Anda di halaman 1dari 75

POKOK-POKOK AJARAN ISLAM

MAKALAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Agama

Dosen Pengampu :

DR. H. Wawan Ahmad, M.Ag

Disusun Oleh:

1. Dalilah Sharfina ( P2.06.24.2.18.010 )


2. Devita Aqilla ( P2.06.24.2.18.012 )
3. Nevrita Berliana ( P2.06.24.2.18.024 )
4. Putriana Amaliani Sya’ban ( P2.06.24.2.18.028 )
5. Rizki Widia Wulandari ( P2.06.24.2.18.031 )

Kelompok 1
D3 Kebidanan
Politeknik Kesehatan Tasikmalaya
Wilayah Cirebon
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, segala puji hanya bagi-Nya. Semoga sholawat beserta salam
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya, dan juga kepada para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman.

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah-Nya. Sehingga penulisan
makalah dengan judul “POKOK-POKOK AJARAN ISLAM” dapat diselesaikan
dengan baik dan lancar tepat pada waktunya serta kami berharap semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan inspirasi bagi para pembacanya.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
yang membangun agar kami dapat memperbaiki makalah ini ke depannya.

Cirebon, September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Pengertian Ibadah......................................................................................2
2.1.1 Ketentuan dan makna Salat.........................................................................3
2.1.2 Ketentuan dan makna puasa........................................................................9
2.1.3 Ketentuan dan makna haji.........................................................................13
2.2 Pengertian Muamalah..............................................................................19
2.2.1 Macam-macam Muamalah..................................................................20
2.2.2 Aturan dalam perniagaan.....................................................................33
2.2.3 Beberapa perniagaan yang dilarang.....................................................35
2.3 Akhlak.....................................................................................................38
2.4 Akidah.....................................................................................................45
 Rasul yang Bergelar Ulul Azmi............................................................65
 Sifat Wajib Rasul...................................................................................65
 Sifat Jaiz Rasul......................................................................................65
BAB III PENUTUP...............................................................................................71
3.1 Kesimpulan...................................................................................................71
3.2 Saran.............................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................72

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan kemajuan zaman, banyak sekali orang-orang yang aqidah
dan imannya tergoda dan akhirnya terjerumus pada hal-hal yang sebenarnya
dilarang oleh syariah agama. Demikian pula dengan keadaan akhlak
masyarakat yang akhir-akhir ini mulai rusak. Lalu bagaimana kita
memperbaikinya? Langkah pertama yang harusnya kita ambil adalah
menimbulkan kesadaran diri masing-masing bahwa kita sudah terlampau
jauh keluar dari syariah agama, dan kita harus memperteguh akidah kita.
Jika akidah kita sudah tertancap kuat, niscaya kita akan mudah mengikuti
syariah dan memperbaiki akhlak kita. Layalnya sebuah pohon besar, akarnya
bagaikan akidah, batangnya bagaikan syariah, dan buahnya bagaikan
akhlak. Jika akarnya tertancap kuat dalam tanah, maka batangnya pun akan
bagus, dan buahnya pun akan tumbuh dengan sempurna.

1.1 Tujuan
1. untuk memahami dan mengetahui pengertian aqidah
2. untuk memahami dan mengetahui pengertian ibadah
3. untuk memahami dan mengetahui pengertian muamalah
4. untuk memahami dan mengetahui pengertian akhlak

1
BAB II
PEMBAHASAN

1.2 Pengertian Ibadah


Ibadah berarti perhambaan, yaitu memperhambakan diri kepada Allah
sesuai dengan tuntunan-Nya. Ibadah ada yang dilakukan secara langsung
antara seseorang dengan Allah disebut pula dengan istilah ibadah mahdhah
atau ibadah ritual. Ada pula ibadah yang dilakukan melalui hubungan antar
manusia yang sering disebut ibadah ghair mahdhah atau muamalah.
Ibadah mahdhah berkaitan dengan bentuk-bentuk ritual yang khas,
seperti salat, puasa, haji dan sebagainya. Peraturan mengenai pelaksanaan
ibadah ini telah ditetapkan secara pasti melalui Alquran dan
dioperasionalkan oleh contoh Rasulullah yang tercantum dalam As-sunnah.
Disepakati di kalangan para ahli (ulama) bahwa untuk melaksanakan ibadah,
seorang muslim harus melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah dan
contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Pengamalan ibadah yang tidak sesuai
dengan perintah dan contoh tersebut dinyatakan tidak sah atau batal dan
haram untuk dilakukan.
Berdasarkan pandangan tersebut ditetapkan kaidah yang berkaitan
dengan ibadah khusus, yaitu: semua haram kecuali yang diperintahkan Allah
atau dicontohkan Rasulullah. Di luar kaidah itu apabila dilakukan, maka
ibadah itu dinyatakan tidak sah atau bid’ah.
Ketentuan ibadah ritual itu disebabkan karena ibadah semata-mata
sebagai bukti ketundukkan dan ketaatan seseorang terhadap Tuhannya. Kata
ibadah sendiri berarti perhambaan yang memiliki implikasi tunduk dan taat
tanpa reserve. Karena itu ibadah-ibadah ritual, seperti salat, puasa, haji
tersebut tidak berubah bentuk pelaksanaannya sepanjang masa sebagai bukti
ketundukkan seorang muslim sepanjang zaman. Apakah gerakan-gerakan
ritual itu dipahami atau tidak dipahami tetap menjadi kewajiban yang harus

2
dilaksanakan oleh setiap muslim. Ibadah adalah bukti ketundukkan
seseorang kepada Allah dengan cara melaksanakan ketentuan-ketentuan
yang telah khusus ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya, seperti salat, puasa,
dan haji.

2.1.1 Ketentuan dan makna Salat


Salat adalah bentuk ibadah yang terdiri dari bacaan-bacaan dan gerakan
yang dimulai dari takbiratul ihram diakhiri dengan salam dengan syarat-
syarat tertentu. Salat merupakan ibadah pokok yang sangat menentukan nilai
ibadah-ibadah lainnya. Oleh Karena itu, salat memiliki ketentuan yang
sangat ketat dibandingkan dengan ibadah lainnya. Kewajiban setiap muslim
untuk mendirikan salat tidak pernah berhenti sepanjang akalnya sehat,
karena itu terdapat ketentuan-ketentuan salat bagi orang yang sakit,
diperjalanan, bahkan ditengah berlangsungnya peperangan. Hal ini
menunjukkan bahwa ibadah salat merupakan ibadah yang paling penting.
Setiap muslim wajib melaksanakan salat lima kali dalam sehari semalam.
Apabila dalam keadaan sakit, salat dilakukan sesuai dengan kemampuan,
yaitu sambil duduk atau berbaring. Sedangkan apabila berada diperjalanan
salat bisa dilakukan dengan cara jamak, yaitu mengumpulkan (jamak) dua
salat pada satu waktu, yaitu salat zuhur dengan asar dan maghrib dengan
isya. Rakaat yang empat, yaitu zuhur, asar dan isya bisa diringkas (qasar)
masing-masing menjadi dua rakaat. Jadi dalam perjalanan bisa dijamak
sekaligus diqasar. Adapun salat subuh yang dua rakaat tidak bisa dijamak
maupun diqasar. Ia harus tetap dilakukan dua rakaat pada waktunya.
Sedangkan maghrib boleh dijamak tetapi tidak boleh diqasar, ia tetap tiga
rakaat.
Sebagai ibadah pokok, salat tidak hanya wajib dilakukan sesuai dengan
ketentuannya, tetapi juga memiliki makna yang sangat besar dalam
membentuk perilaku seseorang. Orang yang telah mendirikan salat akan
mewujudkan dirinya untuk menjauhi dosa dan kemunkaran sebagaimana
dinyatakan Alquran:

Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan
sesungguhnya mengingat Allah itu paling besar

(QS.Al-Ankabut, 29:45)

3
Dalam ayat di atas tampak bahwa salat bukan hanya dilakukan pada
waktunya, tetapi maknanya harus terbawa dalam kehidupan di luar salat,
yakni menjauhkan diri dari dosa dan kemunkaran. Tempat dan waktu orang
berbuat dosa dan kemunkaran tentunya di luar salat, karena itu salat
seyogyanya meresap dalam kehidupan sehari-hari dan member warna
tersendiri dalam bentuk komitmen untuk menjauhkan dosa dan munkar.

Dosa dan kemunkaran tempatnya di tengah masyarakat, karena itu salat


harus berdampak pada kehidupan di tengah masyarakat. Salat yang baik
adalah yang berdampak baik dalam masyarakat, yaitu orang yang salat akan
menjauhkan dirinya dari dosa dan kemunkaran.

Salat yang merupakan komunikasi denga Tuhan dilakukan minimal lima


kali setiap hari melalui salat fardu sehingga kehidupan orang yang salat
akan terkontrol dan terjaga dari waktu ke waktu. Salat yang berdampak
sosial itulah yang sesungguhnya merupakan slat yang khusyu’. Sebaliknya
orang yang tidak khusyu’ adalah orang yang salatnya lalai (sahun), atau
orang yang salatnya tidak berdampak kepada perilaku sosialnya.

Alquran mengungkapkan bahwa nerakalah bagi orang-orang yang lalai


(sahun), yaitu orang-orang yang riya dan enggan membayar zakat. Riya
adalah motivasi individu yang berbuat kebaikan dengan mengharapkan
pujian dari orang lain atau masyarakat.

Hubungan salat dengan perilaku sosial dapat dilihat pula pada urutan
kalimat suruhan salat dalam Alquran yang selalu dikaitkan dengan zakat,
yaitu kalimat aqimus salat wa atu zakat ( kerjakan salat dan bayarkan zakat
). Ayat tersebut mengandung arti bahwa salat harus diikuti dengan zakat;
dimensi ritual harus berdampak berdampak sosial.

Kandungan makna salat selanjutnya dapat dilihat dari hal-hal sebagai


berikut:

a. Makna waktu salat


Salat dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan
(QS.4:103). Waktu dijadikan sebagai salah satu syarat salat mengandung
makna bahwa Agama Islam mendorong umatnya untuk menghargai dan
sadar terhadap waktu. Waktu-waktu salat memiliki makna-makna
simbolik antara lain:
Subuh, yakni waktu pagi saat manusia memulai kehidupan barunya
setelah tidur. Tidur merupakan kebutuhan hidup manusia di mana
kesadaran manusia berhenti karena itu secara hukum perilaku orang
yang sedang tidur tidak menjadi obyek hukum. Waktu subuh juga berarti
saat orang akan memulai aktifitas baru yang dimulai dari salat dan

4
menyerahkan diri kepada Allah. Perjalanan hidup yang diawali atas
nama Allah (melalui salat subuh) maka perjalanan akan diberkahi. Lebih
jauh Sirjani (2004:139) mengungkapkan bahwa salat Subuh tepat waktu
akan membiasakan hidup teratur dalam sehari penuh. Hidup dengan
menapaki aturan yang diinginkan-Nya, yaitu aturan yang telah Allah
terapkan pada alam semesta agar berjalan dengan kaidah-Nya. Salat
subuh mengikat ketergantungan umat Islam pada Rabbnya sejak pagi-
sebagai permulaan hari. Dengan demikian umat Islam memulai harinya
dengan ketaatan, dzikir, salat, dan do’a.
Dzuhur yang waktunya tengah hari; saat orang terlena dengan
pekerjaannya. Perjalanan hidup yang penuh dinamika diingatkan untuk
tidak melupakan Allah, maka salat dzuhur merupakan waktu di mana
orang mengevaluasi setengah dari perjalanannya pada hari itu. Waktu
antara salat subuh dengan ashar adalah waktu di mana manusia berada di
tempat kerjanya sehingga memungkinkan terjadinya dosa. Salat dzuhur
menjadi tempat untuk kontemplasi dan mengevaluasi hidup serta
meminta ampun terhadap dosa yang mungkin dilakukannya sampai salat
dzuhur.
Waktu ashar adalah saat-saat yang memungkinkan orang
melakukan aktifitas-aktifitas yang menyenangkan di sore hari. Pada
waktu ini sangat memungkinkan orang terlena atau terjebak pada suatu
aktifitas yang menyenangkan dirinya dan melupakan Allah. Karena itu,
salat ashar merupakan momentum yang tepat untuk membawa orang
untuk kembali mengingat Allah.
Waktu maghrib adalah terbenamnya matahari; waktu yang sangat
menyenangkan untuk melakukan aktifitas bersenang-senang dan
rekreasi. Waktu yang digunakan untuk bersenang-senang dapat
mempengaruhi akal, hati, dan perasaan yang kosong dari nilai-nilai
sehingga orang itu melupakan Allah. Salat maghrib memberikan
pencerahan ruhaniyah sehingga orang tidak mudah terlena begitu saja
dengan kehidupan duniawi.
Waktu isya adalah waktu manusia mengakhiri perjalanan
hidupnya pada hari itu sebelum ia tidur. Waktu ini sangat sesuai untuk
evaluasi terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukannya sejak bangun
pagi hingga malam hari.
Waktu salat telah ditentukan dengan pasti sehingga orang yang
mampu mrlakukannya secara disiplin, niscaya akan menghasilkan pula
pribadi-pribadi yang memiliki disiplin tinggi. Kemampuan untuk
melakukan salat tepat waktu, adalah sebuah jaminan bahwa orang
tersebut, di samping bisa dipercaya juga memiliki kesadaran akan arti
penting sebuah waktu yang harus ditepati. Kesadaran terhadap waktu
merupakan salah satu tanda dari orang yang memiliki kepribadian.

5
Salat adalah ibadah yang terdiri dari gerakan dan bacaan (aqwal
wa af’al). gerakan dan bacaan salat mengandung makna simbolik, yaitu:
b. Gerakan mengangkat tangan

Gerakan pertama salat adalah mengangkat dua tangan ke arah


kiblat (Takbir). Mengangkat tangan adalah tanda hormat dan
memuliakan Allah yang ada di hadapannya kemudian menyerahkan
segenap hidupnya kepada Allah. Gerakan awal salat dengan mengangkat
tangan merupakan simbol bahwa setiap gerak kehidupan bermula dari
Allah atau semua aktifitas setiap muslim seyogyanya diniatkan karena
Allah. Dari sudut kesehatan, Syafi’i (2006:70) gerakan mengangkat
kedua tangan dan meluruskan kembali punggung dapat menambah
kelapangan rongga dada. Ruang gerak paru-paru dan kuantitas darah
yang kaya oksigen juga akan bertambah. Demikian pula darah yang
mengalirkan oksigen dan sari makanan ke sel tubuh, akan bertambah
pula, dan pembersihan dari sisa-sisa proses penyerapan sari makanan dari
sel tubuh. Hasilnya, otot tidak akan cepat lelah atau tertekan (stress).
Dengan demikian, vitalitas anggota tubuh akan semakin bertambah.

Setelah mengangkat tangan dan membaca takbir, telapak tangan


kanan diletakkan di atas pergelangan tangan kiri. Jari telunjuk dan tengah
berada di depan lengan bagian bawah. Sementara jempol, jari manis dan
kelingking memegang lengan bagian bawah dan diletakkan diantara
pusar dan tulang rusuk. Meletakkan dua tangan di dada.

Sebelum takbir orang yang hendak salat memulainya dengan niat.


Niat merupakan visi ke depan dengan mengawali dengan bacaan
bismillahirrahmanirrahim;Asma Allah yang Maha Rahman Maha Rahim
dan takbirratul ihram merupakan aktifitas yang dilakukan sebagai
pembuka ibadah salat dengan kesucian hati dengan sifat yang dibaca
Allahu Akbar Allah Maha Agung.

Do’a iftitah merupakan do’a penyerahan diri secara total kepada


Allah, Agustian (2001:205) menyebutkan bahwa menyatakan doa ini
berulang-ulang tentang kesucian Allah akan mendoktrin jiwa seseorang
untuk selalu mengikuti teladannya yaitu Allah yang Maha Suci. Secara
sadar atau melalui pikiran bawah sadar, doktrin ini akan mengubah atau
menjaga sikap dan karakter kecerdasan emosi dan spiritual yaitu
kemampuan untuk bebas dan merdeka dari berbagai belenggu hati dan
pikiran, di mana hasil akhir yang diharapkan adalah sebuah fitrah atau
hati yang sangat cerdas. Ucapan doa iftitah menciptakan rasa aman dan
tentram. Bahwa segala kegiatan seseorang mulai dari salatnya, ibadahnya
(kegiatannya), kehidupannya dan hingga matinya, semata-mata hanya

6
untuk Allah Yang Maha Esa. Ini adalah suatu komitmen jiwa manusia
dalam rangka menghadapi kondisi lingkungan yang serba tidak bisa
diramalkan ini. Lingkungan akan selalu berubah dengan cepat, tetapi
komitmen ini akan abadi di dalam jiwa yang kuat yang telah dipenuhi
oleh kekuatan iman. Doa ini pun sebenarnya adalah suatu syahadah atau
penetapan misi dan prinsip hidup seseorang baik di dalam berpikir dan
bertindak atau pun bertingkah laku.

c. Rukuk

Rukuk adalah merendahkan/ membungkukkan badan ke depan,


merenggangkan kedua siku dari lambung dan meletakkan kedua tangan
di atas kedua lutut. Rukuk merupakan symbol penyerahan diri kepada
Allah dengan menundukkan kepala tanda kepatuhan dan ketaatan yang
tanpa batas ke hadapan Allah sambil membaca tasbih; menyatakan
kesucian Allah Yang Maha Agung. Berulangnya rukuk dalam tiap salat
merupakan proses penguatan terus menerus untuk mensucikan dan
memperhambakan diri kepada Allah sehingga dimungkinkan lahirnya
sikap rendah ahti dan terbebas dari sikap congkak dan sombong.

Dari segi kesehatan, syafi’i (2006:90) menyatakan bahwa posisi


rukuk, yaitu meluruskan punggung dan menyejajarkan kepala dengan
pinggul, berarti memosisikan punggung sejajar laksana bumi, datar dan
rata. Maka aliran darah dalam tubuh berada di bawah pengaruh dua
kekuatan, kekuatan bagian atas, yaitu tekanan jantung terhadap darah,
dan kekuatan dari bawah berupa daya gravitasi bumi, yaitu daya tarik
bumi terhadap darah. Sebagai akibat dari pengerutan otot-otot di dua sisi
bagian bawah, darah kembali menekan ke atas, tepatnya ke jantung.
Inilah kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi aliran darah. Karena
dalam rukuk punggung sejajar dengan bumi, maka mungkin tidak ada
kekuatan daya tarik bumi terhadap darah di bagian dada dan kepala, yang
ada hanya daya tekan jantung terhadap darah yang mengarah ke kepala,
maka kuantitas darah dalam kepala semakin banyak. Semakin banyak
darah yang mengalir ke otak, akan banyak membantu mengobati rasa
pusing akibat berpikir keras atau tumpukan hasil proses pencernaan
makanan, dan akan membantu menyegarkan kembali pikiran. Hal ini
disebabkan bertambahnya oksigen dan sari makanan serta semakin
cepatnya pembersihan sisa pembakaran di otak.

d. I’tidal

I’tidal adalah berdiri tegak setelah rukuk sambil membaca:


“sami’allahu liman hamidah”. Berdiri sejenak dengan tenang
(thuma’ninah) adalah symbol ketenangan batin setelah penyerahan diri

7
dan tunduk kepada Allah secara total dalam rukuk. Penyerahan diri
secara mutlak akan melahirkan ketenangan dan ketentraman yang luar
biasa. Ketenangan akan menghilangkan rasa takut terhadap kehidupan
yang disimbolkan dalam I’tidal dengan berdiri tegak. Tegak dan teguh
berhadapan dengan manusia dan kehidupan dunia; siap untuk
menghadapi segala permasalahan hidup dengan tetap bersyukur terhadap
hasil kerjanya sebagai anugrah Allah.

e. Sujud

Sujud adalah meletakkan kepala di atas lantai. Kepala merupakan


bagian dari anggota badan yang dipandang sebagai simbol kemuliaan
seseorang. Orang yang salat meletakan kepalanya di tempat yang paling
rendah (tanah/lantai) di hadapan Allah, hal ini menunjukkan kemuliaan
manusia tidak ada artinya di hadapan Allah Yang Maha Mulia. Siapa saja
yang melaksanakan salat; tanpa dibedakan kedudukan dan jabatannya, ia
harus bersujud sebagai bukti bahwa ia hina dan segenap hidupnya
diserahkannya kepada Allah. Menurut Ibn Qayyim (1992:189) sujud juga
menyadarkan manusia akan asalnya yang dari tanah dan akan
mengembalikannya kepada tanah pula.

Pada sujud, posisi kedua telapak tangan sejajar dengan kedua


bahu pada lantai yang sama dan kening menyentuhnya, sedangkan jari-
jari tangan diluruskan dan dirapatkan. Gerakan tersebut menurut Syafi’i
(2006:127) dapat mencegah perut buncit dan melebarnya tulang lumbal;
melindungi dari penyakit asam urat, yaitu rasa nyeri mulai dari bawah
telapak kaki hingga sekitar tulang lumbal atau sepanjang kaki bagian
belakang.

f. Duduk diantara dua sujud

Kemuliaan Allah yang tidak terbatas dan hinanya manusia di


hadapan Yang Maha Mulia yang digambarkan dalam sujud akan
melahirkan jiwa yang tenang yang digambarkan dengan duduk diantara
dua sujud seraya menyadari kesombongan diri yang telah dilakukannya
kemudian berbisik meminta ampunan, rahmat, rizki, dan kesehatan.ibn
Qayyim (1992:191) menyebutkan bahwa tujuan duduk di antara dua
sujud adalah untuk berdoa seraya meminta pengampunan dan kasih
sayang.

g. Takbir pada setiap pergantian gerakan salat


Takbir setiap pergantian gerakan salat mengandung makna
penguatan (reinforcement) terus menerus suara hati sehingga suara itu
terus hidup mencerdaskan emosi dan spiritual sekaligus memelihara

8
kepekaan jiwa. Apabila kondisi itu dilakukan berulang-ulang, maka ini
akan menjadi sebuah doktrin yang akan mengisi jiwa baik sadar atau
tanpa disadari melalui mekanisme repetitive magic power, yang
berujung pada pemilikan tingkat kecerdasan emosi dan spiritual yang
tinggi atau seseorang yang berakhlak mulia yang merupakan syarat
utama keberhasilan (Agustian 2001:201).
h. Salam
Mengakhiri salat dengan membaca salam sambil memalingkan
wajah ke kanan dan ke kiri. Kanan dan kiri merupakan symbol
hubungan horizontal atau hubungan dengan sesama makhluk artinya
salah membawa misi akhir untuk memberikan keselamatan dan
kedamaian kepada sesama makhluk. Karena itu orang yang salat akan
membawa misi perdamaian dan keselamatan kepada sesama manusia
dan makhluk lainnya. Hal ini senada dengan inti dari salat yang
diungkapkan oleh Alquran: “ inna shalata tanha ‘an al fakhsya wa al
munkar” (sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan dosa dan
kemunkaran). Dosa dan kemunkaran tempatnya di tengah-tengah
masyarakat, karena itu salat yang bermakna adalah salat yang meberikan
bekas kebaikan kepada masyarakat di mana orang yang salat itu berada.

2.1.2 Ketentuan dan makna puasa


Puasa (shaum) menurut asal katanya berarti menahan, sedangkan
menurut istilah syara’ berarti menahan dari makan dan minum serta yang
membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Puasa termasuk salah satu dari ibadah mahdhah, karena itu tata
cara dan pelaksanaannya telah diatur secara lengkap oleh syariat Islam
berdasarkan firman Allah dan contoh Rasul-Nya. Karena itu tidak bisa
menambah dan mengurangi pelaksanaan puasa kecuali ada perintah dan
contoh yang jelas. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa puasa dalam ajaran Islam adalah menahan diri dari segala
minuman dan makanan serta semua hal yang membatalkan puasa,
termasuk di dalamnya merokok dan tidak disebut puasa yang hanya
makan makanan atau minuman tertentu saja. Waktu berpuasa dimulai
dari terbit fajar sampai terbenam matahari, karena itu tidak boleh (haram)
berpuasa siang malam, berpuasa terus menerus, atau berpuasa malam
hari dan berbuka siang hari.

Berpuasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap


muslim yang telah baligh (dewasa), dan sehat. Bagi anak-anak sebaiknya
disuruh berpuasa sebagai pendidikan dan latihan sehingga kalau
dewasanya nanti sudah terbiasa puasa.

9
Puasa wajib berarti jika dilaksanakan mendapat ganjaran dan
apabila ditinggalkan mendapat siksa Allah Swt. Di samping puasa
Ramadhan ada pula puasa yang wajib, yaitu puasa nadzar. Puasa nadzar
adalah puasa yang dijanjikan, yaitu seseorang yang berjanji apabila
memperoleh sesuatu akan melaksanakan puasa. Misalnya seseorang
bernadzar apabila ia lulus kuliah ia akan puasa, maka apabila ia lulus
wajib melaksanakan puasanya.

Wajibnya puasa Ramadhan didasarkan kepada firman Allah:

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa,


sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertaqwa.

(QS.Albaqarah,2:183)

Orang yang hendak puasa dianjurkan untuk makan Sahur, yaitu


makan pada waktu setelah lewat tengah malam sebelum fajar. Makan
sahur merupakan perbuatan sunat sebagaimana disabdakan Nabi:

Sahurlah kalian, karena pada sahur terdapat berkah (hadis mutafaq alaih)

Demikian pula, ketika datang waktu terbenam matahari atau


waktu salat maghrib, maka segeralah berbuka puasa. Menyegerakan buka
adalah perbuatan yang dicintai Allah sabda Nabi:

10
Dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda: Allah berfirman
hambaKu yang paling aku cintai adalah mereka yang menyegerakan
buka. HR. Tirmidzi.

Dalam melaksanakan ibadah puasa terdapat bagi orang-orang


tertentu dapat keringanan untuk tidak berpuasa dengan ketentuan tertentu
pula, sebagaimana diungkapkan Allah dalam Alquran:

Berdasarkan ayat di atas, maka orang-orang yang boleh


membatalkan puasanya sebagai berikut:

a. Orang yang sakit


Orang yang sakit boleh berbuka puasa, tetapi wajib
menggantinya di luar bulan puasa apabila ia telah sembuh
b. Orang yang sedang berada di perjalanan (musafir)
Orang yang sedang berada di perjalanan atau bepergian boleh
tidak berpuasa, tetapi ia wajib menggantinya di luar bulan
Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkannya
c. Wanita yang sedang haid (menstruasi) dan nifas
Wanita yang sedang haid dan nifas tidak boleh (haram)
berpuasa, tetapi ia wajib untuk mengganti puasanya sebanyak
hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain di luar bulam
Ramadhan
d. Perempuan yang hamil dan menyusui
Perempuan yang sedang hamil yang apabila berpuasa
dikhawatirkan dapat mengganggu dirinya atau bayi yang
sedang dikandungnya
e. Orang yang tidak mampu lagi berpuasa
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena terlalu tua,
atau orang yang sakit dan tidak mempunyai harapan sembuh,
boleh tidak berpuasa, tetapi wajib menggantinya dengan cara
membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin setiap
hari seharga makanan yang biasa ia makan setiap hari.
Misalnya ia makan dua kali setiap kali makan Rp 10.000,-
maka fidyahnya adalah 2 x Rp 10.000,- x 29 hari ( jumlah
hari puasa yang harus dibayar)

11
Berpuasa tidak hanya sampai menahan makan dan minum
saja, tetapi juga menjaga perkataan dan perbuatan yang dapat
mengurangi nilai puasa, yaitu berkata kotor, bertengkar,
mengumpat, membicarakan orang lain, dan melakukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan misi puasa. Menahan diri dari ucapan
dan perbuatan tersebut pada dasarnya adalah usaha sungguh-
sungguh untuk member makna puasa yang intinya latihan untuk
mengendalikan diri.

Puasa sebagai ibadah khusus memiliki makna yang sangat


dalam antara lain:

a. Mendidik orang untuk sabar


Hakekat puasa adalah menahan diri terutama menahan
dari dorongan nafsu. Usaha untuk menahan sesuatu yang
diinginkan memerlukan kesabaran. Kesabaran adalah
hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, yaitu usaha
untuk menaklukan dan mengendalikan segala keinginan
yang berangkat dari nafsu. Puasa sebagai usaha menahan
makan dan minum siang hari, dalam pelaksanaannya
memerlukan kesabaran. Sabara untuk menunggu sampai
waktu yang telah ditentukan. Sabar untuk tetap mentaati
perintah, walaupun melakukannya menghadapi kesukaran.
b. Mendidik dan membina keimanan
Puasa mendidik dan membina iman seorang muslim,
sebab dalam berpuasa ada terdapat godaan-godaan. Orang
yang berpuasa memerlukan dasar keimanan, karena
seseorang itu berpuasa atau tidak tergantung kepada yang
bersangkutan. Seseorang bisa saja berpura-pura puasa dan
orang lain tidakakan mengetahuinya. Yang mengetahui
kondisi yang sebenarnya adalah dirinya sendiri dan Allah
Swt. Karena itu, dalam puasa terdapat pendidikan dan
pembinaan iman yang dilakukan dengan selalu berusaha
merasakan kehadiran Allah bersamanya.
c. Mendidik kepedulian sosial
Puasa yang berintikan pengendalian diri mengandung
makna yang sangat luas. Dengan puasa orang dapat
berempati dengan merasakan penderitaan orang lain
sehingga timbul perasaan kasih mengasihi dengan sesame
manusia.

Berpuasa adalah menahan diri dari makan dan minum


serta tindakan yang membatalkan puasa . menahan diri adalah

12
menahan keinginan yang menyenangkan dirinya, karena itu orang
yang berpuasa akan merasakan perasaan orang yang keinginan
dan kebutuhannya tidak tercapai. Termasuk merasakan sakitnya
orang yang lapar dan haus. Karena itu berpuasa mendidik orang
untuk memiliki perhatian dan kepedulian sosial kepada sesama
manusia.

Nilai yang terdapat dalam puasa adalah mengendalikan


dan membatasi diri dari berbagai macam dorongan keinginan atau
hawa nafsu. Sikap semacam itu apabila dilakukan oleh
masyarakat dapat menjelma menjadi sikap sosial yang memiliki
ketahanan menal yang kuat dan dapat menghindarkan dari
kerusakan masyarakat.

Ulama ahli Tasawuf antara lain Maliki Tabrizi (2005:5)


melihat puasa dari sisi kesehatan jiwa mengungkapkan beberapa
makna, yaitu:

1. Menerbitkan kesucian hati dan pikiran seseorang. Rasa lapar


dalam berpuasa dapat menjadikan pikiran tajam (peka),
memberikan kemudahan memahami realitas dan terjaga
dengan kesadaran sehingga hati siap menerima makrifat.
2. Menimbulkan kerendahan hati, kemurahhatian, dan
pematangan diri dari setiap hal yang menjauhkan dari Allah
Swt. Seorang yang berpuasa bisa terbatas dari efek buruk
pelanggaran batas dan penyembahan keliru terhadap Allah
Swt, seperti arogansi, egoisme, dan kesombongan. Melalui
rasa lapar, orang akan mampu membebaskan diri dari
berbagai malapetaka kemanusiaan tersebut, sekaligus akan
dapat menyiapkan dirinya untuk rendah hati, taat dan tunduk
di hadapan Allah Swt.
3. Menurunkan intensitas gairah sensual dan motivasi-motivasi
lain yang mengajak manusia kepada dosa dan penyimpangan
4. Mengurangi tidur; banyak tidur merupakan salah satu faktor
dalam penyia-nyiaan waktu sehingga dengan mengurangi
tidur dapat memberikan kesempatan untuk beribadah dan
berdoa guna menapaki tangga Ilahi menuju kedudukan
spiritual yang terpuji.

2.1.3 Ketentuan dan makna haji


Haji adalah berkunjung ke baitullah untuk melakukan ibadah.
Haji merupakan salah satu bentuk ibadah khusus yang tata caranya

13
ditentukan dalam syariat Islam. Kewajiban haji bagi umat Islam
beardasarkan firman Allah:

.. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu


(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.
Barangsiapa (mengingkari kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS.Ali Imran, 3:97)

Setiap muslim yang sudah memilioki kemampuan untuk


melaksanakan haji sebaiknya segera berhaji; jangan ditunda-tunda. Sabda
Rasulullah: “barangsiapa berkeinginan haji, maka segeralah laksanakan”
(R.Ahmad dan Abu Dawud)

1. Syarat-syarat wajib haji


Haji diwajibkan bagi mereka yang sudah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Islam, dan tidak diwajibkan haji bagi nonmuslim
b. Baligh (dewasa)
c. Aqil (berakal sehat)
d. Bagi perempuan: harus dengan mahramnya, suami, orang tua,
atau yang lainnya. Kalau tidak ada maka tidak wajib haji baginya.
e. Istitha’ah (mampu), dengan syarat-syarat: sehat, perjalanan harus
aman, jemaah haji tidak takut terhadap jiwa dan harta
kekayaannya, cukup nafkah (biaya hidup) bagi keluarga yang
ditinggalkannya sampai yang bersangkutan kembali, tidak ada
hal-hal yang menghalangi untuk berhaji, seperti ditahan, atau ada
larangan dari pihak penguasa yang zalim. Jika orang yang tidak
mampu, tetapi memaksakan untuk berhaji, maka hajinya tetap
sah.
2. Rukun Haji
a. Ihram
b. Wukuf di Arafah
c. Thawaf Ifadlah
d. Sa’I antara Shafa dan Marwah
e. Bercukur
f. Tertib (jika salah satu rukun ini ketinggalan maka hajinya batal).

Ihram ialah memakai pakaian yang tidak berjahit, adapun


perempuan boleh memakai pakaian apa saja yang bisa menutupi sesuai

14
syariat Islam. Ihram ini mempunyai miqot Zamani, yaitu batas waktu
untuk ibadah haji, mulai 1 Syawal hingga terbit fajar 10 Dzulhijjah tahun
tersebut. Bila ihram tersebut dilakukan sebelum atau sesudah batas waktu
tersebut maka batal hajinya dan dihitung sebagai umrah, karena umrah
boleh dikerjakan sepanjang tahun. Sedang haji diperbolehkan pada
waktu-waktu tertentu saja.

Ihram juga memiliki miqot Makani, yaitu batas tempat untuk


mulai ber-Ihram sesuai dengan arah kedatangannya yang telah ditentukan
oleh Rasulullah, yaitu: Juhfah, Dzul Hulaifah, Datul Irq, Qarnul Manazil,
dan Yalamlam. Miqot Makani bagi orang Indonesia adalah Yalamlam
bersama Yaman, India, dan sekitarnya. Yalamlam adalah sebuah gunung
yang terletak di selatan Mekkah Al-Mukarramah.

Jemaah haji tidak boleh melewati miqot-miqot tersebut kecuali


berihram, baik yang datang lewat darat, laut, maupun udara. Apabila
jemaah haji mendahulukan ziarah ke Madinah Al-Munawarrah dan
masjid nabi sebelum haji, maka tidak diharuskan berihram dan miqotnya
ialah miqot orang Madinah yaitu “Bir Ali”

Seseorang yang sedang berihram ketika haji atau umrah, maka


tidak diperbolehkan melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Nikah, menikahkan, meminang, atau hal-hal yang berkaitan dengan


hal tersebut;
b. Memakai pakaian berjahit, bertangkup bagi laki-laki;
c. Menutup kepala yang melekat seperti topi, kalau tidak melekat boleh
seperti payung;
d. Jangan memakai alas kaki yang menutupi jari dan mata kaki;
e. Berburu binatang buas, atau membunuh binatang. Atau memotong
pepohonan atau rumput dengan tujuan untuk merusak. Boleh
memotong tanaman untuk dimanfaatkan sebagai obat-obatan atau
lainnyam seperti biji-bijian dan sayur-sayuran;
f. Bercukur, memakai wangi-wangian, memotong kuku dan mencabut
bulu badan. Boleh membersihkan rambut atau mandi dengan
memakai sabun yang tidak ada wangi-wangiannya. Jika melanggar
salah satu larangan tersebut, maka harus membayar fidyah menurut
jenis pelanggarannya. Kecuali bersetubuh, apabila dilakukan, maka
hajinya batal.

Ada tiga macam ihram yang harus diniatkan ketika berhaji, yaitu

a. Haji tamattu, yaitu melaksanakan ibadah haji dengan


mendahulukan umrah daripada haji. Melaksanakan haji dengan

15
cara ini diwajibkan membayar dam atau puasa tiga hari di Mekah
dan tujuh hari setelah kembali ke negaranya
b. Haji Ifrad, berihram untuk berhaji, dan mengerjakan umrah di
luar bulan-bulan haji, apabila sebelumnya belum pernah umrah.
c. Haji Qiran, yaitu berihram untuk haji dan umrah sekaligus.
Apabila dipisahkan antar keduanya seperti niat untuk umrah
kemudian niat untuk haji sebelum thawaf, maka harus bayar dam
atau puasa tiga hari di haji dan tujuh hari setelah kembali ke
negaranya.
Bagi yang mau berihram disunatkan mandi terlebih dahulu, salat
dua rakaat, memotong kuku. Setelah berpakaian ihram dan
mengerjakan salat dua rakaat disunatkan membaca talbiyah.
Adapun perempuan tidak disunatkan mengeraskan talbiyah,
cukup hanya bisa didengar sendiri dan sekitarnya.

3. Wajib Haji

Wajib pada ibadah haji seperti rukun pada ibadah lainnya,


bedanya jika meninggalkan yang wajib boleh dibayar dengan dam,
sedangkan apabila meninggalkan yang rukun, maka ibadah hajinya batal
dan harus diulang pada kesempatan lain.

Wajib haji itu adalah:

1) Ihram dari miqot;


2) Mabit di Muzdalifah;
3) Lempar jumrah;
4) Bermalam di mina pada hari-hari tasyriq;
5) Thawaf wada

4. Sunat-sunat ihram
1) Mandi
2) Memakai wangi-wangian sebelum ihram
3) Tidak memakai pakaian berjahit atau sandal yang menutupi
jari dan mata kaki
4) Salat dua rakaat untuk ihram kemudian niat

5. Thawaf

Thawaf ialah mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali putaran,


dimulai dari hajar aswad dan diakhiri di hajar aswad pula. Disunatkan
lari-lari kecil pada tiga putaran pertama. Sedang putaran keempat dan
seterusnya berjalan kaki biasa.

16
Syarat-syarat thawaf:

1. Niat untuk thawaf


2. Suci dari hadats kecil dan hadats besar
3. Suci dari najis
4. Menutup aurat
5. Putaran harus tertib, tidak diselingi pekerjaan yang tidak
perlu
6. Sa’I

Sa’I adalah berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara Shafa


dan Marwah, dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah.

Syarat-syarat Sa’i:

1. Dilakukan tujuh kali, dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di


bukit Marwah
2. Dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali dan dari Marwah ke
Shafa dihitung satu kali
3. Niat Sa’i
4. Dilakukan dalam lingkungan mas’a (antara Shafa dan
Marwah)

Sunat-sunat Sa’i:

1. Memasuki tempat sa’I dari pintu shafa


2. Naik ke bukit shafa melihat ka’bah dan tidak disunatkan naik
bagi perempuan jika tidak memungkinkan
3. Sa’I dilakukan setelah thawaf langsung
4. Lari-lari kecil antara dua tanda lampu hijau yang dipasang di
tempat sa’i

Ibadah haji bukan hanya dipandang sebagai ritual, tetapi memiliki


implikasi sosial yang luas bagi orang yang melaksanakannya. Setiap
orang yang melaksanakan ibadah haji selalu berharap memperoleh
predikat sebagai haji mabrur, atau haji yang baik dan diterima Allah. Haji
mabrur tidak saja disebabkan karena syarat, rukun, wajib, dan sunnah
haji dilaksanakan selama ibadah, tetapi hajinya memberikan makna
dalam kehidupan setelah ibadah haji. Quraisy Shihab menyebut bahwa
haji mabrur itu ditandai dengan dilakukannya makna yang tersimpan
pada simbol ritual haji dalam kehidupan pasca ibadah haji. Makna
dibalik symbol haji antara lain:

17
1) Pakaian haji (ihram)

semua orang yang melaksanakan ibadah haji berpakaian kain


putih tanpa jahitan. Pakaian adalah simbol kehidupan dunia dan
keragaman pakaian menandakan keragaman kehidupan dunia. Di
hadapan Allah, atribut duniawi seperti harta dan kedudukan tidak ada
artinya. Semua orang berpakaian sama menandakan kesamaan
manusia; tidak ada satu ras, bangsa, dan asal usul yang diunggulkan
di hadapan Allah, hanyaa ketakwaan yang menjadi ciri keunggulan
atau kemuliaan seorang manusia.

2) Thawaf

Thawaf adalah berjalan keliling ka’bah sebanyak tujuh


keliling. Berjalan adalah bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya,
sedangkan bergerak merupakan tanda dari kehidupan karena hakikat
hidup adalah bergerak dan diam adalah hakikat dari kematian. Tujuh
seringkali diartikan bilangan tiga sampai tak terhingga sebagaimana
arti tujuh lapis langit yang mengandung arti kekuasaan Allah yang
tak terhingga.

3) Sa’I

Sa’I adalah berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Sa’I


adalah mengulangi pengalaman Siti Hajar yang mencari air untuk
memberi minum bayinya, Ismail. Air adalah simbol kehidupan
manusia, mencari air adalah mencari kehidupan di dunia. Simbol
tersebut mengandung pesan bahwa orang yang melaksanakan haji
diajari untuk memulai hidup dari titik berangkat kesucian niat, alat,
dan modal dasar yang digunakannya agar dapat mencapai tujuan
hidup yang sempurna.

4) Melempar Jumrah

Jumrah adalah lambang setan, yakni kekuatan jahat yang


menggoda manusia agar terjerumus kepada dosa, kerugian, dan
kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat. Setan adalah musuh yang
dibenci setiap muslim, dan dalam ibadah haji diwajibkan melempar
jumrah sebagai simbol membenci setan.

5) Wukuf

Wukuf adalah diam; kontemplasi dan evaluasi diri


(muhasabah) di hadapan Allah. Dalam wukuf, seorang hamba
berkontemplasi mendekatkan kepada Allah sehingga terasakan

18
kehinaannya di hadapan Yang Maha Mulia sehingga hilang rasa dan
sikap kesombongannya. Dalam diamnya itu, seorang hamba dialog
dengan dirinya sendiri sehingga ia mengenal persis siapa dirinya di
dunia di hadapan Allah Yang Maha Besar. Pengenalan dan
pemahaman terhadap diri merupakan jalan terdekat untuk memahami
Allah.

6) Arafah

Tempat wukuf itu bernama Arafah. Kata Arafah berarti


mengenal atau memahami yang seakar dengan arti ma’rifah. Di
Arafah seharusnya mereka yang melaksanakan ibadah haji
menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, di sana
pula seharusnya mereka menyadari langkah-langkah nya selama ini.

1.3 Pengertian Muamalah


Secara umum, muamalah adalah suatu perkara atau urusan yang

mengatur hubungan sesama manusia, baik secara individu maupun

berkelompok (masyarakat). Adapun pengertian muamalah menurut ilmu

ekonomi islam adalah hukum yang bertalian dengan harta, hak milik, jual

beli, utang piutang, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan berbagai jenis

hubungan yang sejenis dengan itu.

Tujuan Allah SWT, menghadirkan hukum muamalah adalah agar

terciptanya suatu kehidupan bermasyarakat yang tentram, damai, makmur,

dan sejahtera. Hal ini karena manusia merupakan makhluk sosial yang perlu

berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain. Secara tegas Allah sudah

menggariskan hal ini dalam firman-Nya:

Artinya:

19
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

permusuhan…”(QS. Al-Maidah/5:2)

Tolong menolong yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perintah

tolong menolong dalam hal kebaikan dan takwa. Salah satunya, memenuhi

kebutuhan hidup sesame. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, manusia diperintahkan Allah untuk menggali semua sumber

ekonomi yang ada di bumi ini dengan jalan saling bermuamalah.

Dalam bermuamalah, Islam memberi batasan-batasan yang harus

dipatuhi dan tidak dilanggar oleh setiap manusia. Larangan-larangan tersebut

sebagai berikut:

a. Tidak boleh bermuamalah dengan cara batil

b. Larangan untuk bertransaksi jual beli yang haram

c. Tidak boleh melakukan perbuatan yang merugikan atau menzalimi orang

lain

d. Larangan untuk melakukan riba saat melakukan transaksi

e. Larang mempermainkan kehalalan dan kualitas barang atau jasa tersebut

f. Tidak boleh melakukan spekulasi atau berjudi.

1.3.1 Macam-macam Muamalah


1. Khiyar
Makna khiyar yaitu boleh memilih antara dua, apakah ingin
meneruskan akad jual-beli atau ingin mengurungkan (ditarik kembali,
tidak jadi jual beli). Khiyar fungsinya menurut syara’ agar kedua orang
yang berjual beli dapat memikirkan dampak positif negatifnya masing-
masing dengan pandangan ke depan, supaya tidak akan terjadi
penyesalan di belakang atau kemudian lantaran merasa tertipu.
Pembagian Khiyar:

20
a. Khiyar majlis yaitu si penjual dan si pembeli boleh memilih antar dua
perkara tadi selama keduanya masih di tempat jual beli, khiyar majlis
ini diperbolehkan dalam semua macam jual beli.
Sabda Rasulullah SAW, yang diriwatkan oleh bukhari dan Muslim,
yakni : “Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan
meneruskan jual beli mereka atau tidak), selama keduanya belum
bercerai dari tempat akad”. Khiyar majlis akan habis dengan
persyaratan :
1. Keduanya memilih akan terusnya akad. Apabila salah seorang
dari keduanya memilih akan terusnya akad, habislah khiyar dari
pihak dia, tetapi hak yang lain masih ada/ tetap
2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli. Artinya
berpisah ialah mneurut adat kebiasaan. Apabila adat telah
menghukum bahwa keadaan keduanya telah terpisah. Tetaplah
jual beli antara keduanya; apabila adat mengatakan belum
berpisah, masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya.
b. Khiyar Syarat ialah khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh
keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual: “Saya jual
ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau
kurang”.
Khiyar syarat ini boleh dilakukan dalam segala macam jual beli,
terkecuali barang yang wajib diterima di tempat jual beli, contoh
barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga
malam, terhitung dari ketika akad. Hal ini sabda Rasulullah SAW,
yaitu: “ Engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau
beliselama tiga hari tiga malam”. (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)
c. Khiyar ‘Aibi (cacat) ialah si pembeli boleh mengembalikan barang
yang dibelinya, apabila terdapat pada barang yang dibeli itu suatu
cacat yang mengurangi yang dimaksud pada barang itu, atau
mengurangi harganya, di mana sebelumnya barang itu baik, dan
sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu,
atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya.
2. Salam
Salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat dzatnya, hanya ditentukan
dengan sifatnya, barang itu ada di dalam pengakuan (tanggungan) si
penjual. Misalnya ; kata di penjual “Saya jual kepadamu lemari polos
dari jati, besarnya 110 X 110 cm, tingginya 90 cm, empat kotak, dengan
harga 90.000,00 rupiah”. Kata si pembeli : ‘’Saya beli lemari dengan
sifat tersebut dengan harga Rp 90.000,00”. Dia membayar uangnya
sewaktu ini juga, tetapi lemarinya belum ada.
Firman Allah SWT.

21
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berpiutang
hingga masa (janji) yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan perjanjian
itu”. (Al-Baqarah: 282)
Rukun salam:
1. Si penjual dan si pembeli.
2. Barang dan uang.
3. Sighat (lafadz akad).

Syarat salam:

1. Uangnya dibayar pada waktu akad.


2. Barangnya menjadi hutang atas si penjual.
3. Barang dapat diberikan sewaktu janjinya sampai.
4. Barang itu hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan
ukuran atau bilangan, dan sebagainya.
5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya.
6. Disebutkan tempat menerimanya kalau tempat akad tidak layak buat
menerima barang itu. Akad salam mesti terus berarti tidak ada khiyar
syarat.
3. Serikat (Perseroan)
Macam serikat banyak sekali, hal ini akan dijelaskan yang
terpenting saja, yaitu:
1. Serikat Harta (serikat ‘inan)
Yaitu akad dari dua orang atau lebih untuk berserikat harta yang
ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapatkan keuntungan
(tambahan), dan keuntungan itu untuk mereka yang berserikat itu.
2. Serikat Kerja
Serikat kerja ialah dua orang ahli kerja atau lebih bermufakat atas
suatu pekerjaan supaya keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan
itu. Upaya (hasilnya), untuk mereka bersama menurut perjanjian anta
mereka, baik kepandaian keduanya sama ataupun berlainan, seperti
tukang kayu dengan tukang kayu, atau tukang besi dengan tukang
besi.
Rukun serikat:
1. Sighat (lafadz akad)
2. Orang yang berserikat
3. Pokok pekerjaan

Syarat lafadz:

Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin untuk membelanjakan


barang serikat, seperti dikatakan oleh salah seorang di antara

22
keduanya: “Kita berserikat pada barang ini, dan saya izinkan engkau
menjalankannya dengan jalan jual beli dan lain-lainnya”. Jawab yang
lain: Saya terima seperti yang engkau katakana itu”.

Berserikat hukumnya yaitu: serikat imam menurut sepakat para


ulama mengatakan sahnya; tetapi serikat kerja menurut imam syafi’i
tidak sah dan tidak boleh, tetapi madzab yang lain membolehkannya.

4. Qiradh
Arti qiradh ialah memberikan pokok dari seseorang kepada orang
lain untuk diperniagakannya, sedangkan keuntungan untuk keduanya
menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi
dua atau dibagi tiga.
Pada masa jahiliyah qiradh telah dilaksanakan, kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu agama islam. Timbulnya
qiradh, karena menjadi kenyataan hajat bagi setiap manusia. Qiradh ini
memberikan nilai tambah antara keduanya yang mengandung sifat
tolong-menolong.
Rukun Qiradh:
1. Harta (pokok); baik berupa uang atau lainnya, keadaan pokok
hendaklah diketahui banyaknya.
2. Pekerjaan; yaitu dagang dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan
urusan perdagangan itu, barang yang hendak diperdagangkan begitu
juga tempat, hendaknya tidak ditentukan, hanya diserahkan saja
kepada yang bekerja barang apa dan di tempat manapun, asal
menurut pandangannya ada harapan untuk mendapat keuntungan.
3. Sewaktu akad hendaklah ditentukan keuntungan yang bekerja,
prosentase dari jumlah keuntungan, seperdua atau sepertiga.
4. Yang bekerja dan yang memiliki modal (pokok) disyaratkan keadaan
keduanya orang berakal dan sudah baligh (sampai umur 15 tahun)
dan bukan orang yang dipaksa.
Cara bekerja yaitu yang bekerja hendaklah ikhlas, tidak boleh
menguntungkan barang, tidak boleh membawa barang ke luar negeri,
kecuali dengan izin yang punya pokok, dan dilarang membelanjakan
uang qiradh untuk dirinya sendiri, bersedekah dari barang qiradh juga
tidak diperbolehkan.
Apabila keduanya berselisih (yang bekerja dan yang punya
modal) tentang pembagian keuntungan, kedua-duanya hendaklah
bersumpah, dan yang bekerja diberi keuntungan menurut kebiasaan
yang berlaku di tempat dan waktu itu.
Adapun akad yang dipakai dalam qiradh adalah “akad percaya
mempercayai, maka sekiranya ada sesuatu barang yang hilang, yang
bekerja tidak wajib mengganti, kecuali apabila disebabkan karena

23
lalainya. Sedangkan apabila rugi hendaklah ditutup (diganti) dengan
keuntungan. Juga apabila masih rugi kerugian itu hendaklah dipikul
oleh yang memiliki modal sendiri. Yang bekerja tidak ada kewajiban
untuk menggantinya.
5. Musaqah (Paroan Kebuan)
Pengertian musaqah ialah yang memiliki kebun memberikan
kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan
yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut
perjanjian keduanya sewaktu perjanjian (akad).
Agama islam membolehkan adanya paroan kebun ini karena
banyak yang membutuhkannya. Maka dengan adanya peraturan ini
keduanya dapat hidup dengan baik, yang dihasilkan oleh negara
bertambah banyak pula, dan masyarakat bertambah baik
kehidupannya.
Rukun musaqah
1. Yang bekerja (tukang kebun) dengan yang punya kebun keduanya
hendaklah orang yang sama berhak membelanjakan (bertasharruf)
harta keduanya.
2. Semua pohon yang berbuah atau kebun, boleh diparuhkan,
demikian juga hasil pertahun (palaija) pun boleh menurut
keterangan hadist.
3. Masalah pekerjaan hendaklah ditentukan masanya (waktunya)
seperi satu tahun, dua tahun atau lebih, sekurang-kurangnya masa
kira-kira menurut adat dalam masa itu kebun sudah mungkin
berubah. Pekerjan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah
semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan
dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah, seperti
menyiram, merumput, dan mengawinkannya.
4. Hasil buah hendaklah ditentukan masing-masing sebelum kebun
dikerjakan apa seperdua atau sepertiga.
6. Muzaro’ah dan Mukhabaroh (Paroan Sawah atau Ladang)
Muzaro’ah yaitu paroan sawah atau lading seperdua atau
sepertiga atau lebih kurang, sedangkan benihnya dari petani (yang
bekerja).
Mukhabaroh yaitu paroan sawah atau lading seperdua, sepertiga
atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah.
Muzaro’ah dan mukhabaroh ini ada yang membolehkan da nada
yang tidak (dilarang).
Ulama yang membolehkan:
Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mudzir, dan Khattabi
mereka beralasan dengan hadist, yakni:

24
“ Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabu besar SAW, telah
memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara
oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan
(palawija)”. Riwayat Muslim
Adapun ulama yang melarang beralasan hadist juga yakni:

“ Berkata Rafi’ bin Khalid: “Diantar Anshar yang paling banyak


mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian
tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya
kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan lain tidak
berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW, melarang paroan
dengan cara demikian”. Riwayat Bukhari
Pengertian hadist ini maksudnya apabila ditentukan pengasilan
dari sebagian tanah, mesti kepunyaan orang diantara keduanya
(mereka). Karena kejadian tempo dulu mereka mamarokan tanah
dengan syarat dia akan menambil penghasilan dari sebagian tanah
yang lebih subur. Keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara
adil dan insaf, dan juga tidak diketahui prosentasenya bagian
masing-masing.
Adapun zakat dari paroan sawah atau lading ini ialah:
Diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzaro’ah, zakat
wajib adalah atas petani yang bekerja. Pada hakikatnya dialah
seolah-olah yang punya tanah dengan mengambil sewa tanahny, dan
tidak wajib dikeluarkan zakatnya dari hasil sewaan tanahnya.
Adapun pada Mukhabaroh, zakat diwajibkan atas punya tanah
karena hakikatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil
upah bekerja.
7. Sewa
Menyewa yaitu orang yang mengambil manfaat dengan
perjanjian-perjanjian yang ditentukan oleh syara’
Mempersewakan ialah akad atas manfaat yang dimaksud lagi
diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat
tertentu pula.
Firman Allah SWT.

25
“Jika perempuan menyusui anak kamu, maka hendaklah kamu
beri upah (sewa) mereka. (At-Thalaq: 6)
Rukun mempersewakan:
1. Yang mempersewakan dan yang menyewa, dengan syarat
keduanya:
 Berakal
 Kehendak sendiri (bukan dipaksa)
 Keadaan keduanya tidak bersifat mumadzir
 Masuk umur (baligh)
2. Sewa disyaratkan diketahui dalam beberapa hal:
 Jenisnya
 Kadarnya
 Sifatnya
3. Manfaat dengan syarat:
 Manfaat yang berharga
 Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan
 Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu
8. Ji’alah
Ji’alah ialah barang yang hilang minta supaya dikembalikan dengan
bayaran ditentukan; seperti seseorang kehilangan dompet berisi
STNK, SIM dan sebagainya, dia berkata “Barangsiapa yang
mendapatkan dompetku dan dapat mengemabalikan padaku, aku
bayar sekian”.
Rukun Ji’alah:
1. Hendaklah kalimat itu mengandung arti izin kepada yang bekerja
juga tidak ditentukan waktunya, hal ini disebut “lafadz”
2. Orang yang menjanjikan upahnya. Yang menjanjikan upah itu
boleh yang kehilangan boleh orang lain.
3. Mencari barang yang hilang (pekerjaan)
4. Upah; disyaratkan keadaan upah, barang yang tertentu

Batalnya Ji’alah:

Diantara pihak masing-masing boleh menghentikan perjanjian


sebelum bekerja. Kalau yang menghentikannya (membatalkannya)
orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah waktu dia sudah bekerja
sekali pun. Tetapi apabila yang membatalkan dari pihak yang
menjanjikan upah, yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak
pekerjaan yang sudah ia lakukan.

26
9. Borgh (Jaminan/Rungguhan)
Adanya suatu barang yang dijadikan penguat atau peneguh
kepercayaan dalam utang piutang inilah yang disebut “Borg
(Jaminan/tangguhan)”. Barang itu boleh dipergunakan atau dijual
kalau uatangnya tidak dapat dibayar, hanya cara menjualnya itu
hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu).
Rukun jaminan rungguhan:
1. Kalimat akad (lafadz), seperti “Saya rungguhkan ini kepada
engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab dari
berpiutang; “saya terima rungguhan ini”.
2. Yang merungguhkan dan yang menerima rungguhan; disyaratkan
keduanya ahli (berhak membelanjakan hartanya).
3. Barang yang dirungguhkan
4. Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Faedah barang yang dirungguhkan:

Yang memegang atau menerima rungguhan boleh mengambil


manfaat barang yang dirungguhkan dengan sekedar ganti
kerugiannya, untuk menjaga barang itu. Adapun yang punya barang
tetap berhak mengambil manfaatnya dari barang yang dirungguhkan,
malahan semua manfaatnya tetap milik dia, juga kerusakan
barangpun atas tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat
barang yang dirungguhkan itu walaupun tidak seizing orang yang
menerima rungguhannya, tetapi usahanya untuk menghilangkan
miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak
diperbolehkan kecuali dengan izin yang menerima rungguhan.

10. Hiwalah
Memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan yang lain inilah yang dinamakan “Hiwalah”.
Rukun Hiwalah:
1. Orang yang berutang dan berpiutang (Muhil)
2. Orang yang berpiutang (Muhtal)
3. Orang yang berutang (Muhal alaih)
4. Utang muhil kepada muhal
5. Uatang muhal alaih kepada muhil
6. Lafadz akad (sighat)
11. Dhaman
Makna dhaman ialah meminjaman atau menanggung utang,
menghadirkan barang, atau orang ke tempat yang ditentukan.
Rukun dhaman:

27
1. Yang memjamin disyaratkan keadaannya sudah baligh, berakal,
tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur), dan dengan
kehendak sendiri.
2. Yang berpiutang (madmunlah): syaratnya ia diketahui oleh yang
menjamin.
3. Yang berutang (madmun’anhu).
4. Baik utang, barang, atau orangnya disyaratkan keadaannya
maklum (diketahui) dan tetap keadaannya.
5. Lafadz disyaratkan keadaanya itu berarti jaminan, tidak
digantungkan pada sesuatu dan tidak berarti sementara.
12. Hajru
Hajru ialah melarang atau menahan seseorang dari
membelanjakan hartanya, yang berhak melarang ialah wali atau
hakim. Tujuan larangan ini ada dua macam:
1. Larangan dilakukan terhadap seseorang guna menjaga hak orang
lain, seperti larangan terhadap:
a. Orang yang berutang, sedangkan utangnya tunai dan lebih
banyak dari hartanya. Ia dilarang berbelanja guna menjaga
yang berpiutang.
b. Orang sakit payah dilarang berbelanja lebih dari 1/3 hartanya
guna menjaga hak warisnya.
c. Yang menangguhkan dilarang membelanjakan barang yang
sedang dirungguhkan
d. Murtad (orang yang keluar dari islam)
2. Dilarang karena menjaga haknya sendiri, seperti:
a. Anak kecil hendaklah dijaga tidak boleh membelanjakan
hartanya sehingga berumur baligh dan sudah pandai
bebelanja.
b. Orang gila dilarang berbelanja samapai sembuh
c. Pemboros (orang yang menyia-nyiakan hartanya) dilarang
bebelanja sampai ia sadar.
13. Shulhu (Perdamaian)
Firman Allah SWT.

“Perdamaian itu amat baik” (An-Nisa: 128)


Adapun shulhu ialah akad perjanjian untuk menghilangkan
perdendaman, permusuhan, atau perbantahan. Mengadakan
perdamaian adalah sangat terpuji, malah disuruh dalam agama islam.
Rupanya perdamaian:
1. Perdamaian antara orang islam dengan non islam
2. Perdamaian antara imam dengan kaum bughah (kaum yang tidak
tunduk kepada imam/kaum pemberontak)

28
3. Perdamaian antara suami isti
4. Perdamaian dalam urusan mu’amalat
14. Ikrar (Pengakuan)
Iqrar ialah mengakui akan kebenaran sesuatu yang bersangkutan
dengan dirinya untuk orang lain ; seperti: ada orang mengatakan;
“Saya mengaku bahwa saya telah berutang kepada si anu atau saya
mengaku bahwa saya telah mencuri anu dengan sebagainya.
Firman Allah SWT.

“Hendaklah kamu bersungguh-sungguh untuk menegakkan


keadilan dalam urusan saksi karena Allah, sekalipun kamu bersaksi
atas diri kamu sendiri”. (An-Nisa: 135)
Rukun iqrar:
1. Yang mengaku: disyaratkan keadaannya ahli tasharruf dan
sekehendaknya (dengan kemauan sendiri)
2. Yang diakui olehnya (muqarlah): hendaklah keadaannya berhak
memiliki sesuatu yang diakuinya.
3. Hak yang diakui: disyaratkan keadaan hak, bukan kepunyaan
yang mengakui ketika ia iqrar.
4. Lafadz: syarat lafadz hendaklah menunjukkan ketentuan hak
yang diakui.
15. Wadi’ah (Petaruh)
Firman Allah SWT.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya kamu membayarkan


petaruh yang diserahkan kepada kamu terhadap yang punya”. (An-
Nisa:58)

Wadi’ah (petaruh) ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain


agar dapat memelihara dan menjaganya menurut mestinya.

Hukum petaruh:

1. Bagi seseorang yang dapat mempercayai dirinya adalah sunnat


bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya.
2. Apabila seseorang tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya
sebagaimana mestinya hukumnya haram, karena seolah-olah ia
membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang
dititipkan itu.

29
3. Makruh terhadap orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak
percaya kepada dirinya.

Rukun wadi’ah:

1. Barang yang dipertaruhkan syaratnya yaitu:


Keadaan barang sah dimiliki
2. Yang berpetaruh dan yang menerima petaruh
3. Lafal seperti: “Saya pertaruhkan barang ini kepada engkau”.
Jawabannya: ”saya terima petaruhmu.”
Adapun petaruh akadnya ialah “akad percaya mempercayai”.
Oleh karena itu yang menerima petaruh tidak mengganti apabila
barang yang dipetaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila
rusak dengan sebab sia-sia atau kurang penjagaan, berarti tidak
dijaga sebagaimana mestinya.
16. Hadiah, Sedekah, Hibah, Waqaf
Hadiah ialah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya serta
dibawa ke tempat yang diberi karena hendak memuliakannya.
Sedekah ialah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya
karena mengharapkan pahala di akhirat.
Hibah ialah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya dan
tidak ada karenanya.
Waqaf ialah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat
diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
Rukun hibah, sedekah, dan hadiah:
1. Ijab dan Qabul: saya berikan ini kepada engkau; jawabnya:
“saya terima”
2. Yang memberi; syaratnya ialah orang yang berhak
memberikan hartanya dan memiliki barang yang diberikan.
3. Yang diberi; syaratnya berhak memiliki
4. Barang yang diberikan: syaratnya barang itu dapat dijual,
kecuali:
a. Barang kecil seperti dua, tiga biji beras, tidak sah dijual,
tetapi sah diberikan.
b. Barang yang tidak dijual, tetapi sah diberikan.
c. Kulit bangkai sebelum disamak tidak sah dijual, tetapi sah
diberikan.

Rukun Waqaf:

1. Yang berwaqaf, syaratnnya:


a. Berhak berbuat kebaikan walau bukan islam sekalipun.
b. Kehendak sendiri; tidak sah karena dipaksa.

30
2. Sesuatu yang diwaqafkan., syaratnya:
a. Kekal zatnya; berarti bila diambil manfaatnya, barangnya
tidak rusak.
b. Kepunyaan yang mewaqafkan walaupun musya’
(bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
c. Tempat waqaf (yang berhak menerima hasil waqaf itu)
d. Lafadz waqaf, seperti: saya waqafkan ini kepada orang-
orang miskin dan sebagainya.
3. Syarat waqaf:
1. Untuk selama-lamanya, yaitu tidak dibatasi dengan waktu.
2. Tunai dan tidak ada khiyar syarat.
3. Barang yang diwaqafkan hendaklah terang kepada siapa
diwaqafkan.
17. Luqathoh (barang dapat)
Makna luqathoh ialah mendapatkan sesuatu barang di mana
barang itu didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorangpun.
Adapun mengambil barang dapat hukumnya yaitu:
a. Bagi orang yang percaya kepada dirinya adalah sunnah, ada
suatu kesanggupan untuk memelihara barang yang didapat itu
sebagaimana mestinya.
b. Apabila barang itu berat sangkaannya dan akan hilang tersia-
sia kalu tidak diambil maka menjadi wajib hukumnya.
c. Bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya terhadap
barang yang didapat itu maka menajdi makruh.

Rukun Lutqathoh:

1. Yang mengambil, harua diketahui identitasnya.


2. Barang yang didapat, seperti:
a. Barang yang dapat disimpan lama seperti emas dan perak,
maka harus dipelihara betul dan harus diberitahukan
kepada khalayak ramai, dan disimpan selama 1 tahun.
b. Barang itu tidak tahan disimpan seperti makanan dan
minuman. Barang ini boleh dipergunakan oleh yang
mendapatkan dengan catatan bisa menggantinya apabila
bertemu dengan yang memiliki barang.
c. Barang yang didapat tahan lama dengan berusaha, seperti
susu. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang
lebih bermanfaat bagi yang memiliki (dijual atau dibuat
keju)
d. Sesuatu yang berhajat pada nafkah, yaitu binatang atau
manusia, anak kecil umpamanya.

31
Apabila seseorang mengambil sesuatu yang didapat
dengan sengaja atau khianat, kemudian barang itu hilang dari
tangannya, maka ia wajib mengganti walaupun
diberitahukannya juga kemudian. Sebaliknya apabila dia
mula-mula dengan sengaja untuk amanat kemudian berbalik
menjadi khianat, dia tidak wajib mengganti dengan semata-
mata menyengaja khianat sesudah adanya barang di
tangannya.
18. Ihyaul-Mawat (Membuka Tanah Baru)
Adapun membuka tanah baru bagi orang islam hukumnya adalah
jaiz (boleh), dan sesudah dibukanya tanah itu manjadi miliknya.
Maksud dari tanah baru (ihya’ul mawat) ialah tanah yang belum
pernah dikerjakan oleh siapapun: berarti tanah yang belum dimiliki
oleh siapapun atau tidak diketahui yang mempunyai.
19. Syuf’ah
Syuf’ah ialah hak yang diambil dengan paksa oleh serikat lama dari
serikat baru.
Contoh syuf’ah:
Si A berserikat rumah dengan B, kemudian si B menjual bagiannya
kepada C dengan tidak seizin A . Maka A berhak mengambil
sebagian rumah yang sudah dijual oleh B kepada C tadi dengan
paksa, walaupun tidak disukai C. Hanya harus diambil menurut harga
penjualan B kepada C.
Rukun Syuf’ah:
1. Sebagian barang yang sudah dijual atau diambil; syaratnya
keadaan barang tidak bergerak, adapun barang yang bergerak
dan tidak berlaku syuf’ah, kecuali dengan jalan mengikuti
pada tidak bergerak.
2. Serikat lama atau orang yang mengambil barang; syaratnya;
keadaanya orang yang berserikat pada zat yang diambil dan
memiliki bagiannya.
3. Serikat baru atau yang dipaksa; syaratnya; keadaan barang itu
dimilikinya dengan jalan bertukar, bukan dengan jalan
pusaka, wasiat, atau pemberian.
20. Khasbu (Merampas)
Firman Allah SWT.

“ Janganlah kamu memakan harta orang dengan jalan batil (tidak


halal)”. (Al-Baqarah: 188).

32
Adapaun makna khasbu (merampas) ialah mengambil hak
orang lain dengan cara paksa dan aniaya. Hukumnya adalah haram
termasuk dosa besar.
Di dalam mengadakan suatu pembelaan terhadap orang yang
mau menganiaya itu boleh (jaiz) meskipun sampai membunuh
sekalipun, kalau kita tidak terhindar dari kedzalimannya kecuali
dengan melakukan pembunuhan kepadanya.
21. Bank dan Riba
Pendirian bank dilakukan dengan cara yang tidak baik
termasuk golongan riba, atau barangkali memang sudah sampai pada
arti “darurat”. Pendiriannya tersebut harus melalui suatu
musyawarah baik dari golongan ulama dan pihak ahli ekonomi yang
benar-benar mengatahui seluk beluk bank dan perdagangan.
Adapun makna “Riba” menurut bahasa ialah bertambah
(lebih). Sedangkan menurut istilah syara’ ialah: akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya
menurut syara’ atau terlambat menerimanya.
Mcam-macam riba:
1. Menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama disebut
“Riba Fadhli”.
2. Utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutangkan
“Riba Qiradh”.
3. Penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang “
Riba Nasa”.
22. Ariyah (Pinjam Meminjam)
Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada
yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan
dzatnya, agar dapat dikembalikan dzat barang itu. Maka tiap-tiap
sesuatu yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusak
dzat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Hukum
meminjamkan adalah sunnah.
Rukun meminjam:
1. Yang meminjamkan, dengan syarat:
a. Berhak berbuat baik sekehendaknya.
b. Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang
meminjamkan, walau dengan jalan waqaf atau sewa.
2. Yang meminjam, juga harus orang yang berhak (ahli) menerima
kebaikan.
3. Barang yang dipinjam, dengan syarat:
a. Barang yang ada manfaatnya.
b. Barang yang diambil manfaatnya tidak rusak.
4. Lafal atau ucapan.

33
Apabila barang yang dipinjam itu hilang atau rusak sebab
pemakaian yang diizinkan, yang meminjamkan tidak mengganti
karena pinjam meminjamkan itu berarti percaya mempercayai:
tetapi kalau sebab lain, diwajibkan menggantinya.

2.2.2 Aturan dalam perniagaan


1. Jual Beli
Apabila seseorang menukar sesuatu barang dengan barang
yang lain dengan cara tertentu (akad), inilah yang disebut “Jual
Beli”

“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.


(Al-Baqarah: 275).
2. Hukum Jual Beli
1. Asal hukum jual beli ialah mubah (boleh).
2. Wajib, umpamanya; wali menjual harta anak yatim apabila
terpaksa, begitu juga menjual harta orang yang lebih banyak
utangnya daripada hartanya (muflis).
3. Haram, apabila melakukan jual beli yang terlarang.
4. Sunnah, seperti jual beli kepada sahabat-sahabat atau famili
yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat berhajat pada
barang itu.
3. Rukun Jual Beli
1) Penjual dan pembeli, dengan memenuhi syarat, yakni:
a. Bukan dipaksa (kehendak sendiri).
b. Sehat akalnya.
c. Sampai umur (baligh).
d. Keadaannya tidak mubadzir (pemboros), karena harta
orang yang mubadzir itu di tangan walinya.
2) Utang benda yang dibeli, dengan syarat, yaitu:
a. Keadaannya suci (barang tidak najis).
b. Bermanfaat.
c. Barang itu dapat diserahkan.
d. Barang itu kepunyaan yang menjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang menguasakannya.
e. Barang itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli,
dengan terang dzatnya, bentuk, kadar (ukuran) dan
sifatnya, agar tidak terjadi antara keduanya kecoh
mengecoh.
3) Ijab dan qabul

34
Ijab ialah perkataan si penjual, seperti saya jual barang ini
sekian.
Qabul ialah perkataan si pembeli, seperti saya beli dengan
harga sekian.
Ijab dan Qabul ini menurut sepakat ulama, memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu:
a. Keadaan ijab dan qabul berhubungan
b. Adanya kemufakatan keduanya walaupun lafadz
keduanya berlainan.
c. Keadaan keduanya tidak disangkut pautkan dengan
urusan yang lain seperti; kalau saya jadi pergi, saya jual
barang ini sekian.
d. Waktunya tidak dibatasi, sebab jual beli berwaktu seperti
sebulan atau setahun, tidak sah.
4. Utang Piutang
Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada
seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama
dengan itu, misalnya, berutang Rp 3.000,- akan dibayar Rp
3.000,- pula.
Memberikan utang sesuatu kepada orang lain adalah sama
dengan memberi pertolongan walaupun masih harus
menggantinya.
5. Rukun Utang Piutang
1. Kalimat mengutangi (lafadz) seperti: “ Sayat utangkan ini
kepada engakau”. Jawab yang berutang: “saya mengaku
berutang kepada engaku”.
2. Yang berutang dan yang berpiutang.
3. Barang yang diutangkan.
6. Hukum memberi hutang
Memberi hutang hukumnya sunnah malah menjadi wajib,
seperti mengutangi orang yang terlantar yang sangat perlu atau
berhajat.
7. Menambah bayaran
Apabila kelebihan bayaran itu atas kemauan yang
berutang dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan
itu boleh (halal) bagi yang mengutangkannya, dan bagi yang
membayar utang adalah suatu kebaikan.
Adapun apabila kelebihan itu atas kehendak yang
berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, maka hal
semacam itu tidak diperbolehkan.

35
2.2.3 Beberapa perniagaan yang dilarang
1. Jual Beli Barang yang Tidak Terang
Setiap akad jual beli yang disitu terbuka pintu untuk
pertengkaran, disebabkan tidak terang sesuatu yang dibeli (dijual)
atau ada hal-hal yang bisa membawa kepada perselisihan antara
kedua belah pihak, yang satu merugikan kepada yang lain,
sesungguhnya hal itu dilarang oleh Nabi SAW. Ini adalah untuk
menutup jalan penipuan dan merugikan satu sama lain. Termasuk
dalam hal ini larangan menjual apa yang masih dalam perut
binatang ternak., burung di udara atau ikan dalam air dan
segalanya sesuatu yang bisa menimbulkan kekeliruan dan tidak
diketahui keduanya.
Pada waktu zam Nabi SAW, biasa orang menjual buah-
buahan dalam kebun sebelum jelas buah itu baik. Sesudah akad
jual beli terjadi bahaya alam, menyebabkan buah-buahan itu
rusak. Akibatnya si penjual dan si pembeli berselisih. Si penjual
berkata: “ telah saya jual dan jual beli telah selesai”. Kat si
pembeli: “yang engkau jual padaku ialah buahnya dan sekarang
saya tidak memperolehnya”. Lalu dilarang oleh Nabi SAW,
menjual buah-buahan yang belum terang baiknya, kecuali jika
disyaratkan memetiknya sekarang juga.
2. Harga dipermainkan
Mencampuri kemerdekaan perorangan dalam menetukan
harga barangnya, kalu tidak mengandung unsur-unsur
penganiayaan, niscaya akan menimbulkan tanggung jawab di
hadapn Allah SWT nanti. Tetapi apabila dalam urusan pasaran ini
kemasukan sebab-sebab yang tidak wajar, seperti penimbunan
barang-barang yang dilakukan oleh beberapa saudagar untuk
mempermainkan harta, maka ketika itu kemaslahatan bersama
didahulukan dari kemerdekaan pribadi. Waktu itu dibolehkan
menentukan harga pasaran, untuk menjaga dan melindungi
kepentingan masyarakat, berhadapan dengan kaum yang tamak
memperoleh keuntungan besar bagi dirinya sendiri.
Kesimpulannya, bahwa menentukan pasaran itu
diperbolehkan, apabila kepentingan umum mendesak. Dan
dilarang menetapkan harga dan memaksakan si penjual untuk
menjual barangnya dengan harga tidak disukainya, apabila dalam
keadaan biasa.
3. Menumpuk Barang
Agama islam menentang tindakan sebagian orang yang
sangat mementingkan dirinya sendiri dan tamak untuk
memperoleh kekayaan yang banyak, dengan tidak memikirkan

36
bahaya tindakannya terhadap masyarakat luas. Maka dari itu
menumpuk barang dengan tujuan mempersukar peredaran barang
dan mempunyai keinginan untuk menaikkan harga semula sangat
dilarang oleh Nabi SAW.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menumpuk
barang itu ada dua syarat:
1. Dilakukan dalam suatu negeri (tempat), di mana dengan
menumpuk barang itu akan merugikan masyarakat.
2. Menumpuk barang itu bertujuan untuk naiknya harga, supaya
keuntungan dapat melonjak dari harga semula.
4. Menjual Barang yang Haram
Sabda Rasulullah SAW.

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang sangat menjual


minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (Riwayar Bukhari
dan Muslim).

“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu,


diharamkan-Nya pula hasil penjualannya”. (Riwayat Ahmad dan
Abu Daud).
Dari hadist tersebut mengandung makna bahwa sesuatu yang
menurut biasanya dipergunakan untuk berbuat maksiat yang
dilarang islam atau manfaatnya yang biasa dimaksud oleh orang
banyak merupakan semacam maksiat, maka memperjualbelikan
haram, seperti babi, minuman keras, makanan dan minuman yang
terlarang, berhala, salib (kayu palang), dan sebagainya. Karena
dengan memperbolehkan jual beli dan memperdagangkan barang-
barang itu berarti memberi bantuan dan dorongan kepada maksiat
setidaknya memudahkan, memberi jalan atau mendekatkan
kepada maksiat.
5. Bersumpah Palsu
Sabda Rasulullah SAW.

“Sumpah itu bermanfaat untuk melakukan barang, tetapi


menghapuskan keberkatan”. (Riwayat Bukhari).

37
Maksud dari hadist tersebut ialah melarang orang-orang untuk
bersumpah dalam hal perniagaan apalagi sumpahnya tersebut
mengandung sumpah dusta.
6. Timbangan dan Sukatan Dipermainkan
Mengurangi sukatan dan timbangan adalah termasuk dalam
bentuk pengicuh (tipuan). Dalam Al-Qur’an telah memberikan
peringatan sungguh-sungguh yakni:

“ Dan penuhkanlah sukatan, bila kamu mneyukat, dan


menimbanglah dengan neraca yang betul! itulah yang lebih elok”.
(Al-Isra’:35)
7. Mengicuh
Seorang muslim dituntut selalu bersikap jujur dan benar
segala urusannya. Dalam pandangan agama islam kejujuran itu
lebih tinggi nilainya dari segala usaha keduniaan. Dan dalam
islam pun mengicuh, menipu dalam bentuk apapun dilarang, hal
ini sabda Rasulullah:

“ Tidak diperbolehkannya seseorang melakukan jual beli, kecuali


dengan menjelaskan keadaan barang yang dijualnya (buruk
baiknya). Dan bagi orang yang mengetahui, berkewajiban
menjelaskannya”. (Riwayat Hakim dan Baihaqi).
8. Membeli Barang Rampasan dan Curian
Berkenaan dengan membeli barang curian dan rampasan ini
Rasulullah SAW bersabda.

“Siapa yang membeli barang curian, sedang dia mengetahui


bahwa itu barang curian, maka sesungguhnya dia telah bersekutu
tentang dosa dan keburukannya”. (Riwayat Baihaqi).

38
2.3 Akhlak
Pada dasarnya akhlak menyangkut hubungan ganda yang
bersifat timbal-balik. Hubungan yang menempatkan Khaliq sebagai satu-
satunya Tuhan yang wajib disembah, serta makhluk sebagai hamba dan
pengabdi-Nya. Pola hubungan makhluq-Khaliq tak terpisahkan dari
hubungan antar sesama makhluq (ciptaan), sebab hubungan tersebut harus
didasarkan pula pada ketentuan sang Khaliq (pencipta). Pengertian akhlak
secara utuh mengacu kepada pola hubungan segi tiga. Hubungan mahkluk-
khaliq-antar makhluk.

Secara garis besarnya, akhlak terkait erat dengan pembentukam


keserasian dan kesesuaian hubungan tiga dimensi dimaksud, agar ketiganya
terjalin secara harmonis. Al-Qur’an secara tepat telah memberikan tuntunan
tentang bagaimana membina jalinan hubungan tiga dimensi tersebut.

A. Akhlak Terhadap Akal


Akhlak terhadap Allah mencakup sisi lahiriah dan batiniah.
Sikap dan perilaku lahir berkaitan dengan aktivitas jasmaniah. Sementara
sikap dan perilaku batin, pikiran dan ketulusan niat. Dengan cakupan
seperti itu, maka pada garis besarnya akhlak kepada Allah terbangun dari
sikap dan perilaku lahiriah maupun batiniah dalam bentuk sebagai
berikut:
1. Menegaskan dan mengabdi secara tulus kepada-Nya
Berakhlak kepada Allah diawali oleh keyakinan yang didasarkan
pada nilai-nilai tauhid. Meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha
Esa. Tuhan satu-satunya yang wajib disembah. Ucapan kalimat tauhid La
ilaha illa Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah prinsip awal dan titik
tumpu dalam membangun keyakinan terhadap keesaan Allah. Tidak ada
sekutu bagin-Nya. Atas keyakinan tersebut, maka terbentuk dorongan
untuk mengabdi kepada-Nya.
2. Tunduk dan patuh kepada perintahnya
Manusia adalah hamba Allah. Hamba yang baik akan
menunjukan kepatuhan kepada pemilik dan sekaligus penciptanya. Patuh
dan taat dalam menjalankan apa yang diperintahkan diperintah-Nya.
Tunduh dan patuh kepada Allah mengandung arti, bahwa manusia harus
tetap dalam konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan perintah dan
hukum-hukum Allah yang disampaikan melalui Rosul-Nya. Adapun
norma hukum, apapun bentuknya, selama tidak bertentangan dan sejalan
dengan kekuatan hukum-hukum Allah, pantas untuk dipatuhi.
3. Berserah diri hanya kepada ketentuan Allah

39
Kemampuan hanya sebatas membuat rencana. Berhasil atau
tidaknya apa yang direncanakan itu, sepenuhnya berada dalam ketentuan
Allah. Sayangnya, apabila gagal, manusia tidak langsung mengakui akan
adanya kekuasaan Allah sebagai penentu akhir. Selalu berlindung
dibawah dalih human error.
Berakhlak kepada Allah ditampilkan dalam sikap berserah diri
kepada-Nya. Ucapan: “la hawla wa la quwwata illa bi Allah” tidak ada
daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah,
dimantapkan dalam hati. Meyakini, bahwa kemampuan manusia ada
batasnya. Mengawali setiap aktivitas (yang baik) dengan mengucapkan
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
4. Bersyukur kepada Allah
Manusia terkadang lupa diri. Bangga dengan keberhasilan dan
sukses yang diraih. Seakan-akan segala yang diperoleh berkat
kemampuan dan usaha maksimal yang ia lakukan. Sama sekali tidak ada
andil orang lain. Sikap angkuh seperti ini menyebabkan manusia lupa
berterima kasih. Bila sikap yang demikian itu menyangkut nikmat Tuhan,
maka disebut kufur ni’mat. Tidak bersyukur kepada nikmat Allah.
Ternyata nikmat Allah yang dianugrahkan kepada manusia
demikian berlimpahnya. Al-Qur’an mengeaskan “Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscahya kamu tidak dapat
mengjitungnya.” (Q. 16 : 18). Bersyukur menjadi bagian dari akhlak
kepada Allah.

5. Ikhlas menerima keputusan Allah


Manusia tergolong makhluk yang mudah berputus asa, serta
rajin berkeluh kesah. Sifat watak yang demikian itu dikemukakan Allah
salam Al-Qur’an: “Dan jika kami rasakan kepada manusia suatu rahmat
dari kami, kemudian kami cabut darinya, pastilah dia akan putus asa
lagi tidak berterima kasih. Dan jika kami rasakan kepadanya
kebahagiaan sesudah bencana yang menimpa, rasanya dia akan berkata:
“Telah hilang bencana-bencana itu dariku, sesungguhnya dia sangat
gembira lagi bangga.” (Q, 11:9-10).
Ungkapan dalam bentuk sindiran ini menampilkan watak asli
diri manusia. Manusia memang kurang tahan saat dihadapkan pada
cobaan hidup. Dihadapkan kepada manusia ia akan berkeluh kesah dan
putus asa sebaliknya. Oleh karena itu, manusia harus tabah dan sabar.
Meyakini semua itu sebagai kentuan.
6. Penuh harap dan takut kehilangan rahmat Allah
Selaku hamba, manusia tidak mungkin dan tidak dapat
melepaskan diri dari ketergantungannya kepada Allah, sang maha
pencipta. Dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang ada pada

40
dirinya, dalam menjalankan kehidupan, manusia tak sunyi dari bayang-
bayang ke khawatiran dan ketakutan. Dikala perasaan itu muncul,
spontan dari hati kecilnya tercuat rasa penuh harap (roja’). Berharap akan
datangnya per;indungan atau bantuan dari Allah.
Menurut Ibn. Khubaiq, roja’ terbagi menjadi:
1. Mengharap kebaikan yang dilakukannya diterima Allah
2. Mengharap ampunan Allah atas keburukan yang pernah ia
lakukan
3. Setelah bertaubat mengharap pengampunan dari Allah
7. Takut kehilangan rasa patuh kepada Allah, dan takut siksaan-
Nya
Manusia adalah makhluk alternatif. Diberi kemampuan untuk
menentukan jalan hidupnya. Atas dasar pilihan itu, maka hanya ada dua
peluang yang bakal dihadapi manusia. Pertama, beriman dengan
mengharapkan ridha Allah. Kedua, kafir terhadap Allah dan mengingkari
hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu sangat wajar bila berakhlak kepada
Allah, akan sengat khawatir kehilangan kepatuhan kepada-Nya.
Kekhawatiran itu terlukis diuntaian doa: “Ya Tuhan kami, sesunggunya
kami mendengar (seruan) yang menyeri kepada iman (yaitu):
“Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” makan kamu beriman. Ya, Tuhan
kami ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan
kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. “ Ya
Tuhan, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami
dengan perantaran para Rosul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami
di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menginkari janji.: 9Q. 3:
193-194)

B. AKHLAK SUAMI TERHADAP ISTRI

Akhlak ini didasarkan pada kewajiban yang ada pada ssuami, serta hak
istri yang wajib dipenuhi oleh suami. Berdasarkan hal tersebut, maka akhlak
suami terhadap istri diperlihatkan dalam sikap sebagai berikut:

1. Memperlakukan istri dengan baik, yakni menempatkan statusnya sebagai


mitra kerja dalam rumah tangga.
2. Member nafkah lahir batin, tempat tinggal, dan pakaian yang layak.
3. Memuliakan dan menjaga kehormatannya. Pesan Rasul Saw. : “mu’min
yang palin paripulna imannya, adalah yang berakhlak mulia. Sebaik-
baiknya mulia itu adalah yang paling baik terhadap istrinya”.
4. Bertanggung jawab sebagai pemimipin rumah tangga.
5. Membimbing dan mendidik istri, khususnya dalam pendidikan akhlak,
agama, serrta pendidikan yang terkait dengan perluassan wawasan,
maupun keterampilan rumah tangga. Rasul Allah Saw bersabda :

41
”Hendaklah kamu memberi bimbingan (wasiat) yang baik kepada
perempuan (istri), karena sesungguhnya istri itu adalah penolong kamu”.
6. Melindungi rahasia istri. dengan kearifan suami harus rela menerima
kekurangan istri, sebagaimana sabda Rasul Saw. : “manusia yang
mendapat kedudukan paling jelek dalam pandangan Allah di Hari
Kiamat, adalah seorang laki-laki yang suka mencumbu istrinya, dan
istrinya dan istrinya suka mencumbu suaminya (tetapi) kemudian ia
menyebarkan rhasia istrinya.” (ibn majah)
7. Membimbing, mengawasi semua anggota keluarga, serta juga member
sifat keteladanan , dalam upayaa melindungi diri maupun keluarga dari
perbuatan tercela.
8. Memberrikan sikap hormata kepada keluaragaa istri.

C. AKHLAK ISTRI TERHADAP SUAMI

1. Menjaga kehormatan suami, diri dan keluarga.


2. Taat kepada suami , sebagaimanaa sabda Rasul Saw. : “sekiranya aku
diperkenankan (oleh Allah) memerintahkan seseorang untuk bersujud
kepada orang lain, niscaaya aku perintahkan para istri sujud kepada
suaminya”. (HR. Tirmidzi) sikap yang
diperlihatkan istri antara lain meliputi :
a. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami.
b. Tidak menerima tamu yang kurang disenangi suami.
c. Tidak berlaku kasar, atau melaan suami.
d. Menghindar dari tindakan apapun yang bkaal member kesan
merendahkan suami.
e. Menghindaridiri dari menuduh suami melakukan kesalahan
dengan tanpa bukti yang jelas.
f. Saling menjelekan dan bertengkar di depan anak-anak.
g. Santun, serta membantu suami membimbing anak-anak.

D. AKHLAK TERHADAP JIRAN/TETANGGA

Umat Muslim dituntut untuk membina hubungan yang rukun, serasi,


dan humoris dengan para tetangga mereka, demikian pentingnya akhlak dalam
hidup bertetangga ini, sampai banyak pesan agama, salahsatunya “siapa saja
yang beriman kepada Allah daan hari kiamat , maka hendaklah ia selalu
menghormati tetangganya.” (HR. Bukhari).

42
Para pakar hokum islam membagi tetangga dalam tiga golongan.
Pertama, tetangga seagama dan kerabat. Kedua, tetangga, seagama, tapi bukan
kerabat. Ketiga, tetangga tidak seagama, dan bukan family.

Akhlak terhadap tetangga diperlihatkan sebagai berikut:

1. Memperlakukan tetangga dengan baik, serta tidak menyakitinya.


2. Berusaha membina kerukunan, saling menolong, menjaga hak-
haknya, serta menghindar diri dari menyebarkan rahasia tetangga.
3. Saling member nasihat dalam membina kepentingan bersama.
4. Saling menghargai, serta tidak saling mengganggu.

E. AKHLAK TERHADAP SESAMA MUSLIM

Kemuliaan akhlak ditampilkan dalam sikap dan perilaku, sikap yang


demikian juga berlaku dalam hubungan antar sesama Muslim. Adapun akhlak
terhadap sesama Muslim ini antara lain mencangkup :

1) Saling menunjukan rasa cinta. Layaknya cinta kepada saudara kandung.


“belum sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga ia mencintai
saudaranya (sesame Muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,”
(HR. Bukhari,Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).
2) Saling tolong menolong dalam kebaikan.
3) Membantu teman agar tidak berbuat zalim.
4) Membantu persatuan Muslim dalam ikatan yang kuat , dan hindari
perselisihan.
5) Taat kepada perintah pemimpin (muslim)
6) Saling menasehati dalam kebaikan, serta menjauhi fitrah.
7) Berkompetisi dalam kebaikan.
8) Bersikap adil, menjauhkn diri dari sikap mencela dan menghina.
9) Menghindarkan diri dari saling menuduh dan mengejek.
10) Memenuhi dan menepati janji.
11) Memenuhu kewajiban sesama muslim.
12) Saling melindungi keselamatan juwa, harta, dan kehormatan . dalam
kaitan ini , sikap yang menunjukan akhlak sesame muslim ditampilkan
dalam :
a. Melindungi jiwa, harta, pencemaran nama, serta kehormatan.
b. Menghindar diri dari sumpah palsudan sikap sombong.
c. Bersedia member maaf terhadap kesalahan saudaranya.

F. AKHLAK TERHADAP NONMUSLIM

43
Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk , berinteraksi
dengan berbagai kalangan merupakan suatu keniscayaan, berinteraksi dengan
mereka adalah wujud pengamalan terhadap sila persatuan rakyat Indonesia,
sebagai seorang muslim, kita mesti memahami posisi kita dan posissi penganut
agama diluar kita. Rasulullah saw. Diutus sebagai penebar kasih bagi semesta
alam, termasuk juga kepada nonmuslim, maka islam memberikan aturan-aturan
tersendiri dalam berinteraksi dengan non muslim. Namun akhlak terhadap
nonmuslim ini hanya berlaku kepada kalangan nonmuslim zimi. Dalam bahasa
fikih disebut kafir zimi yaitu kafir yang memiliki semangat hidup untuk
berdampingan dengan kaum muslim. Mereka mencita-citakan hidup yang
dilandasi ssemangat toleransi dan saling menghormati. Kondisi ini sangat
berbeda dengan golongan kafir harbi yaitu golongan kafir yang selalu memusuhi
kaum muslimin.
Terkait dengan cara berinteraksi dengan nonmuslim zimi, islam telah
menggariskan beberapa aturan akhlak berikut .
1. Menghormati keyakinan nonmuslim
2. Larangan menghina sesembahan nonmuslim
3. Toleransi pada keyakinan masing-masing
4. Tolong-menolong dan berkerjasama dengan nonmuslim
5. Senantiasa berbuat adail
6. Tidak menjawab salam nonmuslim
7. Tidak menikah dengan orang musyrik
8. Tidak saling mewarisi dengan nonmuslim
9. Tidak mengangkat nonmuslim sebagai pemimpin
10. Larangaan menzalimi dan melanggar hak nonmuslim
11. Mengunjungi nonmuslim yang sakit dan mendoakannya
12. Menghormati jenazah nonmuslim.

G. AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA

Ruang lingkup akhlak juga mencangkup hubungan antar manusiaa.


Menyangkut sikap yang seharusnya ditampilkan seorang muslim dalam
hubungannya dengan sesama manusia. Hubungan antar manusia atas dasar kasih
sayang yang dilandasi nilai-nilai iman. Allah Swt. Menyatakan : “kamu tidak
akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepda allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara,
atau keluarga mereka.”

Dalam hubungan itu makaaaaaa akhlak terhadap sesama manusia


secara garis besarnya ditampilkan dalam sikap :

1. Menghormati, menghargai, dan menjujnjung nilai-nilai kemanusiaan.

44
2. Memenuhi janji, pandai berterimakasih dan membina kerukunan.

3. Menghargai setatus manusia sebagai makhluk Allaah yang paling mulia,


dan menghindari sikap primordial.

4. Memupuk sikap toleran, menjadikan keragaman dan perbedaan pendapat


sebagai sebuah keniscayaan.

H. AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

Lingkungan hidup dalam pandangan akhlak mencangkup wujud dan


kondisi yang berada diluar diri manusia. Allah Swt. Telah menciptakan semua
kondisi itu serasi dengan kebutuhan manusia. Akhlak terhadap lingkungan
terkait dengan upaya pemeliharaan tatanan keharmonisan kehidupan alam,
sebagai sistem ciptaan Allah. Akhlak terhadap lingkungan menawarkan solusi
kunci, yakni kasih sayang. Kasih sayang terhadap bumi diwujudkan dalam
upaya pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, setra pelestarian segala yang
ada di bumi. Akhlak terhadap lingkungan antara lain diwujudkn dalam bentuk :

1. Memperlakukan hewan dengan baik, yakni :

a) menghindari diri dari penyiksaan binatang seperti memukul,


menyakiti, dan membakarnya.

b) Tidak menjadikan binatang sebagai objek hiburan.

c) Member makan dan minum kepada binatang , serta melestarikan


lingkungan binatang liar.

d) Bnatang peliharaan yang akan dikinsumsi harus disembelih


dengan cara yang baik.

e) Tidak member tanda pada bagian muka binatang.

2. Menjaga dan memelihara kelestarian alam, antara lain :

a) Menjaga kebersihan lingkungan.

b) Tidak menebang pohon atau tanaman yang bermanfaat.

c) Mengusahakan penghijauan dengan menanam pohon yang


bermanfaat.

d) Menjaga sumber air dan menghemat pemanfaatannya.

2.4 Akidah
Dalam Islam, akidah ialah iman atau kepercayaan. Sumbernya yang asasi
ialah alquran. Iman ialah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu

45
dari segala sesuatu untuk dipercaya dengan suatu keimanan yang tidak boleh
dicampuri oleh keragu-raguan.1 Tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan
kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki
akidah atau menunjukkan kualitas iman yang ia miliki. Karena iman itu bersegi
teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup
dan kehidupan sehari-hari.

Manusia hidup atas dasar kepercayaannya. Tinggi rendahnya nilai


kepercayaan memberikan corak kepada kehidupan. Atau dengan kata lain, tinggi
rendahnya nilai kehidupan manusia tergantung kepada kepercayaan yang
dimilikinya. Sebab itulah kehidupan pertama dalam Islam dimulai dengan iman.

1) Pengertian Akidah

Akidah berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan yang berarti simpul, ikatan,


dan perjanjian yang kokoh dan kuat. Setelah terbentuk ‘aqidatan (akidah) berarti
kepercayaan atau keyakinan. Kaitan antara aqdan dengan ‘aqidatan adalah
bahwa keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan kokoh dalam hati, bersifat
mengikat dan mengandung perjanjian. Makna akidah secara etimologis ini akan
lebih jelas apabila dikaitkan dengan pengertian terminologisnya, seperti
diungkapkan oleh Syekh Hasan al Banna dalam Majmu’ar Rasaail:

“Aqaid (bentuk jamak dari ‘aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.”

Dikemukakan pula oleh Abu Bakar al Jazairi dalam kitab Aqidah al-
Mukmin: yang dinukil oleh Tim Depag RI, Pendidikan Agama Islam, 2000:102
bahwa “Akidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah
oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran
itu dipatrikan dalam hati, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran itu”.

1
Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: PT. ALMA’ARIF, 1989), 119-120.

46
Dari dua pengertian tersebut ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dalam memahami akidah secara tepat dan jelas, yaitu:

a. Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi


yang dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk memahami dan mengerti
kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk. Dalam berakidah hendaknya manusia
menempatkan fungsi alat tersebut pada posisinya masing-masing. Sejalan
dengan hal ini Allah Swt berfirman:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl 16:78).2

b. Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan kesamaran dan
keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia harus
memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh hati
setelah mengetahui dalil-dalilnya, Allah Swt., berfirman:

Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, menyakini bahwasannya al-
Qur’an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati
mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj 22:54).3

c. Akidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang


menyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan
lahiriyah dan batiniah. Pertentangan antara kedua hal tersebut akan
melahirkan kemunafikan. Sikap munafik ini akan mendatangkan
kegelisahan. Allah Swt., berfirman:

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian”. Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman. (QS. Al-Baqarah 2:8).

2
Alquran, 16 (An-Nahl): 78.
3
Alquran, 22 (Al-Hajj): 54.

47
d. Apabila seseorang telah menyakini suatu kebenaran, maka konsekuensinya
ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan
kebenaran yang diyakininya itu.

Akidah Islamiyah berisikan ajaran tentang apa saja yang harus


dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Karena agama
Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka
akidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.
Seorang manusia disebut Muslim jika dengan penuh kesadaran dan ketulusan
bersedia terikat dengan sistem kepercayaan Islam karena itu aqidah
merupakan ikatan dan simpul dasar Islam yang pertama dan utama.

Akidah Islamiyah dibangun di atas enam dasar keimanan yang lazim


disebut dengan rukun iman. Rukun iman itu meliputi iman kepada Allah,
iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman
kepada rasul-rasul Allah, dan iman kepada hari akhir serta iman kepada
qada’ dan qadar.4 Berdasarkan firman Allah Swt:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan


rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-juahnya. (QS.
An-Nisa’ 4:136).5

2) Ruang Lingkup Pembahasan Akidah6


a. Ilahiah, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan ilah
(Tuhan) seperti wujud Allah Swt., nama-nama Allah Swt., dan sifat-sifat
Allah Swt., dan lain-lain.
b. Nubuwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan nabi dan rasul termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah
Swt., mukjizat dan sebagainya.

4
Muhammad Syahrur, Islam dan Iman; Aturan-aturan Pokok (Yogyakarta: Jendela, 2002), 26.
5
Alquran, 4 (An-Nisa’): 136.
6
Razak, Dienul Islam, 160.

48
c. Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan roh.
d. Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui melalui sam’i yakni dalil naqli berupa alquran dan as-Sunnah,
seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, dan sebagainya.

Disamping sistematika di atas, pembahasan akidah bisa juga mengikuti


sistematika rukun iman. Yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat-
malaikat Allah, iman kepada iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada
rasul-rasul Allah, dan iman kepada hari akhir serta iman kepada qada’ dan
qadar.

a. Percaya Kepada Allah


Dalam agama Islam pokok utamanya ialah bahwa kita harus
mengenal Allah, yakni kita wajib peaya bahwasannya Dialah Tuhan yang
sesungguhnya, dan tidak ada Tuhan lain yang patut
disembah kecuali Dia, Allah Yang Maha Pencipta Dialah yang mesti
Ada, Yang awal dan tiada bermula dan yang akhir tiada berkesudahan,
tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya, Mahaesa dalam ketuhanan-Nya,
sifat-Nya maupun af’al (pekerjaan) Nya, Yang Maha hidup lagi berdiri
sendiri, Maha mendengar dan Maha Melihat, Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Apabila berkehendak atas sesuatu, Dia hanya berkata, “Jadi-lah!”
maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya itu. Dan Dia pun bercakap-
cakap, tidak bisu, serta terjauh dari sifat kekurangan. Tegasnya, Allah itu
Maha Sempurna, dan Maha suci Dia dari siat-sifat tercela.
a. Sifat-sifat Allah dan Pembagiannya
a) Sifat wajib dan Mustahil bagi Allah SWT.
Kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk mengetahui sifat-
sifat Allah baik yang wajib, mustahil ataupun yang jaiz, secara
ijmal saja. Yaitu baha Allah SWT. Itu “muttashifun bi
kullikamaal (bersifat dengan segala kesempurnaannya).

49
Adapun sifat yang wajib dan Mustahil Bagi Allah yang wajib diketahui oleh
setiap orang yang sudah mukallaf sebagai berikut :

1. Wujud = ‫ﻭﺟﻮﺩ‬
Wujud berarti “ada”, maka mustahil Allah tidak ada
2. Qidam = ‫ﻗﺪﻡ‬
Qidam artinya “terdahulu” (tanpa ada awalnya), maka mustahil didahului
oleh ‘adam (ketiadaan).
3. Baqa’ = ‫ﺑﻘﺎﺀ‬
Baqa’ artinya “kekal (abadi)”, maka mustahil dikenai “fana” (kebinasaan).
4. Mukhalafatu lil-Hawadits = ‫ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ‬
Mukhalafatu lil-Hawadits artinya belawanan dengan segala sesuatu yang
baru, maka mustahil bagi Allah bersamaan dengan segala sesuatu yang
baru.
5. Qiyamuhu Binafsihi = ‫ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ‬
Qiyamuhu Binafsihi artinya berdiri dengan dirinya sendiri. Dengan kata
lain, jadi Allah bergantung atau berhajat kepada yang lain. jadi mustahil
Allah tidak berdiri dengan sendirinya.
6. Wahdaniyah = ‫ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ‬
Wahdaniyah ialah Esa dzat-Nya, sifat-Nya dan fi’il-Nya. Maka mustahil
Allah itu berbilang dzat, siat dan fi’il-Nya.
7. Qudrat = ‫ﻗﺪﺭﺓ‬
Qudrat artinya kuasa, maka mustahil Allah itu tidak kuasa.
8. Iradat = ‫ﺇﺭﺍﺩﺓ‬
Iradat ialah berkehendak (berkeinginan), maka mustahil Allah bersifat
terpaksa.
9. ‘Ilmun = ‫ﻋﻠﻢ‬
‘Ilmun artinya mengetahui, maka mustahil Allah itu jahil (tidak
mengetahui).
10. Hayat = ‫ﺣﻴﺎﺓ‬
Hayat artinya hidup, maka mustahil Allah itu mati.
11. Sam’un = ‫ﺳﻤﻊ‬
Sam’un artinya mendengar, maka mustahil Allah itu tuli.

50
12. Bashar = ‫ﺑﺼﺮ‬
Bashar artinya melihat, maka mustahil Allah itu buta.
13. Kalam = ‫ﻛﻼ ﻡ‬
Kalam artinya berbicara, maka mustahil Allah itu bukan yang kuasa.

14. Qadirun = ‫ﻗﺎﺩﺭ‬


Qadirun artinya yang kuasa, maka mustahil Allah itu bukan yang kuasa.
15. Muridun = ‫ﻣﺮﻳﺪ‬
Muridun artinya berkehendak, maka mustahil Allah tidak berkehendak.
16. ‘Alimun = ‫ﻋﺎﻟﻤﺎ‬
‘Alimun artinya yang mengetahui, maka mustahil Allah itu tidak
mengetahui.
17. Hayyun = ‫ﺣﻴﺎ‬
Hayyun artinya yang hidup, maka mustahil Allah itu mati.
18. Sami’un = ‫ﺳﻤﻴﻌﺎ‬
Sami’un artinya yang mendengar, maka mustahil Allah itu tuli.
19. Bashirun = ‫ﺑﺼﻴﺭ‬
Bashirun artinya yang melihat, maka mustahil Allah itu buta.
20. Mutakallimun = ‫ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ‬
Mutakallimun artinya yang berbicara, maka mustahil Allah itu bisu atau
gagu.

Adapun sifat yang dua puluh ini dikuatkan oleh dalil-dalil dalam Al-
Qur’an, sebagai berikut :
1) Dalil Naqli Sifat Wujud :

‫ُهَّللا اَّلِذ ي َخ َلَق الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر َض َو َم ا َبْيَنُهَم ا ِفي ِس َّتِة َأَّياٍم ُثَّم‬
﴾٤﴿ ‫اْسَتَو ى َع َلى اْلَع ْر ِشۖ َم ا َلُك م ِّم ن ُدوِنِه ِم ن َو ِلٍّي َو اَل َش ِفيٍعۚ َأَفاَل َتَتَذَّك ُروَن‬

"Allahlah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
dalam (waktu) enam hari." (QS. As-Sajdah:4)

51
2) Dalil Naqli Sifat Qidam :

‫ُهَو اَأْلَّوُل َو اآْل ِخ ُر‬

"Dialah (Allah) Yang awal dan yang akhir." (QS. Al-Hadid:3)

3) Dalil Naqli Sifat Baqa’ :

﴾٢٧﴿ ‫َو َيْبَقى َو ْج ُه َر ِّبَك ُذ و اْلَج اَل ِل َو اِإْل ْك َر اِم‬

“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(QS. Ar-Rahman: 27)

4) Dalil Naqli Sifat Mukhalafatu lil-Hawadits :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

5) Dalil Naqli Sifat Qiyamuhu Binafsihi :

‫ِإَّن َهَّللا َلَغ ِنٌّي َع ِن اْلَع اَلِم يَن‬

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu)


dari semesta alam. “ (QS. Al-Ankabut: 6)

6) Dalil Naqli Sifat Wahdaniyah :


﴾١﴿ ‫ُقْل ُهَو ُهَّللا َأَح ٌد‬

“ Katakanlah, Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1)

7) Dalil Naqli Sifat Qudrat :

52
“Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu“. (QS. Al-Baqarah:
20)

8) Dalil Naqli Sifat Iradat :

‫ِإَّن َر َّبَك َفَّعاٌل ِلَم ا ُيِر يُد‬

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia


kehendaki.”(QS. Hud: 107)

9) Dalil Naqli Sifat ‘Ilmun :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa


yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya“. (QS. Qaf: 16)

10) Dalil Naqli Sifat Hayat :

"Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup yang tidak mati." (QS. Al-
Furqon:58)

11) Dalil Naqli Sifat Sam’un

“Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al-
Maidah: 76)

12) Dalil Naqli Sifat Bashar

53
“Dan Allah Maha Melihat atas apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Hujarat:
18)

13) Dalil Naqli Sifat Kalam

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya“.
(QS. Al-A’raf: 143)

14) Dalil Naqli Sifat Qadirun


‫ِإَّن ٱَهَّلل َع َلٰى ُك ِّل َش ْى ٍء َقِد يٌر‬

“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 20)

15) Dalil Naqli Sifat Muridun


‫َفَّعاٌل ِّلَم ا ُيِريُد‬

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”.


(QS. Hud : 107)

16) Dalil Naqli Sifat ‘Alimun


‫َو ُهَّللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم‬

Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa : 176)“

17) Dalil Naqli Sifat Hayyun


‫َو َتَو َّك ْل َع َلى ٱْلَح ِّى ٱَّلِذ ى اَل َيُم وُت‬

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati.”
(QS. Al-Furqan : 58)

18) Dalil Naqli Sifat Sami’un


‫َو ٱُهَّلل َسِم يٌع َع ِليٌم‬

“Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah :


256)

19) Dalil Naqli Sifat Bashirun


‫َو ٱُهَّلل َبِص يٌۢر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬

“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hujurat : 18)

20) Dalil Naqli Sifat Mutakalliman

54
‫َو َك َّلَم ُهَّللا ُم وَس ٰى َتْك ِليًم ا‬

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa :
164)

b. Pembagian Sifat-Sifat Allah SWT.

Pembagian Sifat-sifat yang wajib bagi Allah secara ijmal, ada


empat bagian :

1. Sifat Nafsiyah
Yaitu suatu hal yang wajib bagi Dzat Allah bersifat dengan sifat
wujud (ada), yang wujudnya itu tidak disebabkan oleh suatu sebab apa
pun. Sifat Nafsiyah ini hanya memiliki satu sifat, yaitu wujud.

2. Sifat Salbiah
Yaitu suatu sifat yang menafikan (meniadakan) semua sifat yang
tidak layak bagi Allah. Sifat Salbiah memiliki lima sifat yaitu : Qidam,
Baqa’, Mukhalafatu lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi, Wahdaniat.

Qidam
Salbiah
Baqa
Mukhalafatu lil Hawadits

Qiyamuhu Binafsihi

Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani
Yaitu semua sifat maupun yang berdiri pada Dzat Allah yang maujud,
yang mewajibkan Dzat itu bersifat dengan suatu hukum sifat

55
ma’nawiyah. Sifat Ma’ani ini meliputi tujuh siat yaitu : Qudrat, Iradat,
Ilmun, Hayat, Sami’un Bashar, Kalam.

Sifat Ma’ani Qudrat

Iradat

Ilmun

Hayat
Sami’un Bashar
Kalam

Demikian telah diungkapkan mengenai sifat-sifat Allah baik yang wajib maupun
yang mustahil bagi Allah. Adapun sifat Jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu :

‫ِفْع َل ُك ِّل ُم ْح ِكٍن َاْو َتُر ُك ُه‬

“Melakukan segala yang mungkin atau meninggalkannya”.

Maka jumlah keseluruhan Aqaidul Iman itu ada empat puluh satu (41).

b. Asmaul Husna
Makna “Asmaul Husna” ialah Nama-nama yang agung yang sesuai
dengan sifat-sifat Allah. Jumlah Nama-nama tersebut ada 99, yang
apabila kita amalkan nama-nama itu mempunyai pengaruh dan
manfaat yang besar. Untuk itu sangat baik apabila kita berdoa
dengan “Asmaul Husna”.
Firman Allah SWT.

‫َو ِهَّلل ْاَألْس َم آُء اْلُحْسَنٰى َفاْد ُعوُه ِبَهۖا َو َذ ُروْا اَّلِذ يَن ُيْلِح ُد وَن ِفٓى َأْس َم ٰـ ِئٖۚه َس ُيْج َز ْو َن َم اَك اُنوا َيْع َم ُلوَن‬
“Hanya milik Allah Asmaul Husna (nama-nama yang agung yang sesuai
dengan sifat-sifat Allah), maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama baik itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan." (QS. Al-A‘raf: 180)

56
No. Nama Arab Indonesia

Allah ‫هللا‬ Allah

1 Ar Rahman ‫الرحمن‬ Yang Maha Pengasih

2 Ar Rahiim ‫الرحيم‬ Yang Maha Penyayang

3 Al Malik ‫الملك‬ Yang Maha Merajai

4 Al Quddus ‫القدوس‬ Yang Maha Suci

5 As Salaam ‫السالم‬ Yang Maha Memberi Kesejahteraan

6 Al Mu`min ‫المؤمن‬ Yang Maha Memberi Keamanan

7 Al Muhaimin ‫المهيمن‬ Yang Maha Mengatur

8 Al `Aziiz ‫العزيز‬ Yang Maha Perkasa

9 Al Jabbar ‫الجبار‬ Yang Memiliki Mutlak Kegagahan

Yang Maha Megah, Yang Memiliki


10 Al Mutakabbir ‫المتكبر‬
Kebesaran

11 Al Khaliq ‫الخالق‬ Yang Maha Pencipta

Yang Maha Melepaskan (Membuat,


12 Al Baari` ‫البارئ‬
Membentuk, Menyeimbangkan)

13 Al Mushawwir ‫المصور‬ Yang Maha Membentuk Rupa

14 Al Ghaffaar ‫الغفار‬ Yang Maha Pengampun

15 Al Qahhaar ‫القهار‬ Yang Maha Memaksa

16 Al Wahhaab ‫الوهاب‬ Yang Maha Pemberi Karunia

17 Ar Razzaaq ‫الرزاق‬ Yang Maha Pemberi Rezeki

18 Al Fattaah ‫الفتاح‬ Yang Maha Pembuka Rahmat

19 Al `Aliim ‫العليم‬ Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)

20 Al Qaabidh ‫القابض‬ Yang Maha Menyempitkan

21 Al Baasith ‫الباسط‬ Yang Maha Melapangkan

57
22 Al Khaafidh ‫الخافض‬ Yang Maha Merendahkan

23 Ar Raafi` ‫الرافع‬ Yang Maha Meninggikan

24 Al Mu`izz ‫المعز‬ Yang Maha Memuliakan

25 Al Mudzil ‫المذل‬ Yang Maha Menghinakan

26 Al Samii` ‫السميع‬ Yang Maha Mendengar

27 Al Bashiir ‫البصير‬ Yang Maha Melihat

28 Al Hakam ‫الحكم‬ Yang Maha Menetapkan

29 Al `Adl ‫العدل‬ Yang Maha Adil

30 Al Lathiif ‫اللطيف‬ Yang Maha Lembut

31 Al Khabiir ‫الخبير‬ Yang Maha Mengenal

32 Al Haliim ‫الحليم‬ Yang Maha Penyantun

33 Al `Azhiim ‫العظيم‬ Yang Maha Agung

34 Al Ghafuur ‫الغفور‬ Yang Maha Memberi Pengampunan

35 As Syakuur ‫الشكور‬ Yang Maha Pembalas Budi (Menghargai)

36 Al `Aliy ‫العلى‬ Yang Maha Tinggi

37 Al Kabiir ‫الكبير‬ Yang Maha Besar

38 Al Hafizh ‫الحفيظ‬ Yang Maha Memelihara

39 Al Muqiit ‫المقيت‬ Yang Maha Pemberi Kecukupan

40 Al Hasiib ‫الحسيب‬ Yang Maha Membuat Perhitungan

41 Al Jaliil ‫الجليل‬ Yang Maha Luhur

42 Al Kariim ‫الكريم‬ Yang Maha Pemurah

43 Ar Raqiib ‫الرقيب‬ Yang Maha Mengawasi

44 Al Mujiib ‫المجيب‬ Yang Maha Mengabulkan

45 Al Waasi` ‫الواسع‬ Yang Maha Luas

46 Al Hakiim ‫الحكيم‬ Yang Maha Maka Bijaksana

58
47 Al Waduud ‫الودود‬ Yang Maha Mengasihi

48 Al Majiid ‫المجيد‬ Yang Maha Mulia

49 Al Baa`its ‫الباعث‬ Yang Maha Membangkitkan

50 As Syahiid ‫الشهيد‬ Yang Maha Menyaksikan

51 Al Haqq ‫الحق‬ Yang Maha Benar

52 Al Wakiil ‫الوكيل‬ Yang Maha Memelihara

53 Al Qawiyyu ‫القوى‬ Yang Maha Kuat

54 Al Matiin ‫المتين‬ Yang Maha Kokoh

55 Al Waliyy ‫الولى‬ Yang Maha Melindungi

56 Al Hamiid ‫الحميد‬ Yang Maha Terpuji

Yang Maha Mengalkulasi (Menghitung


57 Al Muhshii ‫المحصى‬
Segala Sesuatu)

58 Al Mubdi` ‫المبدئ‬ Yang Maha Memulai

59 Al Mu`iid ‫المعيد‬ Yang Maha Mengembalikan Kehidupan

60 Al Muhyii ‫المحيى‬ Yang Maha Menghidupkan

61 Al Mumiitu ‫المميت‬ Yang Maha Mematikan

62 Al Hayyu ‫الحي‬ Yang Maha Hidup

63 Al Qayyuum ‫القيوم‬ Yang Maha Mandiri

64 Al Waajid ‫الواجد‬ Yang Maha Penemu

65 Al Maajid ‫الماجد‬ Yang Maha Mulia

66 Al Wahid ‫الواحد‬ Yang Maha Tunggal

67 Al Ahad ‫االحد‬ Yang Maha Esa

68 As Shamad ‫الصمد‬ Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta

Yang Maha Menentukan, Maha


69 Al Qaadir ‫القادر‬
Menyeimbangkan

70 Al Muqtadir ‫المقتدر‬ Yang Maha Berkuasa

59
71 Al Muqaddim ‫المقدم‬ Yang Maha Mendahulukan

72 Al Mu`akkhir ‫المؤخر‬ Yang Maha Mengakhirkan

73 Al Awwal ‫األول‬ Yang Maha Awal

74 Al Aakhir ‫األخر‬ Yang Maha Akhir

75 Az Zhaahir ‫الظاهر‬ Yang Maha Nyata

76 Al Baathin ‫الباطن‬ Yang Maha Ghaib

77 Al Waali ‫الوالي‬ Yang Maha Memerintah

78 Al Muta`aalii ‫المتعالي‬ Yang Maha Tinggi

Yang Maha Penderma (Maha Pemberi


79 Al Barru ‫البر‬
Kebajikan)

80 At Tawwaab ‫التواب‬ Yang Maha Penerima Tobat

81 Al Muntaqim ‫المنتقم‬ Yang Maha Pemberi Balasan

82 Al Afuww ‫العفو‬ Yang Maha Pemaaf

83 Ar Ra`uuf ‫الرؤوف‬ Yang Maha Pengasuh

84 Malikul Mulk ‫مالك الملك‬ Yang Maha Penguasa Kerajaan

Dzul Jalaali Wal ‫ذو الجالل و‬ Yang Maha Pemilik Kebesaran dan
85
Ikraam ‫اإلكرام‬ Kemuliaan

86 Al Muqsith ‫المقسط‬ Yang Maha Pemberi Keadilan

87 Al Jamii` ‫الجامع‬ Yang Maha Mengumpulkan

88 Al Ghaniyy ‫الغنى‬ Yang Maha Kaya

89 Al Mughnii ‫المغنى‬ Yang Maha Pemberi Kekayaan

90 Al Maani ‫المانع‬ Yang Maha Mencegah

91 Ad Dhaar ‫الضار‬ Yang Maha Penimpa Kemudharatan

92 An Nafii` ‫النافع‬ Yang Maha Memberi Manfaat

Yang Maha Bercahaya (Menerangi,


93 An Nuur ‫النور‬
Memberi Cahaya)

60
94 Al Haadii ‫الهادئ‬ Yang Maha Pemberi Petunjuk

Yang Maha Pencipta Yang Tiada


95 Al Badii’ ‫البديع‬
Bandingannya

96 Al Baaqii ‫الباقي‬ Yang Maha Kekal

97 Al Waarits ‫الوارث‬ Yang Maha Pewaris

98 Ar Rasyiid ‫الرشيد‬ Yang Maha Pandai

99 As Shabuur ‫الصبور‬ Yang Maha Sabar

b. Percaya kepada Malaikat Allah

Allah yang Mahakuasa itu menciptakan jenis makhluk yang bernama


Malaikat, dari nur atau cahaya. Para Malaikat itu tidak sama dengan kita
(manusia) baik sifat, bentuk dan pekerjaannya. Mereka bukan laki-laki dan
bukan perempuan, tidak makan dan tidak minum, tidak tidur dan tidak mampu
terlihat oleh mata biasa.

Kita wajib percaya, bahwa Allah SWT. Mempunyai banyak Malaikat


sebagai makhluk-Nya yang lain. Mereka itu adalah pesuruh-pesuruh Allah, yang
mengurus segala pekerjaan yang ddiperintahkan oleh-Nya, tanpa pernah
membantah sedikitpun. Malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan.

Adapun Malaikat yang wajib kita ketahui ada 10 berikut tugasnya, yaitu :

1. Malaikat Jibril
Bertugas untuk menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul.
2. Malaikat Mikail
Bertugas untuk memberi rezeki kepada umat manusia atas izin Allah.
3. Malaikat Israfil
Bertugas untuk meniup terompet sangkakala saat hari kiamat.
4. Malaikat Izrail
Bertugas untuk mencabut nyawa atas izin Allah, biasa disebut malaikat
maut.
5. Malaikat Munkar
Bertanggungjawab menanyakan amal perbuatan manusia di alam barzakh
(alam kubur).

61
6. Malaikat Nakir
Bertanggungjawab menanyakan amal perbuatan manusia di alam barzakh
(alam kubur).
7. Malaikat Raqib
Bertugas untuk mencatat segala amal baik manusia saat masih hidup.
8. Malaikat Atid
Bertugas untuk mencatat segala amal buruk manusia saat masih hidup.
9. Malaikat Malik
Bertugas untuk menjaga pintu neraka.
10. Malaikat Ridwan
Bertugas untuk menjaga pintu surga.

c. Percaya kepada Kitab-Kitab Allah

Kita wajib mempecayai bahwa Allah SWT. Telah menurunkan beberapa


kitab kepada beberapa utusan-Nya untuk memperbaiki kehidupan duniawi
manusia dan menuntut mereka kepada agama yang benar.

Adapun kitab-kitab tersebut perinciannya sebagai berikut :

1) 60 shuhuf diturunkan kepada Nabi Tsits (Sis)as.


2) 30 shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim as.
3) 10 shuhuf diturunkan kepada Nabi Musa as.
4) Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as.
5) Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud as.
6) Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa as.
7) Kitab Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Al-Qur’an inilah yang merupakan kitab Allah yang paling akhir diturunkan,
dan memuat semua ajaran yang tercantum kitab-kitab sebelumnya.

Al-Qur’an dan Nama-nama lain Al-Qur’an

 Al-Qur’an
Kata “Qur’an” menurut bahasa aalah “bacaan”. Sedangkan “Al-Qur’an”
definisinya ialah “Kalam Allah SWT yang merupakan Mu’jizat yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW. Dan
membacanya adalah sesuatu ibadah.

Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Quran” yang


disebutkan dalam surat Al-Qiyamah :
)١٧( ‫ِإَّن َع َلْيَنا َجْمَع ۥُه َو ُقْر َء اَن ۥُه‬

62
“sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami.
(karena itu), jika kami telah membaakannya, hendaklah kamu ikuti
bacaannya”. (Al-Qiyamah :17-18).
Melalui definisi Al-Qur’an yang telah disebutkan tadi, maka
kalam Allah yang diturunkan kepaa Nabi-Nabi selain Nabi Muhammad
SAW. Itdak dinamakan Al-Qur’an seperti ; Kitab Taurat, Injil, dan Kitab
Zabur. Demikian pula kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Membacanya tidak dianggap ibadah, seperti ; Hadits Qudtsi.

 Nama-Nama Al-Qur’an
Selain Al-Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi
kitab-Nya, yaitu :
1) Al-Kitab atau Kitabullah
Hal ini disebutkan dalam surat Al-Baqarah, yakni :

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa”.
2) Al-Furqaan
Al-Furqaan ialah “Pembeda” yaitu yang membedakan yang benar
dengan yang batil. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an, yakni :

(۱) ‫َتَباَر َك اَّلِذ ي َنَّز َل اْلُفْر َقاَن َع َلٰى َع ْبِدِه ِلَيُك وَن ِلْلَع اَلِم يَن َنِذ يًرا‬

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an)


kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam, (QS. Al-Furqan : 1).
3) Adz-Dzikir
Adz-Dzikir maksudnya “Peringatan”. Disebutkan oleh allah dalam Al-
Qur’an, yaitu :
(٩ ) ‫ِإَّنا َنْح ُن َنَّز ْلَنا ٱلِّذْك َر َو ِإَّنا َل ۥُه َلَٰح ِفُظوَن‬

63
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Dari keempat nama tersebut di atas yang paling masyhur adalah “Al-
Qur’an”.
d. Percaya kepada Nabi dan Rasul

Kita wajib mempercayai bahwa Allah yang Maha bijaksana telah mengutus
beberapa Nabi dan Rasul untuk menuntun manusia ke jalan yang lurus. Para
Rasul dan Nabi tersebut pada hakikatnya adalah sama seperti manusia juga.
Merekapun makan, minum, beristri, beranak, berniaga, dan sebagainya. Hanya
meraka adalah manusia-manusia pilihan Allah yang menerima wahyu dari-Nya.

Adapun para Nabi dan Rasul itu sebanyak 25 orang, yaitu :

1. Nabi Adan AS
2. Nabi Idris AS
3. Nabi Nuh AS
4. Nabi Hud AS
5. Nabi Shaleh AS
6. Nabi Ibrahin AS
7. Nabi Luth AS
8. Nabi Ismail AS
9. Nabi Ishaq AS
10. Nabi Yaqub AS
11. Nabi Yusuf AS
12. Nabi Ayub AS
13. Nabi Zulkifli AS
14. Nabi Syu’aib AS
15. Nabi Yunus AS
16. Nabi Musa AS
17. Nabi Harun AS
18. Nabi Daun AS
19. Nabi Sulaiman AS
20. Nabi Ilyas AS
21. Nabi Ilyasa AS
22. Nabi Zakaria AS
23. Nabi Yahya AS
24. Nabi Isa AS
25. Nabi Muhammad SAW

 Rasul yang Bergelar Ulul Azmi

64
Di antara 25 nama nabi dan rasul tersebut, terdapat 5 orang rasul yang
mendapat gelar Ulul Azmi. Yang dikatakan Ulul Azmi yaitu rasul yang memiliki
keteguhan dan kesabaran yang luar biasa dalam menerima ujian dari Allah SWT
saat menjalankan dakwah kenabiannya. Kelima rasul yang mendapatkan gelar
Ulul Azmi tersebut adalah:

1. Nabi Nuh AS
2. Nabi Ibrahim AS
3. Nabi Musa AS
4. Nabi Isa AS
5. Nabi Muhammad SAW

 Sifat Wajib Rasul

1. Siddiq berarti benar


2. Amanah berarti dapat dipercaya
3. Tabiq berarti menyampaikan
4. Fatonah berarti cerdas.

 Sifat Mustahil Rasul

1. Kadzab berarti dusta, lawan dari siddiq


2. Khianat berarti tidak dapat dipercaya, lawan dari sifat amanah
3. Kitman berarti menyembunyikan, merupakan lawan dari sifat tablig
4. Baladah berarti bodoh, merupakan lawan dari sifat fatanah.

 Sifat Jaiz Rasul

Sifat jaiz adalah sifat-sifat yang boleh dimiliki oleh rasul-rasul Allah,
artinya jika seorang rasul tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidak apa-apa. Sifat
jaiz berupa sifat-sifat manusiawi seperti manusia pada umumnya, sepanjang
sifat-sifat tersebut tidak mengurangi martabat kerasulannya. Misalnya makan,
minum, tidur, menikah, sedih, dan gembira.

e. Percaya kepada Hari Qiamat

Iman kepada hari akhir adalah masalah yang paling berat dari segala
macam akidah dan kepercayaan manusia. Sejak dari zaman purba, manusia
telah membicarakan dan mendiskusikannya sampai ke zaman modern kita.
Persoalan ini sebagai pokok pembahasan kami, sebab iman kepada akhirat
akan membawa manusia kepada keyakinan adanya suatu hidup lagi di alam
lain sesudah hidup duniawi, adanya hidup kembali bagi manusia sesudah
matinya. Dan hidup yang kedua itulah yang menjadi tujuan akhir dari

65
perputaran roda kehidupan. Demikian esensinya masalah ini, manakala kita
membaca alquran dan hadis-hadis Nabi makan yang dipersoalkan adalah
iman dan Islam, pastilah tekanannya kepada dua segi yakni iman kepada
Allah dan iman kepada hari akhir.

Pola iman kepada hari akhir itu sebagai berikut:

Bahwa jagat raya ini dengan seluruh makhluk yang ada didalamnya akan
hancur lebur. Dalam proses kehancuran itu akan terjadi gempa besar dengan
gunung-gunung menjadi laksana debu beterbangan, air laut mendidih
meluap-luap, bumi retak-retak, bintang-bintang berguguran, langit digulung,
sedang manusia pada mabuk pitam. Kemudian musnahlah segala makhluk,
baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Hanyalah Allah yang Maha
Perkasa yang tetap hidup. Itulah yaumul qiyamah (hari kiamat besar). Sesuai
firman Allah yang berbunyi:

﴾٢٧﴿ ‫﴾ َو َيْبَقى َو ْج ُه َر ِّبَك ُذ و آْلَج َلِل وآِإْل ْ۠ك َر اِم‬٢٦﴿ ‫ُك ُّل َم ْن َع َلْيهَها َفا ٍن‬

“Segala sesuatu di jagat raya ini akan binasa, hanya Tuhanmu yang
memiliki kebesaran dan kemuliaan akan kekal”.7

Bahwa setelah semuanya binasa maka akan tiba fase kedua, yaitu
pembangkitan. Semua manusia dibangkitkan kembali dari kuburnya, itulah
yaumul ba’ast (hari pembangkitan). Kemudian manusia dikumpulkan di
padang Mahsyar. “Sungguh Dia (Allah) akan mengumpulkan kamu kepada
hari kiamat, tak ada keraguan padanya.”8

Setelah manusia dibangkitkan kembali dan dikumpulkan semuanya,


maka diperlihatkanlah kepada mereka seluruh amal dan perbuatannya di
dunia. Film sejarah hidupnya selama di dunia dipertontonkan dengan jelas.
Inilah yaumul ‘ardh (hari pertontonan).

“Pada hari itu, manusia akan pergi berpecah-pecah untuk


7
Alquran, 55 (Ar-Rahman) : 26-27

8
Alquran, 4 (An-Nisa’) : 87.

66
diperlihatkan kepada mereka akan kerja-kerja mereka.
Barangsiapa yang mengerjakan seberat timbangan atom
kebaikan, tentu akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan seberat timbangan atom kejahatan niscaya akan
dilihatnya pula.”9

Setelah film sejarah hidupnya dipertontonkan, tibalah saat menghisab,


memperhitungkan secara adil amal perbuatan baik dan buruk manusia. Di
depan mahkamah keadilan Allah, manusia akan memperoleh keputusan
paling adil, tanpa aniaya sedikitpun. Inilah saat yaumul hisab (hari
perhitungan) atau yaumul wazn (hari pertimbangan).10
“Dan Kami letakkan timbangan keadilan pada hari kiamat, sebab itu
seorang tidak akan teraniaya sedikitpun. Andaikata ada amalnya
hanya sebesar biji sawi, niscaya Kami perhitungkan jua. Dan
cukuplah Kami saja yang menghitung”.11

Fase keputusan, setiap manusia setelah melalui proses pengadilan di


hadapan kekuasaan Allah yang Maha Adil dan Bijaksana, kemudian mereka
menerima balasan perbuatannya. Perbuatan baik akan masuk surga dan
perbuatan jelek akan masuk neraka. Inilah fase terakhir, yang dinamakan
yaumul fashl (hari keputusan).
“pada hari ini akan diganjari setiap jiwa atas usahanya dan tidak ada
seorang pun yang akan teraniaya”.12
Dengan demikian iman kepada hari akhir, mempunyai nilai yang
sangat tinggi dalam kehidupan manusia di dunia. Ia menunjukkan
kehidupan di dunia ini ada artinya, bukan hidup yang sekedar hanya
hidup dan tidak ada kelanjutannya. Seluruh amal perbuatan manusia
tidak ada yang sia-sia. Apa yang dikerjakan sekarang adalah bekal
untuk kehidupan yang akan datang.

9
Alquran, 99 (Al-Zalzalah) : 6-8.
10
Abdurrahman Habanakah, Pokok-pokok Akidah Islam (Jakarta: GEMA INSANI, 1998), 547.
11
Alquran, 21 (Al-Anbiya’): 47.
12
Alquran, 23 (Al-Mu’minun): 17.

67
Dengan demikian iman kepada hari akhir, mempunyai nilai yang
sangat tinggi dalam kehidupan manusia di dunia. Ia menunjukkan
kehidupan di dunia ini ada artinya, bukan hidup yang sekedar hanya
hidup dan tidak ada kelanjutannya. Seluruh amal perbuatan manusia
tidak ada yang sia-sia. Apa yang dikerjakan sekarang adalah bekal
untuk kehidupan yang akan datang.

Iman kepada hari akhir membawa efek yang positif dalam kehidupan
bersama dalam masyarakat. Ia mengajarkan agar kita menjadi manusia shalih,
manusia yang banyak manfaatnya kepada sesama insan. Hidup duniawi adalah
ibarat tanah ladang tempat bertanam, sedang di akhirat masa untuk mengetam
(memanen).

Tentang hari kiamat pasti datangnya, diawali dengan kiamat-kiamat kecil


(qiyamat sughra) yaitu kematian-kematian dari seorang-seorang, dan
akhirnya

dengan terjadinya kiamat besar (qiyamat kubra) yaitu hancurnya jagat


raya. Keyakinan ini adalah ajaran inti dari seluruh agama-agama yang
dibawa oleh para Nabi. Ilmu pengetahuan pun mendukung akan
kebenaran keyakinan ini. Seperti dalam bukunya Prof. Achmad Baiquni
yang berjudul Alquran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman.

68
Untuk itu matahari dapat kita jadikan bahan pembuktian. Bahwa dalam proses
masa, ia akan padam dengan sendirinya yang tentu membawa musnahnya
makhluk hidup di bumi ini, dimana mereka menggantung hidupnya pada sinar
matahari. Matahari adalah satu dari jutaan bintang yang terdapat di langit, ia
adalah sebuah bola api gas yang sangat panas. Dengan cahaya yang
dipancarkannya ke bumi maka ia menjadi sebab berlangsungnya kehidupan
seluruh makhluk hidup di bumi. Cahaya matahari yang panas itulah
menyebabkan peredaran angin, pergantian musim, dan turunnya hujan di bumi.
Oleh para ahli telah diperkirakan bahwa garis tengah matahari 1.400.000
kilometer, sedang temperatur atau panas di permukaannya 6000 derajat celcius,
dan panas intinya 20.000.000 derajat celcius. Panas itu dihasilkan oleh reaksi
nuklir yang terus menerus, disertai dengan kehilangan zat-zat sebesar
40.000.000 ton perdetik.13 Matahari sebagaimana arang yang terbakar pijar yang
setiap detik materinya habis terbakar tentu akhirnya arang akan habis menjadi
debu, padamlah ia. Maka dengan perhitungan matahari kehilangan zat-zatnya
karena terbakar selama 4 juta ton perdetik, ia baru akan padam dalam waktu
lebih 15 milyar tahun lagi. Tentu saja menurut kita masih lama, tetapi yang
penting bahwa matahari itu pasti padam. Matahari adalah sumber energi dan
tenaga, jika matahari padam maka semuanya akan beku tidak akan ada angin
yang bertiup, tidak ada hujan, semua berhenti dan mati, maka tamatlah semua
kehidupan yang ada di bumi ini.
Hukum fisika juga mendukung, bahwa daya rotasi dan revolusi benda-
benda langit tidaklah abadi, suatu waktu akan berakhir, disamping itu gaya
gravitasi yang mendatangkan ketimbangan terhadap benda-benda langit, juga
ada waktunya gaya itu hilang. Kalau sudah terjadi demikian maka benda-benda
langit seluruhnya akan bertabrakan dan saling menghancurkan satu sama lain.
Dalam kosmologi diketahui bahwa jagat raya ini sedang dalam struktur
tebuka, alam semesta dalam keadaan mengembang atau berexpansi, bahwa
galaksi-galaksi yang menyusun jagat raya ini bergerak menjauhi satu sama lain
dengan kecepatan yang tinggi yaitu sepertiga dari kecepatan cahaya. Itulah yang
dinamakan kiamatnya alam semesta.

13
Razak, Dienul Islam, 164.

69
Alquran telah memberikan ramalan ilmiah dalam surah al-Anbiya’ 21: 104.
Demikian ajaran Islam semakin terungkap kebenarannya karena ia memang
adalah ajaran dari Yang Maha Benar, Allah Swt.
Semua ini adalah pengajaran bagi manusia, bahwa hidupnya ini tidak
kekal, alam semesta pun juga demikian. Tujuannya agar manusia hidup di dunia
ini untuk menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya yaitu amal shalih dan takwa
kepada Allah Swt.

70
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari materi yang telah dipaparkan kita sudah tahu mengenai Pokok-pokok
ajaran Islam yang jumlahnya ada empat, yang pertama iman atau akidah yaitu
keyakinan atau percaya, yang kedua ibadah adalah merendahkan diri kepada
Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan
rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Yang ke tiga mu’amalah adalah
tata cara jual beli yang baik di dalam agama islam
dan yang empat akhlak kondisi mental, hati, batin seseorang yang
mempengaruhi perbuatan dan perilaku lahiriyah, jika kondisi batin yang baik
maka akan teraktualisasikan menjadi akhlak mahmudah, jika kondisi mental
yang buruk maka akan teraktualisasikan menjadi akhlak yang mazmumah.

3.2 Saran
Kita sebagai umat muslim seharusnya menjalani kehidupan dengan
melibatkan akidah, syariah, dan akhlak. Karena tanpa ketiganya hidup kita
tidak akan berguna, layaknya mobil yang tidak ada pengendaranya. Dan kita
hidup haruslah sejalan dengan ketiganya

71
DAFTAR PUSTAKA

Suryana, A. Toto. 2008. Islam, Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung:
CV.MUGHNI SEJAHTERA

Salamulloh, M. Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: Pustaka


Insan Madani

Hidayat, Mohamad. 2010. Panduan Ibadah Ramadhan. Jakarta: Zikrul Hakim

Rasjid, Sulaiman. 2015. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Ahmadi, A., & Salimi, N. (2008). Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
PT Bumi Aksara.

Munir, A., & Sudarsono. (2013). Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya.

72

Anda mungkin juga menyukai