Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HADITS-HADITS SOSIAL

“ Hadits Tentang Etika Berbicara ”

Dosen Pengampu : Zuhrupatul Jannah, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 13

Ahamad Najmul Kholis 200601027

Lalu Deki Wahyu Hidayat 200601013

Naura Dwi Handayani 200601015

JURUSAN ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Hadits Tentang Etika
Berbicara ” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penyusunan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pengampu pada mata kuliah Hadits-Hadits Social. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang hadits etika berbicara bagi para pembaca dan juga bagi penyusun
makalah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Zuhrupatul Jannah, M.Ag. selaku dosen
mata kuliah Hadits-Hadits Social yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
tersusunnya makalah ini. Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah.

Penyusun

Mataram, 16 Mei 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Berbicara
B. Hadits Tentang Etika Berbicara

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi/percakapan adalah suatu aktivitas manusia yang saling berinteraksi antara


satu oarang maupun lebih, di dalam pandangan agama islam komuikasi memiliki etika, agar jika
kita melakukan komunikasi dengan seseorang maka orang itu dapat memahami apa yang kita
sampaikan. Di dalam agama islam ada lima etika dalam berkomunikasi yaitu, pertama- Qaullan
Kariiman, kedua- Qaullan Ma’Rufan, ketiga- Qaullan Syadidan, keempat- Qaullan Balighan,
kelima- Qaullan Layyinan.

Jika diantara kalian yang suka berdakwah harus dapat memenuhi kelima etika dalam
islam tersebut, karena jika seorang pendakwah tidak menguasai etika komunikasi dalam islam
tersebut maka dia akan berkomunikasi tidak baik. Seperti, berkomunikasi dengan membentuk,
menyinggung perasaan, hingga oakan berdampak buruk, orang yang mendengar dakwahnya
tidak akan percaya bahkan dia akan dijauhi dan mungkin dibenci.

Perlu diketahui Allah SWT tidaklah suka yang berlebih-lebihan, maka jika
berkomunikasi atau berbicara, berbicaralah sewajar-wajarnya, yang mengandung dan dorongan
atau motivasi dan jangan berbicara bila hanya untuk menyinggung perasaan seseorang. Karena
apa yang kita bicarakan baik maupun buruk semua itu akan kita pertanggung jawabkan di akhirat
nanti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Etika Dalam Berbicara ?
2. Bagaimana Hadits Menjelaskan Tentang Etika Dalam Berbicara ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Etika Dalam Berbicara
2. Untuk Mengetahui Hadits Tentang Etika Dalam Berbicara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Berbicara

Secara etimologi (bahasa) “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam bentuk
tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, perasaan, cara berpikir. Dalam bentuk jamak yaitu “ ta etha ” berarti kebiasaan, kata itu
dipakai filsuf Plato dan Aristoteles untuk menerangkan studi mereka tentang nilai-nilai dan cita-
cita Yunani. Jadi pertma-tama, etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi apa yang kita
sebut menjadi orang baik, tetapi juga merupakan masalah sifat keseluruhan segenap masyarakat
yang tepatnya disebut “ ethos ”nya. Jadi etika adalah bagian dari ethos, usaha untuk mengerti tata
aturan sosial yang menentukan dan membatasi tingkah laku kita, khususnya tata aturan yang
fundamental, seperti larangan membunuh dan mencuri dan perintah bahwa orang harus
“menghormati orang tuanya” dan menghormati hak-hak orang lain yang kita sebut moralitas.

Al-Ashmu’i r.a memberikan kontribusinya dalam mengartikan etika. Ia mengatakan


etika adalah tiang penopang utama bagi orang berakal dan mahkota hiasan bagi orang yang
bukan keturunan bangsawan. Orang yang berakal cerdas tetap membutuhkan etika. Etika pada
dasarnya punya visi misi universal yang seharusnya bisa diberlakukan bagi setiap manusia
disetiap waktu dan tempat. Namun ada kesukaran-kesukaran untuk mewujudkannya,
dikarenakan ukuran baik dan buruk menuurt anggapan orang sangatlah relative. Hal tersebut
tentu berbeda dengan etika Islam yang kriterianya telah ditentukan secara gamblang dalam al-
Quran dan Hadist.

Sedangkan berbicara secara bahasa adalah berkata, bercakap. Dan secara istilah, ada
beberapa tokoh yang memberikan kontribusinya dalam mendefinisikan pengertian berbicara.
Yaitu sebagai berikut:

Pertama, menurut Tarigan ia mengartikan, berbicara adalah kemampuan mengucapkan


bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan atau menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan serta perasaan seseorang kepada orang lain. Kedua, menurut
R.A Kartni ia mengartikan, berbicara adalah suatu peristiwa menyampaikan maksud, gagasan,
serta perasaan hati seseorang kepada orang lain.
B. Hadits Tentang Etika Berbicara

Rasululah SAW mengatakan ,”Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang dapat


bermanfaat bagi orang lain,” atau ,”Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang sangat baik
dengan tetangganya,” dan banyak lagi hadits-haditsyang menyuruh kita untuk mencintai saudara
kita sesama muslim seperti kita mencintai diri kita sendiri. Semua ini membuktikan betapa kita
harus bisa berkomunikasi dengan nilai-nilai yang islami, hingga lisan kita tidak sampai
menyakiti orang lain, bahkan sebaliknya setiap kata yang diucapkan dapat menyejukkan hati.

Allah berfirman,” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu sekalian”. (Al Hujarat, : 13)
Dari ayat ini, Allah menyuruh kita untuk saling mengenal, mestipun berbeda suku, berbeda
bangsa, berbeda budaya, berbeda warna kulit,sebagai manusia kita harus menjalin komunikasi
yang baik. Selanjutnya Allah juga menegaskan yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang
paling kaya, paling cantik, paling pintar, paling popular dsbnya, namun yang paling mulia adalah
manusia yang paling bertakwa kepada Allah SWT.

Setiap manusia mempunyai karakter, sifat dan kepribadian yang berbeda. Meski anak
yang lahir kembar identik pun pasti memiliki sifat dan karakter yang tidak sama. Untuk itu Islam
mengatur tata cara bergaul yang benar, agar seseorang dapat bersinergi dengan orang lain meski
mempunyai kepribadian, sikap dan watak yang berbeda. Allah berfirman,” Dan hamba-hamba
Tuhan yang maha penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
(Al Furqon: 63)

Rendah hati (tawadhu) dan mengucapkan kata-kata yang baik (Qaulan Salaamah).
Rendah hati adalah sifat yang sangat mulia, orang yang tawadhu akan tercermin dari sifat dan
tingkah lakunya. Dalam pergaulan orang yang tawadhu pasti disenangi, bila berkata sewajarnya,
kepada yang lebih tua menghormati, namun kepada yang lebih muda menyayangi. Orang seperti
ini bila ditakdirkan jadi pemimpin, ia akan tampil sebagai pemimpin yang amanah. Bila kita baca
riwayat hidup rasullah, manusia yang dijamin masuk surga itu, sungguh rendah hati terhadap
keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Beliau bersabda,” Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu
kepadaku, yaitu kamu sekalian hendaklah bersikap tawadhu sehingga tidak ada seseorang
bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang lain,” (Hr
Muslim). Dan dalam riwayat lain Anas RA berkata,” Bila ada budak di Madinah memegang
tangan nabi SAW, maka beliau pergi mengikuti kemana budak itu menghendaki”. (Hr Bukhari)
Sungguh, sikap tawadhu benar-benar dicontohkan langsung oleh rasul, yang tidak membedakan
status sosial kendati beliau adalah manusia yang paling mulia di dunia dan akhirat namun tetap
menghargai seorang budak.

 Adapun Adab-Adab Atau Etika Berbicara Dalam Islam, yaitu:

1. Berbicara yang baik

Ketika kita diberikan nikmat berbicara, maka berbicaralah hanya yang baik saja.
Sebagaimana telah Allah perintahkan.

ُ ‫صلِ ْح لَ ُك ْم َأ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم ۗ َو َمن يُ ِط ِع هَّللا َ َو َر‬


ُ‫سولَه‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوقُولُوا قَ ْواًل‬
ْ ُ‫س ِديدًاي‬
‫َفقَ ْد فَا َز فَ ْوزًا َع ِظي ًما‬

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenengan yang besar”. [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam kitab Shahihnya no. 6477 , dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

ِ ‫ق َوا ْل َم ْغ ِر‬
‫ب‬ ْ ‫ِإنَّ ا ْل َع ْب َد لَيَتَ َكلَّ ُم بِا ْل َكلِ َم ِة َما يَتَبَيَّنُ َما فِ ْي َها يَ ْه ِوى بِ َها فِي النَّا ِرَأ ْب َع َد َما بَيْنَ ا ْل َم‬
ِ ‫س ِر‬

Artinya :“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang


tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang
dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”.
2. Tidak ghibah

Salah satu penyumbang dosa terbesar manusia adalah lisannya. Banyaknya ghibah yang
dilakukan membuat seorang ahli agama pun dapat masuk ke dalam neraka. Dalam kitab Shahih
Muslim hadits no. 2589 dijelaskan,

: ‫سولُهُ َأ ْعلَ ُم قَا َل‬ ُ ‫ َأتَ ْدرُونَ َما ا ْل ِغيبَةُ قَالُوا هَّللا ُ َو َر‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫عَنْ َأبِي ُه َر ْي َرةَ َأنَّ َر‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬
‫ِذ ْك ُركَ َأ َخأ َك بِ َما يَ ْك َرهُ قِي َل اَفَ َراَيْتَ ِإنْ َكانَ فِي َأ ِخي َما َأقُو ُل قَا َل ِإنَّ َكانَ فِ ْي ِه َما تَقُو ُل فَقَ ِدا ْغتَ ْبتَهُ وَِإنْ لَ ْم يَ ُكنْ فِ ْي ِه‬
ُ‫فَقَ ْد بَ َهتَه‬

Artinya :“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat
menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah
engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut,
“Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab,
“Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang
kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”.

3. Melihat wajah lawan bicara

Jika berbicara secara langsung, maka pandanglah wajah orang yang berbicara tersebut.
Hal ini akan membuat mereka merasa lebih dihargai. Dari ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

‫ش َغلَنِي َه َذا َع ْن ُك ْم ُم ْن ُذ ا ْليَ ْو َم ِإلَ ْي ِه نَ ْظ َرةٌ وَِإلَ ْي ُك ْ{م‬ َ ِ‫سلَّ َم ات ََّخ َذ َخاتَ ًما فَلَب‬
َ : ‫سهُ قَا َل‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫إنّ َر‬
ُ‫نَ ْظ َرةٌ ثُ َّم َأ ْلقَاه‬

Artinya :“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai sebuah cincin dan


memakainya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cincin ini telah menyibukkanku
dari (memperhatikan) kalian sejak hari ini (aku memakainya), sesaat aku memandangnya dan
sesaat aku melihat kalian”. Kemudian beliau pun melempar cincin tersebut.”(Shahih An
Nasa’i : 5304).
4. Antusias

Dengarkanlah orang lain yang berbicara dengan sangat antusias. Bahkan meskipun kita
pernah mendengar hal tersebut sebelumnya, hendaklah kita tetap mendengarkan dengan baik.

‘Ataa’ bin Abi Rabah berkata,

‫إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه{ وقد سمعته قبل أن يولد‬

Artinya :“Ada seseorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam
untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal
sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.” (Siyar A’laam An-Nubala
5/86).

5. Tidak memotong pembicaraan

Adab selanjutnya ketika berbicara adalah tidak memotong pembicaraan. Orang yang
suka memotong pembicaraan orang lain adalah orang yang sangat tidak sopan dan egois.

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

‫ و‬, ‫ و تعلم حسن االستماع كما تتعلم حسن القول‬, ‫إذا جالست فكن على أن تسمع أحرص منك على أن تقول‬
‫ال تقطع على أحد حديثه‬

Artinya :“Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya
engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi
pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah
engkau memotong pembicaraan orang lain.” (Al-Muntaqa hal. 72).

6. Tidak berdebat

Ada kalanya dalam sebuah pembicaraan terjadi perdebatan. Dalam Islam, perdebatan
hal yang biasa terjadi namun hendaknya dihindari. Bahkan meskipun kita benar, kita sebaiknya
mengalah agar tidak terjadi perdebatan yang panjang.

Rasul pernah bersabda,


‫ﺳﻠَّﻢ ﺃَﻧَﺎ َﺯ ِﻋﻴﻢ ﺑِﺒَ ْﻴﺖ ﻓِﻲ َﺭﺑَﺾ ا ْﻟ َﺠﻨَّﺔ ﻟِ َﻤﻦ ﺗ ََﺮﻙ ا ْﻟ ِﻤ َﺮاء َﻭﺇِﻥ‬
َ ‫ﺻﻠَّﻰ ﻪَّﻠﻟا َﻋﻠَ ْﻴﻪ َﻭ‬
َ ‫ﺳﻮﻝ ﻪَّﻠﻟا‬ ُ ‫ﻋَﻦ ﺃَﺑِﻲ ﺃُ َﻣﺎ َﻣﺔ ﻗَﺎﻟَﻘَﺎﻝ َﺭ‬
‫ﺴﻦ ُﺧﻠُﻘَﻪ‬ َّ ‫ﺳﻄ ا ْﻟ َﺠﻨَّﺔ ﻟِ َﻤﻦ ﺗ ََﺮﻙ ا ْﻟ َﻜ ِﺬﺏ َﻭﺇِﻥ َﻛﺎﻥ َﻣﺎ ِﺯ ًﺣﺎ َﻭﺑِﺒَ ْﻴﺖ ﻓِﻲ ﺃَ ْﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﺠﻨَّﺔ ﻟِ َﻤﻦ َﺣ‬َ ‫َﻛﺎﻥ ُﻣ ِﺤﻘًّﺎ َﻭﺑِﺒَ ْﻴﺖ ﻓِﻲ َﻭ‬

Artinya :“Aku menjamin sebuah istana di sekitar surga bagi siapa saja yang
meninggalkan perdebatan walaupun dia dalam keadaan benar. Dan dipertengahan surga bagi
seorang yang meninggalkan kedustaan walau dalam bercanda dan di bagian surga tertinggi
bagi yang terpuji akhlaknya.” (HR. Abu Dawud, dalam sunannya, no 4167).

7. Terlalu banyak bicara

Salah satu orang yang merugi adalah orang yang sangat banyak berbicara. Rasul sendiri
telah memperingatkan mereka yang terlalu banyak berbicara.

Artinya :Rasulullah bersabda, “Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan
paling jauh tempat duduknya di antara kalian dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang
banyak bicara, orang yang memfasih-fasihkan cara bicaranya dan orang yang sombong.” (HR.
Tirmidzi).

8. Selalu jujur

Teladan yang selalu dicontohkan oleh Rasul semasa hidupnya adalah selalu berkata
jujur. Jujur dalam berbicara menunjukkan ke-Islaman seseorang, maka hendaknya kita selalu
jujur dalam setiap perkataan bahkan dalam candaan sekalipun.

َّ‫ فَِإن‬، ‫ْق‬


ِ ‫الصد‬ ِّ ِ‫ َعلَ ْي ُك ْم ب‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫س ُع ْود َر‬ ْ ‫بن َم‬
ِ ِ‫عَنْ َع ْب ِد هللا‬
‫ق َحتَّى يُ ْكت ََب ِع ْن َد‬ َ ‫ص ْد‬
ِّ ‫ق َويَت ََح َّرى ال‬ ُ ‫ص ُد‬ْ َ‫ َو َما يَزَا ُل ال َّر ُج ُل ي‬، ‫ي ِإلَى ا ْل َجنَّ ِة‬
ْ ‫ وَِإنَّ ا ْلبِ َّر يَ ْه ِد‬، ‫ي ِإلَى ا ْلبِ ِّر‬
ْ ‫ق يَ ْه ِد‬
َ ‫ص ْد‬
ِّ ‫ال‬
‫ َو َما يَزَا ُل ال َّر ُج ُل‬، ‫ي ِإلَى النَّا ِر‬ ْ ‫ فَِإنَّ ا ْل َك ِذ َب يَ ْه ِد‬، ‫ وَِإيَّا ُك ْم َوا ْل َك ِذ َب‬، ‫ص ِّد ْيقًا‬
ْ ‫ وَِإنَّ ا ْلفُ ُج ْو َر يَ ْه ِد‬، ‫ي ِإلَى ا ْلفُ ُج ْو ِر‬ ِ ِ‫هللا‬
‫ب َويَت ََح َّرى ا ْل َك ِذ َب َحتَّى يُ ْكت ََب ِع ْن َد هللاِ َك َّذابًا‬ ُ ‫يَ ْك ِذ‬

Artinya :Dari Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh


Shallallahualaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran
membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila
seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai
orang yang jujur.
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan,
dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan
memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).” [ Ahmad
(I/384); al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386) At-Tirmidzi berkata,
“Hadits ini hasan shahih.

Keselamatan tidak akan diraih kecuali oleh orang-orang yang menjaga hati dan lisannya
dari perilaku buruk. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits dari Uqbah bin Amir ra. Ia bertanya
kepada Rasulullah tentang bagaimana cara meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

“Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat?” Rasulullah SAW bersabda, “Jagalah
lisanmu, lapangkanlah rumahmu-suka menjamu tamu dan anak-anak yatim, dan menangislah
karena dosa-dosamu.” (HR. Al Tirmidzi)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa menjaga lisannya niscaya Allah menutup aibnya. Barang siapa
menahan amarahnya niscaya Allah melindungi dari siksa-Nya, dan barang siapa memohon
ampun kepada Allah, niscaya Dia menerima permohonannnya.” (HR. Ibnu Abi Dunya)

Dari dua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya menjaga lisan bagi
seorang Muslim. Sebab, lisan dapat menimbulkan kerugian bagi si pemilik apabila tidak
digunakan dengan baik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi (bahasa) “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam bentuk
tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, perasaan, cara berpikir. Dalam bentuk jamak yaitu “ ta etha ” berarti kebiasaan, kata itu
dipakai filsuf Plato dan Aristoteles untuk menerangkan studi mereka tentang nilai-nilai dan cita-
cita Yunani. Sedangkan berbicara secara bahasa adalah berkata, bercakap. Dan secara istilah, ada
beberapa tokoh yang memberikan kontribusinya dalam mendefinisikan pengertian berbicara.
Yaitu sebagai berikut:

Pertama, menurut Tarigan ia mengartikan, berbicara adalah kemampuan mengucapkan


bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan atau menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan serta perasaan seseorang kepada orang lain.

 Adapun Adab-Adab Atau Etika Berbicara Dalam Islam, Yaitu:


1. Berbicara yang baik
2. Tidak ghibah
3. Melihat wajah lawan bicara
4. Antusias
5. Tidak memotong pembicaraan
6. Tidak berdebat
7. Terlalu banyak bicara
8. Selalu jujur

B. Saran

Penulis merasa bersyukur atas terselesainya makalah ini walaupun terdapat banyak
kekurangan yang masih harus diperbaiki kembali dalam makalah ini. dan penulis sangat senang
untuk menerima kritik dan saran dari pihak pembaca demi kesempurnaan makalah ini serta
semoga bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Terj. K.H. Farid Ma‟ruf, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.

https://dalamislam.com/akhlaq/adab-dalam-berbicara

https://www.kompasiana.com/www.eman.com/54f75bf3a33311af368b45e1/makalah-etika-
komunikasi-dalam-islam

Mufid, Muhammad. Etika Dan Filsafat Komunikasi, Jakarta : Kencana, 2012.

Solomon, Robert C. Etika Suatu Pengantar, Terj. Andre Karo-Karo Jakarta : Erlangga, 1984.

Anda mungkin juga menyukai