OLEH :
1. SUHENDRI
(11382100746)
2. RICKY BONANZA
(11382102699)
PROGRAM AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKANUNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan dan
kesempatan dalam menyusun makalah kami ini. Sehingga kami dapat menyelesikan
Mempelajari Ilmu Tasawuf merupakan suatu hal yang terpenting dalam kehidupan
orang lain dalam hal hubungan erat antara manusia dengan allah maupun manusia
Dalam pembuatan makalah kami ini kiranya ada kekurangan kami minta maaf
karena makalah kami ini jauh dari sempurna seperti yang di harapkan pembaca. Terima
kasih kepada mahasiswa/i yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah kami ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1
A. Maqamat......................................................................................... 2
1. Taubat ...................................................................................... 3
2. Al-wara..................................................................................... 4
3. Al-zuhud................................................................................... 5
4. Al-faqr....................................................................................... 6
5. Sabar ........................................................................................ 7
6. Tawakkal .................................................................................. 8
7. Al-ridaha................................................................................... 8
B. Al.Ahwal......................................................................................... 10
1. Muhasabah dan muraqabah...................................................... 11
2. Al-Khauf dan ar raja............................................................................. 13
3. Syauq................................................................................................... 15
4. Hubb(cinta)........................................................................................... 16
5. Uns (intim)............................................................................................ 17
C. Metode Irfani dalam tasawuf...................................................................... 18
1. Riyadhah.............................................................................................. 18
2. Tafakur,(Refleksi)................................................................................. 19
3. Tazkiyat,(An-Nafs)............................................................................... 21
4. Dzikrullah............................................................................................. 22
BAB III. PENUTUP........................................................................................ 24
A. Kesimpulan .......................................................................................... 24
B. Saran .................................................................................................... 24
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju allah. Jalan
ini dimulai dengan latihan-latihan, lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam kepada allah dan hal (keadaan), yang bberakhir dengan mengenal
( marifat ) kepada allah swt. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam ( tingkatan
atau stasiun ) dan ahwal ( jama’dari hal ) dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah yang diharapkan oleh penulis sekaligus pembaca
PEMBAHASAN
A. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan allah. Dalam bahasa inggris
Secara etimologi kata maqam jamaknya maqamat yang berarti tempat berdiri atau
keberadaan atau tahapan-tahapan atau stasion-stasion yang harus dilalui kaum sufi dalam
rangka mencapai tujuan tasawufnya. Apakah tujuannya hanya sekedar mendekatkan diri
Allah Swt. yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah, kesungguhan melawan
hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta mengerahkan seluruh ruhani dan jasmani
semata-mata untuk mengabdi kepadanya. Pengertian itu dapat dirujuk kepada firman allah
dalam surah 79 ( al-nazi’at ) ayat 40 dan 41, artinya, Adapun orang-orang yang takut pada
kebesaran tuhannya dan dapat menahan diri dari keinginan ( memperturutkan ) hawa
shufi. Al-Thusi, umpamanya mengemukakan 7 maqam yaitu taubat, al-war, al-zuhd, al-
1. Taubat
Yaitu kembali kepada allah ta’alla. Menurut al-Harawi , taubat itu tidak sah kecuali
setelah menyadari berbagai kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan. Sedang menurut
Abdul Razzaq al-kasysyani, taubat itu ialah kembali dari menentang hukum allah menjadi
menerimanya.3
Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas
segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi
Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat
Secara etimologi kata taubat dalam bahasa Indonesia ditulis dengan “ tobat “ makna
taubat dalam bahasa arab “ kembali “ ia bertaubat berarti ia kembali. Jadi taubat adalah
kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’, menuju sesuatu yang dipujinya. Sebagai
3
Ibid hal. 114
4
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal 197-198
Artinya : Dan ( juga ) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memihon ampun terhadap dosa-
2. Al-Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik.tetapi
orng sufi memiliki penafsiran sendiri, dimana mereka mengartikan wara’ meninggalkan
segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang mengangkut makanan ,pakaian
maupun persoalan.5
Secara harfiah al-wara, artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi
antara halal dan haram ( syubhat ). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan
Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah
3. Al-Zuhud
Secara harfiah Al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
5
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 118
6
Abuddin nata, op. cit., hal. 199.
Zuhud termaksud termaksud salah satu ajaran agama yang sangat penting dalm
rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih
mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akherat yang kekal dan abadi, dari
pada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari
Artinya : katakanalah kesenangan didunia hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun ( QS. Al-Nisa’,4 :
78 ).7
Menurut pandangan hidup sufi, dunia dengan segala kehidupan material, adalah
kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Oleh karena itu seorang calon sufi
harus terlebih dahulu zahid atau asketis yaitu mengabdikan kehidupan yang bersifat
duniawi.8
Zuhud menurut Dawud Ibnu Abdillah al-Fathania berbeda dengan makna yang
ditampilkan oleh sebagai para sufi terdahulu yang agak negative member makna yaitu
meninggalkan dunia dan kepentingan dunia yang berkaitan dengan materi, harta benda
dan kesenangan duniawi. Inti zuhud ialah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. 9
4. Al-Faqr
Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqr juga mempunyai interpretasi
yang berbeda antara satu sufi dengan sufi yang lain. Tetapi pada umumnya berfokus
kepada sikap hidup yang tidak ”ngoyo” atau memaksa diri untuk mendapatkan Sesutu.
7
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal.194-195
8
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 116
9
M. Arriafie abduh, ajaran tasawuf dan thariqat syathariyah,( pekanbaru: SUSQA Press, 2009 ),hal
125
Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer.
Tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa. 10
masalah ini, namun pesan yang tersurat didalamnya adalah agar manusia bersikap hati-
hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan.
Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya apa-apa, atau sudah
merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tetapi menyiksa. Hal ini sesuai
dengan pola dasar sikap hidup mereka seperti tergambar di atas, selalu hati-hati. Oleh
karena itu meraka mengambil sikap hidup tidak “ngoyo” tapi “nerimo” apa adanya. 11
5. Sabar
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya bahkan sabar adalah
prosedur kesungguhan yang merupakan sifat tuhan yang sangat mulia dan tinggi. Sabar
adalah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan, baik dalam sesuatu urusan
yang tidak diingini maupun dalam kehilangan sesuatu di senangi. Menurut imam ahmad
ibn hanbal, perkataan sabar disebut dalam al-quran di 70 tempat. Menurut ijma ‘ulama,
10
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 119
11
ibid
12
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal. 101-102
Dikalangan para sufi sabar diartikan timpakannya sabar dalam menjalankan
perintah-perintah allah, dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima segal
datangnya pertolongan tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-
Artinya: bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan allah
dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. Al-Nahl, 16:127). Menurut
ali bin abi thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang
kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang
6. Tawakal
Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat
kepada allah telah melaksanakan suatu rencana yang telah di susun a posteriori terhadap
suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap menyerahkan kepada allah.
hasilny. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat maka nertawakallah kepada
13
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, ( Jakarta: Rajawali pers, 2002 ),hal. 201-202
14
Rivay siregar, tasawuf ( Jakarta: Raja Gerindo Persada,1999 ) hal. 121
Secara harfiah, tawakal berarti bersandar atau mempercai diri. Apabila di
Al-qusyairi lebih lanjut megatakan bahwa tawakal tepatnya di dalam hati, dan
timbulya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadii setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu
7. Al-Ridaha
Menurut al-junaid ridha itu ialah meninggalkan usaha (tark al-ikhtiar) sedangkan
dzun al-nun al-mishri mengatakan bahwa ridha itu ialah menerima qadha’ dan qadar
dengan kerelaan hati. Tanda-tanda orang yang ridha kata dzun al-nun ada tiga: 1)
terjadinya ketentuan dan 3) cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka. Menurut
abu ali al-daqqaq, ridha adalah tidak keberatan terhadap qadha dan qadar allah.
Sedangkan menurut syekh jalaluddin ridha ialzah menerima dengan lapang dada dan hati
terbuka apa saja yang dating Dari allah, baik dalam menerima serta melaksanakan
Ridha adalah puncak dari kecintaan yang di peroeleeh sufi setelah menjalani
proses’ ubudiyyah yang panjang kepada allah swt. Ridha merupakan anuggrah kebaikan
yang diberikan tuhan atas hambanya; dari usahanya yang di maksimal dalam pengabdian
15
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal. 104
16
Abuddin nata op. cit., hal. 202
17
Asmal may, corak tasawuf syekh jalaluddin, (pekanbaru: susqa press, 2001) hal, 149-150
dan munajat ridha juga merupakan manifestasi amal shaleh sehingga memberoleh pahala
Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga
dunia yang fana ini. Ketenagan hati seorang sufi yang berada dalam ridha adalah tidak
mengharapkan surga dan tidak pula berlindung kepada allah dari siksa neraka.
Seorang sufi yang membangun dirinya dengan keridhoan kepada tuhannya akan
merasakan bahwa tuhan senantiasa memberikan makna berarti dalam berperilaku dan
beramal.19
B. Al-Ahwal
Al-Ahwal jama’ dari kata al-hal,secara bahasa diartikan dengan kondisi batin yang
baik.Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan
atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu
yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau
akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih,
dan sebagainya.
Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain
Sunan Ampel Surabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan
18
Khairunnas rajab, agama kebahagiaan, (Yogyakarta: pustaka pesantren, 2013) hal,82
19
Khairunnas rajab, Obat Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) hal, 107
yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian sematara.
yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam
hadapan ALLAH yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepadaNya,
budi-pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan
usaha - usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati
sempurna.
Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang
menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap
hambanNya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang
Meskipun pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu
kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, Mereka tentu saja adalah hasil ijtihad dan
juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu,
bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf,
baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanNya, Cinta-Nya dapat dicapai dengan
demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan pemahaman mereka tentang
Dengan demikian, tidak semua pejalan spiritual harus mengikuti, menjalani, atau
spiritual yang terkait dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan
semuanya itu diyakini dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan
Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya
memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal dari nafsu
dan amarah. Dengan pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan.
Muhasabah (Introspeksi) Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau
berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang
dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam
Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Hadits di atas menggambarkan
urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di
dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu
menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya
harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq)
dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan
oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan
seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap jam apakah
baik atau buruk (Fathullah Gulen, 2001: 28). Dalam hal ini kritik dirilah yang dijadikan
metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha spiritual dan
intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi kebaikan pada diri. Mochamad
Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19. Urgensi
lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang
segala amal perbuatannya. Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap
mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (lihat QS.
Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1).Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94),
muhasabah sesudah beramal itu ada tiga: 1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang
telah dilalaikan, yang itu adalah hal Allah swt. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan
serampangan, tidak semestinya. 2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik
ditinggalka daripada dikerjakan. 3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar
apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah swt dan akhirat, sehingga ia
Muraqabah(Keterjagaan)
Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini
dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan
praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan
dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika
"pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan
ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh
dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang
sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini
ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak
Menurut kaum sufi,raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi
(Anwar dan Solihin, 2000: 75).Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadankan dalam
optimisme , yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang
dicintai.Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada padanan kata yang sesuai untuk
bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007.)Sang hamba menebar benih iman, menyiraminya
dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari onak akhlak tercela, lalu menunggu
anugerah dari Allah s.w.t., yaitu Dia menetapkannya sampai ajal tiba dan husnul khatimah
pembuka maghfirah. Dengan itu, raja’ sang hamba adalah raja’ yang benar. Firman Allah
swt. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah,mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS.Al-Baqarah [2]: 218) Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’
terhadap sesuatu. Yaitu: Mencintai yang diharapkannya. Takut akan kehilangannya Usaha
untuk Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas,mendapatkannya hanyalah
angan-angan semata. Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut).
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut
Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya
adalah:
dibaca.
b) Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas
kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini
menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena
c) Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf
Khauf (Takut kepada Allah) Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah
s.w.t. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang
pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65). Khauf dikatakan pula sebagai
ungkapan derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga
mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan
(Ibnu Rajab dkk, 2005: 147). Allah swt meridhai hamba-Nya yang khauf kepada-Nya. Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS.Al-Bayyinah [98]:8). Banyak ayat
lain yang mengisyaratkan keutamaan khauf ini, diantaranya QS. Al-A’raf [7]: 156, QS. Fatir
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan
bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar
dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah
maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap
Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal
tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan
cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan
yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir
setelah melihat dan bertemu.Sedangkan Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29) berujar,
selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Kerinduan yang terdalam ingin berjumpa
dengan Tuhan, sehingga matinya jasad malah bukan sesuatu yang ditakuti. Bahkan
diinginkan para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin berjumpa dengan sang maha
4. Hubb(cinta)
Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari kalimat
habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi (Louis
Ma’luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111). Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-
hubb atau mahabbah yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165. Al-
sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pecinta”. Ketika Rabi’ah al Adhawiyah ditanya
tentang cinta, dia menjawab, ”antara orang yang mencintai (muhibb) dan orang yang
dicintai (mahbub) tidak ada jarak (Syamsun Ni’am, 2001: 117). Definisi dari beberapa sufi
irfan tersebut cukup beragam. Sebenarnya untuk memahami mahabbah ini, tidak bisa
disamakan dengan istilah cinta yang biasa digunakan. Jelasnya, cinta di sini sangat
berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah
cinta hakiki dari hamba kepada khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa
kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan
masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak
mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta
adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata: “Orang yang
mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur
dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah
merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika
belum meneguknya.” Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah
tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu
kali merasakan cinta belum cukup baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan
yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya
terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004: 127)
mengatakan, cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang
paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan
menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya, hakikat cinta
hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang Maha Mencintai dan pantas dicintai.
5. Uns (intim)
Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar
dan Solihin, 2000: 76). Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut:
”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian.ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta.Seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi.
Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian.Ia adalah orang yang selalu
merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah,
artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah” Syair tersebut menggambarkan
sekilas perasaan keintiman para sufi dengan Tuhan.Istilah ’intim’ di sini, jelas bukan
simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb (cinta) hamba kepada Allah swt. yang
Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba
yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat
lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati,
dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat
ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah,
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54). Suatu pembiasaan
kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000:
79). Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan
latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan
pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan
Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan 21memperoleh ilmu ma’rifat.
Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya
bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui
2.Tafakur,(Refleksi)
dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu
sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku
anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan
mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci
segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah
s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika
dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan
2131.
Ibid.,hal 177
merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa
ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali
Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan
bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak
dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab
semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap
cahaya pancaran ma’rifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di alam pikiran dan
hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada Allah s.w.t.
Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan
gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif
untuk hidup di masa depan. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan
tanggungjawab kepada Allah swt. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa
tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang
kurang memadai pada seseorang dapat menyesatkannya atau tafakurnya adalah suatu
kesia-siaan. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan
kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta. Tafakur dasarnya adalah
ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan
tafakurnya.
Fase-fase dalam bertafakur
Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu:
Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat
susunan alam yang indah dari apa yang di lihat atau di dengar.
Maha Agung.
keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan.
Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya
3.Tazkiyat,(An-Nafs)
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS.
Asy-Syams[91]:7-10).
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’
dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’
yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa
dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian
jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban
Rasulullah saw . Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2. Muhammad
hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk
menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131). Sedang menurut Al-
Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti
takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan
jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok (2002: 200) memaparkan, para mufasir
berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs, antara lain sebagai berikut: o
Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia, sesuatu yang jika dipatuhi,
akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya. o Tazkiyah dalam arti menyucikan
4..Dzikrullah
menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada Allah
berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah
dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97).
Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah
ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-
Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut
Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur,
yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat. Berikut
penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh
Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa
disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas
Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115:3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri.
Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir
lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam
mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu ,maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus di
tempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan allah swt.
B. Saran
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat hendaknya tidak hanya
tertumpu pada satu literature saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin nata. 1996. Akhlak tasawuf. Jakarta: rajawali pers.
Asmal may. 2001. Corak tasawuf syekh jalaliddin. Pekanbaru: susqa press.
M. arrafie abduh. 2009. Ajaran tasawuf dan thariqat syathariyah. Pekanbaru: susqa
press.