“ MAQOMAT ”
Dosen Pembimbing :
Disusun oleh :
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat -
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. Pengertian Maqamat.....................................................................................2
B. Istilah Maqamat - maqamat dalam Tasawuf ................................................2
C. Pendapat Maqamat Para Sufi .......................................................................2
A. Kesimpulan ................................................................................................7
B. Saran ..........................................................................................................7
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB ll
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti
pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah
stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah
kedudukan seorang hamba dihadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui
peribadatan, mujahadat dan lain-lain, Latihan spritual serta (berhubungan) yang
tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis maqamat juga berarti
aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual
dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu
sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan
tertentu lainnya,yang diyaini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spirituanya di
hadapan Allah swt.1
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk
melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan
(tharikat) menuju Allah swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi
tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan).
Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat)
secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan
mengetahui penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt.
Walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang
dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (al-iman al-aqli an-nazhari)
dan iman secara rasa (al-iman asy-dzauqi).
Tingakatan (maqam) adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Allah
tidak lain merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang
membedakan dengan keaadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara.2
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa maqam dijalani
seorang salik melalui usaha yang sungguh-sungguh, sejumlah kewajiban yang
harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu.3
2
b. Zuhud
Zuhud adalah meninggakan dunia dan kehidupan materi. Kehidupan dunia
dipandang hanya sebagai alat untuk tujuan yang hakiki, yaitu dekat kepada Allah
SWT. Zuhud merupakan tahapan pemantapan taubat yang telah dilalui pada
tahapan pertama. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting
dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan duniawi.[4]
c. Wara’
Setelah selesai dari zuhud, calon sufi memasuki tahapan wara’. Secara harfiah,
al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya
mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wara’
adalah meninggalan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal
dan haram (syubhat).[5]
d. Fakir
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir
mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar
terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah. Dalam sufi pengertian
fakir menunjukan kepada seseorang yang telah mencapai akhir “lorong spiritual”.
Jika maqam fakir telah sampai pada puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati
dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka maqam itu
merupakan perwujudan penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang
selain-Nya.[6]
e. Sabar
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mujam Maqayis Allughaa
disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti, yaitu menahan sesuatu yang paling
tinggi, dan jenis bebatuan. Sedangkan menurut terminologi adalah menahan jiwa
dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk
mendapatkan rida Alloh SWT. Dalam persektif tasawuf, sabar bearti menjaga adab
pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Alloh
SWT dan menjauhi segala larangan-Nya serta tabah menghadapi segala peristiwa.
Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena
3
iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur
baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli
suf pada dasarnya sama, yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang
menimpanya.[7]
f. Tawakal
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah
untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia, agar tidak terikat dan tidak ingin
dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah SWT. Pada dasarnya makna
atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama.
Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala
sesuatu pada takdir dan kehendak Allah SWT.[8]
g. Ridha / Kerelaan
Rida berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap
apapun keputusan Allah SWT kepada seorang hamba , meskipun hal tersebut
menyenangkan atau tidak. Sikap rida merupakan buah dari kesungguhan seseorang
dalam menahan hawa nafsunya. Imam Gazali mengatakan bahwa hakikat rida
adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dipahami seluruh aktivitas kehidupan manusia
hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridaan Allah SWT.[9]
h. Mahabbah
Tokoh mahabbah yang paling mashur yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah (w.185 H ).
Ia dilahirkan di Basrah, hidupnya bermula sebagai seorang budak belian yang
kemudian mengabdikan hidupnya dengan shalat dan berzikir sepanjang malam.
Bagi rabi’ah, zuhud harus dilandasi dengan mahabbah ( rasa cinta) yang mendalam,
kepatuhan kepada Allah bukanlah tujuanya, karena ia tidak mengharapkan nikmat
surga dan tidak takut adzab neraka, tetapi ia mematuhi-Nya, karena rindu dan cinta
kepada-Nya. Menurut rabi’ah, cinta dan rindu kepada illahi mempunyai dua bentuk,
yaitu cinta rindu dan cinta karena ia layak dicintai. (Mulyadi, 2005, hal 133 )[10]
4
i. Ma’rifat
Pada tahapan ma’rifat ini, tabiin yang memindahkan dirinya dengan Tuhan
telah terbuka. Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati semakin
dapat melihat Tuhan, tetapi ia brlum puas dengan berhadapan. Sufi dalam tahapan
ini ingin lebih dekat lagi, bahkan ingin bersatu dengan Tuhan dan menjadikanya
sebagai perantaraan hati sanubari.[11]
j. Fana’ dan Baqa’
Dari segi bahasa ( etimologi ) kata Fana’ artinya sirna, lebur atau hilang,
sedangkan baqa’ artinya kekal, abadi dan senanatiasa ada. Jadi ketika sufi mencapai
maqam ini ia merasa fana’ yaitu hilangnya sifat-sifat yang tercela dan munculnya
sifat yang terpuji, pendapat kaum orientalis, salah satu maqamat sufi al-Fana
dianggap ada persamaan dengan ajaran agama hindu tentang nirwana. (Mulyadi,
2005, hal 133)[12]
k. Ittihad
Yang dimaksud dengan ittihad yaitu pengalaman batin akan kesatuan seorang
sufi. Seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Dalam
keadaan seperti ini tidak jarang muncul ucapan-ucapan yang sebagian orang
dianggap aneh seperti kata-kata : Ana Al-Haq = (Aku adalah Al-Haq), aku adalah
Yang Satu. Kata-kata ini terlontar hanya seketika, karena merasa begitu
menyatunya dengan Yang Haq yaitu Allah SWT. Tokoh yang sangat popular dalam
maqomat ittihad ini adalah Abu Yazi Al- Bustami. ( Mulyadi, 2005, 133).[13]
C. Pendapat Maqamat Para Sufi
Berikut beberapa pendapat tentang jalan atau cara yang dilalui para sufi :
1. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi
a) Tobat
b) Zuhud
c) Sabar
d) Kefakiran
e) Kerendahan hati
f) Tawakkal
g) Kerelaan
5
2. Abu Nashar al-Sarraj al-Thusi
a) Tobat
b) Wara’
c) Zuhud
d) Kefakiran
e) Sabar
f) Tawakkal
g) Kerelaan
3. Al-Ghazali
a) Tobat
b) Sabar
c) Kefakiran
d) Zuhud
e) Tawakkal
f) Mahabbah
g) Makrifat
h) Kerelaan
4. Al-Kalabadz
a) Tobat
b) Zuhud
c) Sabar
d) Kefakiran
e) Rendah hati
f) Tawakkal
g) Kerelaan
h) Mahabbah
i) Makrifat
5. Abd al-Qasim al-Qusyairi al-Naisaburi
a) Tobat d) Tawakal
b) Wara’ e) Sabar
c) Zuhud f) Ridho
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Maqamat adalah tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
berada sedekat mungkin dengan Allah.
2. Menurut buku yang referensi yang ada tingkat maqamat ada sebelas yaitu : taubat,
zuhud, wara’,fakir,sabar, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifat, fana dan
baqa’,ittihad
B. Saran
1. Untuk para pembaca hendaknya harus mengetahui begaimana maqamat dalam
tasawuf untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang maqamat dalam
tasawuf.
2. Untuk para pengajar syogyanya makalah ini dapat dijadikan sebagai pandangan
fikiran yang nantinya dapat dijadikan sebuah referensi tentang maqamat dalam
tasawuf.
7
DAFTAR PUSTAKA