Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MAQAM, HAL / AHWAL DAN JENIS-JENISNYA


( Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf )

Dosen Pengampu : DR. H. Beiti Rahman, M.A

Disusun Oleh:

YUSUF FIRMAN ARAFAT (211310149)

ALIAS (211310129)

MUAMMAR GHAZALI (211310225)

MUHTADIN M ALI (211310235)

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JAKARTA

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,dengan mengucapkan puja dan puji syukur  atas kehadirat  Allah  swt,yang
telah memberikan kemudahan kepada kami untuk menyelesaikan tugas  makalah yang berjudul
“MAQAMAT HAL/AHWAL DAN JENIS-JENISNYA” dan kami juga mengucapkan banyak
terimakasih  kepada dosen pengampu yang telah membimbing kami dalam mengerjakan tugas ini
dengan baik.

        Dan dengan ini kami berharap semoga tugas  yang telah kami kerjakan  semoga bermanfaat
dan dapat menjadikan referensi bagi kita sebagai tambahan wawasan dan ilmu untuk mengenal
lebih dalam pelajaran “Ilmu Tasawuf”. Pada akhirnya hanya Allah jualah yang memberikan
tawfiq dan ma’unahnya kepada kita semua.

Semoga keberadaan tugas ini mendapatkan Ridha Nya. Akhirnya kritik dan saran
senantiasa diharapkan agar untuk masa-masa yang akan dating dapat disempurnakan semoga
makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 27 September 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
Latar belakang.................................................................................. 1
Rumusan........................................................................................... 1
Tujuan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 2
Pengertian Maqam dan Ahwal......................................................... 2
Macam-Macam Maqam dan Ahwal………………………………. 3
Ahwal yang sering dijumpai dijumpai dalam perjalanan sufi…….. 6
Perbedaan Mendasar Maqam dengan Ahwa; …….......................... 9
BAB III PENUTUP........................................................................................ 10
KESIMPULAN................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan Maqam dan Ahwal. Keduanya dapat
dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada tasawuf, baik ia sebagai
ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran Maqam dan Ahwal. Dalam
menjalani proses Maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi terbang membara
mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan Allah Yang Maha agung dan indah
Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak
spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan
dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-Hallaj
menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya musyahadah,
Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah. Begitulah, setiap sufi
memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya bertemu
Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya
pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia. Wa Allah A’lam bi
Al-Sawab.

B. RUMUS MASALAH
1. Apa pengertian maqam dan ahwal?
2. Apa macam-macam maqam?
3. Apa saja ahwal yang sering dijumapai dalam perjalanan sufi?
4. Apa perbedaan mendasar maqam dan ahwal?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian maqam dan ahwal
2. Untuk mengetahui macam-macam maqam
3. Untuk mengetahui saja ahwal yang sering dijumapai dalam perjalanan sufi
4. Untuk mengetahui perbedaan mendasar maqam dan ahwal.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAQAM DAN AHWAL

1. Maqam

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. Sementara itu
dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan,
posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada
Allah. Jadi maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan
seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan latihan (riyadah) jiwa
yang dilakukannya.

2. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan
kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf
sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. Hal, sebagai
sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat
seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba
mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan
mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi
psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Ahwal
merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu

2
yang bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia
Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual
banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banayak.
Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan
kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui
usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan bagi
setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara
ini tidak bersifat mutlak.

B. MACAM MACAM MAQAM

Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk
mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap perbedaan
beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli
tasawuf, yaitu:

1. Al-Zuhud

Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat
keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang
berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai
tujuan akhir. Jangan sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan susutnya waktu dan
perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi.
Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan. Pertama menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga mengucilkan dunia bukan karna takut atau
berharap, tetapi karena cinta karen Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini
akan memandabg segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.

3
2.At-Taubah
            At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.
At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni; yang pertama taubat yang paling
rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah
dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua taubat yang lebih tinggi tingkatannya
yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri,
riya’, pamer, dll. Sedangkan yang ketiga taubat tertinggi yaitu taubat untuk berusaha
menjauhkan diri dari bujukan setan dan kelalaian dari mengingat Allah.

3. Al-Wara’

Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah.


Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah
meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil. Seseorang yang bersifat wara’
adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala perilakunya sehingga tidak
terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau diridai Allah baik yang hukumnya
makruh apalagi haram.

4. Al –Faqr (Fakir)

Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang
telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau
meminta sesutu yang bukan haknya. Dengan demikian, seseorang yang faqr selalu
merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan. Sikap ini sangat
penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al-Faqr
merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan zuhud terhadap kehidupan dunia
dengan tidak terperdaya tipudaya dunia, sesorang akan merasa puas dan cukup
dengan apa yang diperolehnya. Selain itu sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’,
karena dengan menerima apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap
hati-hati dan tidak akan menuntut yang bukan haknya.

4
5. As-Shabr (sabar)

Sifat As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar
merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang memiliki
yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul al-‘azmi. Jadi sabar
artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dari-Nya, menampakkan sifat yang
berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.

Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Sabar dalam beribadah kepada Allah.


b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
c. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.
d. Tawakkal

Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala


ketergantungan kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan keputusan segala
sesuatunya kepada Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap Allah dalm
menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk
menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.

6. Rela (Rida’)

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di
anugerahkan Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha
sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya sehingga tidak menegeluh dan
tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.

5
7. Mahabbah

Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia
guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar, Maha Penguasa,
Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.

8. Ma’rifah

Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya
“mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. Jadi mak’rifat
artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung perjalanan dari segala ilmu
pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi. Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan hasil
dari ma’rifat adalah “pandangan”.

C. AHWAL YANG SERING DI JUMAPAI  DALAM  PERJALANAN  SUFI.

Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya.
Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang sufi menapaki jalan
menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut:

1. Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada)

Muhasabah ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,


perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat,
takut, dan tunduk kepada-Nya. Sedangkan Muraqabah yaitu adanya kesadaran diri
bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
Muhasabah dan Muraqabah merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh
karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Kedua sikap itu
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dengan menundukkan perasaan jasmani
yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.

2. Hubb (cinta)

6
Hubb adalah cinta. Maksudnya, cinta seorang hamba kepada tuhan. Dalam
pandangan tasawuf, hubb pada dasarnya anugerah yang menjadi dasar pijakan
ahwal, sama seperti taubat yang menjadi dasar pijakan maqam.
Ibn Taimiyah membagi tingkatan- tingkatan cinta, yaitu: pertama, al-alaqah,
yaitu keterkaitan hati dengan yang dicintai. Kedua, al-sababah (kegairahan) yaitu
hati selalu bergairah kepada Allah. Ketiga, al-ghuram yaitu cinta sebagaimana
biasanya. Keempat, al-isyq yaitu mencintai kepada Allah dengan bergairah yang
berlebih. Kelima, al-tatayyum (menjadi budak) yaitu menjadi budak kepada
Allah. Dari kelima tingkatan cinta itu, maka dapat ditegaskan bahwa seorang yang
mencintai Allah adalah mereka yang selalu mempunyai keterkaitan dan
keterpautan dengan Allah, “asyik bercengkrama” dengan Allah, dan menjadi
budak di hadapan Allah.

Keterkaitan dengan Allah di wujudkan dengan keadaan hati yang selalu


bersama Allah dalam semua keadaan dan perilaku seseorang. Ini di wujudkan
ketika orang merasa mendapat ke asyikan, kenikmatan ketika ia beribadah dengan
Allah. Sedangkan menjadi budak Allah, ia akan menuruti segala sesuatu yang
mengakibatkan kesenangan dan keridhaan Allah. Di samping itu, perasaan
menjadi budak juga mengakibatkan adanya perasaan merendah atau hina di
hadapan Allah.

3. Raja’ dan Khauf (Berharap dan Takut)

Menurut kalangan kaum sufi, Raja’ dan khauf berjalan seimbang dan
saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimis, yaitu persaan
senang hati karena menanti sesuatu yang di inginkan dan di senangi. Raja’
menuntut tiga perkara yaitu: cinta kepada apa yang di harapkannya, takut apabila
harapan yang hilang, berusaha untuk mencapainya. Sedangkan Khauf, ialah
kesaksian hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa
diri di masa yang akan datang. Khauf dapat mecegah hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

7
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan
seseorang lalaim dan berani melakukan maksiat,  sedangakan khauf yang
berlebihan akan menjadikan putus asa dan pesimitis. Begitu pila sebaliknya,
apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseoarang menjadi
sombong dan meremehkan amalan- amalanya karena rasa optimisnya yang
berlebihan.

4. Syauq (Rindu)

Syauq yang dimaksudkan ialah rindu kepada Tuhan. Syauq ialah rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni dan di sertai
dengan mahabbah. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong kaum sufi agar
selalu berada sedekat mungkin kepada Allah yang menjadi sumber segal
kenikmatan dan keindahan.

5. Uns (intim)

Uns ( intim) adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada
suatu titik sentrum, yaitu Allah; tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan
tidak ada yang diharap kecuali Dia. Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati
dipenuhi cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah.
Keindahan uns tidak dapat terlukiskan. Hal ini dapat dialami oleh pendengar
dalam konser spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan
(wajd) ketika menemukan Allah.

D. PERBEDAAN MENDASAR MAQAMAT DAN AHWAL

Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali pada
abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua terms tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia

8
menjawab bahwa iman itu adalah bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil,
jihad, yang masing-masing fondasi tersebut mempunyai tingkatan (maqamat).

Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal. Maqam,
menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara itu, ahwal justru mudah hilang.
Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Sementara itu, ahwal
dapat diperoleh secara disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan
menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau harap.
Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya.
Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan berupaya. Orang
yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih ahwal justru
akan mudah lepas dirinya

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya.
Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk
melawan hawa nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling
besar yang dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya
perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seseorang sufi
kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun
yang lainnya.

Sedangkan “ahwal” yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari
Tuhan. Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah hati, tawakkal,
gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan
mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada
maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine Flashes), yang
biasa disebut lama’at.

9
BAB III
 PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam


mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. Sementara itu
dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan,
posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada
Allah. Sedangkan, ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologis yang
dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
2. Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk
mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap perbedaan
beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli
tasawuf, yaitu: Al-Zuhud, At-Taubah, Al-Wara’, Al –Faqr (Fakir), As-Shabr (sabar),
Tawakkal, Rela (Rida’), Mahabbah, dan Ma’rifah.
3. Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya.
Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang sufi menapaki jalan
menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut:
Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada), Hubb (cinta), Raja’ dan
Khauf ( Berharap dan Takut), Syauq (Rindu), dan Uns (intim).
4. Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara mendapatkannya
maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap perjalanan spiritual
yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini
pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa
nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Media Zainul. 2010. Tasawuf Mendamaikan Dunia. - : Erlangga.

Kartanegara, Mulyadhi. 2012. Melayani Lubuk Tasawuf.  - : Erlangga.

Solichin, Mohammad Muchlis. 2013.Akhlak & Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila.

Solihin, M., Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Tasawuf.  Bandung: Pustaka Setia.

Amin, Samsul Munir. 2014.Ilmu Tasawuf.  Jakarta: Amzah.

Nata, Abuddin.  2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT Rajawali Pers.

11

Anda mungkin juga menyukai