Anda di halaman 1dari 11

Tugas Kelompok Dosen Pembimbing

Akidah Akhlak Syarifuddin, M.Ag

AL - AHWAL

Disusun oleh :
Kelompok 8

Ichsan Permana Putra


Jihad Benastey

Fakultas Sains dan Teknologi


Jurusan Teknik Informatika
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
rahmat, Inayah, taufik dan hinayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami akhir periode dakwah
Rasulullah di kota Mekkah.
Penulis mengakui masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena
itu diharapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Februari 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3. Tujuan ................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2

2.1. Pengertian Al-ahwal............................................................................................ 2


2.2. Tingkatan Al-ahwal ............................................................................................ 3
2.3. Tujuan Al-Ahwal ................................................................................................ 6
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 7

3.1. Simpulan ............................................................................................................. 7


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam terminologi tasawuf yang dimaksud maqamat sangat berbeda dengan
makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara
etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual
(English : Station).
Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik
berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri
menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya
diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-
sela perjalanan spiritualnya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Pengertian Al-Ahwal?
2. Tingkatan Al-Ahwal?
3. Tujuan Al-Ahwal?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Al-Ahwal.
2. Mengetahui tingkatan Al-Ahwal.
3. Mengetahui tujuan Al-Ahwal.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Al-ahwal


Ahwal adalah bentuk jama dari hal yang biasanya diartikan sebagai keadaan
mental atau mental states yang di alami para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Ibnu Arabi menyebutkan hal sebagai sifat yang dimiliki seorang salik
pada suata waktu dan tidak pada waktu yang lain,seperti kemabukkan dan fana.
Eksisitensinya bergantung pada sebuah kondisi, ia akan sirna manakala kondisi
tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dan di pahami tetapi dapat dirasakan
oleh orang yang mengalaminya dan karena nya sulit dilukiskan dengan ungkapan
kata. Ahwal sering di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih
lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah. Beberapa ulama
mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat atau
dinamis. Al-Ghazali yang memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila
seseorang telah mantap dan menetap dalam suatu maqom ia akan memperoleh suatu
perasaan tertentu dan itulah hal.

Mengenai hal ini, ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat di
bagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada
emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah
kondisi atau hal seseorang, kondisi atau sifat yang tetap di namakan maqom
sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal.menurut Syihabuddin rawardi
seseorang tidak mungkin naik ke maqom yang lebih tinggi sebelum memperbaikki
maqom yang sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik dari maqom yang lebih
tinggi turun lah hal yang dengan itu maqom nya menjadi kenyataan. Oleh karena
itu, kenaikkan seorang salik dari satu maqom ke maqom berikutnya di sebabkan
oleh kekuasaan Allah dan anugerah-Nya, bukan di sebabkan oleh usahanya sendiri.
Hal terdiri dari beberapa macam, diantara macam-macam hal yaitu :
muroqobah,khauf, roja, syauq, mahabbah, tumaninah, musyahadah, yaqin.

2
2.2. Tingkatan Al-ahwal
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;

- Muraqabah

Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun


secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung
pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan
merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan
pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah
dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa
melihat dirinya.

- Khauf

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-
khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa
tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah
dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati
inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.

- Raja

Raja bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja sebagai senangnya hati


karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi
raja adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa
akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja adalah sikap optimis
dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi
hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk
melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.

3
- Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi
menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian
syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa
rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan
rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan
pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan
rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa
rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.

- Mahabbah

Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.[17] Al-Junaid menyebut
mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung
kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun
dasar paham mahabbah antara lain dalam firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap
orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. Q. S. al-Maidah :
54

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya


Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Q. S. Ali Imran : 31.

Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang


pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh

4
cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau
mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai
sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar
cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi
kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya
pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan
bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam
dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban.

Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabiah al-Adawiyah (95 H-185 H).
Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu
yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-
syairnya.

- Tumaninah

Secara bahasa tumaninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tumaninah
sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih
ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi
langsung dengan Allah SWT.

- Musyahadah

Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata


hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini
berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat
Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir
dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba
dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti
bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu
menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal

5
musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan
Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.

- Yaqin

Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan
rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari
seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi
seluruh ahwal .

2.3. Tujuan Al-Ahwal


Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan
langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-
dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan
Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages
atau stations). Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat
relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang
berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait erat
dengan pengalaman sufi itu sendiri.

6
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan
spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang
timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah
muraqabah, khauf, raja, syauq, Mahabbah, tumaninah, uns, musyahadah, yaqin.

7
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abd. Al-Rahman al-Sulami, Thabaqat al-Shafiyah, Kairo: Mathbaah al-


Syaab, 1380 H.

Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,


1984.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1983.

Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Syarh al-Qasyani,.: al-Halabi, 1321 H.

Ibrahim Basyuni, Nas-ah al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Maarif, 1969.

Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr,

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Anda mungkin juga menyukai