ta’at
Ibnu Manzur juga demikian dan menambahkan bahwa :

“Penghambaan diri adalah ketundukan dan kerendahan diri”

Al- Ragib al-Ashfahani walaupun membedakan antara


(penghambaan/perbudakan) dengan ibadah namun perbedaan tersebut
hanya pada tingkatnya bukan pada dasar pengertiannya.
Menurut Al-Ragib

Artinya :

Perhambaan / perbudakan adalah menampakkan kerendahan , sedang


ibadah lebih dalam (artinya) daripadanya , karena ibadah adalah puncak
kerendahan , tidak wajar kecuali kepada siapa yang memiliki puncak
anugerah (kepada seseorang) yaitu Allah SWT .

Pengertian – pengertian yang dikemukakan di atas , dinilai oleh


sementara ahli belum menggambarkan arti yang sebenarnya dari kata
dan (ibadah).

6
Ibnu Faris dalam Al-Maggagis , seperti yang dikutip oleh Ja’far Subhani
menjelaskan bahwa kata mempunyai dan pengertian yang bertolak
belakang , yang pertama mengandung arti kelemahan , kelembutan dan
kerendahan dan yan kedua mengandung arti kekuaan dan kekokohan .
Kedua pengertian yang dikemukakan di atas tercermin antara lain
dalam arti yang oleh Al-Fairuzabidi diartikan antara lain :

1. Sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya)


2. Tumbuhan yang memiliki aroma yang harum
3.Anak panah yang lebar dan pendek

Arti yang pertama menggambarkan kerendahan , yang kedua


kelemah-lembutan dan yang ketiga kekuatan dan kekokohan .
Walaupun tidak dipersilisihkan tentang kata dan
dalam bahasa agama, yakni bahwa keduanya mengandung arti
kerendahan yang mengakibatkan ketundukan dan ketaatan , namun
mengartikannya semata-mata dengan tunduk , ta’at , dan kerendahan
diri , belum menggambarkan arti yang sebenarnya dari kata-kata tersebut.
Seseorang dapat saja tunduk , taat , bahkan merendahkan diri
kepada yang dicintainya , atau yang ditakutinya , namun apa yang
dilakukannya itu belum tentu dapat dinamai ibadah .
Penjelasan dari M. Abduh menyatakan bahwa Al Quran
menggunakan kata (ibad) untuk menggambarkan makluk-makluk
Tuhan yang taat dan tunduk kepada-Nya atau yang menyadari keagungan
Tuhan dan kelalaian (dosa)-nya sehingga berusaha untuk mendekatkan
diri kepada-Nya, sedangkan kata digunakan oleh Al Quran
terhadap makhkuk Tuhan yang bergelimang dalam dosa sehingga wajar
untuk mendapat murka-Nya. Lihat missal firman-firman Allah :

Artinya :
Masuklah (wahai jiwa yang tenang) ke dalam kelompok hamba-
hamba-Ku dan masuklah ke dalam surgaKu (Al-Fajr 29-30)

7
Artinya:
Katakanlah! Wahai hambaKu yang telah melampaui batas terhadap
dirinya, janganlah berputus asa dari rahmat Tuhan (Azzumar 53) .

Lihat juga misalnya :

Artinya :
Dan tidaklah Tuhanmu berlaku aniaya kepada hamba-hamba (yang
bergelimang dalam dosa) (Fussilat 46).

Kata ibadah terambil dari kata , jadi kalau demikian apakah


yang dimaksud dengan ibadah?

Artinya:
Suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan di dalam jiwa seseorang terhadap siapa
yang kepadanya ia tunduk = (rasa) yang tidak diketahui sumbernya serta
(akibat) adanya keyakinan di dalam dirinya bahwa dia (yang kepadanya ia
tunduk) memiliki kekuasaan yang tidak dapat ia jangkau arti dan
hakikatnya , maksimal yang ia ketahui bahwa Dia menguasai seluruh
dirinya (jiwa raganya) namun Dia berada di luar jangkauannya.

Mahmud Syaltut dalam formulasi yang singkat mengemukakan arti


ibadah sebagai:

8
Artinya:
Ketundukan yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan yang
tidak terbatas (pula).
Hal ini menurut Syaltut lebih juh menunjukkan puncak tertinggi dan
kerendahan hati kecintaan batin, serta peleburan diri kepada kagungan
dan kecantikan siapa yang kepadanya sesorang beribadat,peleburan yang
tidak dicapai oleh peleburan apapun.
Apa yang dikemukakan syaltut di atas , merupakan keringkasan
dari penjelasan M.Abduh,tanpa menyinggung apakah keagungan yang
dirasakan itu diketahui sumbernya atau tidak , dan dalam hal ini Syaltut
telah menghindari kritik yang dapat ditunjukkan kepada Abduh,karena
sementara orang yabg betibadat justru menyadari/mengetahui sumber
dari rasa keagungan tersebut yakni pada saat ia menyadari keterbatasan
dirinya sehingga mengantar ia untuk meyakini adanya kekuatan yang
Maha Agung yang terbukti keagungannya dalam alam raya ini dan yang
menguasai diri dan masa depannya sehingga ia membutuhkan-Nya.
Hal ini membuktikan bahwa raa keagungan tersebut timbul dari
rasa kesadaran di atas dan dengan demikian ia bukan merupakan suatu
rasa yang tidak diketahui sumbernya ,
Syeh Ja’far Subhan mengemukakan tiga formulasi definisi yang
masing-masing menurutnya dapat menggambarkan arti ibadah ,
Ketiga formulasi tersebut dapat disimpulkan dengan mengatakan
bahwa: ibadah ialah , ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan
praktek yang timbul akibat keyakinan tentang ketuhanan siapa yang
kepadanya seseorang tunduk.
Yang dimaksud denganketuhanan dalam definisi di atas adalah
kemenangan dan kekuasaan pengatur dan menetapkan hal-hal tertentu ,
seperti penciptaan,kehidupan,kematian,perundang-undangan ,
pengampunan dan sebagainya.

Sehingga dengan demikian pemilik sifat ketuhanan tersebut


menguasai semua aspek kehidupan seseorang dan demikian pula yang
bersangkutan menyadari keterbatasannya di satu pihak serta kemutlakan
yang disembahnya di lain pihak sehingga ia berada dalam posisi dimiliki ,
dikuasai dan diatur olehnya. Setiap ucapan atau perbuatan yang
merupakan pengejawantahan darii rasa tersebut dinamai ibadah.
Ibnu Taimiyah yang menjelaskan cakupan bentuk-bentuk ibadah
menulis :

9
Artinya :
Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan
diridhai oleh Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin dan lahir
seperti shalat, puasa dan haji. Kebenaran dalam pembicaraan , penunaian
amanah , kabaktian kepada kedua orang tua, hubungan kekeluargaan dan
sebagainya.
Muhammad Al-Ghazaly mengutip pendapat Ja’far Al-Sidik tentang
hakikat ibadah yang menurutnya dapat wujud apabila seseorang
memenuhi tiga hal:
(1) Tidak menganggap apa yang berada di bawah kekuasaan atau
wewenangnya sebagai milik pribadinya karena yang dinamai (hamba
sahaya) tidak memiliki sesuatu.

(2) Menjadikan segala aktivitasnya berkisar pada pelaksanaannya apa


yang diperintahkan kepadanya serta menjauhi apa yang dilarangnya.

(3) Tidak mendahuluinya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan


kata lain mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan
seizing den restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.

Unsur pertama yang disebutkan di atas sejalan dengan firman Allah


dalam surat An-Nahl ayat 75 :

Artinya :
Allah membuat perumpamaan dengan hamba sahaya yang
dimiliki tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun …..

10
Sedang unsur kedua dan ketiga tergampar dalam firman
Allah dalam surat Al-Anbiya’ 26-27 :

Arinya :
Bukan hamba-hamba yang dimulaiakan mereka itu tidak
mendahului-Nya (walau) dalam ucapan (sekalipun) . Dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya.
Demikian pula tergambar pada petunjuk dalam surat Al-Kahfi
ayat 23-24.

Artinya:
Dan jangan sekali – kali kamu mengatakan tentang sesuatu ,
sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi kecuali (dengan
mengaitkannya dengan ) bila Allah menghendaki.

Ketiga unsur yang merupakan hakikat ibadah seperti yabg dikutip


oleh Muh. Al-Ghazaly di atas , berbeda dengan pendapat Muatofa Zed
yang mengemukakan bahwa ibadah mempunyai dua unsur pokok yang
tanpa keduanya ibaah tidak diterima. Kedua unsur tersebut adalah :
(1) Kesempurnaan ketundukan kepada Allah.
(2) Kesempurnaan kecintaan kepadanya.
Ditambahkannya dengan mengutip Ibnu Taimiyah bahwa tingkat
pertama dari cinta adalahhubungan dalam arti keterpautan hati kepada
yang dicintai
Menjadikan cinta sebagai slah satu unsur ibadah dan syarat
diterimanya, merupakan suatu hal yang masih perlu diteliti lebih jauh
kecuali bila yang dimaksud dengan ibadah dalam hal ini adalah puncak
dan segala puncak ibadah walaupun ini tidak berarti bahwa ketundukan
kepada Allah tidak sah (diterima) apabila tidak dibarengi dengan cinta
kepada-Nya , karena seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dalam Al-
Isyraat Wa Al-Tanbihat, motivasi beribadat kepada Allah mempunyai tiga
bentuk :

(1) Dorongan rasa takut kepada neraka.


(2) Dorongan harapan kepada surga
(3) Dorongan cinta kepada Zat-Nya

11
Apa yang dikemukakan di atas dikuatkan oleh Al-Quran Surat Al-Baqarah
ayat 21, yang memerintahkan kepada manusia seluruhnya untuk
beribadat kepada Allah SWT agar mereka terhindar dari siksa-Nya.

Di samping adanya pula ayat yang memerintahkan untuk


mengingat Allah melalui nikmatnya.

Dan mengingatnya Karena Zat-Nya

Ibadah dalam pengertian yang sempit


Dalam uraian yang lalau , kiranya telah jelas bahwa ibadah
mencakup segala aktifitas manusia yan memenuhi kriteria tertentu ,
namun di samping pengertian tersebut adapula pengertian ibadah secara
khusus dan sempit yang membatasinya hanya pada praktek – praktek
ritual yang ditetapkan/dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW atau denagn
kata lain seperti yang diungkapkan oleh Muh Al-Ghazaly

Artinya:
Apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Al-Syari’ (Allah
dan Rasul ) sehingga tidak diketahui kecuali melalui jalan tersebut seperti
shalat, puasa , dan seagainya.

Istilah ibadah untuk pengertian ini belum dikenal pada permulaan


islam , ia baru diperkenalkan oleh para ulama Fiqh , ketika mereka = untuk
tujuan sistematisasi uraian-uraian atau pembagian teknis materi
pembahasan = terpaksa memilih-milih aktifitas manusai anatara lain
dengan memberi nama muamalat (interaksi kemasyarakatan ) untuk
masalah masalah salat,puasa, zakat, haji , dan beberapa hal lainnya yang
berkaitan dengan praktek ritual . Disayangkan bahwa pengertian yang
sempit inilah yang lebih popular , apalagi setelah dikukuhkan oleh kaidah
keagamaan semacam :

12
“Dalam masalah muamalah semuanya boleh kecuali yang dilarang
sedang dalam masalah ibadah semua tidak boleh kecuali yang
diperintahkan “.
Pengertian tersebut mengaburkan makna ibadah yang sebenarnya,
sehingga banyak yang menduga bahwa mu’amalah tidak termasuk ibadah
(dalam pengertian umum) .
Pemahaman kita terhadap hikmah peribadatan menurut Al-Syatibi
lebih jauh adalah : menunaikan perintah Allah SWT , menaatinya, dan
sampai batas tersebut tidak jelas apa hikmah dan illat tertentu secara
khusus bagi suatu ketetapan , karena jika hanya yang demikian itu yang
dimaksud dengan beribadatan , tentu Allah SWT tidak menetapkan
sesuatu sesuatu cara tertentu dalam peribadatan , karena penggunaan
tersebut bila dilakukan dalam cara apapun tercapai selama ia diniatkan
oleh pelakunya , namaun kenyataan agama menunjukkan bahwa ibadat
tidak demikian terbukti bahwa syara’ (Allah dan Rasul-Nya ) menetapkan
cara-cara dan bentuk-bentuk tertentu yang dinilai tidak sah bila
menyalahinya.
Tata cara iadat yang telah ditetapkan itu haus diterima dan
diamalkan sebagaimana adanya , karena keberatan tentang bentuk atau
cara tertentu dengan maksud mengubahnaya dengan cara lain , tidak
menghalanginya adanya keberatan baru bagi cata yang telah diubah itu.
Misalnya puasa, mengapa haus sebulan penuh , tidak dua minggu
saja? Mengapa yang terlarang adalah makan dan minum?
Keberatan-keberatan tersebut bila dipenuhi pemenuhannya dalam
bentu apapun , masih dapat dipertanyakan dan menimbulkan keberatan-
keberatan baru oleh pihak lain.
Karena itu akal manusia tidak berperan dalam menetapkan
bentuk- bentuk ibadah dalam peengertian yang sempit itu .
Dalam masalah ibadah sesorang pun harus menyadari bahwa
Tuhan yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada hamba-Nya ,
memounyai hak dan wewenang untuk menetapkan cara-cara yang
dikehendaki-Nya , dipahami cara tersebut atau tidak sebagai ujian kepada
hamba-hambanya , karena memang kehidupan ini dijadikannya sebagai
arena untuk menguji hamba-Nya.

Artinya:
(Dialah Allah) yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kamu
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (Al-Muluk ayat 2 ).

13
Dalam masalah-masalah keagamaan yang semacam ibadat inilah
namapak secara jelas manfaat wahyu dan kebutuhan manusia terhadap
bimbingan-Nya , yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal
manusia , sebab seandainya hal-hal tersebut pun dapat dijangkau olehnya
, maka seperi yang dikatakan oleh filosof Al-Farab , “adalah lebih wajar
bila ia diserahkan saja kepada akal mereka , namun tidak demikian dalam
kenyataan terbukti dengan kehadiran wahyu melalui para Nabi sehingga
ia membuktikan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau olehnya” .

Dari beberapa definisi diatas sebetulnya memiliki makna atau


maksudnya sama maka dari itu dapat disimpulkan bahwa ibadah
adalah taat dan merendahkan diri kepada Allah SWT yaitu tinkatan
tunduk disertai kecintaan yang paling tinggi dan melaksanakan
perintahnya (ibadah) atau sebutan yang mencakup seluruh apa yang
dicintai dan diridhai Allah SWT baik berupa ucapan atau perbuatan,
yang zhahir maupun yang batin.

B. TUJUAN IBADAH
Sumber : Buku Filsafat Hukum Islam oleh Prof . Dr. H. Ismail Muhammad
Syah , S.H,dkk.

14
Syeh Muhammad Abduh setelah menjelaskan arti ibadah sebagai puncak
ketundukan akibat adanya rasa keagungan terhadap yang disembah
menggaris bawahi bahwa tujuan ibadah dalam agama – agama adalah :

Artinya :
Mengingatkan manusia tentang rasa keagungan akan kekuasaan Tuhan
Yang Maha Tinggi itu .

Sedang Abbad Al- Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah yaitu :

a) Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya , yang juga


memiliki kebutuhan kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan-
kebutuhan jasmaniahnya.

b) Mengingatkan bahwa di balik kehidupan yang fana ini , masih ada lagi
kehidupan berikut yang bersifat abadi .

Ibadah – ibadah seperti shalat , puasa , zakat dan haji , tidak terlepas dari
kedua tujuan pokok tersebut .

Mengutip dari Buku Falsafah Hukum Islam oleh Prof . Dr. T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy.
Ibadat di dalam Islam mempunyai dua ghayah yang asasi dan
fundamental dan itu pula ghayah aqidah.

Pertama , ghayah yang dekat , yaitu membiarkan manusia bertarung


dalam hidup ini baik untuk dirinya, baik untuk masyarakatnya dan baik
untuk alam semuanya . Dia hidup, taoi bukan buat dia makan dan minum
dan dia berniaga bukan untuk bukan untuk mengumpulkan harta, bukan
untuk menguasai masyarakat, bukan pula untuk bersenda gurau ,tetapi
supaya dia menjadi penolong kebajikan dalam menghadapi kejahatan dan
dan menolong hak dalam menghadapi kebatalan baik mengenai alam
kemanusiaan.
Dia adalah khalifah Allah di mukan bumi dan kepadanya diberikan akal ,
iradat untuk alat perjuangan . yang demikian itu perlu kepada pendidikan
dan menyiapkan diri untuk itu . Itulah tugas ibadat.

15
Kalau demikian , ibadah bukanlah ghayah tetapi wasilah bagi suatu
ghayah yang luhur.
Oleh karenanya dalam kita melaksanakan ibadat bukanlah bentu-bentuk
yang dlahir yang kita perlukan .
Rasulullah SAW bersabda :

“Berapa banyak orang yang beribadat malam taka da baginya dari ibadat
malamnya selain daripada berjaga malam dan berapa banyak orang yang
berpuasa tiada dia memperoleh dari puasanya terkecuali lapar dan haus”

Sesungguhnya yang demikian itu adalah washilah yang diperlukan untuk


menyiapkan diri berjihad dan bertarung dalam menghadapi perjuangan
hidup . Karenanya islam memfardlukan batas yang paling minimum
daripada ibadat yang smaa sekali tidak boleh ditinggalkan yang dipandang
manusia menjadi kurang tanpa ibadat itu.
Karenayalah kehidupan para muslimin dahulu , daripada sahabat-sahabat
Muhamma mencapai puncak kesempurnaan dalam kehidupan.

Kedua, ghayah yang jauh , atau tujuan yang jauh bagi aqidah Islam dan
falafahnya semikian pula ibadatnya,yaitu berangsur-angsur menuju
kepada kesempurnaan ruh yang tidak dibatasi oleh kematian dan tidak
berakhir dalam batas-batas di dunia ini . Dia itu suatu jalan yang terbuka
bagi segala orang yang menempuhnya ,yang berusaha mengadakan
hubungan antara ruh dengan Allah SWT yang menciptakan kehidupan ini .
Jalan itu mendorong manusia yang kurang untuk berhadapan kepada
kesempurnaan yang mutlak baik dalam bidang kebijakan , kebenaran ,
keindahan dan kekuatan.
Kita kerapkali mempergunakan waktu kita yang lapang untuk keluarga dan
teman sejawat , mengkhususkan banyak waktu dari waktu-waktu
kehidupan kita untuk memenuhi syahwat dan mempergunakan akal kita
dan perasaan kita baik secara perorangan ataupun secara bermasyarakat
untuk keperluan – keperluan itu. Mengapakah kita tidak mengkhususkan
sebahagian waktu untuk duduk merenung diri sendiri dan memberi waktu
untuk kesuburan ruh dan bermunajah dengan Allah , mengadakan
perhubungan dengan pencipta kehidupan ini . Sesungguhnya kita adalah

16
orang-orang yang durhaka jika kita tidak berbuat yang demikian . Adalah
suatu ke’aiban kita mempergunakan kebanyakan waktu untuk hal-hal
yang tidak berguna . Dan kita berpaling dari kehidupan yang subur yang
sangat berguna bagi kita.
Alangkah indahnya kehidupan apabila dia dicampuri oleh ketinggian ruh .
Alangkah indahnya kehidupan apabila unsur ruh kita jadikan di suatu
tempat dari segala kehidupan kita baik di pasar, baik di toko, baik di
sawah , baik di kantor , di parlemen maupun di dalam tempat-tempat
pertahanan supaya ruh mempunyai sa’at-sa’at yang terlepas daripada
kebendaan
Alangkah indahnya masjid , atau tempat ibaah yang di sana diadakan
tujuan-tujuan yang jauh ini di samping tujuan material yang dekat higga
menjadilah kehidupan ruh dan ibadat kepada Allah suatu suku dari
kehidupan setiap manusia , bukan hanya monopoli orang – oran gyang
menamakan diri rijaluddin.
Itulah dia Hukum Islam dalam bidang Ibadat. Dia menjadikan ibada itu
suatu perbuatan yang bersyarikat antara sebagai manusia . Tidak
dimonopoli oleh suatu kasta manusia. Ibadat dalam islam adalah
hubungan yang langsung antara manusia dengan tuhannya.
Manusia, bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan
berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba sebagaimana yang
dikemukakan diatas adalah mahluk yang dimiliki. Kepemilikan Allah atas
hamba-Nya adalah kepemilikan mutklak dan sempurna, oleh karena itu
mahluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya
kecuali dalam hal yang oleh Alah swt. Telah dianugerahkan untuk dimiliki
mahluk-Nya seperti kebebasan memilih walaupun kebebasan itu tidak
mengurangi kepemilikan Allah. Atas dasar kepemilikan mutak Allah itu,
lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh
perintah dan larangan-Nya.[13]
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian
mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah .
Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar
manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya
manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.

C. RUANG LINGKUP IBADAH


Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia
sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi

17
mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang
disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup ibadah
kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah
medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka
kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di
dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang
bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah
menurut Islam asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan
hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam
dan ada hubungan dengan yang
haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2. Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk
memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat
kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh
Allah.
3. Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk
menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa
Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan
memperindah kerjanya.”
4. Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut
hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain,
tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan
sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang
lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang
Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja
amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat
luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita
harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh
terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil
apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat

BAB III
PENUTUP

18
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan
yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh
seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam
tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada
setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam
tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang
dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang
perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar iadah dibagi menjadi dua:
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang
ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh
Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat
kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan
perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas
sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga,
amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi
setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang
bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah
menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian
mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah
untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian
manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi
kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar
menusia itu mencapai taqwa.

DAFTAR PUSTAKA
- Buku Falsafah Hukum Islam , oleh : Prof . Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

19
- Buku Filsafat Hukum Islam , Oleh : Prof. Dr. H. Ismail Muhammad
Syah,S.H , dkk
`- Tambahan dari internet : http://donielibra.wordpress.com/makalah-
lengkap-study-islam-tentang-ibadah/

20

Anda mungkin juga menyukai