Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH CIVID EDUCATION KELOMPOK 5

“OTONOMI DAERAH”

Di susun oleh:
Nama :Yovanka igusti Zahrie.D :211311107
Ahamad Qofan Yazid :211310118
Fahmi : 211310227
Anhar Chairul Umam :211310114

INSTITUT PTIQ JAKARTA


FAKULTAS TARBIYAH “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM”
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirtan Allah swt,yang telah memberikan kita nikmat ,sehingga pada
saat ini kita masih di pertemukan yang insya Allah dalam keadaan sehat wal afiat.
Solawat serta salam Atas Baginda muhammad saw,Semoga kelak kita semua mendapat
syafaat dari rasul Saw.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini masi banyak kekurangan yang harus kami
perbikioleh karena itu maaf sebesar besar nya kami haturkan kepada pembaca semua
sekiranya dapat memberikan saran masukan nya kepada kami.

Jakarta,10 November 2021

Penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat
sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan
Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan
sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah).
1.Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-
bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya,
pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.\ B.J. Habibie yang
menggantikan Soeharto sebagai presidenpasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru
yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut
desentralisasi. Dengan terbitnya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah,
seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik
Indonesia.
2.Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik,
juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya
pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten
baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran
daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini
tercermin darimunculnya ancaman darimasing-masing kelompok yang pro dan kontra
terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan
sampai ancaman pembunuhan.
3.Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh
Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober
2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung,
Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi
pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku. Terakhir,
pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh
Darussalammendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh
Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh
Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan
meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.
2. Pokok Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi
daerah dan pemekaran wilayah?
b. Dampak apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?
c. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemekaran wilayah di negara Republik
Indonesia?
3. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan
sumber penulisan dari bahan-bahan pustaka.

BAB II
IMPLEMEENTASI OTONOMI DAERAH
1 .Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua
tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk
mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih
lanjut oleh undang-undang. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama
menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”4Secara khusus,
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan
baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor
32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”5UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan
daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NegaraKesatuan Republik Indonesia.”6 Dalam sistem
otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementara itu, tugas
pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai konsekuensi
pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-
undangan yangmengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004). Selain itu, amanat UUD 1945
yang menyebutkan bahwa,“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” 7 direalisasikan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6
Tahun 2005).
2.Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa
perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel
karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif
menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah. Di samping itu, dengan
adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan
representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana
demokrasi yang belumterbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru
yang sangat rentan terhadap korupsi.

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam


pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi
daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusa belum
melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota.
Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan
peraturan daerah (perda).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda
itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang
retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa
untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan
pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang
cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik
yang mereka berikan.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah,
seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13
kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan
pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi
warga.Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu
banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik,
perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah
lokal. Pemerintah lokal juga [23.06, 9/11/2021] Ridwan Palembang: mencoba
mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk
mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan
Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah
namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi
dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling
pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat
pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.12
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada
di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur
birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal
mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan

BAB III
Pilkada Langsung

a. .pengertian
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan
kratosyang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari
rakyat, olehrakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua
anggota masyarakat (yang memenuhisyarat)diikut sertakan dalam kehidupan kenegaraan
dalam aktivitas pemilu.Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan
UUD ’45 sehingga
sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah
untukmencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan
kegotongroyonganIndonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun
1955 yang diikutioleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah
dilaksanakan pemilu yangsecara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden
dan wakilnya. Dan sekarang inimulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala
Daerah atau sering disebut pilkadalangsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi
perkembangan demokrasi di Indonesi.
1.pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telahdilakukan secara
langsung.
2.Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti
telahdiamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota,masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kotadipilih secara
demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentangPemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah.\
3.Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat
(civiceducation). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat
yangdiharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang
pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilanotonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin
baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen
pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untukmeningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingandan aspirasi
masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinannasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas.
Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasionalyang
kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang
memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpinnasional justru dari
pilkada langsung ini..
b. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam11
provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing
secaralangsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala
daerah yangterpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya
pilkada dilaksanakanoleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang
dilaksanakan KPUD inisangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat
terlaksana dengan demokratis.Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga
pelaksanaan pilkada ini.Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan
yang timbul dari KPUDsetempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti
melakukan korupsi dana Pemilutersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu
ternyata dikorupsi. Dari sini dapatkita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan
mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar
bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.Dalam pelaksanaan pilkada di
lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini
dilakukan oleh para bakal calon seperti :

1.Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.
Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masihrendah, maka
dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.
2 Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulisoknum
pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salahsatu calon.
Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu
3.Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturanyang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan
baliho,spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah
saatitu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat
tinggiketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin
dulu.Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal
calonmenyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan
kampanye belum dimulai
4.Kampanye negative
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada
masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap
pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang
menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang
dapat merusak integritas daerah tersebut.

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Otonomi Daerah
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
PemerintahDaerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksuddalam UUD 1945.Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan memilikihubungan dengan pemerintah pusat dan dengan
pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebutmeliputi hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dansumber daya lainnya. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,dan sumber daya lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkanhubungan
administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.Pelaksanaan pemerintahan
daerah yang seharusnya didalam prakteknya haruslah sesuaidengan asas legalitas.
Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku.Pemerintah daerah
tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampauiwewenang, atau
tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan NegaraSejahtera (welfare
state )
2.Pilkada Langsung
Berdasarkan pembahasan itulah, maka dalam bab terakhir ini, mau mendeskripsikan
bahwakehendak perubahan dalam kehidupan politik dan pemerintahan daerah, terutama
dalam pemilihan kepala daerah telah bergeser kepada yang memiliki kedaulatan, yaitu
rakyat.
1.Pilkada langsung adalah merupakan model melembagakan demokrasi lokal,
sebagaiagenda penting dan strategis dalam membangun pemerintahan daerah yang
akuntabeldan demokratis.
2.Pemilihan kepala daerah sekaligus telah membuka ruang partisipasi politik rakyat
dalammenentukan dan atau memilih figur pemimpin di daerahnya. Karena itu, merupakan
perwujudan nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kedaulatanrakyat
serta mengharuskan adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepadarakyat
maka dengan demikian Pilkada dinilai lebih akuntabel dibandingkan sistem pemilihan yang
dilakukan oleh DPRD.
3.Desentralisasi dalam tataran lebih luas, bahwa pemerintahan pusat tidak hanya
sekedarmemberikan kewenangan terhadap pemerintahan daerah, namun juga memberikan
penguatan demokrasi lokal (local democracy),di mana kedudukan dan
keterlibatanwarganegara dalam setiap proses dan pengambilan keputusan di tingkat lokal
benar- benar berjalan signifikan. Berarti, Pilkada langsung merupakan titik awal
perubahanmenujudemocratic governance (tata kelola pemerintahan yang demokratis).
4.Pilkada langsung dapat dipandang sebagai salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah untuk mendorong terjadinya suatu tata
hubungan yang seimbang dan sinergis antar seluruh pelaku pembangunan mulai dari unsur
pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kerja sama atau kemitraan dengan unsur-
unsur masyarakat madani.
b.Saran
1.Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah
.2.Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan
denganmeletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat
denganmasyarakat
3.Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga
perludiupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakatuntuk
berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dankoreksi
membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikanmasyarakat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya OtonomiDaerah ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangkamenyukseskan pelaksanaan Otonomi
Daerah.
4.Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
sebaiknyamembuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun
kepentingankelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-
pihaktersebut seharusnya tidak bertindak egois dan melaksanakan fungsi sertakewajibannya
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html
http://www.dosenpendidikan.com/7-pengertian-otonomi-daerah-menurut-para-ahli/
https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/02/tujuan-otonomi-daerah-dan-
manfaatnya.html

Anda mungkin juga menyukai