Anda di halaman 1dari 19

MAQAMAT DAN AHWAL

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Akhlak Tasawuf yang diampu oleh

Bpk. Dr. Achmad Junaedi Sitika, S.Ag., M.Pd.I.

disusun oleh :

Hasna Fadlilatul Maula (2110631110124 )

Muhammad Dawam Anwar ( 2110631110149 )

Muidzotun Avissa ( 2110631110155 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam selalu kita
panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing kepada
jalan yang benar.

Saya ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
berdasarkan tugas dari mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan

makalah ini.

Karawang, 11 November 2022

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 3

BAB 1 ....................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................... 4

1.3 Tujuan Masalah ........................................................................................................................ 4

PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 5

2.1 Pengertian Maqamat dan Ahwal ............................................................................................ 5

2.2 Macam – macam Maqamat dan Ahwal ................................................................................. 6

2.3 Perbedaan Maqamat dan Ahwal ............................................................................................. 16

KESIMPULAN .................................................................................................................................. 18

SARAN ............................................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan hidup umat manusia menurut Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah
Swt. Secara umum yang dikatakan pengabdian mencakup berbagai aktivitas manusia yang sifatnya
baik (positif). Namun secara lebih khusus, sebagian orang melakukan praktek-praktek ibadah yang
lebih maksimal, dan menurut mereka keadaan seperti itu adalah sebaik-baik upaya mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam Islam kegiatan dan praktek ibadah secara khusus, dilakukan dalam waktu
dan tempat yang bersahaja. Hal ini dikenal dalam ajaran Islam sebagai ajaran tasawuf. Seseorang
yang dianggap telah memiliki popularitas yang memadai, praktek ibadah mereka diikuti oleh
masyarakat awam yang kemudian dikatakan sebagai sebuah jalan yang mungkin berbeda dengan
jalan yang dipakai oleh orang lain, disebut sebagai jalan (thariqah). Istilah ini kemudian populer
dengan istilah tarekat. Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda dalam aspek keteguhan
menjaga kualitas hidup di hadapan Tuhan mereka. Dalam tasawuf dikenal juga istilah maqam,
sebagai sebuah istilah yang menunjukkan posisi seseorang. Istilah ini menjadi sesuatu yang juga
berbeda istilah serta tingkatannya sehingga menimbulkan jalan-jalan tersendiri. Jalan-jalan
tersebut juga diikuti oleh orangorang Islam lainnya, sehingga menjadi suatu kesatuan. Karena tidak
nash Alquran maupun Hadis Nabi tentang tingkatan ini, para ulama pun berbeda-beda pendapat
dalam hal penetapan tingkatan serta sebutan-sebutannya. Oleh karena itu, artikel ini bermaksud
membahas dua istilah tersebut yang terdapat dalam studi tasawuf yaitu maqam dan ahwal. Fokus
pembahasan diarahkan pada makna dan hakikat istilah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa maksud dari maqamat dan ahwal ?
2. Apa saja macam – macam maqamat dan ahwal ?
3. Apa perbedaan maqamat dan ahwal ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini selain memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Akhlak
Tasawuf agar kita juga mengetahui pengertian, macam – macam, dan perbedaan maqamat
dan ahwal
4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maqamat dan Ahwal


A. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai perjalanan panjang yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris
maqamat dikenaldengan istilah stages yang berarti tangga. Maqamat merupakan bentuk
jamak dari maqam. Secara etimologi maqam mengandung arti kedudukan atau tempat
berpijak dua telapak kaki. Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam
mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam
mendekatakan diri kepada Allah. Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai
tingkatan, yaitu tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan
latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.
B. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum sufi
untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan
“keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. Hal, sebagai sebuah kondisi yang
singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis,
memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara
berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya
dalam kalbu hamba tersebut. Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah
keadaan atau keadaan kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai
maqam tertentu. Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu
keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan
kerunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual banyak
jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banayak. Dapat dikatakan bahwa hal merupakan

5
pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu
pada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang
menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan
hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.

2.2 Macam-macam Maqamat dan Ahwal


a. Macam – macam Maqamat

Para sufi berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya tingkatan maqamat agar
bisa sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya at-
ta'aruf li mazhab ahl al-tasawwuf berpendapat bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh
yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-
mahabbah, dan al-ma'rifah.
Kemudian maqamat menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-
Luma' menyebutkan bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu al-taubah, al-wara', al-
zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya'
Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-
zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma'rifah dan al-ridla.
Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat seperti yang sudah
disebutkan diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para sufi disepakati, yang jumlahnya
ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah al-taubah, al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-
tawakkal, dan al-ridla.
1) Al Taubah
Kata Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang memiliki
arti kembali. Dalam Al Qur’an, banyak kita jumpai ayat yang menganjurkan kepada
manusia agar bertaubat. Antara lain:
ِ ‫ع ٰل‬
ِ‫ىِ َماِفَ َعلُ ْوِا‬ َ ِ‫ّللاُِِ َولَ ِْمِيُص ُّر ْوا‬
ِٰ ِ‫ّل‬ َِ ‫نِيَّ ْغف ُِرِالذُّنُ ْو‬
ِ َّ ‫بِا‬ ِْ ‫ّللاِفَا ْست َ ْغف َُر ْواِلذُنُ ْوبه ِْمِ َو َم‬ َ ِ‫َوالَّذِيْنَِِاذَاِفَ َعلُ ْوِاِفَاحش َِةِا َ ِْو‬
َ ُ‫ظلَ ُم ْْٓواِا َ ْنف‬
َِٰ ِ‫س ُه ِْمِذَك َُروا‬
َِ‫َوهُ ِْمِيَ ْعلَ ُم ْون‬
Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri
sendiri,) mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa
(lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa
yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya).

6
) Perbuatan keji (fāḥisyah) adalah dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri
sendiri, tetapi juga menimpa orang lain, seperti zina dan riba. Adapun yang dimaksud dengan
menzalimi diri sendiri adalah perbuatan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri,
baik besar maupun kecil.

Artinya: “…... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung”(QS. An Nur: 31)

Setidaknya, ada empat alasan yang dapat dikemukakakan tentang mengapa kita harus
bertaubat. Pertama, manusia merupakan makhluk yang sering berbuat dosa dan kesalahan,
entah itu disengaja ataupun tidak. Orang yang tidak pernah berbuat salah dan dosa bukanlah
orang baik. Namun, mereka yang mau menyadari kesalahan dan dosanya dengan bertaubat
serta berjanji tidak akan mengulanginya setelah itu ialah orang baik. Perbuatan dosa yang
kemudian tidak disertai dengan bertaubat akan menghalangi seseorang untuk taat kepada
Allah.
Kedua,kita yakin bahwa Allah Maha Pengampun terhadap hamba-Nya. Tidak
memandang dosa yang sebesar gunung, seluas lautan, atau bahkan sampai tidak terhingga.
Allah akan tetap menerima taubat hamba-Nya, selagi belum terlambat.
Ketiga, dosa yang kita lakukan jika tidak dihapus dengan air mata taubat justru akan
menjadi noda hitam yang mengotori dan menghalangi hati untuk memperoleh hidayah dan
cahaya Tuhan. Imam al Ghazali mengibaratkan hati manusia dengan cermin. Apabila cermin
itu terkena kotoran, maka tidak akan bisa untuk mengaca, terlebih memantulkan cahaya.
Demikian juga pada hati manusia, jika ia sering digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat,
maka akan sulit untuk menerima dan memantulkan cahaya Tuhan.
Keempat, dari segi psikologis, orang yang melakukan kesalahan atau dosa akn merasa
gelisah, tidak tenang, bahkan bisa mengalami keterbelakangan jiwa. Maka dari itu, orang
tersebut jika terus menerus membiarkan perbuatan dosanya akan bedampak negatif bagi
kesehatan psikologisnya. Dengan cara taubat inilah orang akan lapang jiwanya.

Adapun taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah memohon ampunan kepada Allah atas
segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak

7
akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Tentunya dengan disertai melakukan amal
kebajikan. Artinya adalah taubat yang sebenarnya. Bisa juga disebut
dengan taubatan nasuha, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.
Bagi kalangan sufi, untuk mencapai taubat yang sebenarnya ini terkadang tidak cukup
dilakukan hanya dengan satu kali saja. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa seorang
sufi sampai tujuh puluh kali taubah, kemudian baru ia mencapai tingkat taubat yang
sebenarnya. Karena taubat yang sebenarnya bagi kalangan sufisme adalah lupa pada segala
hal kecuali Tuhan.
Imam Nawawi, dalam kitabnya al Adzkar menyebutkan bahwa taubat kita agar diterima
oleh Allah harus memenuhi syarat berikut:
1. Harus ada rasa penyesalan (an nadamah) dalam hati atas segala dosa yang dilakukan.
Terkadang sudah sadar akan dosa yang diperbuat dan langsung bertaubat, namun
setelah itu malah bangga akan dosa yang telah dilakukan atau justru melakukan dosa
itu lagi.
2. Berjanji dengan hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat.
Sebenarnya, ini hanyalah konsekuensi logis dari rasa penyesalan kita. Jika kita
menyesal, maka harusnya tidak ingin mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
3. Memperbanyak “istighfar”, yakni memohon ampunan kepada Allah. Jangan sampai
kita tenggelam dalam kemaksiatan dan dosa yang telah dilakukan. Nabi Muhammad
SAW saja masih memohon ampunan kepada Allah. Padahal beliau sudah mendapatkan
‘garansi’ dari Allah. Bagaimana dengan kita yang tidak ada ‘garansi’ dari Allah?
4. Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan
memacu berbuat maksiat dan dosa. Lingkungan pergaulan memang sangat kuat
pengaruhnya. Orang yang mengaku dirinya bertaubat, maka akan mencari tempat yang
baik. Sebab, ini akan mendorong dirinya untuk berbuat baik.
5. Jika perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita
harus meminta kehalalan atau mengembalikannya kepada orang bersangkutan. Apabila
orang yang telah kita zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat memberikan
hak tersebut kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan memohon agar
pahalanya disampaikan kepada orang tersebut.

8
Tentunya ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan usaha yang maksimal. Oleh
karena itu, untuk memantapkan taubatnya ia harus pindah ke tingkatan berikutnya
yakni zuhud.
2) Al Zuhud
Secara harfiah al zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Sedagkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. [8]
Asal kata dari zuhud ialah zahida yazhadu zuhdan yang artinya membenci sesuatu.
Dengan demikian orang dikatakan zuhud apabila ia mau mempersiapkan diri mencari
bekal untuk hidup di akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan terus menerus
menjalankan ketaatan kepada Allah.[9]
Jadi zuhud tidak harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan sikap hati
yang tidak terlalu suka dengan dunia sehingga lupa akan kehidupan akhirat. Banyak
orang kaya raya, namun juga mereka sangat zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman,
meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan dengan sebutan azhaduz zahidin atau
orang yang paling zuhud diantara orang-orang zuhud. Beliau makan makanan yang
sederhana, sementara dirinya memberikan makanan yang enak kepada rakyatnya.
Beberapa hal bisa dilakukan seseorang untuk sampai pada maqam zuhud ini,
diantaranya:
1. Menyadari dan menyakini bahwa dunia ini fana. Pada saatnya manusia akan
meninggalkannya. Selain itu ia juga harus yakin bahwa dirinya pasti akan kea
lam baka, yakni akhirat.
2. Menyadari dan menyakini bahwa dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh
lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.
3. Banyak mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan hidupnya lebih
berhati-hati. Sebab setelah meninggal dunia manusia akan ditanya dan
mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya.
4. Mengkaji sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih
yang notabene mereka adalah orang-orang zuhud.[11]
Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan mengasingkan diri ke
tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an,

9
maupun berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan
hidup saja. Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian
juga sederhana. Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia.
Apabila orang tersebut sudah keluar dari pengasingannya, namun juga masih
tetap melakukan hal-hal layaknya di tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa,
melakukan sholat, membaca AL Qur’an maupun berdzikir maka ia harus
melanjutkan ke stasion berikutnya yakni wara’.
3) Al Wara’
Pada tingkatan ini, ia akan dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal syubhat. Kata al
wara’ dapat diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Selanjutnya, dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan semua
hal yang di dalamnya mengandung keraguan antara halal atau haram (syubhat).
Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam hadis,
“Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah
terbebas dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari). Tentunya, bagi salik atau sufi
makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya mengandung haram akan
berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah mengkonsumsi
hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat hidayah dan ilham
dari Tuhan.
Halal, haram, dan syubhat seperti rambu-rambu lalu lintas. Sungguh tak
terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia berjalan di jalan raya yang ramai tidak
ada rambu-rambu. Tentu akan terjadi kekacauan, sebab tidak ada petunjuk mana
pertanda yang boleh lewat duluan dan mana yang harus berhenti. Begitulah pula
dengan persoalan makanan dan minuman, kita juga memerlukan petunjuk rambu-
rambu.
4) Al Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah
ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-
kewajiban, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.

10
Kyai Achmad Siddiq berpendapat bahwa kefakiran ialah tahapan yang penting.
Menurutnya, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah. Artinya,
seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang patut
dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan ibadah
yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau dibanggakan di
hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-Nya, semua itu tidak
akan nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari akan ketergantungan dengan
Allah, setiap saat bahkan setiap detik, dalam kondisi apapun, inilah yang dimaksud al
faqr.
5) Al Shabr
Setelah menjalani maqam kefakiran, maka ia akan sampai pada maqam sabar. Sabar
di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya yang berat dan menjauhi larangan-
Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar menderita, bukan hanya bisa
memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar yakni menunggu pertolongan
itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan yang keliru terhadap makna sabar ini. Parahnya,
orang yang bersikap sabar ini disamakan dengan orang yang pasif, tidak mau
berusaha, dan menunda-nunda dalam melakukan sesuatu. padahal dalam kesabaran
ini ada dimensi kesungguhan, keuletan, dan profesionalitas. Maka menunda-nunda
sholat bukanlah kesabaran namun kemalasan. Oleh karena itu, kesabaran tidaklah
identic dengan sikap menunda-nunda berbuat kebaikan.
Berdasarkan konteksnya, sabar dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Sabar dalam ketaatan (as shabru ‘ala al Tha’ah).
Hal ini harus dilakukan dengan cara istiqamah (konsisten dan terus menerus) dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah.
2. Sabar meninggalkan maksiat (as shabru ‘an al ma’siyyah).
Ini dilakukan dengan cara mujahadah (jihad spiritual), bersungguh-sungguh dalam
memerangi hawa nafsu dan meluruskan keinginan-keinginan yang buruk yang
dibisikkan oleh setan.
3. Sabar ketika ditimpa musibah (as shabru ‘ala al Mushibah).

11
Ini dilakukan ketika kita ditimpa musibah atau kemalangan. Dunia sesungguhnya
tempat ujian (dar al imtihan). Allah akan menguji keimanan seseorang, antara lain
dengan ditimpakan nya musibah kepadanya. Ini bukan berarti Tuhan tidak saying,
melainkan sekedar untuk menguji, sejauh mana kekuatan imannya.

6) Al Tawakkal
Setelah masuk pada tahapan al tawakkal maka ia akan menyerahkan diri sebulat-
bulatnya kepada kehendak Tuhan. Oleh karena ia tidak akan berpikir tentang hari
esok. Dengan menyerahkan diri ini ia akan merasa tenang sepenuhnya. Terkadang ia
bersikap seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai
dihadapan orang yang memandikanya, ia mengikuti semua yang memandikan, artinya
tidak dapat bergerak dan bertindak.
Lebih lanjut, Al Qusyairi berpendapat bahwa tawakkal tempatnya ialah ada di
dalam hati. Adapun gerakan tubuh (perbuatan) tidaklah mengubah tawakkal yang
terdapat dalam hati tersebut. Sehingga akan timbul keyakinan bahwa semua yang
terjadi merupakan takdir dari Allah. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Harun Nasution
yang mengatakan bahwa tawakkal ialah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan
Allah. Misalkan orang tidak mau makan, karena ada orang yang lebih membutuhkan
dari pada dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-
Nya, Allah menyatakan : Artinya: “…. dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah: 51)

Artinya: “…. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-
orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11)

7) Al Ridla
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan
kadar dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang
tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Mereka senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari

12
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya
sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada
dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’(cobaan yang
berat)
Seseorang yang memiliki sikap ridha bukan berarti ia meninggalkan usaha
(ikhtiar). Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan sikap yang fatal dan membuat
orang tersebut pasif. Saat ditimpa musibah, orang yang ridha ini akan merasakan pedih
atau sakit. Namun ia lebih yakin bahwa setelah musibah ini pasti akan mendapatkan
hasil yang lebih baik yakni kebahagiaan. Seperti orang yang sakit, ia harus disuntik,
orang tersebut pasti merasakan sakitnya jarum, namun ia rela disuntik karena sangat
yakin setalah disuntik itu ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti
seseorang sedang tertimpa musibah: ibunya meninggal dunia, hartanya dicuri maling,
anaknya meninggal sewaktu masih kecil, dan lain sebagainya. Maka ridha ini
merupakan salah satu sifat yang amat mulia. Tentunya kedudukannya lebih tinggi dari
pada sabar.

b. Macam – macam Ahwal


Ahwal adalah anugerah (hibah) dari Allah sedang maqamat adalah hasil jerih payah dari
hamba. Ahwal bersifat berubah-ubah sedang maqamat bersifat tetap Sebagaimana halnya dengan
maqamat, dalam jumlah dan susunan ahwal ini juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
Di antara sekian banyak nama, yang terpenting dan paling banyak penganutnya adalah: al-
muraqabah, al-khauf, al-raja’, al-syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin.
Akan tetapi ada juga sebagian sufi menempatkan alma’rifah dan al-mahabbah sebagai bagian dari
ahwal. Secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Al-Muraqabah
Muraqabah menurut sufi bermakna adanya kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran demikian menumbuhkan sikap
selalu siap dan waspada bahwa ia sedang di-monitoring oleh Sang Khaliq. Orang yang
memeroleh sikap mental muraqabah ini sudah pasti akan selalu berusaha menata dan
membina kesucian diri dan amalnya. Karena ia selalu merasa dalam pengawasan Allah

13
serta selalu berhadapan dengan Allah. Apabila sikap muraqabah ini telah terpatri kuat
dalam jiwa seseorang, maka seluruh budi pekertinya menjadi baik.
2) Al-Khauf
Menurut bahasa berarti takut. Dalam pengertian sufi khauf berarti suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena merasa kurang sempurnanya pengabdiannya.
Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan
seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyim-pang dari
yang dikehendaki Allah. Sikap mental seperti ini merangsang seseorang melakukan hal-
hal yang baik dan menjauhi perbuatan maksiat. Perbedaan orang yang takut kepada
manusia dan takut kepada Allah ialah orang yang takut kepada manusia akan lari darinya,
sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya.
3) Al-Raja’
Dalam istilah sufi merupakan sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia
dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh. Oleh karena Allah
Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa
optimis akan memeroleh limpahan karunia Ilahi. Perasaan optimis akan member semangat
dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidamidamkan itu, karena
Allah adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.

4) Al-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Yaitu rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh kerinduan. Rindu ingin
bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Perasaan inilah yang menjadi
motor pendorong bagi sufi agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah. Bagi sufi,
maut bukanlah suatu hal yang harus ditakuti, justru selalu dinanti-nantikan, karena maut
dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan
Ma’budnya
5) Al-Uns

14
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik
sentrum yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, yang diingat, yang diharap kecuali Allah.
Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan
berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti
itulah yang disebut uns
6) Al-Thuma’ninah
Secara harfiyah, kata ini berarti tenang, tenteram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai
tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi setelah melalui usaha dan perjuangan berat. Ia
mampu mengadakan komunikasi langsung dengan Allah karena sudah dekat kepada-Nya,
karenanya ia merasa tenang, bahagia dan tenteram.
7) Musyahadah
Kata musyahadah bermakna menyaksikan dengan mata kepala. Tetapi dalam istilah
sufi diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini,
apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah swt
Dalam situasi seperti ini pulalah seseorang memperoleh tingkatan ma’rifat, satu situasi di
mana seseorang seakanakan menyaksikan Allah dengan seluruh ekspresinya atau melalui
mata hatinya. Secara mendetail dapat disaksikannya keadaan Allah, sehingga lahir pula
rasa cinta atau mahabbah melalui ruh dan akhirnya dan dapat dipandang oleh sirr. Dengan
demikian terjadilah musyahadah antara sufi dengan yang dicarinya.
8) Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu
yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan
mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang
disebut dengan al-yaqin. Dengan demikian, al-yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri
menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta
dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya Mencapai tingkat musyahadah dan al-yaqin,
menurut para sufi adalah amat

15
sulit dan jarang orang yang dapat mencapainya. Mereka yang mampu ke level tersebut
adalah para wali yang sudah sampai ke tingkat insan kami.
2.3 Perbedaan Maqamat dan Ahwal
Kaum sufi mengatakan, “Hal adalah anugerah (mawhab), dan maqam adalah perolehan
(kasb).” Tiada maqam yang tidak dimasuki hal dan tiada hal yang terpisah dari kesatuan dengan
maqam. Tentang hal dan maqam, sumber perselisihan adalah bahwa sebagian syeikh Sufi
menyebut ini hal, dan sebagaian lagi maqam. Sebab seluruh maqam adalah hal, dan akhirnya
adalah maqam, seperti taubat (al taubah), mawas diri (muhasabah), dan renungan disertai rasa
takut (muraqabah). Awalnya, masingmasing itu adalah sebuah hal yang mengalami perubahan
dan penurunan, ketika mendekati perolehan (kasb), ia menjadi maqam, segenap hal diterangi
oleh berbagai perolehan (makasib) dan sebagian maqam ialah berbagai anugerah (mawahib).
Dalam hal, anugerah bersifat batiniah, manakala maqam, perolehannya bersifat lahiriah, dan
anugerah bersifat batiniah.
Perbedaan antara keduanya adalah maqamat diperolehi melalui kegiatan beribadah dan
latihan-latihan spiritual, sedangkan ahwal merupakan anugerah semata dari Allah swt. Banyak
pengarang membatasi pengertian hal kepada hubungan dan keterbalikannya dengan maqam,
sehingga Imam Al - Ghazali menulis lebih jauh tentangnya di dalam kitab Ihya’ bahwa
persyaratan (wasf) disebut “pangkat” (maqam) jika ia tetap dan bertahan dan ia disebut
“tingkatan jiwa” (hal) jika telah berlalu dan lenyap tanpa tertunda apa yang tidak tetap disebut
“tingkatan jiwa” yang telah menghilang memberikan tempatnya kepada (tingkatan) yang lain
dengan segera. Inilah yang sebenar dari semua persyaratan hati. Di dalam bukunya yang termuka
al-Ta’rifat Jurjani membuat suatu perbedaan yang serupa, dan juga dia menekankan pada ikhtiar
yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu maqam dan watak hal sebagai suatu kurnian Tuhan:
‘Hal di antara “orang – orang yang benar” (ahl al-haqq) (sufi) adalah suatu makna kerohanian
yang bergema di dalam hati yang tidak berpura-pura. Ia berhenti dengan penampakan ciri-ciri
badani jiwa yang serupa dengan itu menyertai atau tidak.
Ahwal adalah karunia dari Tuhan sementara maqamat diperolehi. Ahwal datang dari musim
semi kemurahan hati dan maqamat dicapai melalui perlaksaan ikhtiar. Dikatakan lagi perbedaan
diantara hal dan maqam adalah sifat hal itu dikatakan berupa kilatan cahaya, seperti kata penyair
Sa’di dalam Gulistan ia menulis : Seseorang menanyakan orang yang telah kehilangan anaknya
(merujuk kepada cerita Nabi Yaakub dan Yusuf dalam Al - Quran)

16
Abdullah Ibn Alawi al-Haddad mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendapat para
Sufi di atas. Menurut Al Haddad, ahwal adalah suatu kondisi (keadaan) batin yang dialami
seorang Sufi dalam keadaan belum mantap, Kemudian ketika kondisi batin itu telah mantap
maka disebutlah ia maqam. Ahwal dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh seseorang
karena pengaruh dari ilmu di sebabkan ilmu dapat membuahkan hal dan hal dapat menghasilkan
maqam. contoh dari pandangan ini, lanjut alHaddad, adalah pada kasus zuhud yang merupakan
salah satu tingkatan maqam. seorang hamba untuk sampai pada maqam zuhud harus mempunyai
pengetahuan (‘ilm) bahawa zuhud itu merupakan ajaran dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, bagi
seorang hamba yang telah mendalami ajaran zuhud dari kedua sumber otentik itu, akan mudah
baginya memahami tentang celaan terhadap dunia, keburukan orang yang mencintainya, dan
keutamaan orang yang membencinya.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Maqamat dan Ahwal merupakan suatu permasalahan yang berhubungan dengan dunia tarekat. Setiap
orang yang bertarekat itu pasti akan melalui maqam-maqam yang tertentu dalam setiap perjalananya
menuju kepada Allah. Tiada maqam yang dilalui tanpa ahwal dan tiada ahwal dilalui dalam maqamat.
Keduanya saling berhubungan antara satu sama yang lainya. Maqamat dan ahwal itu adalah proses
membentuk akhlak. ketika seseorang mengaplikasikannya maka dirinya akan menjadi seorang yang
jiwanya bersih dari sifat-sifat mazmumah (tercela). Maqamat dan ahwal itu ditempuh secara bertahap,
dan sifatnya itu menetap, sedangkan ahwal itu suatu hal yang tidak melekat dan tidak tetap, ia datang
dan pergi seperti kilatan cahaya.

3.2 Saran

Penulisan ini merupakan upaya maksimal yang telah dilakukan oleh penulis, namun disedari bahwa
penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya sangat di harapkan kritikan yang
membangun dari pihak pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muhaya, Maqamat (Stations) And Ahwal (States) According To Al-Qushayri And Al-Hujwiri A Comparative
Study, Thesis, Montreal, Faculty Of Graduate Studies And Research In Partial Fulfillment Of The Requirements For
The Degree Of Master Of Arts, Institute Of Islamic Studies McGill University, 1993, 33-35

Mohd Khairul Azman, Maqamat Dan Ahwal Menurut Pandangan Ulama Sufi 2020

Rabi’ah al – adawiyah,jurnal asas,2018

Rosihan Anwar & Mukhtar Solihin, op.cit., h. 76

19

Anda mungkin juga menyukai