Anda di halaman 1dari 55

ARTIKEL MATA KULIAH TASAWUF

Rahasia Ajaran Tasawuf Dalam Menyingkap Ketentraman Jiwa

Dosen Pembimbing:

Hj. Siti Munawati, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Muhamad Sopian Hidayatullah NIM : 1503020003

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF
TANGERANG
1437 H / 2015 M
KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan terima kasih dan rasa syukur kehadhirat Allah swt.
Yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga penlis telah dapat
menyelesaikan Artikel Mata Kuliah Tasawuf yang berjudul “Rahasia Ajaran
Tasawuf Dalam Menyingkap Ketentraman Jiwa”. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurah atas baginda Nabi Besar Muhammad Saw, beserta keluarga,
sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.

Dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. Siti
Munawati, S.Pd.I, M.Pd.I. Selaku dosen mata kuliah Tasawf dan juga kepada
rekan-rekan yang telah membantu sehingga penyusun dapat menyelesaikan
Artikel ini.

Dalam penyelesaian Artikel ini penulis merasa masih sangat banyak


kekurangan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu
Dosen dan para rekan-rekan sekalian agar dalam penyelesaian makalah-makalah
yang selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Semoga Artikel ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi sekalian pembaca.

Tangerang, 07 Desember 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ….….......…………………………………………… i


DAFTAR ISI .……………………………………..…………………….….. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi ...................................... 1
B. Pengertian Tasawuf Secara Istilah .......................................... 2

BAB II LIMA OBAT HATI


A. Membaca Al-Qur’an …….………...……………….……… 3
B. Shalat Malam ……………......................…………………… 5
C. Zikir dan Berdzikir .................................................................. 12
D. Mengosongkan Perut ............................................................ 15
E. Bergaul dengan Orang Salih ................................................... 16

BAB III TASAWUF DAN KETENTRAMAN JIWA


A. Faktor-Faktor Yang Membuat Seseorang Stress/Depresi ..... 21
B. Obat Penyakit Stress/Depresi ............................................... 24

BAB IV KETENTRAMAN JIWA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI


A. Ketentraman Jiwa Dalam Perspektif Al-Ghazali .................. 28
B. Maqamat ............................................................................... 29

BAB V KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF

A. Seorang Hamba Yang Penuh Ketenangan ............................ 41


B. Sepenggal Kisah Penangkapan Sa’id bin Jubair
oleh al Hajjaj ........................................................................ 42
C. Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf ......................... 46

ii
D. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal ................ 47

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi


Dalam mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara etimologi
maupun secara istilah maupun secara istilah, para ahli berbeda pendapat. Secara
etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian,
seperti dibawah ini.

1. Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan Ahlus Suffah, yang
berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW. Yang hidupnya
berdiam di serambi-seambi masjid, mereka mengabdikan hidupnya untuk
beribadah kepada Allah SWT.

2. Tasawuf berasal dari kata Shafa. Kata Shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul
sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama
bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang
yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhannya.

3. Istilah tasawuf berasal dari Shaf. Makna shaf ini dinisbahkan kepada orang-
orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling depan.

4. Istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari bani Shufah.1

5. Tasawuf dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yaitu
saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah, yang berarti
kebijaksanaan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Mirkas, yang
kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya Adab Al-Lughah Al-
‘Arabiyyah. Jurji Zaidan menyebutkan bahwa para filsuf yunani dahulu telah
menegaskan pemikiran atau kata-katanya yang dituliskan dalam buku-buku
filsafat yang penuh mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari pendapatnya

1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia), Cet. III, 2010, H. 143-144

1
dengan argmentasi bahwa istilah sufi atau tasawuf tidak ditemukan sebelum
ada masa penerjemahan kitab–kitab yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa
Arab. Pendapat ini didukung juga oleh Nouldik, yang mengatakan bahwa
dalam penerjemahan dari Misalnya, orang Arab mentransilterasikan huruf sin
menjadi huruf shad, seperti dalam kata tasawuf menjadi tashawuf

6. Tasawuf berasal dari kata shaufanah, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang
berbulu dan banyak tumbuh di padang pasir di tanah Arab. Ini dilihat dari
pakaian kaum sufi yang berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam
kesederhanaannya.

7. Tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba atau wol.

B. Pengertian Tasawuf Secara Istilah


Menurut Syekh Al – Junaedi Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa
yang menggangu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan
pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita
sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat
suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang
penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia,
memegang teguh janji dengan Allah SWT. Dalam hal hakikat dan mengikuti
contoh Rasulullah SAW. Dalam hal syari’at.

Jadi, kalau kita simpulkan dapat kita ringkas sebagai berikut, “Ilmu
tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat
menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang
teguh pada janj Allah SWT. Dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.
Dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya.”2

2
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf , ..., H. 145

2
BAB II
LIMA OBAT HATI

Tamba ati iku lima ing warnane


Ingkang dingn maca Quran sak maknane
Kaping done salat bengi lakonana
Kaping telu zikir bengi ingkang suwe
Kaping pate wetengira luweana
Kaping lima alim salih kumpulana
Salah sawiji sapa kang bisa nglakoni
Insya Allahu Ta’ala nyembadani

Tembang pitutur (pengajaran) ini biasa didendangkan anak-anak sebelum


salat dilanggar-langgar d Jawa. Lima resep batin itu dicuplik dan dijawakan dari
kitab Kifayatul Atiqa’ wa Minhajul Ashifa’ (Kelengkapan Orang Takwa dan Jalan
Orang Suci), karangan Syaikh Muhammad Syatha Ad-Damyathi. Salawat Tamba
(Selawat Obat) ini mewejang jalan apa yang mesti ditempuh seseorang untuk
mencapai derajat kesalihan. Yakni, zikir, mengosongkan perut, alias puasa, dan
duduk melingkar di sekitar orang salih.3

A. Membaca Al-Qur’an
“Kepada kaum yang suka berjama’ah di rumah-rumah ibadah, membaca Al-
Quran secara bergiliran dan mengerjakannya kepada sesamanya, akan turun
kepadanya ketenangan dan ketentraman, akan tercurah kepadanya rahmat yang
berlimpah, dan mereka akan dijaga malaikat, juga Allah akan senantiasa
mengingat mereka.” (H.R. Muslim)

“Saya biasa membaca Al-Qur’an setiap hari selepas salat subuh, dan ayah
selalu mengawasi, dan kemudian menanyakan: ‘Apa yang kau lakukan?’ Saya
menjawab bahwa saya sedang membaca Qur’an. Pertanyaan itu terus-menerus

3
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 19

3
diulang setiap hari, selama tiga tahun, dan jawaban sayapun tetap itu juga. Pada
suatu hari saya bertanya kepada beliau: ‘Mengapa ayah selalu bertanya dengan
pertanyaan yang sama, padahal jawaban saya juga sama?’ ‘Yang ingin ku katakan,
Nak, ‘Kata ayah, ‘Bacalah Quran itu seolah-olah diturunkan kepadamu.’ ”

Demikian Allama Muhammad Iqbal pernah bercerita mengenai ayahnya,


Muhammad Nur, seorang pengikut tarekat, yang terkenal dengan kesalihan dan
ketakwaannya. Wejangan sang ayah tampaknya begitu membekas, dan sejak
peristiwa itu Iqbal mulai membaca Qur’an dengan berusaha mendalami isinya.
Dari cahaya Al-Qur’an itulah kelak dia dapat penyuluhan. Dan dari butiran-
butiran hikmahnya pula mujaddid (pembaru) dari Pakistan ini menyusun puisi-
pusisinya.

Bagi kaum muslimin, Qur’an merupakan pedoman dalam menempuh bahtera


kehidupan. Melalui petunjuk-petunjuknyalah kita mencapai kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat kelak. Hal ini diyakini karena Al-Qur’an mengundang ajaran-
ajaran moral yang universal dan abadi sifatnya.4

Obat dan Rahmat


Membaca AL-Qur’an juga merupakan obat berbagai penyakit hati, dan
penawar jiwa yang sedang gelisah. Abdullah bin Mas’ud r.a., salah satu sahabat
Rasulullah SAW terkemuka, suatu hari kedatangan tamu. Dia tampak gelisah dan
bingung. Katanya:

“Ibn Mas’ud, Anda lihat keadaan saya. Dalam beberapa hari ini saya merasa
tidak tentram. Jiwa saya gelisah. Pikiran saya kusut. Makan tidak enak, tidur tidak
nyenyak. Berilah saya nasihat yang bisa mengobati keadaan saya.”5

“Kalau benar itu penyakit kamu, bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat.
Pertama, ke tempat orang yang sedang membaca Al-Qur’an. Anda ikut membaca

4
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 21-22
5
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 25

4
atau dengarlah orang-orang yang membacanya. Kedua, bisa juga ke majelis
pengajian, yang mengingatkan hati kepada Allah. Atau silahkan anda cari waktu
dan tempat yang sunyi, di sana Anda berkhalwat menyembah Allah. Seperti di
tengah malam. Ketika orang-orang tidur, Anda bangun lalu bersembahyanglah,
memohon kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati.
Andaikan jiwa Anda belum juga terobati dengan ketiga cara itu? Nah, Anda haru
mminta Allah agar Anda diberi-Nya hati yang lain. Sebab hati yang Anda pakai
bukan lagi hati Anda.”

Setelah berterima kasih, orang tadi pulang ke rumahnya, dan mencba


mengamalkan nasihat itu. Dia berwudhu, dengan khusyuk. Selesai membaca, dia
tampak tenang: pikirannya jernih kegelisahannya hapus sama sekali.6

B. Shalat Malam
Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah karena dia
melakukan sembahyang malam sedangkan kehormatannya adalah karena dia
tidak membutuhkan (menggantungkan diri pada ) orang lain. (H.R. Thabrani)

“Mengapa orang-orang yang melakukan sembahyang tahajjud menjadi


orang-orang yang berwujud paling bagus?” Demikian pernah di tanyakan kepada
Al-Hasan Al-Bashri.

“Karena mereka mereka menyendiri bersama Yang Maha Pengasih,


kemudian dia menunjukan cahayanya kepada mereka,” Jawabnya. Dia juga
pernah mengatakan, “Saya belum pernah menemukan sesuatu yang lebih berat
dalam beribadat melebihi salat tengah malam,” jawab Al-Hasan.7

Bagi para ahli ibadah, malam merupakan saat-saat yang bagus untuk
menyaksikan keagungan dan kemuliaan Allah. Sabda Nabi, “Tuhan kita Tabaraka

6
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 26
7
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 33

5
wa Ta’ala (Maha Berkat dan Maha Tinggi) senantiasa turun di setiap malam ke
langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman,
‘Barangsiapa meminta kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Barangsiapa memohon
ampunan-Ku, akan Aku ampuni’.” (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain disebutkan:
“Barangsiapa bangun malam hari, lalu membangunkan istrinya, lalu keduanya
salat dua raka’at, mereka akan dicatat sebagai laki-wanita yang banyak dzikir
kepada Allah.” (H.R. Abu Daud). Aktivitas para penggiat Qiamul Lail
(sembahyang malam) juga mendapat pujian Allah: “Mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam, sedangkan pada dinihari memohon ampunan.” (Q.S Adz Dzariyat:
17-18)

SHOLAT SESUAI ILMU TASAWUF


Menurut ilmu tasawuf, maka apabila orang itu sholat walau dg sarat
rukunnya tapi dia makan barang haram, dan melakukan segala perbuatan tercela,
seperti sombong zina, membunuh, membicarakan kejelekan orang, mengadu
domba, melakukan riba, minum arak, dan perbuatan dosa yang lain maka solatnya
tak sah, dalam artian tidak menerim phala, atau makin salat makin menjadi-jadi
dosanya.

SHOLAT DALAM PANDANGAN AHLI SUFI


1. Takbirotul Ihram
Di sini maksudnya, berpisah dari Alam Mulki dan fanalah hamba. ketika
mengucapkan ‘Allohu Akbar’. Hanya sifat ‘yang menyembah’ saja yang tinggal
sebagai penzohiran. wujud Alloh ‘Yang Disembah’. Ia bergerak dengan gerak
Alloh. Ia berkata-kata dengan kata-kata Alloh. Takluknya dalam rahasia Titik bagi
Alif – ‘Tiada’. Seperti kata Abu Yazid Busthomi, “Ariftu Robbi bi Robbi’. (Aku
mengenal Tuhanku dengan Tuhanku).

2. Membaca Fatihah
Ketika membaca Fatihah, terbukalah Pintu Alam Malakut bagi ‘yang
menyembah’. Dia menyaksikan kalimat Alloh melalui penyingkapan (syuhud)

6
akan firman Alloh; “Maliki yaw middin” di dalam Kerajaan Alloh Ta’ala. Dari
takluknya ‘Tiada’ ia menjadi Titik dari NurNya (Nur Muhammadi) . Dengan Nur
Muhammad inilah ‘yang menyembah’ mengenal dirinya ‘man arofa nafsahu’ -
sebagai ‘Ruh-Nya’ yang pernah dihimpunkan di Alam Lahut semasa Adam baru
sempurna kejadiannya, yakni ketika Jibril menepuk tulang sulbi Adam, maka
keluarlah semua ruh anak cucu Adam dari tulang sulbi Adam itu.

Adapun ‘Ruh-Nya’ itu pada hakikatnya adalah satu jua, yaitu daripada
Sirulloh. Ruh anak cucu Adam itu hanyalah bayangan (menumpang) dari Ruh-
Nya.Tanpa hadirnya Nur Muhamad, ‘yang menyembah’ tak mungkin bisa
berhadap di depan Alloh Ta’ala. Dengan perwujudan Nur Muhammad inilah maka
‘yang menyembah’ .... “ Kepada Engkaulah kami sembah dan kepada Engkaulah
kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan mereka yang
Engkau berikan ni’mat, bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai, dan bukan
pula (jalan) mereka yang sesat.”. Maka di Amin kan akhir Fatihah itu oleh para
malaikat dari setiap 7 lapis langit, yaitu dari: Alam Mulki, Alam Malakut, Alam
Jabarut, Alam Bahut, Alam Lahut, Alam Ahut dan yang tertinggi Alam Al-Insan
yang di sinilah kemuncaknya Sholat itu. Adapun maksud ‘jalan yang lurus’ bagi
kalangan sufi ialah Mi’roj. Sebagaimana sabda Nabi SAW; “Sholat itu adalah
mi’roj bagi mukmin”. Tujuan Mi’roj itu ialah Penyatuan, yakni kembalinya ‘yang
menyembah’ kepada ‘Yang Disembah’.

3. Rukuk
Takluknya kepada huruf 'Lam' terzohirnya dari Alif - 'yang menyembah'
menampakkan 'Yang Disembah'. Alif adalah Kanzun Mahfiyyan (Yang
Tersembunyi). Yang Tersembunyi ingin dikenali maka dizohirkan Lam sebagai
tabirnya. Sabda Nabi SAW, "Dirikanlah sholat seolah-olah kau melihat
Alloh".Para Arif Billah telah berkata bahwa "Siapa yang kenal dirinya, kenallah
Tuhannya." 'Yang menyembah' dinatijahkan seperti 'angin', manakala tatkala
'yang menyembah' pada posisi berdiri tadi, natijahnya adalah 'api' – fana dalam
wujud. Api itu sifatnya membakar - yakni melenyapkan keakuan diri. Pada tahap

7
'rukuk' ini, 'yang menyembah' berada dalam suatu tarikan yang tersangat kuat dari
Nur Muhammad. Justru itulah ia dinatijahkan kepada angin (tunduk dan
menderu). 'Yang menyembah' ditarik masuk ke dalam Alam Jabarut dan berpisah
dari Alam Malakut. Justru itulah kata para Arif Bilah , "Barangsiapa mencari
Tuhan di luar dirinya, niscaya akan sesat.". Pada tahap ini 'yang menyembah'
melepas qolbunya dan yang tinggal padanya adalah Roh-Nya yang akan naik ke
lapisan yang lebih tinggi untuk kembali kepada Tuhan. Alam Jabarut yang
menghubungkan Perbendaharaan Wujud (batas larangan yang tak bisa ditembus
melainkan kepada Nur Muhammad) di antara yang 'maujud' - 'yang menyembah'.
'Yang menyembah' mengenal dirinya di Alam Jabarut, maka tersingkaplah
baginya seluas-luasnya wujud Alloh tanpa tabir bahwa 'yang menyembah' telah
bersatu dengan 'Yang Disembah' sebagaimana adanya di dalam Misykat itu ialah
Cahaya-Nya. (Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. ). Maka bertasbihlah 'yang menyembah', "Maha suci
Tuhanku yang Maha Agung dengan sifat kepujiannya”
Jika difahami ayat itu, maka pengertian bersatu dengan 'Yang Disembah' yang
dimaksudkan di sini bukanlah mengambil kefahaman 'Hulul' sebagaimana yg
diyakini oleh Mansur Al-Hallaj. Yang lebih ditekankan di sini ialah Wahdatusy-
Syuhud (Kesaksian Penyatuan).

4. I’tidal
'Yang menyembah' adalah yang dibangkitkan - ‘Yang menyembah’ masuk
dalam ‘Pintu Kematian.’ “Matikanlan dirimu sebelum mati”. Di sini juga artinya

8
‘waqof’ (sementara) dalam Sholat.

5. Sujud Awal
Takluknya kepada huruf 'Lam' - juga huruf 'Mim'. Nabi Muhammad SAW
bersabda, "Aku dizohirkan ke dunia dalam keadaan sujud". 'Yang menyembah'
dinatijahkan kepada air. Air adalah sumber kejadian Alam Mulki. Arasy Tuhan
berada di atas air. Maka 'yang menyembah' dinatijahkan kepada air, karena di
sinilah 'yang menyembah' sampai di Alam Bahut. Alam Bahut adalah Pembatasan
Terakhir Segala Penzohiran, Ungkapan Syeikh Akbar Ibnu Arobi; Syajarotul -
Kaun (Pohon kejadian) atau sebutan yang sering juga disebut - Sidrotul Muntaha.
Pada tahap ini 'yang menyembah' adalah Ruh-Nya yang di dalam Sirr. Sabda Nabi
Muhammad SAW ketika mi'roj baginda melihat Wajah Alloh, "Aku tidak tahu di
mana aku berada". Pada tahap ini juga 'yang menyembah' menyerap kepada 'Yang
Disembah' seolah-olah 'yang menyembah' itulah 'Yang Disembah,' 'Yang
Disembah' itulah 'yang menyembah, - yang pada hakikatnya wujud terurai dalam
fana fil sifat dan lebur dalam fana fil zat – ‘Melihat Alloh dengan Alloh’ – maka
‘yang menyembah’ diberikan pengetahuanNya – Anal Haq (Akulah Yang
Benar’).

Dari sisi tahap ini, lihatlah kepada ‘Basmalla’. Hanya ‘Ba’ dalam Basmallah
saja yang tercantum dengan Alif. Sabda Nabi SAW; “Seluruh kitab Al-Qur’an itu
terkandung dalam Al-Fatehah. Dan seluruh Al-Fatehah itu terkandung dalam
Basmallah. Dan Basmallah terkandung dalam huruf ‘Ba’. Dan rahasia ‘Ba’ itu
adalah Titik di bawahnya” Inilah yang dimaksudkan oleh Syekh Ibnu ‘Arobi
Wujud Kesatuan – Wahdatul Wujud. Maka bertasbihlah ‘yang
menyembah’, “Maha suci Tuhanku yang Maha Mulia dengan sifat kepujian-Nya.”

6. Duduk Diantara 2 Sujud


Takluknya pada huruf ‘Ha’ besar dan juga ‘Ha’ kecil (maksudnya selepas
huruf Jim). ‘Yang Menyembah’ telah dikurniai ‘Baqo’ setelah fana fil sifat dan
fana fil zat. Dengan dikurniai ‘Baqo’, barulah ‘yang menyembah’ dapat memasuki

9
Perbendaharaan Rahasia Tuhan – Ilahiyat - pada sujud yang akhir nanti,
sebagaimana diistilahkan oleh para Arif Billah melalui tiga tahapan, Yaitu ; (
Ahadiat, - Wahdat, - Wahadiat ). Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di
Alam Lahut – Alam Tiada, yang tiada sesuatu pun yang tercipta, tiada awal dan
akhir, ‘yang menyembah’ menyaksikan kekosongan tanpa perbatasan, dan
disinilah awalnya Diri yang kemudiannya dizohirkan sebagai Adam. Di kalangan
sufi, ia juga diistilahkan ‘Negeri ‘Adami’. Diri (‘yang menyembah’) dinisbahkan
kepada air yakni Air Mutlak, inilah asal-usul manusia dari alam tiada ‘La’.

Pada tahap ini juga ‘yang menyembah’ adalah di dalam Sirr-Nya – Ruh-Nya
dalam keghoiban Nur Muhammad. Haqiqot Ruh-Nya adalah Nur Muhammad. Di
sinilah ia bermunajat; “ Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah
aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, afiatkanlah aku
dan maafkanlah aku.”

7. Sujud Akhir
Takluknya pada rahsia huruf ‘Ha’ – yang tak kelihatan atau bunyi diujungnya
‘Hu’ dan juga huruf ‘Mim’. Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di Alam
Ahut’ pada nisbahnya air yang di bawah ‘Arasy Tuhan . Yang tinggal pada ‘yang
menyembah’ adalah Sirulloh. Di dalam Sirr, inilah Aku. Kata Ahli Sufi, ‘Air
dalam gelas, tak dapat dibedakan lagi. Air itulah gelas. Gelas itulah air.” ‘Yang
menyembah’ itulah ‘Yang Disembah’ dalam gedung makrifat, bukan dalam
gedung syari’at, gedung thoriqot dan gedung haqiqot. Pahamkanlah ini ‘Yang
menyembah’ tidak bisa menjadi ‘Yang Disembah’ dalam arti haqiqot. Ini hanya
pada makrifat semata-mata. Ingatlah, bukan faham hamba yang bertukar menjadi
Tuhan. Camkan air di dalam gelas, bersatu dalam kejernihan. Lihatlah pada
‘ombak’- ombak hanya pada nama yang diberikan padahal itu air yang beriak dan
menggelora.
Pada sujud akhir inilah, ‘yang menyembah’ memasuki Wilayah Ilahiyat:
a. Ahadiat – Zat Mutlak atau Zat wajibal wujud
b. Wahdat – Zat Yang Maha Esa

10
c. Wahadiat – ILAH - Zat yang maha kaya daripada tiap-tiap sesuatu yang lain
dan sesuatu yang lain memerlukannya.

Zat ingin dikenali sebagai Kanzun Mahfiyyan. Di sinilah terbitnya ungkapan


‘Kun’ jadilah maka jadilah ia.

8. Duduk Tahiyat Akhir


Takluknya pada huruf Dal. Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di
Alam Al-Insan, dinisbahkan kepada tanah ketika ia duduk – dalam kesempurnaan.
Dia yang mengenal dan Dialah yang dikenal pada akhirnya. Dialah yang turun dan
naik dalam mi’roj. “Rahasia Insan RahasiaKu, RahasiaKu Rahasia Insan”.

Di Alam Insan, ‘yang menyembah’ diliputi dengan Wujud, Ilmu, Nur dan
Syuhud, maka Zat adalah rahasianya, Sifat adalah ruhnya, Asma’ adalah qolbunya
dan Af’al adalah tubuhnya. Di sinilah ia mengucapkan Selamat sejahtera (tahiyat)
ke atas Nabi dan rahmat Alloh dan keberkatan-Nya. Juga kepada hamba-hamba
yang solihin sekaliannya. Dialah yang menyaksi dan dialah yang bersaksi tiada
Tuhan melainkan Alloh dan Muhammad adalah utusan Allah swt.

9. Salam
“Salamun qowlam mir-robbir- rohiim”. Inilah salam ahli syurga. Syurga
inilah yang dinikmati oleh ‘yang menyembah’, yakni syurga yang di dalamnya
tanpa bidadari, sungai, buah-buahan dan pepohonan. Di syurga inilah ‘yang
menyembah’ terlena memandang Wajah Alloh.

Perlu kita renungi ini adalah sutu konsep atau pandangan dari para Arif Bilah
yang pemahamannya sudah jauh dari manusia awam, yang perlu kita tekankan
sholat (sujud) adalah salah satu rahasia diri kita, jadi tidak perlu diungkapakan
dengan kata-kata bagaimana aku sholat (sujud), cukuplah untuk diri kita pribadi,.

11
(semuanya jadi kosong). tapi jika kita berkholwat silahkan berbicara sebebas -
bebasnya.8

C. Zikir dan Berdzikir


“Setiap ada sekelompok orang duduk dalam suatu majelis yang berdzikir
kepada Allah, niscaya mereka akan dikepung oleh para malaikat dan dipenuhi
oleh rahmat, dan Allah akan menyebut mereka kepada para malaikat yang berada
di sisi-Nya.” (H.R. Muslim).

“Suatu hari Rasulullah SAW, kedatangan orang-orang miskin dari kaum


Muhajirin. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya itu telah lebih dulu
pada sampai kedudukan yang tinggi serta kenikmatan yang langgeng.”

“Ada apa dengan mereka?” tanya Rasulullah.

“Mereka bisa melaksanakan salat seperti kami. Mereka bisa berpuasa seperti
kami. Namun mereka bisa bersedekah, sementara kami tidak. Mereka bisa
memerdekakan budak, sementara kami tidak.”9

“Bukankah aku pernah mengajarkan kepada kalian sesuatu, yang dengan itu
kalian bisa orang yang telah mendahului kalian, dan dengan itu pula kalian bisa
mendatangi orang yang datang setelah kalian. Tidak ada yang lebih utama dari
kalian, kecuali ia melakukan sebagaimana yang kalian lakukan.”
“Tentu, ya Rasulullah,” kata mereka.
“Bertasbih, bertakbir, dan bertahmidlah kalian 33 kali sesudah salat.”

Berkata Abu Shalih, yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah,
“Orang-orang Muhajirin itu lalu kembali menghadap Rasulullah seraya mengata-
kan, ‘Saudara-saudara kami, para pemilik harta itu mendengarkan apa yang kami
lakukan, sehingga mereka pun melakukan hal yang sama.’ Menjawab Rasulullah

8
http://bimaruci.blogspot.co.id/2012/08/sholat-dalam-pandangan-tasawuf.html, di akses Jum’at
04 Desember 2015, 20:52 WIB.
9
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 37

12
SAW: “Itu adalah anugerah Allah SWT. Dia akan memberikan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki’.” (H.R. Bukhari)

Zikir dibagi dua: Zikir lisan dan Zikir hati. Anda baru bisa mencapai taraf
zikir hati dengan melakukanzikir lisan. Tetapi zikir hatilah menurut para sufi yang
membuahkan pengaruh sejati. Ia ibarat perang yang mampu menebas setiap
musuh dan menjaga kita dari setiap ancaman.10

ZIKIR PARA ARIF BILLAH MENGGETARKAN ARSY


Hai manusia! Ketika dikatakan kepadamu untuk berzikir kepada Allah, maka
bersegeralah engkau untuk berzikir kepada Nya. Karena Zikirmu kepada Nya
akan membawamu lebih dekat lagi kepada Nya, dan zikirmu itu akan
menggetarkan Arsy Tuhan mu sehingga para Malaikat Arsy bertanya-tanya ; ada
apa ini ? begitu diketahui bahwa ada seseorang yang berzikir kepada Allah maka
bersegeralah para Malaikat Bertasbih, bertahmid, bertahlil dan bertkbir seraya
meohonkan Do’a ke Hadirat Allah untuk kebaikan dan ke’afiatan orang yang
tenggelam di lautan zikir.

Hai Manusia! Ketahuilah olehmu bahwa tidak ada amalan yang paling
disukai Allah dan yang lebih utama selain Zikrullah. Sebagaimana yang di
Firmankan Allah :
“Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS, Al ‘Ankabuut : 45)

Tanamkan dihatimu bahwa apabila engkau berzikir kepada Allah (Ingat


kepada Allah), maka sesungguhnya Allah hadir sertamu dan mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Karena itu apabila engkau berzikir kepada Allah maka sucikanlah
jiwamu terlebih dahulu. Bukankah Allah Maha Suci? Dan pantaskah engkau
menghadap kepada Nya dengan Jiwa yang belum tersucikan?

10
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 39

13
Sungguh! Kesucian jiwa itulah yang akan menjadi saksi bagi mu tatkala engkau
berzikir. Tanpa jiwa yang tersucikan maka zikirmu kepada Allah bukan
mengantarkanmu dekat kepada Nya akan tetapi akan membuatmu semakin jauh
dengan Allah.

Zikir (ingat)mu kepada Allah tatkala di dasari oleh jiwa yang kotor
menyebabkan engkau berzikir bukan karena Allah tapi karena sesuatu selain
Allah, lisan berzikir kepada Allah tetapi yang ada di hatimu bukan Allah
melainkan sesuatu selain Allah. Bukankah pahala, surga, kedudukan, kemuliaan
(karomah) dll itu adalah sesuatu selain Allah? Bukankah itu semua sesuatu yang
datang dari pada Allah dan Bukan Allah! Lalu pantaskah engkau berzikir kepada
Allah tetapi hadap hatimu kepada sesuatu selain Allah?

Jika engkau berzikir kepada Allah tetapi hatimu mengharapkan sesuatu selain
Allah maka engkau berzikir bukan karena Allah tetapi karena menurutkan Hawa
Nafsu (keinginan) di dirimu. Dan itulah suatu tanda bahwa jiwamu masih kotor
dan belum tersucikan.

Sadarlah wahai Manusia! Hidup matimu hanya untuk Allah, sholat dan
ibadahmu hanya bagi Allah seru sekalian Alam, bukan kepada yang lain selain
Allah.
Firman Allah : “Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS, Al An’aam : 162)

Hai manusia! Kesucian jiwa itu tidak akan engkau dapatkan sebelum engkau
mengenal kepada Allah. Jika engkau kenal kepada Allah maka Allahlah yang
akan mensucikan jiwamu. Kenalilah Allah hai manusia sebelum engkau menemui
kematian, sebelum Sakaratul Maut menjemputmu. Jika engkau belum mengenal
akan Allah sedangkan kematian itu telah datang kepadamu maka kerugianlah
yang akan engkau dapatkan.11

11
https://pengembarajiwa.wordpress.com/2008/09/11/zikir-para-arif-billah-menggetarkan-
arsy/#more-95, di akses Jum’at 04 Desember 2015 21:11 WIB.

14
Firman Allah :
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”.(QS, Al Israa’
: 72)

Buta berarti tidak melihat, tidak melihat berarti tidak akan kenal, jika tidak
kenal bagaimana mungkin engkau bisa mengatakan cinta kepada yang engkau
sendiri tidak mengenalnya dan tidak melihatnya. Jika sudah demikian tidaklah
rasa cintamu kepada yang engkau sendiri tidak mengenalnya maka itulah yang
dinamakan “CINTA BUTA”.
Rosulullah Saw bersabda : “Seseorang itu beserta dengan siapa yang ia cintai”.
Jika cintanya kepada Allah dan Rosul Nya karena mengenal kepada Allah dan
Rosul Nya maka ia akan beserta yang ia cintai.
Tetapi jika ia mencintai sedangkan ia sendiri tidak kenal kepada yang dicintai, lalu
kemanakah ia kembali? Dan beserta siapakah ia?

D. Mengosongkan Perut
“Tiga jenis orang yang do’anya tidak ditolak Tuhan: Imam yang adil, orang
yang berpuasa, sampai berbuka, dan orang yang dizalimi.”

Ini adalah puasa-puasa sunah. Pertama, puasa-puasa yang umumnya selalu


dijalankan Rasulullah SAW. Atau puasa sunah mu’akkad. Yakni:
1. Puasa Senin dan Kamis
2. Puasa tiga hari pada hari-hari bulan purnama (Ayyamul Biidh)
3. Puasa pada hari ‘Asyura
4. Puasa ‘Arafah
5. Puasa enam hari pada bulan Syawal12

Kedua, puasa yang pernah dijalankan Rasulullah tapi tidak diriwayatkan


bahwa beliau selalu menjalankannya. Ini masuk kategori puasa mustabahab.

12
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 48-49

15
Misalnya, puasa tiga hari setiap bulan, dan puasa pada hari-hari Sabtu dan Ahad.

Ketiga puasa pada hari apa saja, pokoknya di luar hari-hari yang dilarang
untuk puasa. “Barangsiapa puasa sehari demi agama Allah semata, maka Allah
pasti akan menjauhkan pandangannya dari neraka, selama 70 musim gugur.” (H.R
Bukhari). Ini yang disebut puasa tathawwu’. Tergolong disini adalah puasa ala
Nabi Daud A.S, puasa sehari dan berbuka sehari.

Banyak ulama mengatakan, puasa merupakan sarana berlatih mengendalikan


diri. Yakni dari jeratan nafsu perut, keinginan melahap apa saja, dan nafsu faraj,
mengumbar selera rendah sehingga kemanusiaan kita menjadi merosot karena dua
hal yang, di dalam masyarakat kontemporer, sering pula dihubungkan denga uang
dan kekuasaan. Karena itu puasa juga disebut latihan perang melawan hawa nafsu.
“Hal yang kutakutkan dari umatku.” Demikian sabda Nabi, “adalah pengumbaran
hawa nafsu dan panjang lamunan. Mengumbar nafsu memalingkan manusia dari
kebenaran (al-haqq), sedangkan melamun panjang membuat orang lupa kepada
akhirat. Karena itu ketahuilah, melawan hawa nafsu adalah modal ibadat” (H.R
Hakim dan Dailami.”13

E. Bergaul dengan Orang Salih


Berkata Umar ibn Khattab R.A: “Engkau harus bersahabat dengan sahabat
yang jujur, sebab engkau akan berada disisi mereka, sebab mereka hiasan ketika
dalam kesenangan, dan menjadi bekal pada saat ada bencana. Dudukkan urusan
temanmu sesuai dengan kebaikan-kebaikannya, sampai dia membawakan untuk-
mu sesuatu yang engkau benci dari dirinya. Hindarilah musuhmu, serta berhati-
hatilah terhadap temanmu, kecuali yang terpercaya. Dan tidak ada sahabat
terpercaya, kecuali orang yang takut terhadap Allah. Janganlah engkau bergaul
dengan orang durjana, dikhawatirkan engkau belajar pada kedurjanaannya. Dan
janganlah engkau membuka rahasiamu kepadanya. Mintalah nasihat dalam
urusanmu, pada mereka yang takut kepada Allah.”

13
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 50-51

16
Ibnu Qaiyim, mengutip pendapat para ulama, mengemukakan enam manfaat
bergaul dengan orang-orang salih:
1. Dapat mengubah diri kita dari ragu-ragu menjadi yakin
2. Dari riya’ menjadi ikhlas
3. Dari lalai menjadi ingat
4. Dari cinta dunia menjadi cinta akhirat
5. Dari sombong menjadi tawadhu
6. Dari buruk perangai menjadi orang yang mau menerima nasihat14

Hadits berikut mengungkapkan bahwa di akhirat pun sahabat-sahabat kita


yang salih di dunia, masih ingat kepada kita.
“Ketika Allah telah membersihkan orang-orang mukmin dari neraka –
sementara mereka tetap beriman- maka tiddak pernah ada perdebatan salah
seorang diantara kalian dengan temannya dalam masalah haknya di dunia lebih
sengit daripada perdebatan orang-orang mukmin tersebut dengan Tuhan mereka,
tentang nasib teman-teman yang telah dimasukkan ke neraka. Mereka berkata,
‘Tuhan, teman-teman kami dahulu juga shalat, puasa dan haji bersama kami,
kemudian Engkau memasukan mereka ke neraka.’ Dia (Allah) berfirman,
‘Pergilah dan keluarkanlah diantara mereka orang yang kalian kenal!’ Lalu
mereka mendatanginya, kemudian berusaha mengenali wajahnya, dimana wajah
mereka tidak termakan api (masih utuh). Ada juga diantara mereka yang sudah
termakan api hingga separo pundaknya. Ada juga diantara mereka yang sudah
termakan api hingga kedua mata kakinya. Kemudian mereka mengeluarkannya.
Mereka berkata, ‘Tuhan, kami telah mengeluarkan orang yang telah Engkau
perintahkan kepada kami!’ Dia (Allah) lalu berfirman, ‘Keluarkanlah orang yang
dalam hatinya masih ada keimanan (meskipun hanya) seberat satu dinar, lalu
orang yang dalam hatinya masih ada keimanan (meskipun hanya) seberat setengah
dinar, lalu orang yang dalam hatinya masih ada keimanan (meskipun hanya)
seberat satu biji sawi’.” (H.R. Ibn Majah).

14
A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), ..., H. 54-55

17
BAB III
TASAWUF DAN KETENTRAMAN JIWA

Setiap manusia pasti menginginkan dan mengharapkan memiliki jiwa yang


tenang, tentram dan jauh ketegangan-ketegangan serta konflik-konflik batin atau
kejiwaan. Untuk mendapatkannya maka setiap manusia perlu memperhatikan
faktor-faktor yang mendukung terciptanya jiwa yang tenang dan tentram.

Faktor-faktor yang mendukung untuk tercapainya ketenteraman jiwa, dapat


dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan psikologi dan pendekatan agama.
Dari pendekatan psikologi, ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya
ketenteraman jiwa bagi manusia. Menurut Abraham Maslow, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Jamaluddin Ancok bahwa “Apabila manusia tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka ia akan mengalami gangguan jiwa”.
Kebutuhan-kebutuhan hidup yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap
manusia untuk hidup; makan, minum, istirahat adalah contoh-contoh dari
kebutuhan dasar ini. Orang tidak akan memikirkan kebutuhan lainnya sebelum
kebutuhan dasar ini terpenuhi.

2. Kebutuhan akan Rasa Aman


Setelah orang dapat memenuhi kebutuhan dasar selanjutnya berkembang
keinginan untuk memperoleh rasa aman. Orang ingin bebas dari rasa takut dan
kecemasan. Manifestasi dari kebutuhan ini antara lain perlunya tempat tinggal
yang permanen, pekerjaan yang permanen.

3. Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang


Perasaan memiliki dan dimiliki oleh orang lain atau oleh kelompok
masyarakat adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Kebutuhan akan
terpenuhi bila ada saling perhatian, saling kunjung mengunjungi sesama anggota

18
masyarakat. Keintiman di dalam pergaulan hidup sesame anggota masayarakat
adalah sesuatu yang menyuburkan terpenuhinya kebutuhan ini.

4. Kebutuhan akan Harga Diri


Pada tingkat ini orang ingin dihargai sebagai manusia, sebagai warga Negara.

5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri


Kebutuhan pada tingkat ini adalah kebutuhan yang paling tinggi, menurut
Maslow, pada tingkatan ini manusia ingin berbuat sesuatu yang semata-mata
karena dia ingin berbuat sesuatu yang merupakan keinginan dari dalam dirinya.
Dia tidak lagi menuntut penghargaan orang lain atas apa yang diperbuatnya.
Sesuatu yang ingin dia kejar di dalam kehidupan. Tingkat ini antara lain adalah
keindahan, kesempurnaan, keadilan dan kebermaknaan.

Menurut Dr. Kartini Kartono menyebutkan bahwa kebutuhan-


kebutuhan hidup manusia meliputi:
1. Tercapainya kebutuhan-kebutuhan pokok.
Dalam hal ini karena setiap manusia pasti memiliki dorongan-
dorongan akan kebutuhan pokok. Dorongan-dorongan akan kebutuhan
pokok tersebut menuntut pemenuhan, sehingga jiwa menjadi tentram atau
boleh dikatakan bahwa ketegangan-ketegangan jiwa menjadi tentram,
atau boleh dikatakan bahwa ketegangan-ketegangan jiwa akan menurun
jika kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut terpenuhi.

2. Tercapainya kepuasan, sikap orang pasti menginginkan kepuasan,


baik fisik maupun psikis.
Dia ingin merasa kenyang, aman, terlindungi, ingin puas dalam
hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan lain-lain, pendeknya
ingin puas di segala bidang.
3. Posisi dan status sosial, setip lingkungannya, selama posisi dan status
sosial itu sesuai dengan harapan san kemampuan dirinya, maka
individu tersebut tidak mempunyai jiwa yang bimbang.

19
Dari dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang yang merasa sejahtera
dan tentram jiwanya adalah apabila orang tersebut mampu memahami kebutuhan-
kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik seperti sandang, pagan, papan dan
kebutuhan psikis seperti rasa aman, rasa ingin tahu, rasa bebas merdeka, mencapai
kesuksesan, dan memperoleh keadilan, serta kebutuhan sosial seperti kebutuhan
memperoleh kasih sayang, kebutuhan dihargai atau memperoleh penghargaan.15

Sedang dalam pendekatan agama, manusia akan mempunyai jiwa yang


tentram apabila manusia tersebut mempunyai iman yang kuat, teguh dan benar
serta selalu mengingat kepada Allah. Seseorang yang keimanannya telah
menguasainya, apapun yang terjadi tidak akan mengganggu dan
mempengaruhinya. Dan dia merasa yakin bahwa keimanannya itu akan
membawanya kepada ketenteraman dan kelegaan hatinya. Hal ini diperkuat
dengan statemen yang difirmankan oleh Allah bahwa:
“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kebahagiaan hiduplah bagi
mereka dan tempat kembali yang baik.” (Qs. al-Ra’du: 29).

Dikisahkan dalam Kitab Induk Tasawuf karya Imam al-Qusyairy an-


Naisabury, bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham.
Ketika orang tersebut mau berpisah, ia berkata pada Ibrahim, "Bila engkau
melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah daku." Ibrahim menjawab, "Aku tak
pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, wahai
sahabat. Sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan."
Betapa indahnya konsep seperti ini. Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa
mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Kemurahan cinta Tuhan inilah yang
diadopsi kaum sufi dalam melihat orang lain. Kita hendaknya sadar bahwa hatilah
pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini. Berikut ini akan diuraikan
beberapa factor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya penyakit ruhani

15
http://hakamabbas.blogspot.co.id/2015/03/menggapai-ketentraman-jiwa.html, di akses
Jum’at 04 Desember 2015, 20:32 WIB.

20
beserta terapinya: seperti resah gelisah yang berkepanjangan, iri, dengki, dendam,
riya, sombong, bakhil, sombong dan sebagainya.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal


dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, tidak
akan tahu indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka
hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu
pun sebagian kecil belaka. Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, hanya
diukur oleh aksesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang semata-mata
karena orang tersebut tinggi pangkat, jabatan, dan kedudukannya, ataupun banyak
hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena
ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Adapun
dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, ia tidak akan
mempedulikan dari mana datangnya dan kemana perginya karena yang penting
baginya adalah ada dan tiadanya.

A. Faktor-Faktor Yang Membuat Seseorang Stress/Depresi

1. Menjadikan Dunia sebagai Tujuan


Rasulullah Saw juga bersabda : "Siapapun yang telah menjadikan dunia
sebagai tujuannya, maka dia tidak lagi memiliki hubungan dengan Allah Swt. Dan
Allah menjadikan baginya empat keadaan : kegelisahan yang tak pernah putus,
kefakiran tanpa kecukupan, angan-angan tanpa batas, kerja keras tanpa akhir."
Untuk dapat mencapai sikap tenang, diperlukan adanya iman yang kokoh dan
teguh. Firman Allah:
"Ya tuhan-ku masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah
aku dari tempat keluar yang benar pula, serta jadikanlah untukku kekuatan yang
menolong".(QS. Al-Israk: 17:80)

2. Krisis Keimanan
Seorang dokter spesialis jiwa, Carl jung mengatakan:" selama 30 tahun
belakang-an telah datang sejumlah ahli psikologi dari berbagai penjuru dunia

21
untuk berkonsultai kepadaku seputar masalah kejiwaan, karena aku telah berhasil
menyembuhkan ratusan orang pasien yang sebagian besar mereka berusia separuh
baya diatas 35 thun, Semua pasien yang kusembuhkan yang memiliki problem
kejiwaan disebabkan oleh krisis keimanan sebagai pedoman hidupnya".

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang menderita


kejiwaan adalah karena mereka meninggalkan keimanan kepada agama yang di
percayainya. Firman Allah:
"Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka dia akan mendapatkan
penghidupan yang sempit " (20:124)

"Kami akan menanamkan rasa takut kedalam hati orang-orang kafir, karena
mereka telah mempersekutukan Allah" (3:151)

3. Kecemasan dan Ketegangan Syaraf


Dale Carnegie mengatakan:"Data statistik telah membuktikan bahwa
penyebab utama kematian yang terjadi di Amerika adalah faktor kecemasan dan
ketegangan syaraf". Dr. Alexis Carlyle menambahkan bahwa "Para karyawan
yang tidak mengetahui bagaimana mengatasi kegelisahan, mereka akan
meninggal secara dini". Data statistik yang dikeluarkan oleh WHO, ketua
konferensi penanggulangan penyakit jiwa yang diadakan di Chicago pada 1981
mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat 200 juta jiwa orang yang ada di dunia
menderita penyakit depresi, sebagian besar dari mereka berasal dari negara-negara
maju.

4. Tidak Menerima Peristiwa Buruk/Ujian Dalam Hidup


Banyak manusia hidupnya hancur dalam kekalutan yang tak terperikan,
sebab mereka tidak mau menerima peristiwa terburuk dalam hidup mereka.
Mereka tidak mau berusaha untuk memperbaikinya. Mereka tidak mau
menyelmatkan apa yang masih dapat diselamatkan dari kehancuran itu. Mereka
tidak berusaha untuk membangun kembali nasib baiknya, tapi malah mengadakan
"pertandingan sengit dengan pengalaman". Dan akhirnya mereka menjadi korban

22
perasaaan yang mendalam yang berakibat kemurungan dan keresahan yang
berkepanjangan.

Bersedialah menerima apa adanya, sebab menerima apa yang telah terjadi
adalah langkah pertama untuk mengatasi segala akibat kemalangan yang
menimpa. Bila kita ikhlash menerima hal buruk yang terjadi, kita tidak akan
kehilangan apa-apa lagi. Dan secara otomatis ini berarti: segalanya dapat kita
peroleh".

5. Selalu Mengikuti Penilaian Orang


Salah satu faktor yang membuat jiwa seseorang tidak tenang adalah karena
selalu mengikuti penilaian dan anggapan orang terhadap dirinya. Terombang
ambing oleh sikap dan gaya hidup orang kebanyakan. Betapa melelahkannya
hidup ini bila segala hal yang ada di dunia ini kita ikuti. Karena harus selalu
mengikuti image orang, kehidupannya menjadi besar pasak dari tiang dan selalu
memaksakan diri.

Dalam sebuah hadits Rasulullah dengan tegas mengatakan: "Janganlah


engkau jadikan dirimu ketakutan setelah merasakan keamanan!" (Para sahabat)
bertanya: Bagaimana bisa terjadi seperti itu! Sabdanya: Karena utang." Begitulah
kenyataanya. Orang yang berutang akan senantiasa dihantui ketakutan, karena ia
dikejar-kejar untuk segera melunasinya. Inilah salah satu faktor yang membuat
banyak orang mengalami tekanan jiwa.

Rasulullah juga mengatakan: "Hendaklah kamu jauhi utang, karena utang itu
menjadi beban pikiran di malam hari dan rasa rendah diri di siang hari."

6. Dikuasai Pikiran Negatif


Faktor lainnya yang membuat orang stress adalah karena ia selalu diliputi
pikiran-pikiran negatif. Selalu mencela dan menyesali kekurangan diri. Padahal,
setiap kita diberikan oleh Allah berbagai kelebihan. Ubahlah pikiran negatif itu
menjadi positif. Ubahlah ungkapan keluh kesah yang membuat muka cemberut,
badan lemas dan frustasi dengan ungkapan senang. Ungkapan senang akan

23
membuat ekspresi senyum dan jiwa menjadi semangat kembali. Bukankah di
balik kesulitan dan kegagalan ada hikmah yang bisa jadi pelajaran? Dan bukankah
dibalik kesulitan ada kemudahan?

B. Obat Penyakit Stress/Depresi


Sejauh ini praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf merupakan latihan
rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spiritual kearah yang lebih
baik dan lebih sempurna. Dengan demikian amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan hati agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta
untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan
baik.

Tawaran tasawuf dalam upaya membina kesehatan mental telah dikenal


semenjak Islam dibawa oleh Nabi Muhammad dengan praktek perilaku hidup
sederhananya dan pembersihan jiwa yang dilakukan oleh Nabi, yakni dengan
menjauhi sifat-sifat tercela yang akan mengotori kebersihan hati dan menjadikan
mental tidak sehat. Sifat-sifat yang dimaksud adalah : takabbur, ujub, riya',
berbohong, iri, dengki, bakhil dan sebagainya.

Hati buat orang-orang yang beriman adalah ladang yang harus dirawat dan
disiram dengan zikir. Dari zikirlah, ladang hati menjadi hijau segar dan tumbuh
subur. Akan banyak buah yang bisa dihasilkan. Sebaliknya, jika hati jauh dari
zikir; ia akan tumbuh liar. Jangankan buah, ladang hati seperti itu akan menjadi
sarang ular, kelabang dan sebagainya.

Hamba-hamba Allah yang beriman akan senantiasa menjaga kesegaran


hatinya dengan lantunan zikrullah. Seperti itulah firman Allah swt. dalam surah
Ar-Ra'd ayat 28. "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah
hati menjadi tenteram." Rasulullah saw. pernah memberi nasihat, "Perumpamaan

24
orang yang berzikir kepada Rabbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan
orang mati." (Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika seseorang datang kepada Ibnu Mas'ud, salah seorang sahabat
utama Rasulullah. Ia mengeluh, "Wahai Ibnu Mas'ud, nasihatilah aku dan berilah
obat bagi jiwaku yang gelisah ini. Hari-hariku penuh dengan perasaan tak
tenteram, jiwaku gelisah, dan pikiranku kusut. Makan tak enak, tidur pun tak
nyenyak," kata orang tersebut. Ibnu Mas'ud menjawab, "Kalau penyakit itu yang
menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat. Pertama, tempat
orang membaca al-Quran. Engkau baca al-Quran atau engkau dengar baik-baik
orang yang membacanya. Kedua, engkau pergi ke majelis pengajian yang
mengingatkan hatimu kepada Allah. Ketiga, engkau cari waktu dan tempat yang
sunyi, di sana engkau berkhalwat mengabdi kepada Allah. Nasihat sahabat Nabi
itu segera dilaksanakan orang tersebut. Sesampainya di rumah, segera ia
berwudhu kemudian diambilnya Al-quran dan dibacanya dengan khusyuk. Selesai
membaca, ia segera dapati hatinya memperoleh ketenteraman, dan jiwanya pun
tenang. Pikirannya segar kembali, hidupnya terasa bergairah kembali. Padahal, ia
baru melaksanakan satu dari tiga nasihat yang disampaikan sahabat Rasulullah
saw tersebut.16

Di dalam beberapa ayat al-qur'an dikatakan bahwa didalam hati manusia itu
ada penyakit. Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah: iri, dengki, takabbur,
resah, gelisah, khawatir, stres, dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Dengan
tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan
(psikologis) sebagai mana yang disebutkan diatas. Tasawuf berusaha untuk
melakukan kontak bathin dengan tuhan serta berusaha untuk berada dihadirat
tuhan dengan harapan dapat memberikan ketentraman bathin dan kemerdekaan
jiwa dari segala pengaruh penyakit mental. Kesehatan mental menurut persfektif
tasawuf adalah menumbuh kembangkan sifat-sifat terpuji dan sekaligus
menghilangkan sifat-sifat tercela pada diri pribadi seseorang. Sifat-sifat terpuji

16
http://www.annaba-center.com/berita/tasawuf-dan-ketentraman-jiwa, di akses Rabu, 18
November 2015, 00:44 WIB.

25
adalah sifat-sifat illahiyah, sedangkan sifat-sifat tercela adalah sifat-sifat
syaitaniyah. Masih banyak metode-metode lain yang dikembangkan tasawuf
dalam upaya mewujudkan integritas pribadi dan peningkatan derajat manusia.
Teknik-teknik sebagaimana disebutkan diatas perlu dikaji secara serius agar dapat
memberikan sumbangan pada berbagai bidang psikologi.

Syarat utama untuk bertasawuf atau mendapatkan kecerdasan ruhaniah


adalah iman. Hal inilah yang membedakan kecerdasan ruhaniah dengan
kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Danah Zohar walaupun kedua
kcerdasan ini akan mampu mendapatkan kebijaksanaan yang sama tetapi akan
berbeda nilai dan kualitasnya. Iman merupakan sebuah pengakuan dan
pemenuhan akan perjanjian batin insani ketika manusia baru berada di alam
rahim. Iman akan membuka pintu rahman dan rahim Allah untuk menunjuki dan
membimbing manusia. Jadi jelas kecerdasan ruhaniah berada dalam rahman dan
rahim Allah sedangkan kecerdasan spiritual konsep Danah Zohar hanya berada
dalam lingkaran rahman Allah yang hanya akan mengasih siapa yang berusaha
tetapi belum tentu disayang.
Iman akan melahirkan rasa takwa dan takwa ini merupakan kualitas bathin
yang memiliki rasa tanggung jawab menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.
Hal ini sesuai dengan pengertian takwa sebagai indikator cerdas secara ruhaniah
yang dijelaskan oileh Toto Tasmara sebagai tanggung jawab (Responsibility) yaitu
sikap atau tindakan seseorang dalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan
penuh rasa cinta ingin menunaikan dalam bentuk pilihan amal shaleh. Penunaian
amanah ini dengan sebaik-baiknya inilah yang akan melahirkan rasa tenteram dan
damai (Nafsul Mutmainah). Jadi kunci ketenteraman itu adalah iman karena ketika
manusia bersaksi dulu di alam ruh, manusia sudah berjanji untuk
mempertuhankan Allah. Kesedian manusia untuk bersaksi hanya
mempertuhankan Allah akan melahirkan sebuah konsekwensi untuk taat, serta
patuh.

26
Amanah terlahir dari prinsip iman dan orang berimanlah yang mampu
mempersepsi hidup dengan segala tanggung jawabnya sebagai amanah yang harus
ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan kecintaan.17
Telah terjadi permusyahadahan (Perjanjian) manusia dengan Allah
sebagaimana Firman Allah :

‫ﺷ ِﮭﺪْﻧَﺎ أَنْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا‬


َ ‫ظﮭُﻮرِ ِھ ْﻢ ذ ِ ُّرﯾﱠﺘَ ُﮭ ْﻢ وَ أَ ْﺷ َﮭﺪَ ُھ ْﻢ َﻋﻠَﻰ أَ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﮭ ْﻢ أَﻟَﺴْﺖُ ﺑِﺮَ ﺑِّ ُﻜ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ﺑَﻠَﻰ‬
ُ ْ‫وَ إِذْ أَ َﺧﺬَ رَ ﺑﱡﻚَ ﻣِ ﻦْ ﺑَﻨِﻲ ءَادَ َم ﻣِ ﻦ‬
(172) َ‫ﯾَﻮْ َم ا ْﻟ ِﻘﯿَﺎ َﻣ ِﺔ إِﻧﱠﺎ ُﻛﻨﱠﺎ ﻋَﻦْ َھﺬَا ﻏَﺎﻓِﻠِﯿﻦ‬
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-
A’raf:172)

Rahasia Ketentraman Jiwa


Seseorang datang kepada Hasan al-Bashri (seorang tabi’in, rahimahullah)
orang tsb bertanya kepada beliau: “Apa rahasianya hingga anda sangat zuhud di
dunia ini?” beliaupun menjawab, Karena 4 hal:
1. Aku tahu bahwa rezeki-ku tidak akan diambil orang lain, maka hatiku
tentram.
2. Aku tahu bahwa amalku tidak akan dikerjakan oleh orang lain, maka aku
selalu sibuk mengerjakannya sendiri.
3. Aku tahu bahwasanya Allah selalu melìhatku, maka aku malu jika Dia
melihatku dalam kemaksiatan, dan
4. Aku tahu bahwa kematian menantiku, maka aku persiapkan bekal untuk
bertemu dengan Rabb (Tuhan)ku.18

17
http://ahmad-rivauzi.blogspot.co.id/2012/12/spiritualitas-islam-dalam-tasawuf-dan.html, di
akses Jum’at 04 Desember 2015, 20:41 WIB.
18
http://ustadzmubarak.com/rahasia-ketentraman-jiwa/, di akses Senin 07 Desember 2015,
11:25 WIB.

27
BAB IV
KETENTRAMAN JIWA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI

A. Ketentraman Jiwa Dalam Perspektif Al-Ghazali


Ketenteraman jiwa merupakan rahmat Allah yang sangat signifikan bagi
seseorang dalam menempuh hidup. Sebuah rumah tangga atau masyarakat pasti
mendambakan dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya, baik melalui
individu atau kelompok. Karena, jiwa itu sendiri pada dasarnya belum matang dan
belum sempurna wujudnya dalam dimensi sesungguhnya. Makaperlu ditempuh
jalan yang telah digariskan untuk mencapai sasaran yang di inginkan oleh
seseorang. Agama menjadi jiwa yang tenang, sebab jiwa itu sendiri mempunyai
penyakit-penyakit, seperti kikir yang dapat diobati dengan sifat dermawan,
angkuh diobati dengan merendahkan diri dan sebagainya.

Menurut al-Ghazali untuk memecahkan problema kehidupan bukan


hanya dengan dalil-dalil atau kata-kata, tetapi dengan keyakinan
(tasawuf) yang menempatkan Allah dalam dada (hati), yaitu iman yang
merupakan kunci penyingkapan suatu bagi orang-orang pilihan.
Seseorang yang ingin jiwanya tenteram, tentu perlu mengadakan latihan-
latihan jiwa (riyadhah) berusaha membersihkan hatinya dari sifat-sifat
tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat keji (tahalli) melepaskan
sangkut paut dengan dunia dan seisinya.

Pentingnya jiwa yang tenang dan kesuciannya pada seorang manusia, sebagai
bekal dalam menempuh kehidupan yang sarat dengan problema dan dilema tidak
pernah putus, selalu menghadang sepanjang kehidupan. Apalagi menghadapi
kebutuhandunia serba modern dan kondisi serba sulit, maka pada saat itu sangat
diperlukan sandaran yang kuat, pegangan yang kokoh dan tempat kembali untuk
menyerah diri sepenuhnya dengan iman yang mantap terhadap ajarannya dan
senantiasa mengharap ridha Allah, sehingga jiwa (hati) selalu aman dan tenteram

28
dalam menjalani hidup penuh tantangan, cobaan dan ujian bagi diri seseorang
manusia.

Untuk mendapatkan ketenangan jiwa diperlukan jalur-jalur atau maqam-


maqam yang dapat mengantar seseorang ke puncak bahagia dan tenteram hati nan
abadi selama hayah dikandung badan, yaitu ada beberapa statiun, antara lain: Al-
Taubah, Al-Taqwa, Al-Tawakkal, Al-Ridha, Al-Mahabbah dan Ma‟rifah.
Sementara dalam kitab Al-Luma‟menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh, yaitu :
Al-Taubah, Al-Wara’, Al-Syukru, Al-Zuhud, Al-Faqr’, Al-Tawakkal dan Al-Ridha.

Dari kutipan tersebut di atas, menunjukkan adanya variasi sebutan maqam


yang berbeda-beda, namun demikian ada maqam yang mereka sepakati, yaitu : Al-
Taubah, Al-Wara’, Al-Syukru, Al-Zuhud, Al-Faqr’, Al-Tawakkal dan Al-Ridha.

Adapun al-Tawadhu’, Al-Mahabbah dan Ma‟rifah, tidak ditempatkan


sebagai maqam. Tiga istilah terakhir kadang-kadang disebut para ahli sebagai
maqamat dan juga disebut sebagai haldan ittihad(tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Allah). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat akan dijelaskan
adalah maqam yang lebih banyak digunakan oleh para sufi untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat yang kekal abadi.

B. Maqamat
Dalam Dunia Sufi Maqam yang masyhur atau yang disepakati oleh para ahli
yaitu:

1. At-Taubah
At-Taubah berasal dari bahasa Arab, yaitu tâbâ, yatûbu, taubatan,yang
artinya kembali. Secara etimoogi : taubat menurut imam al-Ghazali dapat
diartikan dengan “kembali” yakni kembali dari kemaksiatan kepada keta‟atan,
kembali dari jalan yang jauh dari Allah ke jalan yang dekat kepada-Nya. Menurut
para ulama tentang taubat ialah pembersihan hati dari segala dosa dan

29
meninggalakan keinginan untuk kembali membuat kejahaatan dengan tujuan
membesarkan Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya.
Namun para sufi, yang menyebabkan manausia jauh dari Allah, karena dosa.
Sebab dosa suatu yang kotor, sedang Allah zat yang Maha Suci dan tentu pula
menyukai yang suci pula. Maka apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepada-
Nya, ia harus membersihkan dirinya dar segala macam dosa, dengan jalan
bertaubat. Taubat merupakan tahapan pertama yang harus dikerjakan seseorang.
Inilah yang disebut sebagai perubahan (konversi) dan merupakan pertanda dari
kehidupan baru. Taubat yang dimaksud dikalangan sufi ialah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguhdan tidak akan
mengulangi perbuatan tercela. Artinya seseorang selalu melakukan secara terus
menerus amal kebaikan. Harun Nasution menyatakan taubat yang dimaksud kaum
sufi ialah taubat yang sebenarnya, yaitu taubat tidak membawa kepada dosa lagi.
Dalam hal ini, untuk mencapai taubat diterima Allah terkadang harus dilakukan
berkali-kali, dikatakan bahwa seorang sufi melakukan taubat sampai tujuh
kali,baru ia merasakan manisnya taubat. Merasa puas hati atau jiwanya dan
merasakan ketenanganjiwa serta aman dan tenteram jiwa dalam hidup
sertakehidupan sehari-hari.

Orang-orang tersebut adalah orang yang telah menemukan jati dirinya dan
sekaligus dicintai Allah yang senantiasa mengadakan kontemplasi dengan Allah.
Dasar taubat yang dilakukan adalah firman Allah SWT :
"Wahai orang-orang yang beriman taubatlah kamu kepada Allah dengan
sebenar-benar taubat, agar Tuhanmu akan mengampunisegala dosa...” (Q.S. At-
Tahrim:6).

Ayat ini merupakan seruan Ilahi yang diserukan kepada orang-orang


mukmin. Perintah untuk bertaubat kepada Allah dengan bersungguh-sungguh,
murni dan benar. Dasar hukum menunjuk-kan kepada wajib, selagi belum ada
suatu larangannya.

30
Dalam surat lain surat An-Nur, Ahmad Mustafa al-Maraghy menafsir kalimat
“‫ ” ﺗﻮﺑﻮا اﻟﻰ ﷲ ﺣﻤﯿﻌﺎ‬dengan kembalilah wahai orang-orang beriman kepada martadi
dan mengamalkan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Menurut Mustafa Zahri dalam bukunya “Kunci Memahami Umur Tasawuf”
menjelaskan, taubat berbarengan dengan ucapan istighfar (mohon ampun).
Selanjutnya mengatakan bahwa, bagi orang taubat itu cukup dengan membaca
astaghfirullah wa atûbu ilaihi (aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-
Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas cara
bertaubatnya dengan menyatakan riadhah badaniyah (mengadakan latihan dan
musyahadah). Bersungguh-sungguh berjuang membuka hijab yang membatasi diri
dengan Tuhan. Karena dalam jiwa manusia terdapat dua potensi dasar sekaligus,
yaitu sifat keburukan dan sifat kebaikan yang mencerminkan sikap baik, keta’atan
dan penuh kesucian. Sementara sifat keburukan menampilkan kejahatan,
kejelekan, kotor dan menimbulkan dosa. Di lain segi manusia memilikikefitrahan,
yaitu senantiasa menginginkan kesucian dan loyalitaas kepada kebenaran, agar
selalu dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Akan tetapi realitasnya,
kebanyakan manusia tergoda, ternoda dengan kejahatan yang mengakibatkan
dosa. Taubatnya menghalangi hubungan tersebut:

“Dan jiwa serta penyempurnannya (ciptaannya). Maka, Allah mengilhamkan


kepada jiwa itu (jalan), kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”(Q.S. Asy-Syams : 7-10)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa Allah telah memberikan


potensi kepada setiap individu untuk berbuat apa yang dinginkan oleh manusia itu
sendiri, tentu Allah mengendalikankebaikan selamanya. Tetapi jika ia berbuat
jahat maka, merugilah ia dan apabila seseorang mampu mengendalikan jiwa dan
menjaga kesuciannya, pasti orang tersebut termasuk orang yang beruntung, baik
di dunia maupun akhirat. Karena karena jiwa bersih dan suci akan memperoleh
ketenangan hati (serta mendapat kebahagiaan, kenyamanan, kesehatan tubuh dan
ketenteram-an jiwa dengan hidup penuh kezuhudan di dunia ini.

31
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti tidak ingin kepada suatu yang keduniaan, seperti
makanan dan minuman, pakaian, rumah, harta dan kedudukan segala hal pasti
ditinggalkan ketika ia menemui kematian. Menurut Harun Nasution, zuhud adalah
meninggalkan segala kesenangan dunia dan hidup kemewahan.

Al-Qusyairi mengatakan bahwa zuhud ialah yang meninggalkan segala yang


haram karena yang halal mudah di dapat dalam pandangannya. Sebab, Allah
memberikan nikmat berupa harta yang halal. Kemudian, ia mensyukuri dan tentu
ia meninggalkan kemewahan dunia dengan cara hidup sederhana. Sedangkan al-
Ghazali mengatakan zuhud adalah mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan
dunia dan mengutamakan kebahagiaan hidup akhirat yang kekal dan abadi, serta
meninggalkan kehidupan dunia fana dan sementara.

Selanjutnya Ibnu Qutadah menjelaskan, zuhud adalah mencari sekedar


kebutuhan, untuk memelihara kehormatan dirinya dan mengembangkan agama
serta membantu masyarakat Islam. Sementara ulama lainmengungkapkan zuhud
ialah seorang tidak pernah mencela dunia dan tidak pernah pula memujinya, bila
dunia datang ia tidak bergembira ria dan ketika dunia pergi darinya ia tidak perlu
kecewa dan berduka cita.

Dari keterangan di atas, jelas Allah merendahkan kedudukan dunia yang fana
ini untuk makhluknya dan manusia secara khusus dengan berbagai nama yang
belum pernah dinamakan oleh siapapun. Firman Allah:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak”. (Q.S. Al-Hadiid: 20)

Ayat tersebut di atas, mengancam orang-orang mengejar kekayaaan,


kemegahan dan berlomba-lomba menumpuk harta, semestinya seseorang sadar,
insaf terhadap teguran, peringatan Allah Swt. Karena dunia ini ibarat sekedar
permainan dipenuhi sandiwara dan tipu daya sebagai markas hawa nafsu dengan

32
segala kemungkinannya. Apabila seorang hamba sudah mau meninggalkan apa
yang diinginkan oleh hawa nafsu, maka ia pasti akan mendapatkan kenikmatan
dunia.

Sikap zuhud adalah suatu situasi yang harus ditempuh oleh seorang biasa
atau seorang calon sufi. Sifat ini dalam sejarah untuk pertama kali muncul setelah
wafat Rasulullah Saw. Ketika, terjadi kesenjangan sosial antara kaum yang hidup
sederhana dengan kelompok bangsawan atau raja yang hidup penuh kemewahan.
Seperti Mu‟awiyah, disebut raja Romawi dari Persia yang hidup dalam
kemewahan. Begitu juga khalifah-khalifah Bani Abbas yang hidup dalam
kemewahan. Disamping itu sebelumnya telah terjadi hidup dalam kemewahan di
zaman Saidina Ali Ra, dalam hal perlombaan dan persaingan tidak sehat di masa
itu. Merujuk pada situasi tersebut, ada sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang mau
mentobatkan diri dan mereka mengasingkan dirinya dari kemewahan serta
persaingan tersebut sehingga timbullah sikap zuhud.

Sehubungan dengan keterangan di atas Syekh Ali Said Al-Khazraj berkata:


“Seorang hamba tidak akan menjadi zahid yang sempurna, sehingga ia
memandang batu dan emas sama tidak bernilai pada dirinya. Batu dan emas pula
tidak dapat dipandangnya sama, sehingga ia mendapat suatu tanda dari Allah,
kemudian tanda itu bisa menukar keadaan batu menjadi emas. Apabila ia telah
mencapai tingkat ini, barulah benda di dunia ini akan tersingkir dari lubuk hati
nya.”

Ada yang mengatakan ciri-ciri orang zuhud dengan mengosongkan hatinya


dari segala usaha dan kerja dunia, serta hatinya dengan berzikir, taat dan
mengamalkan perintah Allah Swt. Maka Allah Swt akan mencakupi segala
kebutuhan hidup dengan tidak susah payah.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, kiranya jelas bagi kita dalam


perjalanan menempuh ajaran zuhud dengan memfokuskan segala waktu hablum
minallah SWT, baik siang hari maupun malam dan selalu bersikap wara’.

33
3. Al-Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya shaleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian
kaum sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar
bahwa, setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram, dapat
memberi pengaruh negatif bagi yang keras hati, sulit mendapat hidayah dan ilham
dari Allah Swt. Karena dosa-dosa yang dilakukan oleh seorang hamba sangat
berdampak pada pelaku. Seperti hadits Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya seorang hamba mengerjakan suatu kesalahan pasti dalam
hatinya bernoda bintik hitam. Makaapabila ia berlepaskan diri dan memohon
ampun, tentu hatinya menjadi bersinar terang. Jika dia mengulangi kembali
melakukan dosa, tentu bintik-bintik hitam hatinya akan bertambah, sehingga
hitamnya bertambah tinggi (tertutup dengan kegelapan). Itulah tutupan
segaimana disebutkan Allah : sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang
mereka (dari kejahatan), itu menutupi hatinya. (HR. At-Turmuzi, Nasa‟i, Ibnu
Majah dari Ibnu Hurairah r.a).”

Jadi wara’ salah satu sifat yang harus dimiliki seseorang muslim, agar
terpelihara dari dosa dan kesalahan dalam menjalani kehidupan yang penuh
cobaan, rintangan dan godaaan material, maka sangat dituntut kesabaran.

4. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti sabar hati, mencegah jiwa dari perasaan was-
was ketika terjadi suatu yang tidak dinginkan, melindungi batin dari pergolakan,
mencegah lidah seseorang dari luluhan, serta menjaga anggota tubuh agar tidak
melakukan perbuatan yang merugikan. Menurut Zunnun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi senang
ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup meskipun sebenarnya
berada dalam kekurangan atau kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu

34
Atha’ mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapat cobaan tanpa
menampakkan rasa kesal.

Dari keterangan di atas, dapat dikatakan sabar yang dimaksudkan dalam


ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dengan jalan
meninggalakn ucapan bisa membawa adanya keluh kesah dalam menempuh
hidup. Dan orang yang sabar mampu menahan diri dari ha-hal yang tidak
disenangi atau di bencinya. Sebab melakukan kesabaran dengan tujuan untuk
mengharap pahala dari Allah dan sanggup menahan dirinya dalam kesusahan dan
derita.

Dengan pangkal kesabaran ia berusaha untuk banyak berbuat kebaikan dan


bersikap lapang dada (toleransi) dengan penuh keyakinan bahwa Allah Maha
Melihat kepada orang yang sifat sabar dalam segala aspek kehidupan, sehingga
hati aman tenteram,. Manakala ia pasrah diri kepada Yang Maha Segala-galanya.
Sehubungan masalah tersebut Syaikh Ahmad Abdul Kasim mengatakan:
“Janganlah kamu merasa heran seandainya terjadi kesulitan-kesulitan selama
kamu hidup di dunia ini. Maka sesungguhnya dunia itu tidak diciptakan
melainkan telah menjadi hak atas sifatnya (yang penuh dengan cobaan) serta telah
menjadi kepastian sifatnya.”

Pada dasarnya dalam kehidupan seseorang dindunia ini tidaklah asing lagi
adanya ujian dan cobaan dalam perjalanan hidup manusia, karena itu seseorang
tidak boleh kaget dan heran ketika menemui kesulitan, kegagalan dan dilema.
Sebab semua itu sudah menjadi irama dan variasi dalam kehidupan. Memang
dunia ini diciptakan sebagai tempat cobaan bagi anak manusia, maka kita dituntut
kesabaran. Firman Allah :
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.”(Q.S. Az-Zumar: 10)

Berpegang pada kalam Ilahi di atas, seseorang gembira dengan pahala yang
tidak terhingga karena kesabarannya menghadapi ujian di dunia. Sehubungan

35
dengan itu Abu Turabi berkata: “Hai anak manusia kalian mencintai 3 perkara,
sedangkan 3 perkara itu bukanlah milik kalian, yaitu :
1. Kalian mencintai jiwa, sedangkan jiwa itu milik hawa nafsunya.
2. Kalian mencintai ruh, sedangkan ruh itu milik Allah.
3. Kalian mencintai harta, sedangkan harta itu milik ahli waris.

Ketahuilah bahwa kalian mencari dan membutuhkan dua perkara dimana dua
hal tersebut tidak dapat kamu temukan di dunia ini, melainkan kamu temukan di
akhirat, yaitu kesenangan dan kebahagiaan yangbersifat abadi.” Maka, biarlah
fakir di dunia, namun bahagia di akhirat nanti.

5. Kefakiran
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagi orang yang berhajat,
membutuhkan dan tidak punya harta. Kemudian fakir harus dipahami sebagai
seseorang yang tidak memiliki keinginan terhadap kekayaan dan hal-hal yang
bersifat keduniaan, serta jika sekiranyaia menginginkan hal tersebut, tentu ia tidak
mengumpulkan dan menyimpannya sebagaimana kebiasaan orang lain yang
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Seorang sufi rela hidup serba
kekurangan, seadanya dan tidak menuntut berlebihan atau tidak mencari
kelebihan, tetapi mereka puas apa adanya dan hidup mereka selalu tawakkal
kepada Allah dan jiwa mereka tetap aman dan tenteram.

6. Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan diri kepada Allah, setelah berusaha sekuat
tenaga dan pikiran dalam mencapi suatu tujuan. Secara bahasa “menyerah diri”
dan mempercayakan semua urusannya kepada Allah Yang Maha Agung. Dalam
konteks ini seorang hamba berkeyakinan, bahwa Allah memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dan kekuasaan-Nya yang lebih besar untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan kehendaknya

36
Selanjutnya Syeikh Haris bin Assad al-Muhasabi, berkata:
“Tawakkal adalah menggantungkan diri dan selalu memohon
pertolongan kepada Allah dengan berusaha untuk menjauhkan diri dari
rakus, kecuali segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, merasa
cukup dengan apa yang ada, hati dihadapkan kepada Allah Swt dan
selalu dalam beribadah.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa tawakkal pada


hakikatnya adalah mempercayakan dirinya kepada Allah Swt, bergantung dan
melapangkan dada kepada-Nya. Serta merasa aman segala sesuatu yang dijamin
oleh Allah Swt, dan hilang kegelisahan yang berkaitan dengan urusan dunia
maupun akhirat. Untuk itu agama Islam mengajarkan kepada kitasupaya benar-
benar memiliki rasa tawakkal sepenuhnya kepada Allah Swt dalam segala urusan
orang mukmin. Firman Allah :
“Hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.”(Q.S. Ali
Imran: 122)

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.S. Ali


Imran: 159)

Abu Daqqaq mengatakan, tawakkal itu terbagi 3 :


1. Hati merasa tenteram terhadap apa yang dijanjikan Allah. Maka tawakkal
seperti ini disebut maqam bidayah (mukmin awam).

2. Maqam Taslim, yaitu merasa cukup menyerahkan urusannya kepada


Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya, sikap ini
merupakan maqam tawassit (sifat orang khawas).

3. Tafwit, yaitu orang yang telah ridha menerima ketentuan atau takdir Allah
(sifat ini orang telah sampai ke maqam nihayah).

Pada hakikatnya berkenaan dengan tawakkal, maka sikap tawakkal tidak


mengharuskan untuk meninggalkan usaha dan ikhtiar. Sebab tawakkal itu terletak

37
dalam hati, perbuatan anggota tubuh tidaklah bertentangan dengan tawakkal hati.
Jika hati telah tertanam suatu keyakinan yang kokoh dan kuat. bahwa takdir di
tangan Allah, maka manakala mengalami kesulitan niscaya ia yakin itu adalah
takdir Allah, dan apabila terjadi hal menggembirakan seseorang akan sadar bahwa
itu karunia Allah, maka bersyukurlah kita.

7. Syukur
Berarti berterima kasih kepada Allah Swt atas pemberian-Nya kepada
seorang hamba yang mukmin. Menurut Syaikh Haris Assad al-Muhasabi,
mengatakan: “Syukur ialah kelebihan atau kebanyakan pemberian Allah kepada
seseorang. Maka, ia mengucapkan terima kasih kepada-Nya, kemudian Allah akan
menambahnya dan ia pula menambah syukurnya. Menurut Ibnu Qutadah al-
Muqaddasi, mengatakan: “Syukur itu dapat diwujudkan lewat lisan, perbuatan dan
dengan hati.” Syukur dengan lisan akan melahirkan rasa terima kasih, melalui
ucapan-ucapan pujian. Bersyukur dengan perbuatan yaitu mempergunakan segala
nikmat Allah hanya untuk mentaati-Nya dan bukan untuk kegiatan maksiat.
sedangakan bersyukur dengan hati adalah berkeinginanuntuk senantiasa berbuat
baik.

Dalam sebuah defenisi dikatakan sukur ialah merasa tidak sadar rasa terima
kasihnya kepada si pemberi (Allah Swt) terhadap seseorang hamba yang
membutuhkannya. Karena Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mereka
mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. hal ini sangant relevan

firman-Nya:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.”(Q.S. Ibrahim : 7)

Mensyukuri atau mengucapkan terima kasih kepada Allah, merupakan


keharusan bagi setiap bagi muslim atas segala karunia yang telah di berikan.
Sebagaimana, seorang sufi berkata ada 4 macam yang menyibukkan dirinya :

38
1. Seribu macam makhluk ciptaan Allah yang paling mulia adalah anak
Adam, sedangkan aku termasuk di dalamnya.
2. Pria (derajatnya) melebihi wanita, sedangkan aku berada di dalamnya
3. Islam adalah agama sangat tinggi yang diterima Allah, sedangkan aku
berada di dalamnya (seorang muslim).
4. Umat Muhammad adalah umat terbaik, sedangkan aku berada di dalamnya
(menikmati sebagai umat Muhammad), tentu aku sangat bersyukur
kepada-Nya.

Kemudian al-Ghazali membagi nikmat itu kepada dua macam :


A. Kenikmatan yang bersifat fitri (asasi) diberikan Allah sejak manusia
dilahirkan, seperti telinga untuk mendengar, mata uuntuk melihat, akal
untuk berpikir, kaki untuk berjalan, dan lain-lain. Firman Allah:
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl : 78)

B. Kenikmatan yang dirasakan pada yang akan datang (tidak langsung


diberikan ketika lahir) tetapi diberikan kemudian. Seperti diciptakan
berbagai macam tanaman, hewan, buah-buahanuntuk manusia.

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana caranya bersyukur


kepada Allah. Tentu dengan cara mewujudkan kebaikan baik dengan lisan,
perbuatan, dan keyakinan dalam hati untuk selalu berbuat kebaikan kepada Allah
(mensyukuri segala nikmat-Nya) dan sesama manusia. Serta pada gilirannya
sesesorang merasa puas aman dantenteram hatinya setelah ia melaksanakannya,
karena telah berbuat ridha kepada Allah.

8. Ridha
Ridha berarti rela dengan meninggalkan usaha tanpa adanya ikhtiar. Menurut
Imam al-Qusyairi, ridha adalah “orang tidak memliki sikap tidak menentang (rela
menerima) apa yang telah ditetapkan Allah. Selanjutnya Abu Bakar Thahir

39
mengatakan ridha ialah “Melepaskan atau mengeluarkan rasa tidak senang dalam
hati sehingga tidak ada perasaan selain rasa senang dan gembira.”

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa, pengertian ridha


itu sebagai perpaduan antara sabar dan tawakkal yang melahirkan sikap mental
yang tenang menerimasegala situasi dan kondisi. Karena setiap yang terjadi pada
diri seseorang sufi disambut dengan hati terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan
bahagia walaupun yang datang itu bencana. Memang ridha merupakan prestasi
yang tinggi yang pernah diperoleh oleh seorang sufi dalam perjalanan hidupnya,
disamping itu ridha maqam yang sulit dicapai oleh seorang hamba,kecuali orang-
orang yang telah dikehendaki dan dipilih oleh Allah Swt. dan sukar dilacak siapa
yang telah mencapai maqam ridha tersebut, namun Zun al-Nun al-Mishry berkata,
“Tanda-tanda orang yang telah mencapai ridha ada tiga:
1. Meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan (takdir).
2. Hilangnya rasa resah gelisah setelah terjadi ketentuan Allah.
3. Cinta yang mendalam dikala menghadapi cobaan pada dirinya dengan hati
yang senang dan gembira. 19

Firman Allah:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke
dalam syurga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr : 27-30)

19
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265996&val=7080&title=KETENTRA
MAN%20JIWA%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-GHAZALI, di akses Rabu 18 November
2015, 22:31

40
BAB V
KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF

A. Seorang Hamba Yang Penuh Ketenangan


Diriwayatkan bahwa suatu ketika Jibril turun ke bumi, ia melihat seorang
laki-laki seolah dinaungi ketenangan. Ia berkata: Ya Rabb!! Betapa baik hamba-
Mu ini.

Allah berfirman: Wahai Jibril!! Lihatlah namanya di Lauhil Mahfuzh, dalam


deretan nama-nama calon penghuni neraka. Tiba-tiba Jibril berkata: Wahai
Tuhan!! Apa ini?

Allah SWT berfirman: Wahai Jibril!! Sesungguuhnya aku tidak akan ditanya
apa yang akan Aku perbuat. Dan tidak ada seorangpun diantara makhluk-Ku yang
akan sampai kepada Ilmu-Ku, kecuali orang-orang yang Aku kehendaki. Jibril
berkata: Wahai Tuhan!! Apakah engkau mengizinkan aku untuk mengabarkan apa
yang aku lihat ini kepada hamba itu?
Allah menjawab: Silahkan.

Kemudian Malaikat Jibil turun dan mengabarkan kepada hamba itu tentang
keadaannya kelak. Hamba itu tersungkur bersujud kepada Allah, sambil berkata:
Bagi-Mu segala puji Wahai Tuhanku!! Atas segala Qadha dan Qadar-Mu. Segala
puji hanya bagi-Mu dengan segala pujian orang-orang yang senantiasa memuji-
Mu, begitu juga dengan berbagai macam syukur orang-orang yang senantiasa
bersyukur kepada-Mu. Ia pun terus memanjatkan pujian kepada Allah sampai
Jibril menyangka bahwa ia tidak mendengar apa yang Jibril sampaikan. Sampai
Jibrl bertanya: Wahai hamba Allah!! Apakah kamu tidak mendengar apa yang
sudah aku katakan kepadamu?
Ia menjawab: Ya. Saya mendengarnya. Anda mengabarkanku bahwa Anda
menemukan namaku di Lauhil Mahfuzh ada di deretan orang-orang yang akan
menjadi penghuni neraka
Jibril bertanya: Lalu pujian dan syukur atas apa yang kamu lakukan ini?

41
Ia menjawab: Maha Suci Allah, wahai Jibril!! Sesungguhnya Allah telah
menetapkan bersama kesempurnaan ilmu-Nya, keluasan rahmat dan
kebijaksanaan-Nya, kelembutan ketuhanan-Nya, dan hakikat hikmah-Nya. Maka
siapakah aku, sehingga aku layak bersikap tidak ridha terhadap ketetapan-Nya?
Sungguh Maha Suci Tuhanku.. iapun tersungkur bersujud kembali sambil
bertasbih dan bertahmid.

Jibril kembali kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman: Kembalilah kamu ke


Lauhil Mahfuzh, dan lihatlah kembali apa yang kamu lihat?

Jibril kembali, dan ternyata Jibril melihat nama hamba itu di deretan nama-
nama penghuni surga. Allah SWT bertanya: Wahai Jibril!! Apa yang kamu lihat?
Sesungguhnya aku tidak ditanya tentang apa yang akan Aku perbuat.

Jibril berkata Wahai Tuhanku!! Izinkanlah aku untuk mengabarkan kembali


kepada hamba itu tentang apa yanng aku lihat sekarang

Allah berfirman: Silahkan Jibril. Kemudian Jibrilpun turun dan mengabarkan


apa yang ia lihat di Lauhil Mahfuzh. Hamba itu menjawab: Bagi-Mu segala puji
Wahai Tuhanku!! Atas segala Qadha dan Qadar-Mu. Segala puji hanya bagi-Mu
dengan segala pujian orang-orang yang senantiasa memuji-Mu, begitu juga
dengan berbagai macam syukur orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada-
Mu. Jibrilpun kembali dengan penuh rasa kagum terhadap kesempurnaan
keridhaannya terhadap apapun yang Allah tetapkan.20

B. Sepenggal Kisah Penangkapan Sa’id bin Jubair oleh al Hajjaj


Abu Syaddad al Abdi menceritakan: Al-Hajjaj mengutus seorang panglima
dari penduduk Syam yang bernama al-Multabis bin al-Akhwas untuk menangkap,
bersama al-Multabis ini ikut pula sekitar dua puluh orang tentara dari Syam.

20
Muhammad Khalid Tsabit, ar-Ridha Rahatu ath-Tha’iin wa Darajatu al-Muqarrabin, Hidup
Mulia Dengan Ridha Allah (Menyingkap Rahasia Ridha, Syukur dan Ikhlas Untuk Mewujudkan
Ketentraman Jiwa: Penerjemah Andi Subarkjah, Lc, (Jakarta: Gema Madinah Mekah), Cet. I,
2008, H. 296-298

42
Tatkala mereka hendak menangkapnya, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang
Rahib dalam pertapaannya, mereka bertanya tentang Sa’id bin Jubair, Rahib balik
bertanya: Jelaskanlah kepadaku tentang ciri-cirinya. Merekapun menyebutkan
ciri-cirinya, kemudian Rahib itu mengarahkan mereka kepadanya. Merekapun
pergi dan mendapati Sa’id tengah bersujud bermunajat kepada Allah. Mereka
mengucapkan salam kepadanya, iapun mengangkat kepala dan menyelesaikan
shalatnya, untuk kemudian membalas salam mereka. Mereka berkata: al Hajjaj
memanggil anda. Ia menjawab: Haruskah aku memenuhinya? Mereka menjawab:
Ya.

Kemudian Sa’id memanjatkan puji dan syukur serta bershalawat kepada Nabi
SA, ia ikur berjalan bersama mereka sampai rombongan itu melintasi tempat
pertapaan si Rahib tersebut. Si Rahib berkata: Wahai kalian para penunggang
kuda! Apakah kalian telah mendapati orang yang kalian cari? Mereka menjawab:
Ya.

Ia kembali berkata: Jika begitu, naiklah kalian sebentar dan masuklah ke


rumah itu karena ada binatang buas yang mengintai kita semua. Merekapun
masuk, namun Sa’id bin Jubair menolak untuk masuk. Pasukan itu berkata: Kamu
hendak melarikan diri? Ia menjawab: Tidak. Tetapi aku tidak akan memasuki
rumah seorang musyrik untuk selamanya.

Merekapun berkata: Jikalau kami membiarkan kamu disini sendiri, maka


binatang buas itu akan membunuhmu. Ia menjawab: Tidak, sesungguhnya
Tuhanku selalu bersamaku dan melindungi aku. Mereka berkata: Jika begitu,
apakah kamu mengakui dirimu seorang Nabi? Ia menjawab: Bukan. Aku adalah
seorang hamba yang penuh dengan dosa. Si Rahib itu bertanya: Bukankah kamu
melihat bahwa binatang buas itu tidak bisa membedakan antara hamba yang saleh
dan yang tidak saleh?

43
Tatkala waktu sore tiba, tiba-tiba kelompok singa itu datang dan
mendekatinya, mereka meraung kepadanya, dan semakin mendekatinya,
sedikitpin Sa’id tidak gentar, karena demikianlah singa-singa itu berkelakuan.

Tatkala si Rahib melihat apa yang terjadi, ia jadi banyak bertanya kepada
Sa’id, dan menanyakan tentang hakikat syari’at Islam dan sunah-sunah agama
Islam, Sa’id pun dengan senang hati menjelaskannya, sampai akhirnya si Rahib
tersebut memeluk Islam dan sebaik-baiknya.

Tidak lama kemudian, kaumnya datang meminta maaf kepadanya, mereka


berkata: Sesungguhnya al-Hajjaj telah berjanji kepada kami untuk membebaskan-
mu, jika kamu membiarkan kami untuk berbicara mewakilimu menghadap kepada
al-Hajjaj. Oleh karena itu, perintahlah kepada kami sekehendakmu. Ia berkata:
Pergilah kalian, dan lupakanlah hal itu semua, karena aku telah merasa nikmat
bersama Tuhanku dan aku tidak akan pernah sekali-kali menolak ketetapan-Nya.

Kemudian ia berkata kepada para tentara-tentara itu: Aku tidak ragu lagi,
bahwa ajalku semakin dekat, namun aku hanya meminta kalian untuk
membiarkanku semalam ini saja, untuk mempersiapkan diri dijemput maut dan
mempersiapkan diri untuk Malaikat Munkar dan Nakir. Dan jika sudah datang
waktu pagi, maka tepatilah janji antara aku dan kalian, kemana saja kalian hendak
membawaku ke tempat yang kalian inginkan.

Mereka melihat Sa’id berlinang air mata. Ia tidak pernah tertawa sejenak
kami bertemu dengannya dan mendampinginya. Mereka berkata: Wahai penduduk
bumi terbaik!! Kami berharap tidak pernah mengenalmu, kecelakaanlah bagi kami
selama-lamanya, bagaimana kami akan sanggup untuk menahan ujian, bagaimana
kami sanggup menyampaikan alasan kepada Tuhan kami?

Sa’id berkata: Tidaklah Dia memberiku maaf atas kalian, dan meridhaiku
terhadap apa yang telah lalu dari luasnya ketetapan ilmu Allah atasku.

44
Penjaminnya berkata: Wahai Sa’id! Demi Allah! Aku memintamu untuk
membekali kami dengan do’a, karena kami selamanya tidak akan pernah bertemu
lagi dengan orang seperti kamu. Iapun melakukannya dan memberinya jalan untuk
itu, dan tatkala masuk waktu pagi, Sa’id datang dan mengetuk pintu mereka,
mereka turun menemuinya dan mulai menangis dalam waktu yang sangat lama.

Merekapun menghadap al-Hajjaj, ia bertanya: Apakah kalian datang mem-


bawa Sa’id bin Jubair? Mereka menjawab: Ya. Sungguh ia telah memberi kami
banyak kekaguman!! Al-Hajjaj memalingkan wajah dari mereka dan berkata:
Bawa ia masu. Merekapun membawanya. Al-Hajjaj bertanya: Siapa nama kamu?

Ia menjawab: Saya Sa’id bin Jubair. Ia kembali bertanya: Kamukah asy-


Syaqi (orang sengsara) bin kasir. Ia menjawab: Betul. Bahkan ibuku lebih tahu
namaku daripada Anda. Al-Hajjaj berkata: Kamu sendiri telah sengsara dan ibumu
pun telah sengsara. Namun Sa’id menjawab: Hal yang ghaib hanya diketahui oleh
Allah, dan bukan Anda.

Al-Hajjaj bertanya: Apakah kamu hendak aku ganti kehidupan duniamu


dengan api yang menyala-nyala. Ia menjawab: Kalaulah aku tahu bahwa api itu
muncul darimu, niscaya aku akan menjadikanmu sebagai Tuhanku. Al-Hajjaj
berkata: Jika begitu, pilihlah, siksaan apa yang kamu kehendaki untuk mem-
bunuhmu?

Ia menjawab: Pilihlah untuk dirimu sendiri, karena demi Allah, siksaan


apapun, tidak akan membunuhku melainkan siksaan itu akan membunuhmu di
akhirat kelak. Al-Hajjaj berkata: Lantas apakah kamu ingin aku maafkan?

Ia menjawab: Jika maaf itu datangnya dari Allah, maka akan aku terima,
namun jika datangnya darimu, maaf itu tidak akan aku terima. Al-hajjaj akhirnya
berkata: Jika begitu pergi dan bawalah dia, kemudian bunuh dia. Tatkala ia keluar
dari pintu, ia tertawa. Dan para penjaga mengabarkan kembali hal itu kepada al-
Hajjaj. Al-Hajjaj pun memintanya dihadapkan kembali kepadanya.

45
Ia bertanya: Apa yang menyebabkanmu tertawa? Ia menjawab: Aku sangat
heran dengan keberanianmu terhadap Allah, dan kemurahan Allah terhadapmu.
Al-Hajjaj semakin geram berkata: Cepat bunuh dia!21

C. Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf


Diantara kesantunan akhlak dan betapa tinggi kesabarannya adalah, pernah
suatu hari di Bulan Ramadhan, seperti biasanya setiap sore selepas Shalat Asar, di
kediaman al-Habib Abdul Qodir diadakan rauhah dengan pembacaan kita hadis
yang dihadiri oleh puluhan orang. Tak lama kemudian datanglah seorang tamu
yang tanpa sopan santun tahu-tahu duduk di barisan terdepan. Tanpa basa-basi
orang itu mencaci maki ulama sepuh ini dengan bahasa yang sangat kasar.
“Engkau benar-benar ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan orang banyak. Di
Bulan Ramadhan yang mulia ini bukannya engkau menggelar ibadah di masjid,
engkau malah mengumpulkan orang-orang di rumahmu.” Kata orang itu dengan
kasar.

Beberapa yang hadir terperanjat, melihat orang yang dimuliakan itu di caci
maki tanpa sebab dirumahnya sendiri dan oleh orang yang usianya jauh lebih
muda. Dengan wajah merah padam, beberapa orang murid al-Habib Abdul Qodir
yang duduk berdekatan dengan orang tersebut hendak berdiri. Namun dengan
isyarat tangan sang Habib, ia menenangkan murid-muridnya yang nampak begitu
marah.

Al-Habib Abdul Qodir yang telah di caci maki itu tetap duduk dengan
tenang ditempatnya. Wajahnya yang teduh itu tidak sedikitpun menampakkan
perubahan. Senyum yang ramah tetap tersungging dari bibirnya, sementara
rentetan caci maki masih terus keluar dari mulut orang itu. Setelah puas
melakukan sumpah serapahnya, dengan langkah kasar, si tamu keluar tanpa pamit
dari rumah sang ulama sepuh itu.

21
Muhammad Khalid Tsabit, ar-Ridha Rahatu ath-Tha’iin wa Darajatu al-Muqarrabin, Hidup
Mulia Dengan Ridha Allah (Menyingkap Rahasia Ridha, Syukur dan Ikhlas Untuk Mewujudkan
Ketentraman Jiwa: Penerjemah Andi Subarkjah, Lc, (Jakarta: Gema Madinah Mekah), Cet. I,
2008, H. 346-350

46
Seakan tak terjadi apapun, majelis itu dilanjutkan dan ditutup dengan do’a
sebagaimana biasanya. Namun di akhir majelis, al-Habib Abdul Qodir
memberitahukan kepada para hadirin, bahwa ia meliburkan pengajian itu selama
dua hari. Maksudnya agar para hadirin dapat menenangkan diri dirumahnya
masing-masing. Dua hari kemudian pengajian kembali digelar. Saat itu beberapa
murid menanyakan kepada al-Habib Abdul Qodir: “Wahai habib, kenapa engkau
membiarkan begitu saja orang yang telah berlaku kurang ajar terhadapmu,
padahal orang tu hanya tamu.” “Juga mengapa engkau telah melarang dan
mencegah kami untuk melawan orang itu.” Lanjutnya.

Dengan senyum simpul, al-Habib Abdul Qodir menjawab pertanyaan sang


murid tersebut: ”Jika bukan kita Ahlul Bait yang mencontoh dan meneladani
sikap Nabi Muhammad SAW saat di caci maki oleh musuh-musuhnya, lalu siapa
lagi?” Jawaban yang luar biasa itu membuat murid-murid yang hadir tercengang.
Bertambah kekaguman mereka tehadap sang Guru ini.22

D. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal


Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan
lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak
para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau
mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang
waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan


khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai
kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-
orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih
orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan
menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam
bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan

22
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, Dua Pilar Hijaz, (Malang: Pustaka Basma), Cet. I, 2010,
H.58-61

47
sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah
merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam
kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah,
Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa,


terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad,
mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan
pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat
Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada
tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya
ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Al-Quran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak


tegas pendapat tentang kemakhlukan Al-Quran. Selama hidupnya, tidak ada
seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh
Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah
sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Al-Quran itu
makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku,
niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh
seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan
al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok
mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan
berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Al-


Quran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa
pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan
dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik
yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka,
baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi
perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari

48
mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Al-Quran, termasuk di antaranya
Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Al-
Quran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa


Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua
ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu.
Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus,
sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena
telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa
Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-


Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan
pendapat kemakhlukan Al-Quran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut;
dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu
dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat
beliau tentang kemakhlukan Al-Quran, tetapi beliau mampu membantahnya
dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk
sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan
mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-.
Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk


mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya,
bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-
maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah
belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh
kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.23

23
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=108:sejarah-
singkat-imam-hanbali&catid=11:ilmuan-islam&Itemid=76, di akses Senin, 07 Desember 2015,
11:36 Wib.

49
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan mengucapkan Alhamdlillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini, dan penulis ingin mencoba untuk menyimpulkan makalah
ini. Adapun kesimpulannya sebagai berikut:

Ketentraman Jiwa Dalam Perspektif Al-Ghazali


Ketenteraman jiwa merupakan rahmat Allah yang sangat signifikan bagi
seseorang dalam menempuh hidup. Sebuah rumah tangga atau masyarakat pasti
mendambakan dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya, baik melalui
individu atau kelompok. Karena, jiwa itu sendiri pada dasarnya belum matang dan
belum sempurna wujudnya dalam dimensi sesungguhnya. Makaperlu ditempuh
jalan yang telah digariskan untuk mencapai sasaran yang di inginkan oleh
seseorang. Agama menjadi jiwa yang tenang, sebab jiwa itu sendiri mempunyai
penyakit-penyakit, seperti kikir yang dapat diobati dengan sifat dermawan,
angkuh diobati dengan merendahkan diri dan sebagainya.

Menurut al-Ghazali untuk memecahkan problema kehidupan bukan


hanya dengan dalil-dalil atau kata-kata, tetapi dengan keyakinan
(tasawuf) yang menempatkan Allah dalam dada (hati), yaitu iman yang
merupakan kunci penyingkapan suatu bagi orang-orang pilihan.
Seseorang yang ingin jiwanya tenteram, tentu perlu mengadakan latihan-
latihan jiwa (riyadhah) berusaha membersihkan hatinya dari sifat-sifat
tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat keji (tahalli) melepaskan
sangkut paut dengan dunia dan seisinya.

50
DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia), Cet. III, 2010

Sudrajat A. Suryana, Menimba Kearifan (Risalah Tasawuf Kontemporer), (Jakarta:


Tryana Sjam’un Corp) Cet. -, 2001

Tsabit Muhammad Khalid, ar-Ridha Rahatu ath-Tha’iin wa Darajatu al-Muqarrabin,


Hidup Mulia Dengan Ridha Allah (Menyingkap Rahasia Ridha, Syukur dan Ikhlas Untuk
Mewujudkan Ketentraman Jiwa: Penerjemah Andi Subarkjah, Lc, (Jakarta: Gema
Madinah Mekah), Cet. I, 2008

Umar Abdul Qadir Mauladdawilah, Dua Pilar Hijaz, (Malang: Pustaka Basma), Cet. I,
2010

http://www.annaba-center.com/berita/tasawuf-dan-ketentraman-jiwa

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265996&val=7080&title=KETENT
RAMAN%20JIWA%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-GHAZALI

http://hakamabbas.blogspot.co.id/2015/03/menggapai-ketentraman-jiwa.html

http://ahmad-rivauzi.blogspot.co.id/2012/12/spiritualitas-islam-dalam-tasawuf-
dan.html

http://bimaruci.blogspot.co.id/2012/08/sholat-dalam-pandangan-tasawuf.html

https://pengembarajiwa.wordpress.com/2008/09/11/zikir-para-arif-billah-
menggetarkan-arsy/#more-95

http://ustadzmubarak.com/rahasia-ketentraman-jiwa

http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=108:se
jarah-singkat-imam-hanbali&catid=11:ilmuan-islam&Itemid=76

Anda mungkin juga menyukai