Anda di halaman 1dari 20

Tugas Makalah

Maqamat Dan Hal (Ahwal)


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampuh:
Bayu Mujrimin, M. Pd. I

Oleh:
Kelompok 4
Fariza Ayu Dwi Lestari
Irwan Haji Karim
M. Arif Agnofra
M. Dhuha Budiman
Vio Randika

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
IBNU SINA BATAM
2022
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat


rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Maqamat Dan
Hal (Ahwal)”. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Batam, 15 Mei 2022

Penyusun

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................iii
A. Latar Belakang...................................................................................iii
B. Rumusan Masalah..............................................................................iii
C. Tujuan Pembahasan...........................................................................iii
BAB II : PEMBAHASAN
A. Apakah Itu Tujuan Pendidikan Islam................................................1
B. Bagaimana Konsep Nilai-nilai Pendidikan Islam 2

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan 4
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam memahami akhlak tasawuf kita harus mengetahui apa itu


tasawuf. Tasawuf adalah suatu bidang kajian dalam Islam yang
menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri untuk dikaji. Oleh sebab itu,
tasawuf ialah salah satu tema yang memperoleh sorotan meluas baik dari
kalangan peneliti muslim, maupun non-muslim. Dengan demikian, hal ini
mempunyai suatu konsekuensi sendiri kepada pemahaman tasawuf, yang
justru bertentangan oleh pemahaman para sufi. Konsep maqamat dan
ahwal dalam perspektif para sufi, yang memiliki tujuan untuk melihat
bahwa konsep maqamat dan ahwal ini telah berpengaruh terhadap agama
lain di luar Islam, ataupun justru sebaliknya bahwa itu muncul secara
original dari ajaran Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

A. Apakah Itu Tujuan Pendidikan Islam?


B. Bagaimana Konsep Nilai-nilai Pendidikan Islam?

C. Tujuan Masalah

A. Untuk Mengetahui Apakah Itu Tujuan Pendidikan Islam


B. Untuk Mengetahui Konsep Nilai-nilai Pendidikan Islam

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqam dan Ahwal

Dalam istilahnya maqam (jamak: maqamat) adalah suatu konsep yang


diperoleh dari sufi dan telah berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf 
Islam.  Oleh sebab itu, para sufi berpendapat bahwa maqamat  yaitu bermakna
kedudukannya atau tempat seorang yang berjalan spiritual di hadapan Allah. Itu
semua diperolehnya dari kerja keras dalam beribadah. Sehingga dalam Al-Qur’an
kata maqam itu mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik melalui
kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antaranya penyebutnya terdapat
pada QS al-Baqarah ayat 125, QS al-Isra ayat 79, dan QS Maryam ayat 73.
Sedangkan dalam kata ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang secara
istilah diartikan sebagai suatu suasana maupun keadaan yang menyelimuti kalbu
atau hati seseorang, yang sudah diciptakannya (sebagai “hak prerogatif”) Allah
dalam hati seseorang. Sehingga ini merupakan suatu keadaan yang dialami oleh
para sufi di sela-sela perjalannan spiritualnya hingga mencapai kesempurnan.
Sehingga konsep maqamat dan ahwal telah dikenal sebagai salah satu dari 
pemahaman tasawuf yang menjadi suatu perjalanan spiritual (suluk). Sehingga
dalam memahami hal ini, maqamat ialah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh
para pejalan spiritual sebelum ia mencapai puncak perjalanan, yang biasa disebut
ma’rifah, ridha, ataupun mahabah (kecintaan) Allah Swt. Sedangkan ahwal adalah
keadaan-keadaan spiritual sesaat yang telah dialami para sufi di tengah-tengah
pejalanannya..
Dengan demikian pengertian tentang maqamat dan ahwal adalah hasil dari
istijad para sufi dan bukan merupakan suatu bagian kepastian aturan dalam Islam
(qath’iyyat). Sehingga bukan saja pengertian ini tidak dijumpai di kalangan luar
tasawuf. Dan pengertian ini merupakan suatu bagian terpenting dari displin
tasawuf. Tujuannya untuk perjalanan spiritual baik melalui pemahaman tentang
Allah, keridhaan, ataupun kecinta-Nya yang bisa dicapai secara lebih sistematis.
Di dalam maqamat dan ahwal yaitu bisa saja seseorang tidak menjalankan,
mengalami maupun mengikuti pejalan spiritual. Ini sebabnya telah disebutkan
oleh para sufi bahwa dibutuhkan kualifikasi spiritual yang berhubungan dengan
keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal tersebut. Sehingga dalam
meraihnya butuh upaya keras dan sungguh-sungguh dalam menahan hawa nafsu
(muhajadah) dan latihan terhadap kerohanian (riyadhah)..

B. Maqamat Dan Ahwal Dalam Tasawuf

1. Definisi Maqamat dan Ahwal


Kata maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal orang mulia. Kata tersebut merupakan bentuk jamak
dari maqam yang berarti pangkat atau derajat. Kemudan istilah ini diartikan
sebagai perjalanan panjang yang harus dilalui atau ditempuh oleh orang sufi untuk

4
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah ini
disebut dengan stages yang artinya tangga. [1]
Adapun ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara
bahasa, ahwal atau hal memiliki arti kondisi atau keadaan. Dapat pula kita
pahami, ahwal atau hal ini merupakan keadaan mental. Seperti: perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu
tasawuf, hal artinya perasaan yag menggerakkan dan mempengaruhi hati yang
disebabkan karena bersihnya dzikir.[2]

2. Macam-macam Maqamat.
Para sufi berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya
tingkatan maqamat agar bisa sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut
Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya at-ta'aruf li mazhab ahl al-
tasawwuf berpendapat bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu al-
taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla,
al-mahabbah, dan al-ma'rifah.
Kemudian maqamat menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-
Luma' menyebutkan bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu al-taubah, al-
wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan Imam al Ghazali
dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat itu ada
tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma'rifah
dan al-ridla.
Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat seperti yang
sudah disebutkan diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para sufi disepakati,
yang jumlahnya ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah al-taubah, al-zuhud, al
wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.[3]

1) Al Taubah
Kata Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang
memiliki arti kembali. Dalam Al Qur’an, banyak kita jumpai ayat yang
menganjurkan kepada manusia agar bertaubat. Antara lain:
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui” (QS. Ali ‘Imron: 135)
Artinya: “…... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung”(QS. An Nur: 31)
Setidaknya, ada empat alasan yang dapat dikemukakakan tentang mengapa
kita harus bertaubat. Pertama, manusia merupakan makhluk yang sering berbuat
dosa dan kesalahan, entah itu disengaja ataupun tidak. Orang yang tidak pernah
berbuat salah dan dosa bukanlah orang baik. Namun, mereka yang mau menyadari
kesalahan dan dosanya dengan bertaubat serta berjanji tidak akan mengulanginya
setelah itu ialah orang baik. Perbuatan dosa yang kemudian tidak disertai dengan
bertaubat akan menghalangi seseorang untuk taat kepada Allah.[4]

5
Kedua,kita yakin bahwa Allah Maha Pengampun terhadap hamba-Nya. Tidak
memandang dosa yang sebesar gunung, seluas lautan, atau bahkan sampai tidak
terhingga. Allah akan tetap menerima taubat hamba-Nya, selagi belum terlambat.
Ketiga, dosa yang kita lakukan jika tidak dihapus dengan air mata taubat
justru akan menjadi noda hitam yang mengotori dan menghalangi hati untuk
memperoleh hidayah dan cahaya Tuhan. Imam al Ghazali mengibaratkan hati
manusia dengan cermin. Apabila cermin itu terkena kotoran, maka tidak akan bisa
untuk mengaca, terlebih memantulkan cahaya. Demikian juga pada hati manusia,
jika ia sering digunakan untuk berbuat dosa dan  maksiat, maka akan sulit untuk
menerima dan memantulkan cahaya Tuhan.[5]
Keempat, dari segi psikologis, orang yang melakukan kesalahan atau dosa akn
merasa gelisah, tidak tenang, bahkan bisa mengalami keterbelakangan jiwa. Maka
dari itu, orang tersebut jika terus menerus membiarkan perbuatan dosanya akan
bedampak negatif bagi kesehatan psikologisnya. Dengan cara taubat inilah orang
akan lapang jiwanya.
Adapun taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah memohon ampunan kepada
Allah atas segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Tentunya
dengan disertai melakukan amal kebajikan. Artinya adalah taubat yang
sebenarnya. Bisa juga disebut dengan taubatan nasuha, taubat yang tidak akan
membawa dosa lagi.
Bagi kalangan sufi, untuk mencapai taubat yang sebenarnya ini terkadang
tidak cukup dilakukan hanya dengan satu kali saja. Bahkan ada juga yang
mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubah, kemudian baru ia
mencapai tingkat taubat yang sebenarnya. Karena taubat yang sebenarnya bagi
kalangan sufisme adalah lupa pada segala hal kecuali Tuhan.[6]
Imam Nawawi, dalam kitabnya al Adzkar menyebutkan bahwa taubat kita
agar diterima oleh Allah harus memenuhi syarat berikut:[7]
1) Harus ada rasa penyesalan (an nadamah) dalam hati atas segala dosa yang
dilakukan. Terkadang sudah sadar akan dosa yang diperbuat dan langsung
bertaubat, namun setelah itu malah bangga akan dosa yang telah dilakukan atau
justru melakukan dosa itu lagi.
2) Berjanji dengan hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat.
Sebenarnya, ini hanyalah konsekuensi logis dari rasa penyesalan kita. Jika kita
menyesal, maka harusnya tidak ingin mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
3)  Memperbanyak “istighfar”, yakni memohon ampunan kepada Allah. Jangan
sampai kita dininabobokkan oleh kemaksiatan dan dosa yang telah dilakukan.
Nabi Muhammad SAW saja masih memohon ampunan kepada Allah. Padahal
beliau sudah mendapatkan ‘garansi’ dari Allah. Bagaimana dengan kita yang
tidak ada ‘garansi’ dari Allah.

6
4) Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan
memacu berbuat maksiat dan dosa. Lingkungan pergaulan memang sangat kuat
pengaruhnya. Orang yang mengaku dirinya bertaubat, maka akan mencari tempat
yang baik. Sebab, ini akan mendorong dirinya untuk berbuat baik.
5) Jika perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita
harus meminta kehalalan atau mengembalikannya kepada orang bersangkutan.
Apabila orang yang telah kita zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat
memberikan hak tersebut kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan
memohon agar pahalanya disampaikan kepada orang tersebut.
Tentunya ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan usaha yang maksimal.
Oleh karena itu, untuk memantapkan taubatnya ia harus pindah
ke stasion berikutnya yakni zuhud.

2) Al Zuhud

Secara harfiah al zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat


keduniawian. Sedagkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. [8]
Asal kata dari zuhud ialah zahida yazhadu zuhdan yang artinya membenci
sesuatu. Dengan demikian orang dikatakan zuhud apabila ia mau mempersiapkan
diri mencari bekal untuk hidup di akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan
terus menerus menjalankan ketaatan kepada Allah.[9]
Jadi zuhud tidak harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan
sikap hati yang tidak terlalu suka dengan dunia sehingga lupa akan kehidupan
akhirat. Banyak orang kaya raya, namun juga mereka sangat zuhud. Contohnya
Nabi Sulaiman, meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan dengan
sebutan azhaduz zahidin atau orang yang paling zuhud diantara orang-orang
zuhud. Beliau makan makanan yang sederhana, sementara dirinya memberikan
makanan yang enak kepada rakyatnya.[10]
Beberapa hal bisa dilakukan seseorang untuk sampai pada maqam zuhud ini,
diantaranya:
1) Menyadari dan menyakini bahwa dunia ini fana. Pada saatnya manusia akan
meninggalkannya. Selain itu ia juga harus yakin bahwa dirinya pasti akan kea
lam baka, yakni akhirat.
2) Menyadari dan menyakini bahwa dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh
lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.
3) Banyak mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan hidupnya lebih berhati-hati.
Sebab setelah meninggal dunia manusia akan ditanya dan mempertanggung
jawabkan semua amal perbuatannya.

7
4) Mengkaji sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih yang
notabene mereka adalah orang-orang zuhud.[11] 
Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan mengasingkan diri ke
tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an,
maupun berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan hidup
saja. Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian juga
sederhana. Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia. Apabila orang
tersebut sudah keluar dari pengasingannya, namun juga masih tetap melakukan
hal-hal layaknya di tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa, melakukan sholat,
membaca AL Qur’an maupun berdzikir maka ia harus melanjutkan
ke stasion berikutnya yakni wara,

3) Al Wara’
Pada stasion ini, ia akan dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal syubhat. Kata al
wara’ dapat diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Selanjutnya, dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan
semua hal yang di dalamnya mengandung keraguan antara halal atau haram
(syubhat).
Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam
hadis, “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia
telah terbebas dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari). Tentunya, bagi salik atau
sufi makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya mengandung haram akan
berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah
mengkonsumsi hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat
hidayah dan ilham dari Tuhan.
Halal, haram, dan syubhat seperti rambu-rambu lalu lintas. Sungguh tak
terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia berjalan di jalan raya yang ramai
tidak ada rambu-rambu. Tentu akan terjadi kekacauan, sebab tidak ada petunjuk
mana pertanda yang boleh lewat duluan dan mana yang harus berhenti. Begitulah
pula dengan persoalan makanan dan minuman, kita juga memerlukan petunjuk
rambu-rambu.[12]
Sekarang kita analogikan, lampu hijau merupakan hal yang halal atau
makanan dan minuman yang boleh dimakan. Kemudian lampu merah sebagai
tanda haram, maka kita wajib berhenti, tidak boleh mengkonsumsinya.
Selanjutnya lampu kuning, menjadi tanda dari hal-hal yang makruh, maka di sini
kita harus berhati-hati. Adapun orang yang wira’i pasti akan lebih memillih
berhenti saat lampu kuning sudah menyala. Sedangkan orang yang nekat,
jangankan lampu kuning, lampu merah saja ia terjang. Jangankan syubhat, haram
saja ia konsumsi.
Betapapun sikap wara’ sangat dianjurkan, namun demikian, jangan sampai
seseorang terkena ghurur (tipu daya), sikap wara’ yang ekstrim. Sebab kadang ada
seseorang yang merasa menjadi seseorang wara’, dia lalu bersikap ekstrim. Semua
barang seolah selalu dipertanyakan kehalalannya. Misalkanya, ada makanan atau
minuman yang jelas-jelas halal, baik zatnya, cara pembuatan atau proses
mendapatkannya, tetapi karena ekstrim (ghuluww) dalam memahami sikap wara’,

8
ia lalu tidak mau mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut. Sikap wara’
seperti ini dalam saat yang bersamaan dapat menjebak seseorang bersifat ujub dan
riya’. Ini disebabkan oleh nafsu keegoisan yang mendasari keinginan untuk
menjadi orang wara’.[13]
Sekarang, seseorang harus menghadapi tantangan kehidupan modern.
Tentunya modernitas ini juga membawa dampak negative. Termasuk di dalamnya,
sikap dan gaya hidup yang materialistik dan hedonistik. Oleh karena itu manusia
harus memiliki prinsip yang kuat dalam hidup.  Adapun sikap wara’ ini bisa
menjadi tameng manusia dalam kehiduapn modern ini. Sebab, dengan adanya
sikap ini nanti seseorang akan mempunyai kakuatan batin yang bagus. Untuk
menumbuhkan sikap wara’ juga bisa dengan mengetahui manfaatnya.
Seperti ditulis oleh Muhammad Luqman Hakim, dalam majalah sufi edisi ke
29 Januari 2004, diantara manfaat sikap wara’ adalah:[14]
1) Wara’ menumbuhkan sifat kesatria, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan
sikap sosial yang positif.
2) Wara’ akan menjauhkan sifat israf (berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi
materi), dan kesombongan.
3) Wara’ mendorong seseorang menjadi hamba Allah yang merdeka dari
kepentingan selain Allah, karena hakekat wara’ adalah sikap waspada terhadap
segala hal selain Allah.
4) Wara’ mengantarkan seseorang untuk bersikap tulus ikhlas dalam beramal
kepada Allah. Karena tanpa wara’, ibadah kita akan menyimpang dari nilai-nilai
keikhlasan.
5) Wara’ menghilangkan sikap kepura-puraan, kemunafikan, basa-basi, dan
membebaskan dari penjara hawa nafsu kita.
6) Wara’ adalah awal dari ketaqwaan seseorang.
7) Wara’ akan mengantarkan seseorang untuk terus menerimamemandang Allah
dalam setiap hal yang halal. Sehingga wara’ juga mendorong manusia untuk terus
menerima bersyukur, sebab di balik yang di pandang ada nama Allah.
8) Wara’ adalah nuansa majelis Ilahi. Abu Hurairah pernah mengatakan, “orang-
orang yang berada di mejelis Allah adalah ahli wara’ dan zuhud.
9) Wara membuat seseorangtidak suka berbuat dzalim, ia senantiasa berbuat adil,
proposional, dan wajar serta menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) 
4) Al Faqr

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa

9
yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi
tidak menolak.[15]
      Kyai Achmad Siddiq berpendapat bahwa kefakiran ialah tahapan yang
penting. Menurutnya, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada
Allah. Artinya, seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu
yang patut dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian,
bahkan ibadah yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau
dibanggakan di hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-
Nya, semua itu tidak akan nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari
akan ketergantungan dengan Allah, setiap saat bahkan setiap detik, dalam kondisi
apapun, inilah yang dimaksud al faqr.   

5) Al Shabr
Setelah menjalani maqam kefakiran, maka ia akan sampai pada maqam sabar.
Sabar di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya yang berat dan menjauhi
larangan-Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar menderita, bukan hanya
bisa memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar yakni menunggu
pertolongan itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan yang keliru terhadap makna sabar ini.
Parahnya, orang yang bersikap sabar ini disamakan dengan orang yang pasif,
tidak mau berusaha, dan menunda-nunda dalam melakukan sesuatu. padahal
dalam kesabaran ini ada dimensi kesungguhan, keuletan, dan profesionalitas.
Maka menunda-nunda sholat bukanlah kesabaran namun kemalasan. Oleh karena
itu, kesabaran tidaklah identic dengan sikap menunda-nunda berbuat kebaikan.
Berdasarkan konteksnya, sabar dapat dibagi menjadi tiga bagian:[16]
1) Sabar dalam ketaatan (as shabru ‘ala al Tha’ah).
Hal ini harus dilakukan dengan cara istiqamah (konsisten dan terus menerus)
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2) Sabar meninggalkan maksiat (as shabru ‘an al ma’siyyah).
Ini dilakukan dengan cara mujahadah (jihad spiritual), bersungguh-sungguh
dalam memerangi hawa nafsu dan meluruskan keinginan-keinginan yang buruk
yang dibisikkan oleh setan.
3) Sabar ketika ditimpa musibah (as shabru ‘ala al Mushibah).
Ini dilakukan ketika kita ditimpa musibah atau kemalangan. Dunia sesungguhnya
tempat ujian (dar al imtihan). Allah akan menguji keimanan seseorang, antara lain
dengan ditimpakan nya musibah kepadanya. Ini bukan berarti Tuhan tidak saying,
melainkan sekedar untuk menguji, sejauh mana kekuatan imannya.
Menurut Ibnu A’jibah, orang sabar jika diklasifisikan berdasarkan tingkatannya
dapat dibagi menjadi tiga:[17]
4) Sabar tingkatan orang awam. Seseorang dalam posisi ini akan selalu tabah atas
kesulitan-kesulitan dalam menjalankan ketaatan dan melawan segala bentuk
pelanggaran.

10
5) Sabar tingkatan orang khusus (khawash). Seseorang yang masuk dalam tingkatan
ini akan bisa menahan hati (tabah) ketika
menjalankan riyadlah dan mujahadah (perjuangan spiritual) dengan selalu
melakukan muraqabah, sehingga dalam hatinya selalu hadir nama Allah.
6) Sabar tingkatan khawashul khawas. Seseorang bisa dikatakan masuk dalam
maqam ini bila ia bisa menahan ruh dan sir agar dapat menyaksikan Allah
(musyahadah) dengan mata hatinya.
Menjadi orang awam dan masuk dalam level pertama saja sudah bagus. Akan
tetapi, kita hendaknya berusaha untuk meningkatkan kesabaran bahkan sampai
level tertinggi. 

6) Al Tawakkal
Setelah masuk pada stasion al tawakkal maka ia akan menyerahkan diri
sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Oleh karena ia tidak akan berpikir
tentang hari esok.  Dengan menyerahkan diri ini ia akan merasa tenang
sepenuhnya. Terkadang ia bersikap seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin
Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah
seperti bangkai dihadapan orang yang memandikanya, ia mengikuti semua yang
memandikan, artinya tidak dapat bergerak dan bertindak. [18]
Lebih lanjut, Al Qusyairi berpendapat bahwa tawakkal tempatnya ialah ada di
dalam hati. Adapun gerakan tubuh (perbuatan) tidaklah mengubah tawakkal yang
terdapat dalam hati tersebut. Sehingga akan timbul keyakinan bahwa semua yang
terjadi merupakan takdir dari Allah.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Harun Nasution yang mengatakan bahwa
tawakkal ialah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Misalkan
orang tidak mau makan, karena ada orang yang lebih membutuhkan dari pada
dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-
Nya, Allah menyatakan :[19] 
Artinya: “…. dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS. At Taubah: 51)
Artinya: “…. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11)

7) Al Ridla
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan
ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima
kada dan kadar dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati
sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Mereka
senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat.
Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak
berusaha sebelum turunnya sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit

11
dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan  cinta bergelora di
waktu turunnya bala’(cobaan yang berat).[20]
Seseorang yang memiliki sikap ridha bukan berarti ia meninggalkan usaha
(ikhtiar). Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan sikap yang fatal dan
membuat orang tersebut pasif. Saat ditimpa musibah, orang yang ridha ini akan
merasakan pedih atau sakit. Namun ia lebih yakin bahwa setelah musibah ini pasti
akan mendapatkan hasil yang lebih baik yakni kebahagiaan. Seperti orang yang
sakit, ia harus disuntik, orang tersebut pasti merasakan sakitnya jarum, namun ia
rela disuntik karena sangat yakin setalah disuntik itu ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti
seseorang sedang tertimpa musibah: ibunya meninggal dunia, hartanya dicuri
maling, anaknya meninggal sewaktu masih kecil, dan lain sebagainya. Maka ridha
ini merupakan salah satu sifat yang amat mulia. Tentunya kedudukannya lebih
tinggi dari pada sabar. [21]
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan doa kepada para sahabat agar menjadi
pribadi-pribadi yang memiliki sifat ridha. Beliau bersabda: “Barang siapa yang
berdoa setiap pagi dan sore dengan membaca doa radhitu billahi rabba wa bil
islami dina wa bi muhammadin rasula” aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam
sebagai agamaku, Muhammad sebagai rasul”. (HR. Abu Dawud) [22]
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan: “sesungguhnya Aku ini Allah, tiada
Tuhan selai Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak
bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka
hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku.”
Beberapa hal bisa kita lakukan untuk mencapai stasion ini, diantaranya:
1) Ketika ditimpa musibah, yakin dan sadar bahwa Allah sedang menguji dan ujian
ini ialah bentuk kasih sayang dari-Nya. Rela menerima ketika ditimpa musibah
bukan berkeluh kesah.
2) Yakin akan hikmah adanya musibah tersebut. Hikmah tersebut bisa diketahui
dengan melakukan munasabah atau intropeksi diri. Bukan sekedar rela akan
musibah yang telah diberikan oleh Allah.

3. Macam-macam Ahwal
a) Khauf
Khauf dalm kajian tasawuf yakni perasaan takut karena dihantui oleh dosa
serta ancaman yang akan menimpanya. Dengan begitu, orang tersebut akan
senantiasa melakukan dzikir dan berdoa agar terlindung dari adzab-Nya. Ketika
rasa takut ini telah menetap dalam dirinya, maka ia akan bisa mengendalikan
nafsu. Rasa takut ini sangat berperan dalam diri seseorang, sebab bisa menjadikan
dirinya senang dan damai.
b) Tawaddu’
Tawaddu’ artinya rendah hati. Tawaddu’ yang sebenarnya ialah kerendahan
dari seorang hamba terhadap kebenaran dan kuasa-Nya. Namun juga merupakan

12
bentuk tawaddu’ dengan merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan
bersikap lemah lembut terhadapnya.  
Sikap rendah hati bentuk usaha untuk menghindari diri dari sifat tamak dan
sombong. Syaikh al Islam Abdullah al Ansari mengatakan tawaddu’ mempunyai
tiga tahap, yaitu:
1) Tawaddu’ kepada agama,yaitu dengan tidak menentangnya dengan pemikiran
dan penukilan, tidak menolak dalil agama, dan tidak berpikir untuk
menyangkalnya.
2) Meridhai seorang muslim sebagai suadara sesama hamba Allah meredhai dirinya,
tidak menolak kebenaran sekalipun datang dari pada musuh dan menerima
permohonan maaf daripada orang yang meminta maaf.
3) Tunduk kepada kebenaran (Allah) dengan melepaskan pendapat dan kebiasaan
dalam mengabdi tidak melihat hak dalam mu’ammalah.  
c) Taqwa
Taqwa artinya ialah pemeliharaan diri. Sifat ini ditujukan utuk orang yang
patuh, taat, dan sabar terhadap perintah Allah serta memelihara dirinya dari
perkara-perkara yang buruk. Dapat dipahami pula, taqwa secara umum ialah
memelihara diri dan tetap menjaganya dengan melaksanakan ketaatan dan amal
shalih.
Pemeliharaan semacam ini akan menghasilkan nilai positif. Ia akan memiliki
keadaan psikologi yang lembut. Kemudian nilai ketuhanan yang kukuh. Selain itu,
ia juga akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Sikap taqwa ini akan
melahirkan sikap adil dan berlaku benar. Bahkan ia juga amanah dan mempunyai
hubungan baik dengan lingkungan sekitar.
d) Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah al tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang
selain Allah. Artinya, seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah, bukan
hanya karena mengharap pujian makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa
ikhlas berkaitan erat dengan niat dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas
yang sempurnya harus dilakukan baik sebelum, sedang, dan sesudah beribadah.
Sebab ada orang ikhlas ketika beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak dalam
sikap riya’ (pamer), maka rusaklah nilai ibadahnya.[23]
Adapun hal-hal yang dapat merusak keihklasan antara lain:[24]
1) Bersikap riya’, yaitu memamerkan amal ibadah karena ingin mendapat pujian
dari orang lain. Al Qur’an mencela orang yang beribadah tetapi suka pamer
(riya’). Allah berfirman: “ (QS. Al Ma’un: 4-6). Berbeda dengan jika kita
menceritakan amal ibadah kita dengan maksud untuk memberi keteladanan dan
mensyukuri nikmat Allah. Misalkan setelah pulng dari haji kita menceritakan
tentang bagaimana nikmatnya ibadah di Mekkah. Hal ini dimaksudkan agar

13
mereka yang kita ajak berbicara termotivasi untuk segera menunaikan ibadah
haji.
Adapun ciri-ciri riya’ menurut Sayyidina Ali, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhammad al Syamarqandi dalam kitab Tanbihul Ghafilin (hlm. 5), antara lain:
a. Malas beribadah jika sendirian(tidak dilihat orang lain)
b. Tampak semangat beribadah atau berbuat baik jka disaksikan orang lain.
c. Menambah ibadahnya jika dipuji.
d. Dan mengurangi ibadahnya jka tidak dipuji (atau dicela).
Obat dari penyakit ini yakni hanyalah kesadaran diri yang amat tinggi bahwa
setiap perbuatan , ibadah kita dilihat oleh Allah. Ia tidak akan luput sedikitpun.
2) Bersikap ‘ujub, yaitu mengagumi kehebatan ibadah dalam hati, meskipun hal ini
tidak diceritakan kepada orang lain. Contoh, orang dapat elakukan sholat dengan
berjamaah atau tahajud dengan istiqomah. Lalu dalam hatinya muncul sifat
‘ujub. Dalam hati berkata, “ah tidak ada orang sehebat sayadalam hal shalat
berjamaah atau tahajud”. Sikap ini dapat diobati dengan cara yang sama pada
sifat riya’, yakni kesadaran. Sadar bahwa ia tidak dapat beribadah seperti itu
kecuali atas pertolongan Allah.
3) Merasa puas terhadap amal ibadah dan tertipu olehnya. Ini juga dapat merusak
keikhlasan dalam beribadah. Sikap seperti ini hanya bisa sembuh dengan cara
mengetahui cacat (aib) yang ada dalam amal perbuatan. Karena sangat sedikit
sekali suatu perbuatan yang benar-benar bisa yang bisa selamat dari bisikan
setan. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh merasa puas dengan amal ibadahnya.
Melainkna harus merasa ada yang kurang dalam ibadahnya, sehinga muncul
sikap taubat dan upaya yang terus menerus untuk memperbaki kualitas
ibadahnya.
4) Ingin dipuji dan ingin popular. Orang yang memiliki dua sifat seperti ini sulit
untuk beramal dengan ikhlas. Pada saat yang bersamaan ia juga takut dicela oleh
orang lain. Dia beramal karena manusia, bukan karena Allah.
Menurut Ibnu ‘Ajibah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir ‘Isa dalam
kitab Haqiqah Tashawwuf (hlm. 256-257), ikhlas dapat diklasifikasikan menjadi
tiga bagian:
1) Ikhlas tingkatan orang awam. Ia beribadah karena Allah, tetapi masih disertai
dengan mencari keuntungan duniawi dan ukhrowi. Misalkan, ingin agar
badannya sehat, hartanya banyak, dan mendapatkan pahala, bidadari serat surge
di akhirat.

14
2) Ikhlas tingkatan orang khusus. Seseorang akan beribadah hanya semata-mata
untuk mencari untuk keuntungan akhirat. Tidak ada motivasi sedikitpun untuk
mencari keuntungan duniawi. Naum, di dalam hatinya masih ada keinginan untuk
memperoleh pahala, surge, bidadari, dan lain sebagainya.
3) Ikhlas tingkatan khawashul khawash. Orang hanya beribadah kerena ingin
ridhanya Allah. Ia beribadah atas dasar rindu dan cinta kepada Allah.
Tingkatan ketiga inlah yang banyak dicari oleh para sufi. Sebagaimana tampak
dalam syair: “Tujuan ibadah mereka bukanlah mencari surge ‘Adn, tidak pla
mencari bidadari yang cantik jelita, dan kemah-kemah yang indah mempesona.
Tuuan mereka adalah memandang Dzat yang Maha Agung semata, inilah tujuan
mereka.”
e. Syukur
Imam Ibnul Qoyyim, mendefinisikan syukur ialah kecondongan hati untuk
mencintai kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Anggota tubuhnya condong
tergerak untuk taat kepada-Nya, lidahnya selalu mengingat dan memuji-Nya.
Sementara itu, Ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa syukur adalah senangnya hati
seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya tergerak
untuk taat kepad yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat
yang memberi nikmat dengan tundik kepada-Nya.
Dengan kata lain, syukur adalah berterima kasih kepada Allah sebagai Dzat
yang memberi nikmat, yang dibuktikan tidak saja dengan hati dan ucapan, tetapi
juga dengan tindakan. Seseorang yang pandai bersyukur akan menggunakan
seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang mendatangkanridha-Nya.
Manusia pada umumya cenderung kufr al nikmah (mengingkari nikmat Allah).
Padahal Allah SWT telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepadanya.
Manusia yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Allah. (lihat QS.
An Nisa’: 147).
Allah telah berfirman, “ Seandainya kalian mau menghitung nikmat Allah,
niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya”. (QS. Ibrahim: 34). Nikmat
Allah jika dilelompokkan berdasarkan sifatnya, maka paling tidak dapat dibagi
menjadi tiga macam
1) Nikmat Duniawi, seperti kesehatan, harta yang halal, kekuatan, dan lain
sebagainya.
2) Nikmat Diniyyah, seperti amal shalih, ilmu, taqwa, iman, ma’rifat kepada Allah,
dan lain sebagainya.
3) Nikmat Ukhrawi, semisal berupa pahala atas amal shalih yang sedikit, tetapi
balasannya sangat besar, yaitu surge dengan segala macam kenikmatannya.
Semua nikmat Allah itu wajib disyukuri. Dan yang paling penting untuk disyukuri
adalalh nikmat Islam, iman, dan ma’rifah depada Allah. Agama Islam diturunkan
oleh Allah pada manusia agar dijadikan jalan hidup baginya dalam mengarungi
kehidupan.

15
      Syukur berdasarkan caranya, manurut Abdul Qadir Isadapat dibagi menjadi
tiga macam: [25]
1) Al Syukru bi lisan, bersyukur dengan ucapan, misalkan dengan mengucapkan
kalimat Alhamdulillah, atau al tahaduts bin nikmah (menceritakan nikmat-nikmat
Allah yang selama ini diberikan kepada kita semua). Maka menyembunyikan nikmat
Allah termasuk kufr bi nikmah.
2) As Syukru bil Arkan, bersyukur dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam
perbuatan terpuji. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh rasul SAW. dimana
setiap malam beliau rajin sholat tahajjud (qiyamul lail). Sampai kedua telapak
kakinya bengkak.
3) As Syukru bil Janan, bersyukur dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat yang
ada pada diri seseorang adalah anugerah dari Allah SWTG. Denga demikian, jangan
sampai seseorang ketika menerima berbagai kenikmatan dari Allah, ia malah
menutup matauntuk menyaksikan Dzat yang memberikan nikmat, Allah SWT.
Sebagai seorang mukmin, kita perlu memohon kepada Allah SWT, semoga selalu
diberikan pertolongan untuk selalu dapat mensyukuri segala kenikmatan dan memuji-
Nya.
Orang bersyukur memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:[26]
1) Tingkatan orang umum (awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja.
Tingkatan ini diibaratkan seperti anak kecil yang hanya mau berterima kasih ketika
diberi sesuatu yang menyenangkan.
2) Tingkatan orang khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat, tetapi
juga ketika diberi cobaan bancana atau musibah. Baginya musibah atau bencana dan
nikmat itu sama-sama ujian dari Allah. Cobaan dari Allah dianggap sebagai bentuk
kasih saying dari-Nya. Nabi saw. bersabda: apabila Allah mencintai hamba-Nya,
maka Dia akan mengujinya, karena ingin mendengar rintihannya. (HR. al Baihaqi
dan al Dailani).
3) Tingkatan orang khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapat nikmat,
melainkan karena melihat al mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam kitab
risalah al Qusyairiyyah (hlm. 81), Syeikh Syibli seorang sufi besar (semoga Allah
merahmatinya) pernah berkata: “as syukru ru’yatul mun’im la ru’yatul
ni’mah.” Artinya: bersyukur itu karena melihat Dzat yang memberi nikmat, bukan
karena nikmat itu sendiri.    

16
f. Mutmainnah
Mutmainnah atau ketenganan merupakan keadaan batin yang selalu tenteram
karena selalu dekat dengan Allah. Menurut ‘Abdullah al
Ansari mutmainnah dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[27]
1) Mutmainnah hati karena menyebut nama Allah. Ini merupakan mutmainnah yang
takut beralih kepada harapan daripada kegelisahan kepada hukum dan daripada
cobaan kepada pahala.
2) Mutmainnah yaitu ketika mencapai tujuan pengungkapan hakekat, saat
merindukan janji dan saat berpisah untuk berkumpul kembali,
3) mutmainnah karena manyaksikan kasih sayang Allah, mutmainnah kebersamaan
menuju baqa’ dan mutminnah kedudukan menuju cahaya azali.   

C. Tingkatan-tingkatan Maqam.

Menurut Al-Kalabadzi telah menyebut bahwa terdapat 10 maqam (stasiun)


yang harus dilalui oleh para pejalan spiritual yaitu al-taubah (tobat), al-zuhd
(zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan), al-tawadhu’ (kerendahhatian), al-
taqwa (takwa), al-tawakkul (tawakal), al-ridha (rela), al-mahabbah (cinta), dan al-
ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu). Tetapi menurut
Al-Ghazali ia berpendapat bahwa lebih sedikit maqam (statiun) di dalam urutan
maqamat, seperti al-wara’(kehati-hatian, agar tidak melanggar perintah Allah).
Sehingga dari pemaparannya para sufi secara umum terhadap maqamat.

D. Macam-macam Ahwal.

Berkenanan tentang hal, menurut Abu Nashir Al-Thusi mengatakan terdapat 9


macam ahwal yaitu al-muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah), Al-qurb
(perasaan kedekatan kepada Tuhan), Al-mahabbah’ (perasaan cinta kepada
Tuhan), al-khauf wa al-raja’ (perasaan harap-harap cemas terhadap Allah), al-
syauq (perasaan rindu), al-uns (perasaan tentram), al–musyahadah (perasaan
menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqin (perasaan yakin kepada-
Nya). Akan tetapi sebagia1n ahli mengatakan bahwa al-mahabbah termasuk
maqamat, dan kelompok lain berpendapat bahwa termasuk dalam ahwal. .

Oleh sebab itu anggapan bahwa konsep maqamat dan ahwal berasal dari agama
lain, tidak memiliki bukti yang kuat dan relevan. Tetapi, dalam pengenalan
konsep maqamat dan ahwal merupakan suatu cara sufi untuk mensistematik
tahapan-tahapan yang harus ditempuh seorang sufi dalam perjalanan menuju
Allah SWT. Dengan begitu, secara umum dapat disimpulkan dari beberapa

17
pandangan para sufi bahwa maqam berarti tempat atau martabat. Di mana
seseorang hamba di hadapan Allah SWT pada saat dia berdiri menghadap kepada-
Nya. Sedangkan hal biasanya diartikan sebagai suatu keadaan mental yang
dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Maqam itu bersifat
lebih permanen terhadap keberadaan dalam diri seseorang pesuluk spiritual,
sedangkan hal yaitu lebih temporer. Selain itu, maqamat yaitu hasil lebih dari
upaya aktif si pesuluk. Sedangkan ahwal yaitu uluran Allah yang terhadapnya si
pejalan spiritual lebih berlaku pasif.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan pada Era Gobalisasi bukanlah masalah menghindari


dampak Globalisasi tadi, namun mengontrol dan mempegunakannya
dengan sebaik mungkin .
Kedua, pendidkan moral dan mental tentunya harus mengiringi
anak didik pada masa ini, sehingga dapat memiliki kesadaran sendiri
dalam membantu sukses atau tidak pendidikannya sendiri.
Ketiga, Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut harus mampu
mencetak generasi yang berkualitas sesuai dengan beberapa tantangan
globalisasi di atas. Lembaga pendidikan harus bisa menyiapkan lulusan
yang siap terjun dan bersaing dengan tenaga kerja asing yang telah
memasuki pasar global saat ini. Ketika ini bisa diwujudkan maka angka
pengangguran terdidik yang terjadi saat ini bisa ditekan secara berangsur-
angsur.

B. Saran

Dengan mengetahui problematika pendidkan pada Era Gobalisasi


ini, selain sebagai tugas, namun juga dapat menjadi pelajaran bagi kita
para calon tenaga pendidik.
Peneliti berharap semoga para pembaca setelah membaca penulisan ini,
dapat mengambil hikmah dan manfaatnya.
Penulis mengakui dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak sekali kekurangan, maka saran-saran, kritik dan masukan kami
harapkan untukmelengkapi dan menyempurnakan penulisan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Tim Litbang Kurikulum KMI Gontor. 2007. At-tarbiyah wa-ta’lim muqarrar


lishaffi tsalist. Ponorogo: Darussalam Press.

Tim Litbang Kurikulum KMI Gontor. 2007. At-tarbiyah wa-ta’lim muqarrar


lishaffi raabi’. Ponorogo: Darussalam Press.

Tim Litbang Kurikulum KMI Gontor. 2007. At-tarbiyah wa-ta’lim muqarrar


lishaffi khamis. Ponorogo: Darussalam Press.

Tim Litbang Kurikulum KMI Gontor. 2007. At-tarbiyah wa-ta’lim muqarrar


lishaffi saadis. Ponorogo: Darussalam Press.

https://www.kompasiana.com/
khairulazan130320/59dc880e3f8bf43be42512e2/tantangan-pendidikan-di-
era-globalisasi?page=all

Efendi, Albert. 2019. Buku Pedoman Guru. Batam: UNRIKA Press.

19

Anda mungkin juga menyukai