Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KELOMPOK DOSEN PEMBIMBING

Akhlak Tasawuf Arisman, M.Sy

MAQAM DAN AHWAL DALAM TASAWUF

OLEH :

1. SUHENDRI
(11382100746)
2. RICKY BONANZA
(11382102699)

PROGRAM AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKANUNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan dan

kesempatan dalam menyusun makalah kami ini. Sehingga kami dapat menyelesikan

tepat pada waktunya.

Mempelajari Ilmu Tasawuf merupakan suatu hal yang terpenting dalam kehidupan

dalam meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam membebaskan diri sendiri maupun

orang lain dalam hal hubungan erat antara manusia dengan allah maupun manusia

dengan manusia lainnya

Dalam pembuatan makalah kami ini kiranya ada kekurangan kami minta maaf

karena makalah kami ini jauh dari sempurna seperti yang di harapkan pembaca. Terima

kasih kepada mahasiswa/i yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah kami ini.

Pekanbaru, 01 Oktober 2014

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1

BAB II. PEMBAHASAN

A. Maqamat......................................................................................... 2
1. Taubat ...................................................................................... 3
2. Al-wara..................................................................................... 4
3. Al-zuhud................................................................................... 5
4. Al-faqr....................................................................................... 6
5. Sabar ........................................................................................ 7
6. Tawakkal .................................................................................. 8
7. Al-ridaha................................................................................... 8
B. Al.Ahwal......................................................................................... 10
1. Muhasabah dan muraqabah...................................................... 11
2. Al-Khauf dan ar raja............................................................................. 13
3. Syauq................................................................................................... 15
4. Hubb(cinta)........................................................................................... 16
5. Uns (intim)............................................................................................ 17
C. Metode Irfani dalam tasawuf...................................................................... 18
1. Riyadhah.............................................................................................. 18
2. Tafakur,(Refleksi)................................................................................. 19
3. Tazkiyat,(An-Nafs)............................................................................... 21
4. Dzikrullah............................................................................................. 22
BAB III. PENUTUP........................................................................................ 24

A. Kesimpulan .......................................................................................... 24
B. Saran .................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi dengan

berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju allah. Jalan

ini dimulai dengan latihan-latihan, lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang

dikenal dengan maqam kepada allah dan hal (keadaan), yang bberakhir dengan mengenal

( marifat ) kepada allah swt. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam ( tingkatan

atau stasiun ) dan ahwal ( jama’dari hal ) dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang

berjalan menuju tuhan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian maqamat dalam tasawuf ?

2. Bagaimana tingkatan-tingkatan maqamat dalam tasawuf ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah yang diharapkan oleh penulis sekaligus pembaca

adalah sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui ilmu-ilmu tentang maqamat

2. Untuk mengetahui perbedaan pendapat dikalangaan sufi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri

atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang

harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan allah. Dalam bahasa inggris

maqamat di kenal dengan istilah stages yang berarti tangga. 1

Secara etimologi kata maqam jamaknya maqamat yang berarti tempat berdiri atau

tempat keberadaan sesuatu. Dalam dunia tasawuf maqamat berarti tempat-tempat

keberadaan atau tahapan-tahapan atau stasion-stasion yang harus dilalui kaum sufi dalam

rangka mencapai tujuan tasawufnya. Apakah tujuannya hanya sekedar mendekatkan diri

kepada Allah, mencapai ma’rifah-mahabbah, ataukah sampai mencapai ittihad.

Al–maqam dijelaskan oleh al-thusi sebagai kedudukan seorang hamba dihadapan

Allah Swt. yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah, kesungguhan melawan

hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta mengerahkan seluruh ruhani dan jasmani

semata-mata untuk mengabdi kepadanya. Pengertian itu dapat dirujuk kepada firman allah

dalam surah 79 ( al-nazi’at ) ayat 40 dan 41, artinya, Adapun orang-orang yang takut pada

kebesaran tuhannya dan dapat menahan diri dari keinginan ( memperturutkan ) hawa

nafsu ( ammarah, lawwama dan musawwilah ) maka sesungguhnya surgalah tempat

tinggalnya ( telah mencapai martabat atau maqam nafsu al-muthama’innati ). 2


1
Abuddin nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ), hlm.193.
2
M. Arrafie abduh, Ajaran Tasawuf Dan Thariqat Syathariyah, ( pekanbaru: SUSQA Press, 2009 ),
hal. 107
Jumlah dan tertib al-maqamat berbeda menurut para shufi. Perbedaan ini

disebabkan adanya perbedaan pengalaman ruhani yang ditempuh oleh masing-masing

shufi. Al-Thusi, umpamanya mengemukakan 7 maqam yaitu taubat, al-war, al-zuhd, al-

faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridaha.

1. Taubat

Yaitu kembali kepada allah ta’alla. Menurut al-Harawi , taubat itu tidak sah kecuali

setelah menyadari berbagai kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan. Sedang menurut

Abdul Razzaq al-kasysyani, taubat itu ialah kembali dari menentang hukum allah menjadi

menerimanya.3

Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas

segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi

perbuatan dosa tersebut,yang diisertai dengan melakukan amal kebijakan. Harun

Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat

yang tidak akan membawa dosa lagi.4

Secara etimologi kata taubat dalam bahasa Indonesia ditulis dengan “ tobat “ makna

taubat dalam bahasa arab “ kembali “ ia bertaubat berarti ia kembali. Jadi taubat adalah

kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’, menuju sesuatu yang dipujinya. Sebagai

mana firman Allah SWT yang mengatakan :

      


       
        

3
Ibid hal. 114
4
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal 197-198
Artinya : Dan ( juga ) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau

menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memihon ampun terhadap dosa-

dosa mereka. ( QS. Ali’ Imran, 134 : 135 ).

2. Al-Wara’

Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik.tetapi

orng sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana mereka mengartikan wara’ meninggalkan

segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang mengangkut makanan ,pakaian

maupun persoalan.5

Secara harfiah al-wara, artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini

selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi

al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan-keraguan

antara halal dan haram ( syubhat ). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan

dengan hadist Nabi yang berbunyi :

Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah

terbebas dari yang haram. ( HR. Bukhari ). 6

3. Al-Zuhud

Secara harfiah Al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat

keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan

dunia dan kementrian.

5
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 118
6
Abuddin nata, op. cit., hal. 199.
Zuhud termaksud termaksud salah satu ajaran agama yang sangat penting dalm

rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih

mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akherat yang kekal dan abadi, dari

pada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari

isyarat ayat yang berbunyi.

Artinya : katakanalah kesenangan didunia hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi

orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun ( QS. Al-Nisa’,4 :

78 ).7

Menurut pandangan hidup sufi, dunia dengan segala kehidupan material, adalah

sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan

kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Oleh karena itu seorang calon sufi

harus terlebih dahulu zahid atau asketis yaitu mengabdikan kehidupan yang bersifat

duniawi.8

Zuhud menurut Dawud Ibnu Abdillah al-Fathania berbeda dengan makna yang

ditampilkan oleh sebagai para sufi terdahulu yang agak negative member makna yaitu

meninggalkan dunia dan kepentingan dunia yang berkaitan dengan materi, harta benda

dan kesenangan duniawi. Inti zuhud ialah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. 9

4. Al-Faqr

Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqr juga mempunyai interpretasi

yang berbeda antara satu sufi dengan sufi yang lain. Tetapi pada umumnya berfokus

kepada sikap hidup yang tidak ”ngoyo” atau memaksa diri untuk mendapatkan Sesutu.
7
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal.194-195
8
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 116
9
M. Arriafie abduh, ajaran tasawuf dan thariqat syathariyah,( pekanbaru: SUSQA Press, 2009 ),hal
125
Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer.

Tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa. 10

Sebenarnya bagaimanapun konotasi yang diberikan masing-masing sufi dalam

masalah ini, namun pesan yang tersurat didalamnya adalah agar manusia bersikap hati-

hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan.

Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya apa-apa, atau sudah

merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tetapi menyiksa. Hal ini sesuai

dengan pola dasar sikap hidup mereka seperti tergambar di atas, selalu hati-hati. Oleh

karena itu meraka mengambil sikap hidup tidak “ngoyo” tapi “nerimo” apa adanya. 11

5. Sabar

Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya bahkan sabar adalah

prosedur kesungguhan yang merupakan sifat tuhan yang sangat mulia dan tinggi. Sabar

adalah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan, baik dalam sesuatu urusan

yang tidak diingini maupun dalam kehilangan sesuatu di senangi. Menurut imam ahmad

ibn hanbal, perkataan sabar disebut dalam al-quran di 70 tempat. Menurut ijma ‘ulama,

sabar ini wajib dalam merupakan sebagian dari syukur. 12

10
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 119
11
ibid
12
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal. 101-102
Dikalangan para sufi sabar diartikan timpakannya sabar dalam menjalankan

perintah-perintah allah, dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima segal

percobaan-percobaan yang ditimpakanya pada diri kita. Sabar dalam menunggu

datangnya pertolongan tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-

nunggu datangnya pertolongan.

Sikap sabar sangat dianjurkan dalam ajaran Al-quran. Allah berfirman;

           
   

Artinya: bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan allah

dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu

bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. Al-Nahl, 16:127). Menurut

ali bin abi thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang

kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang

peranan penting dalam kehidupan manusia. 13

6. Tawakal

Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat

kepada allah telah melaksanakan suatu rencana yang telah di susun a posteriori terhadap

suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap menyerahkan kepada allah.

Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi tuhan yang menentukan

hasilny. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat maka nertawakallah kepada

allah, sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya. 14

13
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal. 201-202
14
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 121
Secara harfiah, tawakal berarti bersandar atau mempercai diri. Apabila di

kembangkan etimologinya; tawakal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa

keraguan. Bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada allah. 15

Al-qusyairi lebih lanjut megatakan bahwa tawakal tepatnya di dalam hati, dan

timbulya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal

itu terjadii setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada

ketentuan allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu

sebenarnya takdir allah.16

7. Al-Ridaha

Menurut al-junaid ridha itu ialah meninggalkan usaha (tark al-ikhtiar) sedangkan

dzun al-nun al-mishri mengatakan bahwa ridha itu ialah menerima qadha’ dan qadar

dengan kerelaan hati. Tanda-tanda orang yang ridha kata dzun al-nun ada tiga: 1)

meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan 2) lenyapnya resah gelisah sesudah

terjadinya ketentuan dan 3) cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka. Menurut

abu ali al-daqqaq, ridha adalah tidak keberatan terhadap qadha dan qadar allah.

Sedangkan menurut syekh jalaluddin ridha ialzah menerima dengan lapang dada dan hati

terbuka apa saja yang dating Dari allah, baik dalam menerima serta melaksanakan

ketentuan-ketentuan agama maupun dengan masalah nasib diri. 17

Ridha adalah puncak dari kecintaan yang di peroeleeh sufi setelah menjalani

proses’ ubudiyyah yang panjang kepada allah swt. Ridha merupakan anuggrah kebaikan

yang diberikan tuhan atas hambanya; dari usahanya yang di maksimal dalam pengabdian

15
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal. 104
16
Abuddin nata op. cit., hal. 202
17
Asmal may, corak tasawuf syekh jalaluddin, (pekanbaru: susqa press, 2001) hal, 149-150
dan munajat ridha juga merupakan manifestasi amal shaleh sehingga memberoleh pahala

dari kebaikan tersebut.18

Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga

dengan sengaja membuka dirinya pada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di

dunia yang fana ini. Ketenagan hati seorang sufi yang berada dalam ridha adalah tidak

mengharapkan surga dan tidak pula berlindung kepada allah dari siksa neraka.

Seorang sufi yang membangun dirinya dengan keridhoan kepada tuhannya akan

merasakan bahwa tuhan senantiasa memberikan makna berarti dalam berperilaku dan

beramal.19

B. Al-Ahwal

Al-Ahwal jama’ dari kata al-hal,secara bahasa diartikan dengan kondisi batin yang

baik.Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan

atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu

yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.

Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau

akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih,

dan sebagainya.

Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain

Sunan Ampel Surabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan

18
Khairunnas rajab, agama kebahagiaan, (Yogyakarta: pustaka pesantren, 2013) hal,82
19
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal, 107
yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah

dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian sematara.

Pada Istilah Maqam atau arti jamak adalah maqamat,sebagaimana juga ahwal,

yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam

memahami maqamat  yang berarti kedudukan seorang pejalan spiritual atau sufi di

hadapan ALLAH yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepadaNya,

bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan keruhanian

budi-pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan

usaha - usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati

sempurna.

Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang

menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap

hambanNya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang

saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi. 20

Meskipun pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu

kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, Mereka tentu saja adalah hasil ijtihad dan

juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu,

bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf,

bahkan para sufi masing – masing berbeda-beda dalam perinciannya.

Intinya adalah, macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud

sebagai bagian dari pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan perjalanan spiritual ,

baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanNya, Cinta-Nya dapat dicapai dengan

demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan pemahaman mereka tentang

konsep-konsep yang menyusun urut-urutan dan macam-macam maqamat dan ahwal dan


2030.
Abuddi nata, Akhlak tassawuf,(Jakarta:Rajawali pers, 2002), hal 177
atau berdasarkan pengalaman yang mereka jalani sendiri ketika menempuh jalan spiritual.

Dengan demikian, tidak semua pejalan spiritual harus mengikuti, menjalani, atau

mengalami maqamat  dan ahwal persis sebagaimana disebutkan oleh para sufi itu untuk

dapat mencapai tujuan perjalanan spiritual. Yang pasti, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi

spiritual yang terkait dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan

semuanya itu diyakini dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan

hawa nafsu mujahadah serta latihan-latihan keruhanian riyadhah.dan Ahwal yang ditemui

dalam perjalanan sufi adalah sebagai berikut:

1. Muhasabah dan Muraqabah

Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya

memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal dari nafsu

dan amarah. Dengan pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan.

Muhasabah (Introspeksi) Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau

berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta

beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang

dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam

Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Hadits di atas menggambarkan

urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di

dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu

menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya

harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq)

dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan

oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan

evaluasi dengan kesuksesan,sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan


banyak angan. Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-menerus, yakni

seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap jam apakah

baik atau buruk (Fathullah Gulen, 2001: 28). Dalam hal ini kritik dirilah yang dijadikan

metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha spiritual dan

intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi kebaikan pada diri. Mochamad

Bugi menjelaskan, dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-

Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19. Urgensi

lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang

menghadap Allah s.w.t. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan

segala amal perbuatannya. Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap

mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (lihat QS.

Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1).Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94),

muhasabah sesudah beramal itu ada tiga: 1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang

telah dilalaikan, yang itu adalah hal Allah swt. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan

serampangan, tidak semestinya. 2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik

ditinggalka daripada dikerjakan. 3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar

apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah swt dan akhirat, sehingga ia

beruntung? Ataukah untuk mengharap dunia dan kefanaannya, sehingga ia merugi?

Muraqabah(Keterjagaan)

Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini

dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan

praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan

kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi

dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika
"pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan

ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh

dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang

sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini

ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak

terlukiskan, yang tak ada batasnya.

2. Al-Khauf dan ar raja’

Menurut kaum sufi,raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi

(Anwar dan Solihin, 2000: 75).Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadankan dalam

pembahasannya.Ar Raja’(Berpengharapan kepada Allah) Raja’ diartikan berharap atau

optimisme , yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang

dicintai.Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada padanan kata yang sesuai untuk

Ar Raja’,yang paling mendekati artinya adalah harapan, meskipun sebetulnya artinya

bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007.)Sang hamba menebar benih iman, menyiraminya

dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari onak akhlak tercela, lalu menunggu

anugerah dari Allah s.w.t., yaitu Dia menetapkannya sampai ajal tiba dan husnul khatimah

pembuka maghfirah. Dengan itu, raja’ sang hamba adalah raja’ yang benar. Firman Allah

swt. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di

jalan Allah,mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang (QS.Al-Baqarah [2]: 218) Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’

terhadap sesuatu. Yaitu: Mencintai yang diharapkannya. Takut akan kehilangannya Usaha

untuk Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas,mendapatkannya hanyalah

angan-angan semata. Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut).

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut

Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang

tidak disenagi dimasa sekarang.

Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya

adalah:

a) Tingkatan Qashir (pendek),Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki

wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah

dibaca.

b) Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas

kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini

menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena

karena membuat manusia tidak bisa beramal.

c) Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf

qashir dan mufrith.

Khauf (Takut kepada Allah) Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah

s.w.t. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang

pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65). Khauf dikatakan pula sebagai

ungkapan derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga

mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan

(Ibnu Rajab dkk, 2005: 147). Allah swt meridhai hamba-Nya yang khauf kepada-Nya. Allah

ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah

(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS.Al-Bayyinah [98]:8). Banyak ayat

lain yang mengisyaratkan keutamaan khauf ini, diantaranya QS. Al-A’raf [7]: 156, QS. Fatir

[35]:28, QS. Ali Imran [3]: 175, dan lainnya.


3. Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan

bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam

tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar

dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah

maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap

Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal

tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan

cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.

Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan

yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir

setelah melihat dan bertemu.Sedangkan Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29) berujar,

selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Kerinduan yang terdalam ingin berjumpa

dengan Tuhan, sehingga matinya jasad malah bukan sesuatu yang ditakuti. Bahkan

diinginkan para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin berjumpa dengan sang maha

kasih, Allah s.w.t. dapat terkabul.

4. Hubb(cinta)

Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari kalimat

habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi (Louis

Ma’luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111). Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-

hubb atau mahabbah yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165. Al-

Ghazali berkata, cinta adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang

menyenangkan. Al Junaid berkomentar tentang cinta, ”cinta berarti merasuknya sifat-sifat

sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pecinta”. Ketika Rabi’ah al Adhawiyah ditanya
tentang cinta, dia menjawab, ”antara orang yang mencintai (muhibb) dan orang yang

dicintai (mahbub) tidak ada jarak (Syamsun Ni’am, 2001: 117). Definisi dari beberapa sufi

irfan tersebut cukup beragam. Sebenarnya untuk memahami mahabbah ini, tidak bisa

disamakan dengan istilah cinta yang biasa digunakan. Jelasnya, cinta di sini sangat

berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah

cinta hakiki dari hamba kepada khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa

kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan

masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak

mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta

adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata: “Orang yang

mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur

dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah

merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika

belum meneguknya.” Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah

tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu

kali merasakan cinta belum cukup baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan

yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya

terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004: 127)

mengatakan, cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang

paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan

menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya, hakikat cinta

hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang Maha Mencintai dan pantas dicintai.

5. Uns (intim)
Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar

dan Solihin, 2000: 76). Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut:

”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian.ia adalah orang yang selalu memikirkan

kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta.Seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi.

Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian.Ia adalah orang yang selalu

memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata.Adapun engkau, selalu

merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah,

artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah” Syair tersebut menggambarkan

sekilas perasaan keintiman para sufi dengan Tuhan.Istilah ’intim’ di sini, jelas bukan

merujuk pada pengertian hubungan sesama makhluk.Intim hanya digunakan sebagai

simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb (cinta) hamba kepada Allah swt. yang

disimbolkan sebagai sang kekasih.

Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba

yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat

lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati,

dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa

kedekatan kemuliaan dan mengagungkan di sertai dengan sukacita.

C. Metode Irfani dalam tasawuf

Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat

ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah,

tafakur, tazkiat an-nafs,dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari

metode irfani tersebut.


1. Riyadhah

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak

melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54). Suatu pembiasaan

biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih,


31
khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa . Riadhah

bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu

kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000:

79). Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan

latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan

pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan

Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan 21memperoleh ilmu ma’rifat.

Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya

bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui

fakta dan data).

2.Tafakur,(Refleksi)

Secara harfiah ’Tafakur’ berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis

dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu

sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku

anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan

mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci

segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah

s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika

dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan
2131.
Ibid.,hal 177
merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa

ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali

Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan

bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang

berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam

keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha

suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan

bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak

dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab

semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap

cahaya pancaran ma’rifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di alam pikiran dan

hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada Allah s.w.t.

Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan

gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif

untuk hidup di masa depan. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan

tanggungjawab kepada Allah swt. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa

tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang

timbulnya pengetahuan yang ketiga. Kekeliruan pengetahuan atau tingkat keilmuannya

kurang memadai pada seseorang dapat menyesatkannya atau tafakurnya adalah suatu

kesia-siaan. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan

kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta. Tafakur dasarnya adalah

ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan

tafakurnya.
Fase-fase dalam bertafakur

 Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu:

Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat

pendengaran, alat raba, atau alat indera lanilla.

 Tadhawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau

susunan alam yang indah dari apa yang di lihat atau di dengar.

 Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang

Maha Agung.

 Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan

keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan.

Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya

adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungannya.

3.Tazkiyat,(An-Nafs)

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang

yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS.

Asy-Syams[91]:7-10).

Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’

dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’

yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa

dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian

jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban
Rasulullah saw . Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2. Muhammad

Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan

hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk

menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131). Sedang menurut Al-

Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti

takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan

jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok (2002: 200) memaparkan, para mufasir

berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs, antara lain sebagai berikut: o

Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia, sesuatu yang jika dipatuhi,

akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya. o Tazkiyah dalam arti menyucikan

manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya.

4..Dzikrullah

Istilah ’zikr’ berasaldari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan,

menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada Allah

berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah

dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97).

Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah

pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu,

ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-

Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut

Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur,

yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat. Berikut

penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh

Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41).

Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124

dan ayat dari QS. Alhasyir 19: 59.

2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa

disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas

pandangan kalbu (ma’rifah atau musyahadah).

Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115:3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri.

Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir

lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam

mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan allah

berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun

mujahadah. Di samping itu ,maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus di

tempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan allah swt.

B. Saran

Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat hendaknya tidak hanya

tertumpu pada satu literature saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu

orang-orang yang belum memahami ilmu tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin nata. 1996. Akhlak tasawuf. Jakarta: rajawali pers.

Asmal may. 2001. Corak tasawuf syekh jalaliddin. Pekanbaru: susqa press.

A.rifay siregar. 2002. Tasawuf. Jakarta: rajagrafindo persada.

Khairunnas rajab. 2013. Agama kebahagiaan. Yogyakarta: pustaka pesantren.

2010. Obat hati. Yogyakarta: pustaka pesantren.

M. arrafie abduh. 2009. Ajaran tasawuf dan thariqat syathariyah. Pekanbaru: susqa

press.

Anda mungkin juga menyukai