Anda di halaman 1dari 15

AL AHWAL : MURAQABAH, KHAUF ,RAJA’

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tauhid Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu: Titik Rahmawati, M.Ag.

Disusun Oleh :

Alifatul 'Ulayya Mahardika 2203096046

M.Syafiq Maulana Irsyad 2203096069

Ikfi Choirun Nisak 2203096074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. atas segala limpahan nikmat
dan karunia-Nya, dan atas rida-Nya akhinya penulis diberikan keluangan waktu
untuk dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya.
Makalah ini berisikan tentang Mengenal Al- Ahwal yang didalamnya menjelaskan
tentang Al-Ahwal, al-Muraqabah, al-Khauf, dan al-Raja’.

Salawat beriring salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita


Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir
zaman, dengan diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,


petunjuk maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi
para pembaca.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 16 November 2022

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
A. Rumusan Masalah..................................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................2
PEMBAHASAN....................................................................................................................2
A. Pengertian Al-Ahwal...............................................................................................2
1. Muraqabah.............................................................................................................2
a. Manfaat Muraqabah..............................................................................................3
b. Macam-macam Sifat Muraqabah...........................................................................3
c. Sikap Muraqabah Dalam Al-Qur’an........................................................................4
d. Cara Untuk Menumbuhkan Sifat Muraqabah.........................................................5
2. Khauf......................................................................................................................6
a. Tanda-tanda Khauf.................................................................................................6
b. Manfaat Khauf........................................................................................................7
3. Raja’ (Harapan).......................................................................................................8
a. Manfaat dari Al-Raja’..............................................................................................9
b. Tanda-tanda Raja’..................................................................................................9
c. Proses Pencapaian..................................................................................................9
BAB III...............................................................................................................................10
PENUTUP..........................................................................................................................10
Kesimpulan...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................iv

iii
DAFTAR ISIB

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahwal adalah bentuk jama’ dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai
keadaan mental atau mental states yang di alami para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Ibnu Arabi menyebutkan hal sebagai sifat yang dimiliki seorang salik
pada suata waktu dan tidak pada waktu yang lain,seperti kemabukkan dan fana.
Eksisitensinya bergantung pada sebuah kondisi, ia akan sirna manakala kondisi
tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dan di pahami tetapi dapat
dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan
ungkapan kata. Ahwal sering di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari
Tuhan. Dan di jelaskan dalam sebuah buku bahwa “Jika maqam diperoleh melalui
usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi

anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan


hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Dari penjelasan di atas dapat
kita simpulkan bahwa al-ahwal merupakan sesuatu yang di berikan Allah kepada
hambanya yang tanpa usaha melainkan seperi hadiah yang berupa ilham yang
bersifat tidak selamanya. Al-Ghazali yang memberi pandangan yang menyatakan
bahwa apabila seseorang telah mantap dan menetap dalam suatu maqom ia akan
memperoleh suatu perasaan tertentu

dan itulah hal. Sebagian sufi brpendapat bahwa al-ahwal tardiri dari al-
muraqabah, al- khauf, dan al-raja’.Maka untuk mengatahuai lebih lanjut apa itu
Al-ahwal kami akan menjelaskan satu persatunya sekarang singkat.1

A. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Dari Al-Ahwal ?


2. Apa Pengertian Dari Muraqabah, Raja’, Khauf?
3. Apa Tujuan Al-Ahwal ?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian Dari Al-Ahwal.


2. Untuk mengetahui macam-macam Al-Ahwal.
3. Untuk mengetahui tujuan dari Al-Ahwal.

1
Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Singer, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 57

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Ahwal
Istilah ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara etimologi, ahwal
berarti sifat dan keadaan sesuatu. Secara terminologi, yang dimaksud dengan
ahwal adalah keadaan atau kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi
mencapai maqam tertentu.

Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk


suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen dan kebalikan dari maqamat,
yaitu kedudukan kejiwaan yang lebih bersifat permanen. Hal masuk ke dalam hati
sebagai anugerah dan karunia dan rahmat Allah swt yang tidak terbatas pada
hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan, atau undangan. Hal
datang dan pergi tanpa di duga- duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan
kedudukan spiritual juga banyak.

Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan
kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu ada kalanya tanpa melalui
usaha. Tidak semua orang yang berusaha itu berhasil, namun ia menjadi dambaan
bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam
perkara ini tidak bersifat mutlak.2

1. Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena
sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah
terhadap dirinya. Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan
yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya,
mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap
waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.

Makna dari muraqabah adalah meletakkan sesuatu dibawah perhatian,


penantian, pengawasan, dan hidup dibawah perasaan sedang diawasi. Bagi para
sufi, muraqabah adalah ber-tawajuh kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui
pemutusan hubungan dengan segala selain Allah Swt, menjalani hidup dengan
mengekang hawa nafsu dari hal- hal terlarang, dan mengatur kehidupan dibawah
cahaya perintah allah selalu meliputi segala sesuatu.

Dalam perspektif imam Ghazali, muraqabah merupakan buah dari makfirat


yang menghasilkan dua level muraqabah. Pertama, muraqabahnya orang-orang
shiddiqin, orang- orang terpercaya lagi jujur. Orang-orang shiddiqin
2
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2014), hal. 157-158

2
bermuqarabbah dengan benar-benar menenggelamkan hati, perasaan, dan diri
mereka sepenuhnya pada keagungan dan kewibawaan Allah.

Kedua muraqabbah orang-orang wara’, mereka bermuraqabbah dengan


menyadari bahwa Allah selalu mengawasi kondisi lahiriyyahnya dan batiniah
mereka. Orang-orang wara’ bermuraqabah dengan melakukan dua intropeksi:
intropeksi sebelum melakukan tindakan dan pada waktu melakukan
tindakan.Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah
hadits beliau mengatakan:“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada,
dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan
perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.”
(HR. Tirmidzi)

a. Manfaat Muraqabah
1) Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini adalah optimalnya
ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan.
Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan: “Barang siapa yang
merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan merindukan
pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak menyukai
pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan
dengannya” (HR. Bukhari). Dan rasa rindu seperti ini tidak akan muncul
kecuali dari adanya sifat muraqabah.
2) Sesorang yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang
benar. Al- Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang
memakmurkan dirinya secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin
dengan muraqabah, menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya
dari keharaman, dan membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang
halal, maka firasatnya tidak akan salah.” (Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48).

b. Macam-macam Sifat Muraqabah


Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah
Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa’ ; ada empat macam
bentuk muraqabah, yaitu:

1) Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan


dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan
tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan
karena faktor-faktor lainnya.
2) Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat,
bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya
dan lain sebagainya.

3
3) Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab
terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-
Nya pada kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah,
tanggung jawab, lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain
sebagainya.
4) Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada
ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh
kesabaran.

c. Sikap Muraqabah Dalam Al-Qur’an


Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, akan dijumpai banyak sekali ayat-
ayat yang menggambarkan mengenai sikap muraqabah ini, dalam artian
bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik, tingkah laku,
guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya. Sehingga benar-benar
tiada tempat untuk berlari bagi esan dari pengetahuan Allah SWT. Sebagai
contoh Allah mengatakan dalam al-Qur’an:

1) Pengetahuan Allah tentang apa yang ada dalam hati kita (QS. Al-Baqarah:
284) “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di
dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2) Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik kita, hingga dalam sujud
sekalipun. (QS. Asy-Syuara: 218-220) “Yang melihat kamu ketika kamu
berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu
di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
3) Kebersamaan Allah dengan diri kita. (QS. Al-Hadid: 4) : “Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.”
4) Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui makhluknya Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 30 "Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
5) Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan manusia
maupun dibelakangnya Allah berfirman, QS. Al-Baqarah:255: “Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki- Nya.”

d. Cara Untuk Menumbuhkan Sifat Muraqabah

4
Terdapat beberapa cara untuk dapat menumbuh suburkan sikap muraqabah
ini, diantara caranya adalah:

1) Memupuk keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, karena


iman merupakan pondasi yang paling dasar untuk menumbuhkan sikap
seperti ini. Tanpa adanya keimanan, muraqabah tidak akan pernah muncul.
2) Merenungi ayat-ayat kauniyah (ciptaan Allah SWT) melalui tadabur (baca;
perenungan) alam, bahwa ciptaan yang demikian sempurna ini, pastilah
dimiliki oleh Dzat yang Maha Sempurna, yang mengetahui hingga
sesuatu yang terkecil dari ciptaan-Nya.
3) Merenungi ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), dengan mentadaburinya ayat
per ayat secara perlahan, dan hal ini juga akan menumbuhkan keimanan
kepada Allah SWT.
4) Melatih diri untuk ‘menjaga’ perintah dan larangan Allah SWT,
dimanapun dan kapanmu ia berada, karena hal ini akan menumbuhkan
sikap muraqabah dalam jiwa kita.
5) Muraqabah juga dapat tumbuh dari adanya ‘ziarah qubur’, dengan tujuan
bahwa kita semua pasti akan mati dan memasuki kuburan, tanpa teman,
tanpa saudara dan tanpa keluarga. Hanya amal kitalah yang akan
menemani diri kita. Dan apakah kita telah siap untuk menghadap-Nya?
6) Memperbanyak amalan-amalan sunnah, seperti dzikrullah, shalat sunnah,
tilawah al- Qur’an dan lain sebagainya. Amalan-amalan seperti ini akan
menumbuhkan rasa ketenangan dalam hati. Dan rasa ketenangan ini
merupakan bekal pokok untuk menumbuhkan muraqabah.
7) Merenungi kehidupan salaf shaleh dalam muraqabah, rasa takut mereka
terhadap azab Allah yang sangat luar biasa, dan lain sebagainya. Untuk
kemudian dibandingkan dengan diri kita sendiri; apakah kita sudah dapat
seperti mereka, ataukah masih jauh?
8) Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada
Allah. Dengan persahatan insya Allah akan menimbulkan pengaruh positif
pada diri kita untuk turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana
sahabat kita.
9) Memperbanyak menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa,
terutama karena senda gurau. Karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit
untuk dapat merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan jiwa yang
terisi dengan keimanan yang membara memunculkan sikap tenang dan
tawadhu’.

5
2. Khauf
Secara termininologis, yang dimaksud dengan al-khauf (tajut) adalah
menghindari perbuatan terlarang yang tidak haram, dan menjauhi sama sekali
perbuatan haram. Dalam perspektif al-Qusyairi, khauf adalah perasaan di
kedalaman hati yang menghindarkan seorang salik dari segala yang tidak disukai
dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi menegaskan bahwa khauf sangat
berpengaruh pada masa depan. Ia berkata, ‘khauf adalah sebuah makna yang
berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut
melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang
disukai, dan semua itu hanya dapat terjadi di masa depan.

Khauf (rasa takut kepada Allah) adalah cambuk Allah swt untuk
menggiring hamba- hambaNya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan
kedekatan dengan Allah swt. Khauf inilah yang mencegah diri dari perbuatan
maksiat dan mengikatnya dengan bentuk- bentuk ketaatan.Rasa takut kepada
Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba adalah benih dari perjalanan
sebuah proses keimanan, dimana pokok-pokok ibadah telah dijalankan dengan
baik dan sempurna. Ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas apalagi
ditinggalkan oleh manusia dalam pengabdiannya kepada Sang khalik. Hati selalu
berzikir, lidah menyampaikan nasihat dan kebenaran dan tubuh sebagai pelaksana
dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya.
Kekurangan Khauf akan mengakibatkan kealpaan dan keberanian untuk berbuat
dosa. Sebaliknya terlalu berlebihan dalam Khauf akan menyebabkan putus asa-
putus harapan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah ali imran ayat 175:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti
(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.

a. Tanda-tanda Khauf
Orang mukmin yang sejati ialah orang yang takut kepada Allah swt.
dengan seluruh organ dan anggota tubuhnya. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Abu Laits, bahwa takut kepada Allah dapat dilihat indikasinya
dalam tujuh hal berikut ini:

1) Lidahnya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu berusaha mencegah
lidahnya dari berbohong, menggunjing, mengadu domba, membuat dan
mengobral perkataan yang tidak berguna. Ia akan menjadikan lidahnya
sibuk untuk selalu dzikir kepada Allah swt., membaca Al-Qur'an,
berdiskusi dan mengkaji ilmu.
2) Hatinya: Orang yang takut kepada Allah swt., akan selalu mengeluarkan
rasa permusuhan, kebohongan, dan kedengkian dari dalam hatinya karena

6
kedengkian itu dapat merusak kebaikan.
3) Penglihatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan melihat
pada yang haram, baik mengenai makanan, minuman, pakaian dan lain
sebagainya. Dia tidak memandang dunia dengan nafsu ambisi dan
keinginannya, tetapi dia memandangnya untuk mengambil pelajaran dan
ibrah. Dia tidak memandang pada sesuatu yang tidak halal dilihat olehnya.
4) Perutnya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan memasukkan
makanan yang haram ke dalam perutnya, karena yang demikian itu adalah
dosa yang besar.
5) Tangannya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak mau menerima
sesuatu yang haram, tetapi selalu berusaha untuk menggapai dan meraih
yang mengandung unsur ketaatan dan dapat mendekatkan diri kepada
Allah swt.
6) Kedua Kakinya: Orang yang takut kepada Allah swt., tidak akan
melangkahkan kakinya untuk berjalan dalam kemaksiatan kepada Allah
swt. Tetapi kakinya digunakan berjalan dalam ketaatan kepada Allah swt.,
untuk mencari keridhaan-Nya, untuk berjalan ke arah kebaikan, bergaul
bersama ulama dan orang-orang yang shaleh.
7) Ketaatannya: Orang yang takut kepada Allah swt., selalu
mengorientasikan segala aktivitas ketaatan dan keshalehannya hanya
untuk mencari keridhaan Allah swt., menjauhi sifat riya' dan
kemunafikan.3

b. Manfaat Khauf
Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua
hal;

1) Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa


mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik.
Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara
mengatasi nafsu harus dilecut dan dicambuk sehingga dapat membuatnya
jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
2) Kedua agar tidak membangga-banggakan amal solehnya (ujub). Sebab jika
sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu itu tetap
harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada
padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya
lainnya.

3. Raja’ (Harapan)
3
Ja’far, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm.89.

7
Raja’ atau harap adalah memerhatikan kebaikan dan berharap dapat
mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat Allah swt., dan
memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih harapan
tersebut. Para sufi memberi definisi raja’ dengan pernyataan, “keterkaitan hati
dengan sesuatu yang disukai yang akan dicapai dimasa mendatang”. Berdasarkan
definisi ini maka raja’ dapat diartikan sebagai penantian datangnya kebaikan-
kebaikan dan harapan terhadap ampunan dari maksiat melalui tobat.

Raja’ yang disandarkan pada dasar ketabahan seseorang untuk


menghadapi perbuatan buruk yang dilakukannya dan pengembalian kebaikan
kepada rahmat ilahi, adalah raja’ yang menghalangi salik dari keterperosokan ke
dalam perangkap kesalahan, dosa, dan hal-hal yang tidak patut dilakukan. Selain
itu raja’ juga menghalangi seseorang dari ketertipuan terhadap kebaikan yang
dilakukannya.

Apabila ia menunggu anugerah Allah, berharap agar yang maha kuasa


memantapkan hatinya di jalan yang benar, dan agar dia menjadikan kesudahan
hidupnya diwarnai kebaikan, apabila ini yang dilakukan sang hamba, inilah
harapan yang sejati, seperti yang telah dinyatakan oleh Allah: Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berijtihad di jalan Allah, merekalah
yang mengharapkan rahmat Allah; dan Allah maha pengampun dan maha
pengasih. (QS. Al-Baqarah:218)

Raja’ berarti harapan. Maksudnya adalah mengharap ridha Allah SWT.


Raja’ termasuk akhlak yang terpuji yaitu suatu akhlak yang dapat berguna untuk
mempertebal iman dan taqwa kepada Allah SWT. 4

Seorang yang beriman kepada Allah SWT tentunya memiliki sifat raja’.
Dengan sifat raja’ tersebut maka akan tercermin suatu sikap yang khusnudzon,
berhaluan maju, dan berpikir yang islami. Khusnudzon adalah sifat yang terpuji
yaitu sifat yang menunjukkan prasangka yang baik. Sifat kebalikannya adalah
su’udzan yaitu suatu prasangka buruk. Seseorang yang bersifat raja’ akan selalu
berprasangka baik terhadap Allah SWT, selalu optimis dalam hidup guna
meningkatkan kualitas hidup, berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang
diinginkan, masalah hasil diserahkan kepada Allah SWT.

Berpikir yang Islami merupakan berpikir dalam rangka mencari ridho


allah SWT, sehingga dengan pemikiran tersebut dapat mengenali dirinya sendiri
dengan menyadari bahwa hidup ini tidak lain adalah untuk menyembah kepada

4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), hal.177.

8
Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan
menjauhi segala larangan-Nya. (Baca surat Adzariyat ayat 56)

a. Manfaat dari Al-Raja’


Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua
hal, yaitu;

1) Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu


berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada
perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa
nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu
nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan.
2) Kedua agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan.
Karena jika seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi
tujuantentu seseorang tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan
apapun demi tercapainya tujuan tersebut.

b. Tanda-tanda Raja’
1) Selalu berpegang teguh kepada tali agama Allah, yaitu agama islam
2) Selalu berharap kepada Allah, agar selalu diberikan kesuksesan dalam
berbagai macam usaha dan mendapat ridho dariNya
3) Selalu merasa takut kepada ancaman dan siksaan Allah di akhirat kelak
4) Selalu cinta kepada Allah

c. Proses Pencapaian
1) Optimis adalah memungkinkan seseorang melewati setiap warna
kehidupan dengan lebih indah dan membuat suasana hati menjadi tenang.
2) Dinamis adalah sikap untuk terus berkembang, berfikir cerdas, kreatif,
rajin, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Orang yang bersikap
dinamis tidak akan mudah puas dengan prestasi-prestasi yang ia peroleh,
tetapi akan terus menerus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri.5

5
Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Pustaka Al-
Ihsan, 2013), hlm.143.

9
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau
situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil
dari usahanya.Hal bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi
seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.

Imam Al – Ghazali mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana


seorang hamba berubah karena ada sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada
saat tertentu hatinya dan pada saat yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut
dengan hal”.

Al-Muraqabah mengandung pengertian adanya kesabaran diri bahwa ia


selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi. Artinya si makhluk
senantiasa dalam keadaan waspada bahwa ia tetap dalam diawasi oleh khaliknya,
sehingga selalu menata dan membina kesucian dirinya.

Khauf menurut ahli sufi bararti suatu sikap mental takut kepada allah
karena khawatir kurang sempurna pengabdian. Takut dan khawatir kalau Allah
tidak senang kepadanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu
berusaha untuk memperbaiki dan lebih meningkatkan amal perbuatannya dan
jangan sampai menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh Allah.

Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh


karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh, karena ia
yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata.177. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Singer. 2013. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Iqbal Irham. 2013. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf.


Ciputat: Pustaka Al- Ihsan.

Ja’far. 2016.Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing.

Samsul Munir Amir. 2014. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Sinar Grafika Offest.

iv

Anda mungkin juga menyukai