Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BERKOMUNIKASI DENGAN SANTUN

Disusun untuk memenuhi tugas Tafsir Tarbawi


Dosen Pengampu : Dr. Mukhrij Sidqy, M. Ag.

Disusun oleh :

M. Raffi Aliyullah Ashar P. F : 221105011421


Muhammad Daffa Alhaq : 221105011485

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBNU KHALDUN BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala Rahmat dan
Hidayah -Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat beriring salam
semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Alam, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, dan ummatnya yang teguh memegang ajaran dan sunnahnya hingga hari yang
dijanjikan.
Terima kasih juga terucap kepada Dosen pembimbing dan rekan-rekan serta pihak yang
telah banyak berkontribusi dalam penyusunan makalah ini, semoga senantiasa diberikan
kemudahan oleh Allah atas segala urusan.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi, dengan judul:
“Berkomunikasi dengan Santun”. Kami mengharapkan makalah ini bisa bermanfaat untuk
menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi kita semua, khusus untuk penyusun maupun
mahasiswa PAI 2 E pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kemajuan pada tugas-tugas
selanjutnya.

Bogor, 1 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
A. Pengertian Berkomunikasi dengan santun ........................................................................ 2
B. Ayat dan Tafsiran mengenai Berkomunikasi dengan Santun ............................................ 3
C. Berkomunikasi Dalam islam ............................................................................................. 9
BAB III.................................................................................................................................... 10
KESIMPULAN ...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi bagi manusia merupakan kebutuhan paling mendasar dalam hidupnya,
hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan pribadi dan sosialnya tidak bisa terpisahkan
dari komunikasi, sehingga manusia tidak dapat hidup dan berkembang tanpa berkomunikasi.
Islam juga menempatkan komunikasi sebagai sesuatu yang penting dan bernilai ibadah apabila
komunikasi itu dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam alquran dan sunnah Nabi
Muhammad saw.
Berkomunikasi dengan santun dimaksudkan sebagai sebuah nilai-nilai yang
baik, yang pantas dan memiliki manfaat ketika melakukan proses komunikasi, apakah
komunikasi itu berupa komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi
organisasi atau komunikasi massa. Semua bentuk komunikasi yang akan dilakukan harus
didasarkan pada nilai-nilai alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi bekomunikasi dengan santun
2. Bagaimana berkomunikasi dengan santun
3. Bagaimana berkomunikasi dalam al Quran
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan definisi berkomunikasi dengan santun
2. Menjelaskan bagaimana berkomunikasi dengan santun
3. Menjelaskan bagaimana berkomunikasi dalam al Quran

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Berkomunikasi dengan santun


1. Pengertian komunikasi
Komunikasi sesungguhnya dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan. Peristiwa
komunikasi dapat berlangsung tidak saja dalam kehidupan manusia, tetapi juga dalam
kehidupan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk hidup lainnya. William I
Gorden Kata komunikasi, yang dalam Bahasa Inggris communication, berasal dari bahasa Latin
communis yang berarti sama. Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering
disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata- kata latin lainnya
yang yang mirip.1
Menurut Webster New Collogiate Dictionary, Komunikasi adalah suatu proses pertukaran
informasi antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku.
Carl Hovland, Janis & Kelley, Komunikasi adalah suatu proses melalui dimana seorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
mengubah atau membentuk perilaku orang orang lainnya.
2. Pengertian Santun
Dalam KBBI Santun berarti halus dan baik budi (budi bahasanya, tingkah lakunya), sabar,
dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasih, suka menolong.2
Dalam kutipan tersebut, kata santun mengandung komponen arti: (i) halus dan baik budi,
yaitu budi bahasanya dan tingkah lakunya dan menaruh rasa belas kasihan atau suka menolong.
Dari pengertian tersebut, tampak bahwa kata santun mengandung makna yang lebih khusus
dari makna kata sopan. Pengertian kata santun terkandung dalam kata sopan. Kata santun lebih
menekankan sifat halus dan penuh belas kasih atau suka menolong. Oleh sebab itu, ada bentuk
menyantuni yang berarti ‘mengasihani’ dan santunan yang berarti ‘bantuan’.
Menurut Mustari (2014: 129) Santun adalah sifat yang halus dan baik hati dari sudut pandang
tata Bahasa maupun tata perilakunya kesemua orang.
Menurut Zuriah (Wahyudi & Arsana: 2014) Sopan santun adalah sikap dan perilaku yang tertib
sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.
3. Pengertian berkomunikasi dengan santun
Berkomunikasi dengan santun adalah berkomunikasi dengan Bahasa yang halus,
berbicara dengan lembut, mendengarkan lawan bicara dan baik nudi atau tingkah laku.
Berkomunikasi dengan santun biasanya dilakukan oleh orang-orang kepada orang yang lebih
tua dibandingkan dengannya, seperti kepada orang tua, guru, ataupun orang-orang penting.
Allah Swt mencintai sikap santun sebagaimana tertuang dalam hadist:

1
Yasir, Pengantar Ilmu Komunikasi, Sebuah Pendekatan Kritis dan Komprehensif (Jogjakarta: Deepublish,
2020), h.4
2
https://kbbi.web.id/santun

2
‫ «إن فيك‬:‫عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ألشج عبد القيس‬
»‫ الحلم واألناة‬:‫خصلتين يحبهما هللا‬
Artinya:
Dari Abdullah bin Abbas -raḍiyallāhu 'anhuma-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa
sallam- bersabda kepada Asyaj Abdul Qais, "Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang
disukai Allah, yaitu tabah dan hati-hati."
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda kepada Asyaj dari Bai Qais, Sesungguhnya
dalam dirimu ada hal, artinya dua sifat yang disukai Allah, kedua sifat itu adalah tabah dan
tidak tergesa-gesa. Penyebabnya adalah karena Asyaj sangat berhati-hati sehingga dia melihat
kemaslahatannya, dan tidak terburu-buru datang bersama dengan kaummnya. Dan sifat santun
ketika berbicara kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Perkataannya menunjukkan
kecerdasan akalnya dan ketajaman pandangannya terhadap efek yang akan timbul.
Allah Swt. memerintahkan agar bertutur kata yang baik kepada sesama manusia, sebagaimana
firman Allah Swt.

‫سانًا اوذِى ۡالقُ ۡر ٰبى َو ۡاليَ ٰتمٰ ى َو ۡال َم ٰس ِک ۡي ِن َوقُ ۡولُ ۡوا‬ َ ‫ّٰللاَ َوبِ ۡال َوا ِلد َۡي ِن ا ِۡح‬ َ ‫َوا ِۡذ اَ َخ ۡذنَا ِم ۡيثَا‬
‫ق بَنِ ۡ ٓۡى ا ِۡس َرا ِٓۡء ۡي َل ََل تَ ۡعبُد ُۡونَ ا اَِل ه‬
َ‫الز ٰکوةَ ؕ ث ُ ام تَ َولا ۡيت ُمۡ ا اَِل قَ ِل ۡي ًًل ِم ۡنکُمۡ َواَ ۡنـت ُمۡ ُّم ۡع ِرض ُۡون‬‫ص ٰلوةَ َو ٰات ُوا ا‬ ‫اس ُح ۡسنًا اواَقِ ۡي ُموا ال ا‬ ِ ‫ِللنا‬
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, "Janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan
tunaikanlah zakat." Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil
dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.
Melalui ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk bertutur kata yang
baik kepada manusia. Teman, kerabat, keluarga, Bapak/Ibu guru, dan orangtua wajib
diperlakukan dengan baik. Berkata dan berperilaku santun kepada mereka akan membuat harga
diri kita meningkat. Kita akan dihargai dan dihormati ketika kita juga menghormati orang lain.
Ibarat sedang bercermin, ketika kita tersenyum maka bayangan yang ada di cermin akan
tersenyum kepada kita. Sebaliknya kalau kita cemberut, maka bayangan yang ada di cermin
juga akan cemberut kepada kita. Sejatinya kalau kita bersikap baik kepada orang lain,
sesungguhnya perbuatan baik itu akan kembali kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, ketika kita
bersikap buruk kepada orang lain, sesungguhnya perbuatan itu akan kembali kepada diri
sendiri. Banyak peristiwa perkelahian dipicu oleh perkataan kotor dan saling menghina. Jika
ada orang mengejek dan menghina kita, sebaiknya kita menahan diri. Kita sikapi dengan
bijaksana, sabar dan penuh kehatihatian. Jika kita terpancing oleh amarah, kita akan rugi. Hidup
menjadi tidak nyaman, khawatir dan gelisah akan menghampiri kita.

B. Ayat dan Tafsiran mengenai Berkomunikasi dengan Santun


1. QS. Al-Isra (17): 28

3
‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ‫ع ْن ُه ُم ٱ ْبتِغَا ٓۡ َء َرحْ َم ٍة ِمن اربِكَ تَ ْر ُجو َها فَقُل لا ُه ْم قَ ْو ًَل ام ْي‬
َ ‫َوإِ اما ت ُ ْع ِرضَنا‬
.
Artinya:
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang
kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.

(‫)وإِ اما‬
َ : dan jika
( ‫ )ت ُ ْع ِرضَنا‬: kamu berpaling
(‫ )ٱ ْبتِغَا ٓۡ َء‬: mencari
(‫ )تَ ْر ُجو َها‬: kamu mengharapkannya
(‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ‫ ) ام ْي‬: lemah lembut
Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt:

Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu.,
hingga akhir ayat.

Dengan kata lain, apabila ada yang meminta kepadamu dari kalangan kaum
kerabatmu dan orang-orang yang Kami anjurkan kamu agar memberi mereka,
sedangkan kamu dalam keadaan tidak mempunyai sesuatu pun yang kamu berikan
kepada mereka, lalu kamu berpaling dari mereka karenanya.

...maka katakanlah kepada mereka ucapan yang.pantas.

Maksudnya, berkatalah kepada mereka dengan kata-kata yang lemah lembut dan
ramah, serta janjikanlah kepada mereka bahwa apabila kamu mendapat rezeki dari
Allah, maka kamu akan menghubungi mereka.
Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu
Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang sehubungan
dengan makna firman-Nya:

...maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.

4
Bahwa yang dimaksud dengan qaulan maisuran ialah perkataan yang mengandung janji
dan harapan.3

Tafsir Al-Misbah:
Memang seseorang tidak selalu memiliki harta atau sesuatu untuk dipersembahkan
kepada keluarga mereka yang butuh. Namun paling tidak rasa kekerabatan dan
persaudaraan serta keinginan membantu harus selalu menghiasi jiwa manusia, karena
itu ayat di atas menuntun dan jika kondisi keuangan atau kemampuanmu tidak
memungkinkanmu membantu mereka sehingga memaksa engkau berpaling dari
mereka bukan karena enggan membantu, tetapi berpaling dengan harapan suatu ketika
engkau akan membantu setelah berusaha dan berhasil untuk memperoleh rahmat dari
Tuhan Pemelihara dan yang selama ini selalu berbuat baik kepadamu, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang mudah yang tidak menyinggung perasaannya dan yang
melahirkan harapan dan optimisme.
Kata ( ‫ )ت ُ ْع ِرضَنا‬tu ‘ridhanna terambil dari kata(‫ )العرض‬al- ‘urdh yakni samping. Dengan
demikian kata tersebut berarti memberi sisi samping bukan menghadapnya. Untuk
memberi sesuatu kepada orang lain, maka Anda harus menghadapinya, sedang bila
tidak memberinya - dengan alasan apapun - maka Anda tidak mengarahkan wajah
kepadanya, tetapi Anda menyampingkannya yakni memberi sisi samping Anda.
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat ini turun ketika Nabi saw. atau kaum
muslimin menghindar dari orang yang meminta bantuan karena merasa malu tidak
dapat memberinya. Allah swt. memberi tuntunan yang lebih baik melalui ayat ini, yakni
menghadapinya dengan menyampaikan kata-kata yang baik serta harapan memenuhi
keinginan peminta di masa datang.
Kalimat (‫ )ابتغاء رحمة من ربك‬ibtigha ’a rahmatin min Rabbika/untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu, bisa juga dipahami berkaitan dengan perintah mengucapkan kata-kata
yang mudah, sehingga ayat ini bagaikan m enyatakan katakanlah kepada mereka
ucapan yang mudah untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu4

Tafsir al-Jalalain Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi:


(Dan jika kamu berpaling dari mereka) artinya dari orang-orang yang telah disebutkan
tadi, yaitu kaum kerabat yang dekat dan orang-orang lain sesudahnya, dalam arti kata
kamu masih belum mampu untuk memberi mereka akan hak-haknya (untuk
memperoleh rahmat dari Rabbmu yang kamu harapkan) artinya kamu masih mencari
rezeki yang kamu harap-harapkan kedatangannya, kemudian setelah kamu
mendapatkannya akan memberikan sebagian daripadanya kepada mereka (maka
katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas) yakni ucapan yang lemah lembut;

3
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 (Kairo : Mu-assasah
Daar al- Hilaal, 1994), h.157
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta), h. 453

5
seumpamanya kamu menjanjikan kepada mereka akan memberi jika rezeki telah datang
kepadamu.

2. QS. Al-Isra (17): 40

‫صفَ ٰى ُك ْم َربُّكُم بِٱ ْلبَنِينَ َوٱت ا َخذَ ِمنَ ٱ ْل َم ٰلَٓۡئِ َك ِة إِ ٰنَثًا ۚ إِنا ُك ْم لَتَقُولُونَ قَ ْو ًَل ع َِظي ًما‬
ْ َ ‫أَفَأ‬

Artinya:
Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri
mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-
benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).

ْ َ ‫ )أَفَأ‬: apakah mensifatkan/memilihkan kamu


(‫صفَ ٰى ُك ْم‬
( َ‫ )بِٱ ْلبَنِين‬: dengan anak-anak laki-laki
(‫ )إِ ٰنَث ً ۚا‬: anak-anak perempuan
( َ‫ )لَتَقُولُون‬: sungguh kamu mengucapkan
Tafsir Ibnu Katsir
Allah berfirman seraya membantah orang-orang musyrik yang berdusta dan yang
mengatakan bahwa para Malaikat adalah anak perempuan Allah Ta’ala. Dengan
demikian, mereka telah menganggap para Malaikat itu berkelamin perempuan.
Selanjutnya mereka menuduh bahwa para Malaikat itu adalah anak perempuan Allah,
lalu mereka jadikan sebagai sembahan. Dengan demikian, mereka telah melakukan
kesalahan besar pada ketiga kesempatan di atas.
ْ َ ‫)أ َ َفأ‬: (afa ash-faakum
Allah berfirman dalam mengingkari mereka( َ‫صفَ ٰى ُك ْم َربُّكُم بِٱ ْلبَنِين‬
rabbukum bil baniin) “Maka apakah patut Rabb memilihkan bagi kamu anak-anak laki-
laki.” Maksudnya, mengkhususkan bagi kalian anak laki-laki. (‫) َوٱت ا َخذَ مِ نَ ٱ ْل َم ٰلَٓۡئِ َك ِة ِإ ٰنَثًا‬
(Wattakhdza minal malaa-ikati inaatsan) “Sedang Dia sendiri mengambil anak-anak
perempuan di antara para Malaikat?” Maksudnya, Dia memilih untuk diri-Nya sendiri
seperti yang kalian katakan, yaitu anak perempuan.
Kemudian dengan keras menolak anggapan mereka itu seraya berfirman:( َ‫إِ ان ُك ْم َلتَقُولُون‬
‫( ) َق ْو ًَل عَظِ ي ًما‬innakum lataquuluuna qaulan ‘adhiiman) “Sesungguhnya kamu benar-benar
mengucapkan kata-kata yang besar [dosanya].” Yakni, dalam tindakan kalian bahwa
Allah mempunyai anak laki-laki. Kemudian kalian menjadikan anak laki-laki-Nya itu
menjadi anak perempuan, sedangkan kalian tidak menginginkan mereka (anak-anak

6
perempuan) sebagai anak bagi kalian, bahkan kalian akan menguburkan anak
perempuan itu hidup-hidup. Itu merupakan pembagian yang curang.5

Tafsir Al-Misbah
Sementara kaum musyrikin percaya bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, dan
bahwa mereka beijenis kelamin betina. Nah, setelah ayat yang lalu melarang
mempersekutukan Allah dengan apapun, kini kaum musyrikin dikecam karena mereka
menduga malaikat adalah anak-anak Allah dan menganggapnya beijenis kelamin
perempuan. Kecaman datang, pertama dari sisi bahwa mereka memberi kepada Allah
jenis yang mereka tidak sukai yakni perempuan, padahal mereka selalu mengharapkan
anak lelaki; dan sisi lain sehingga mereka dikecam, adalah karena menyatakan bahwa
Allah memiliki dan membutuhkan anak, padahal Dia yang tidak serupa dengan sesuatu
dan tidak pula membutuhkan sesuatu.
Ayat ini menyatakan bahwa apakah mereka yang menyatakan seperti itu - yakni
memiliki anak - juga menyatakan bahwa Tuhan lebih mengutamakan mereka dari diri-
Nya sendiri?
Karfena pemyataan ini adalah satu hal yang sangat aneh lagi menimbulkan tanda tanya,
maka secara langsung Allah menghadapkan firman-Nya yang berupa kecaman ini
kepada mereka dengan menyatakan bahwa jika demikian itu kepercayaan kalian, maka
apakahpatut Tuhan yang selalu melimpahkan kebajikan-Nya kepada makhluk
memilihkan bagi kamu anak-anak lakilaki dan juga menganugerahkan anak-anak
perempuan sedang Dia sendiri m engam bil dengan terpaksa di antara p a ra m alaikat,
anak-anak perempuan yang menurut pandangan kamu lebih rendah derajatnya dari
lelaki.
Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar kesalahan,
kebohongan dan dosanya. Betapa tidak demikian, padahal Allah swt. tidak memiliki
anak bahkan tidak membutuhkannya, malaikat pun tidak dapat dianggap berjenis
kelamin, dan apa yang mereka ucapkan itu tidak memiliki dasar sama sekali, lebih-lebih
karena mereka mengkhususkan Tuhan dengan sesuatu yang mereka sendiri tidak sukai.
Pada firman-Nya (َ‫ )ٱت ا َخذ‬ittakhadza terambil dari kata (‫ )اخذ‬akhadza yang berarti
mengambil, penambahan huruf (‫ )ت‬ta’ pada kata itu dapat berarti kesungguhan serta
keterpaksaan. Ini disesuaikan dengan keadaan mereka yang dengan terpaksa menerima
anak-anak perempuan, seakan-akan Allah pun dengan terpaksa menerimanya. Ini
dengan sendirinya mengisyaratkan kemustahilannya, karena pastilah Tuhah Maha
Kuasa dan tidak dapat dipaksa.
Di sisi lain seperti tulis Ibn ‘Asyur-kata itu juga mengisyaratkan kekacauan cara
berpikir kaum musyrikin itu. Mereka berkata bahwa Allah mengambil, yang
mengandung arti menciptakan guna mengambil, dan tentu saja sesuatu yang diambil
dan diciptakan bukanlah anak. Bagaimana mungkin Dia menciptakan lalu menjadi
anak-Nya?6

5
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5 (Kairo : Mu-assasah
Daar al- Hilaal, 1994), h. 167-168
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta), h. 469-470

7
Tafsir Kementrian Agama RI
Allah swt membantah anggapan kaum musyrikin Mekah bahwa malaikat adalah anak
perempuan Allah, dengan menanyakan apakah patut Tuhanmu memilih bagimu anak
laki-laki, sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara malaikat.
Pertanyaan ini mengandung arti penyangkalan terhadap anggapan mereka bahwa Allah
swt mempunyai anak-anak perempuan yang berupa malaikat.
Bantahan Allah, dalam ayat ini, dengan cara menunjukkan kesalahan jalan pikiran
mereka, bertujuan agar mereka dapat memahami kesalahannya. Bagaimana mungkin
Allah swt yang menciptakan langit dan bumi serta benda-benda yang berada di antara
keduanya dikatakan mempunyai anak-anak perempuan yang berupa malaikat,
sedangkan mereka sendiri lebih suka mempunyai anak-anak laki-laki dan membenci
anak perempuan. Mereka bahkan menguburkan anak perempuan itu hidup-hidup.
Dalam hal ini, mereka memberi suatu sifat kepada Allah yang mereka sendiri tidak
menyukainya. Jalan pikiran mereka benar-benar kacau. Mereka menyifati Zat Yang
Maha Esa dan Mulia dengan sifat yang rendah menurut pandangan mereka sendiri.
Anggapan seperti ini mengakibatkan tiga macam kesalahan.
1. Mereka menganggap bahwa para malaikat itu anak-anak perempuan.
2. Mereka menganggap bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah.
3. Mereka menyembah malaikat-malaikat itu.

Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), "Apakah


anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-
laki?" Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan
mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka
benar-benar mengatakan, "Allah mempunyai anak." Dan sungguh, mereka benar-benar
pendusta. (ash-shaffat/37: 149-152)
Allah swt menegaskan bahwa dengan ucapan itu, kaum musyrikin telah mengatakan
ucapan yang besar dosanya. Mereka telah mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah, dan karenanya diancam dengan siksaan yang pedih. Mereka juga telah menyia-
nyiakan akal pikiran mereka sendiri, karena memutarbalikkan kebenaran yang
semestinya mereka junjung tinggi.
Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak." Sungguh, kamu
telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi
terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), karena mereka menganggap
(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang
Maha Pengasih mempunyai anak. (Maryam/19: 88-92) (Lihat juga al-Baqarah/2: 116)

8
C. Berkomunikasi Dalam islam
Teori komunikasi menurut ajaran Islam selalu terikat kepada perintah dan larangan
Allah swt atau Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw Pada dasarnya agama
sebagai kaidah dan sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat
agar berperilaku sesuai dengan perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain
komunikasi menurut ajaran agama sangat memuliakan etika yang dibarengi sanksi
akhirat
Al-Qur’an juga menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi. Al-Qur’an memberikan kata
kunci (key concept) yag berhubungan dengan hal itu. AlSyaukani dalam Rahmat,
misalnya mengartikan kata kunci al-bayan sebagai kemampuan berkomuni-kasi. Selain
itu, kata kunci yang diperguna-kan AlQur’an untuk komunikasi ialah al-qaul. Dari al-
qaul ini, Jalaluddin Rakhmat menguraikan prinsip, qaulan sadidan yakni kemampuan
berkata benar atau berkomuni-kasi dengan baik.
etika komunikasi Islam yang telah dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya
Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim ialah ada enam bentuk
atau jenis gaya bicara (qawlan) di dalam alQur‟an yang dikategorikan sebagai kaidah,
prinsip atau etika menjawab dengan bersabda; Menjaga Lisan.”7
1. Qawlan Sadidan (perkataan yang benar)
2. Qawlan Baligha (efektif, tepat sasaran)
3. Qawlan Ma’rufan (perkataan yang baik, pantas)
4. Qawlan Karima (perkataan yang mulia)
5. Qawlan Layyina
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak
didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak
mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara.
6. Qaulan Maysura (perkataan yang mudah)

7
N Marwah, Etika Komunikasi Islam, Al-Din: Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan, 2021

9
BAB III

KESIMPULAN

Komunikasi adalah suatu aktivitas manusia yang saling berinteraksi antara satu orang
maupun lebih, konsep tentang komuniksi tidak hanya berkaitan dengan cara berbicara efektif
saja melainkan juga etika berbicara. Dalam pandangan agama islam komunikasi memiliki
etika, agar jika kita melakukan komunikasi dengan seseorang maka orang itu dapat memahami
apa yang kita sampaikan.
Dalam melakukan komunikasi manusia dapat melihat pembelajaran yang dapat kita ambil dari
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran seperti bagaimana kita berkomunikasi kepada orang
tua, keluarga, guru, dan orang-orang yang lebih dewasa dari kita.

10
DAFTAR PUSTAKA

Yasir. (2020). Pengantar Ilmu Komunikasi Sebuah Pendekatan Kritis dan Komprehensif.
Deepublish.
KBBI. “Santun”. Dalam https://www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/santun.html. Diakses
pada 1 April 2023
Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh. (1994). Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 5. Mu-assasah Daar al-Hilaal
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Jilid 7.
Lentera Hati
Marwah. N. (2021). Etika Komunikasi Islam Al-Din: Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan

11

Anda mungkin juga menyukai