Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

RELASI KAUSALITAS YANG MENGGAMBARKAN IMPLIKASI ANTARA PROGRAM BPJS


DENGAN FIQH MUALAMALH DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DARI SEGI KEILMUAN
DAN HUKUM
Disusun guna memenuhi mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Munif,MSI

Disusun Oleh :
Adi Saputra (2202046027)
Izzuddin Hasan (2202046033)

PROGRAM STUDI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
21 NOVEMBER 2022
BAB 1
MASALAH SOSIAL

Jika ditelaah dari segi verbal logic-nya masalah sosial terdiri dari dua kata variabel
bebas yaitu : masalah dan sosial. Mengutip dari KBBI masalah adalah sesuatu yang harus
diselesaikan (dipecahkan), sederhananya masalah merupakan perbedaan antara harapan
dengan kenyataan. Jika dihubungkan dengan penelitian1 masalah disebut sebagai variabel
tak bebas (dependent) : Y dan faktor penyebab timbulnya masalah disebut sebagai variabel
bebas : X2. Misalnya jumlah angka kematian bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI)
masih cukup tinggi (Y), apa sebabnya? Mungkin fasilitas kesehatannya (X1), mungkin status
sosial ekonominya (X2), mungkin sudah takdir dari Allah (X3). Sedangkan sosial adalah
istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu ‘socius’ yang berarti segala sesuatu yang lahir,
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), sosial adalah berkenaan dengan masyarakat. Istilah lainnya dari sosial
adalah suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan
sebagainya)3.

Penjelesan definisi yang dikemukakan para ahli terkadang tidak benar benar tepat
untuk menjelaskan sesuatu secara konkrit, namun berkat banyaknya yang mendefinisikan
sehingga muncul gambaran umum yang dapat ditarik sebuah kesimpulan. Dalam konteks
ini, permasalah sosial akan disampaikan oleh beberapa tokoh : 1. Soerjono soekamto :
permasalahan sosial sebagai adanya ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat yang jika dibiarkan dapat membahayakan interaksi dalam kelompok sosial. 2.
Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Gramedia.com menyebutkan bahwa permasalahan
sosial merupakan kondisi sosial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat setelah
dievaluasi oleh masyarakat. 3. Earl Rubington dan Martin S. Weinberg mendefinisikan
permasalahan sosial sebagai kondisi di dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Secara garis besar, permasalahan sosial adalah
adanya ketidaksesuaian antara harapan (berupa terwujudnya nilai-nilai yang dijunjung
masyarakat) dengan kenyataan yang terjadi. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan
kerisauan di hati dan adanya rasa tidak sreg karena dirasa melenceng dari fitrah dan sifat
natural masyarakat. Disebut sebagai masalah sosial karena keresahan tersebut dirasakan
oleh banyak orang, bukan hanya satu atau dua individu4.

1
karena penitian adalah bagian dari pemecahan masalah yang outputnya adalah sebuah solusi
permasalahan.
2
Johanes Supranto dan Syahfirin Abdullah, “Pengantar Statistika Untuk Berbagai Bidang Ilmu,” no.XXi.
3
Muhammad Irfan Al-Amin "Sosial Adalah Pola Interaksi dengan Manusia Lain, Ini Penjelasannya",
Katadata.co.id.
4
“ Permasalahan sosial : Pengertian, Faktor, Penyebab, Dampak, Solusi” gramedia.com
Permasalahan sosial timbul dari berbagai macam faktor penyebab salah satunya adalah
faktor ekonomi. Berpengaruhnya faktor tersebut terhadap masalah sosial jika
membludaknya individu yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dengan kata
lain individu tersebut mengalami kemiskinan. Kemiskinan tentu tidak diharapkan terjadi,
baik secara individu maupun secara kelompok. Terciptanya kemiskinan mengisyaratkan
adanya harapan (kesejahteraan dan kemakmuran) yang tercapai. Oleh karena itu,
kemiskinan melahirkan ketidaksesuaian dengan keinginan masyarakat, salah satunya
adalah kesehatan, dimana hal tersebut merupakan suatu harga mati bagi manusia yang
bernyawa. Seperti kejadian covid – 19 yang melanda dunia selama hampir 2 tahun lebih,
mereka yang berada di circle kemiskinan semakin merasa tak berdaya dengan keadaan
yang menuntutnya untuk lebih berkeringat.

BAB 2

Kemiskinan dan Kesehatan

1. Kemiskinan

Kemiskinan adalah permasalahan multidimensi, sehingga tidak cukup hanya dipahami dari
dimensi ekonomi atau material yang mengartikan kemiskinan sebagai minimnya aset yang
dimiliki. Dari dimensi lain, kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengakses
hak‐hak dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan hak menyampaikan pendapat.

Mulyadi (2011) dan Mundiharno (2009) juga menekankan pengertian kemiskinan sebagai
ketidakmampuan mengakses berbagai sumberdaya dan peluang‐peluang yang semestinya menjadi
haknya. Diungkapkan Mulyadi (2011) bahwa kemiskinan adalah “sebuah fenomena
multidimensional dimana hidup miskin diartikan tidak hanya hidup kekurangan dalam hal pangan,
sandang dan papan tetapi juga berarti akses yang rendah terhadap bermacam sumberdaya dan aset
produktif yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan yang paling dasar tersebut (hal 11).
Mundiharno (2009) mengartikan kemiskinan sebagai “ketidakmampuan rumah tangga atau
seseorang dalam memenuhi secara cukup kebutuhan dasarnya. Kemiskinan merupakan
suatu ketidakcukupan (deprivation) akan aset‐aset penting dan peluang‐peluang dimana setiap
manusia berhak memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.”

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan


yang menyangkut berbagai bidang dan bersifat lintas sektoral. Dengan demikian, hal ini berimplikasi
bahwa tidak ada satupun cara atau kebijakan tunggal yang mampu menanggulangi kemiskinan.
2. Kesehatan

Kesehatan mempengaruhi tingkat fungsional seseorang, baik dari segi fisiologis, psikologis dan
dimensi sosiokultural. Bersama dengan pendidikan, kesehatan merupakan investasi untuk
mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan.

Setiap orang berhak atas kesehatan tanpa adanya perbedaan ras, paham politik, agama, kondisi
sosial maupun ekonomi. Negara bertanggung jawab atas kesehatan warga negaranya, melalui
kebijakan‐kebijakan yang dikeluarkan dan penyediaan fasilitas kesehatan yang mendukung. Dalam
Undang‐undang Dasar 1945 dan Undang‐undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan
bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan negara bertanggung
jawab menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

Dalam Undang‐undang No 36 Tahun 2009, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Konstitusi WHO (1946) juga menyatakan hal yang tidak jauh berbeda,
yaitu “Health is a state of complete physical, mental and social well‐being and not merely the absence
of disease or infirmity (hal 1)”. Dari kedua pengertian tersebut, maka kesehatan merupakan
perpaduan antara kondisi fisik dan mental yang mampu mendukung individu untuk beraktivitas secara
optimal.

3. Korelasi antara kemiskinan dan kesehatan

Dari sifatnya yang multidimensi, dimungkinkan akan terdapat permasalahan akses yang rendah
terhadap layanan kesehatan dalam kemiskinan. Korelasi antara kemiskinan dan kesehatan bukanlah
suatu hubungan yang sederhana, dan merupakan suatu hubungan timbal balik yang tidak dapat
dipisahkan antara keduanya. Kesehatan yang buruk dapat menyebabkan kemiskinan dan kemiskinan
berpotensi besar membawa pada status kesehatan yang rendah. Sebagaimana dinyatakan oleh World
Bank (2002) bahwa kemiskinan dan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan. Kesehatan yang buruk dapat menyebabkan penurunan produktivitas
dan menghabiskan tabungan rumah tangga sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup
dan menciptakan kemiskinan. Sebaliknya, orang miskin pada gilirannya akan terkena risiko pribadi dan
lingkungan yang lebih besar, kekurangan gizi, dan kemampuan yang rendah untuk mengakses fasilitas
kesehatan.

Kemiskinan dapat menempatkan seseorang pada kondisi kesehatan yang tidak


menguntungkan. Beberapa alasan yang dapat menjadi penyebab terjadinya hal ini adalah
keterbatasan akses kelompok miskin terhadap perolehan informasi dan layanan kesehatan yang
memadai, rendahnya pengetahuan dan perilaku hidup yang tidak mengindahkan
kesehatan. Kelaparan yang menyertai kemiskinan menambah lemahnya daya tahan tubuh si miskin
sehingga kelompok miskin semakin sulit keluar dari status kesehatan yang
rendah. Sebaliknya, kesehatan juga memegang peranan besar dalam merubah status individual
seseorang menjadi miskin atau mengangkatnya dari kemiskinan. Kondisi kesehatan yang buruk
menyebabkan berkurangnya produktivitas. Produktivitas yang menurun mengakibatkan semakin
terbatasnya penghasilan yang diperoleh. Apabila kemudian yang dihadapi adalah kasus katastropik3 ,
maka dibutuhkan sumber pembiayaan yang lebih besar untuk menutup ongkos pengobatan. Pada titik
ini, buruknya kondisi kesehatan berakibat lebih berat bagi kelompok miskin karena aset utama yang
dimiliki kelompok miskin adalah tenaga untuk bekerja. Kondisi ini cepat atau lambat mendorong yang
bersangkutan dalam jebakan lingkaran kemiskinan atau memperdalam status kemiskinannya.

Wagstaff (2002) mencontohkan dalam lingkup makro, kondisi kesehatan masyarakat di negara‐
negara miskin pada umumnya tidak sebaik masyarakat di negara tidak miskin, demikian pula dalam
lingkup mikro, anak‐anak dari keluarga miskin akan memiliki tingkat kesehatan yang tidak seberuntung
teman‐temannya dari keluarga kaya ataupun teman‐temannya yang tinggal di negara yang tidak
miskin. Secara singkat, Wagstaff (2002) menggambarkan hubungan antara kemiskinan dan kesehatan
sebagai berikut :

Gambar 1. Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan

Karakteristik kelompok miskin : Akibat dari Penghasilan yang


tingkat terbatas
• Pemanfaatan pelayanan/jasa
kesehatan yang
yang tidak sama, lingkungan • Kehilangan
rendah
tidak sehat, kelaparan penghasilan
• Sakit • Biaya
Penyebab :
• Kurang gizi perawatan
• Ketiadaan mata pencaharian • Memiliki kesehatan
• Keterbatasan dalam norma banyak anak • Sangat rentan
komunitas sosial, institusi terhadap
dan infrastruktur yang penyakit
lemah, lingkungan yang katastropik
buruk;
• Aturan kesehatan yang
lemah, tidak dapat
mengakses, ketiadaan
petunjuk pemakaian,
pelayanan yang tidak
relevan, kualitas yang
rendah;
• Tersisih dari sistem
pembiayaan
kesehatanasuransi yang
terbatas.

Sumber : Buletin WHO, 2002


Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa kemiskinan dan kesehatan saling berhubungan erat.
Kemiskinan berdampak pada buruknya kondisi kesehatan kelompok miskin karena bagi
mereka kesehatan adalah suatu barang mewah dan kesehatan tidak jauh lebih penting
dibanding dengan bagaimana mencari uang dan menikmati sesuap nasi setiap
harinya. Sementara kondisi kesehatan yang buruk dan tidak tertangani dapat menjebak
sesorang pada lingkaran kemiskinan.

BAB 3
BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL

BPJS adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yakni lembaga khusus
yang bertugas untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi
masyarakat, PNS, serta pegawai swasta. Program ini mulai diselenggarakan pada tahun
2014 melalui dasar hukum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.
Salah satu program yang diadakan oleh BPJS adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN diselenggarakan melalui sistem asuransi, dimana masyarakat wajib membayar iuran
dalam jumlah ringan sebagai tabungan untuk biaya perawatannya ketika sakit di masa
depan.
Pada dasarnya, semua WNI wajib mengikuti program milik BPJS. Termasuk di dalamnya
adalah orang asing dan pekerja yang berdomisili di Indonesia minimal 6 bulan serta
membayar iuran.
Dalam perjalanannya keberadaan BPJS Kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Terutama dikarenakan iuran yang relatif terjangkau serta fasilitas kesehatan yang tersedia
dari tingkat pertama hingga lanjutan.
BPJS menawarkan pelayanan kesehatan yang ramah bagi masyarakat dengan sektor
ekonomi menengah kebawah. Sebab, pembayarannya tergolong mudah dilakukan
masyarakat karena melalui skema iuran.
BAB 4
Kemanfaatan dan Kemunculan Hukum

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tentu sangat
memperhatikan nilai-nilai keislaman terimplementasikan dalam berbangsa dan bernegara.
Termasuk di dalamnya terhadap BPJS Kesehatan, karena menyangkut hajat hidup
masyarakat Indonesia yang netabonenya mayoritas beragama Islam.
Hal yang diperhatikan kaum muslimin di tanah air dari BPJS Kesehatan adalah terkait
transaksi yang berlangsung di dalamnya. Muncul pertanyaan apakah BPJS Kesehatan
sudah sesuai syariat atau belum? Maka dalam konteks hukum ini hadirlah MUI sebagai
lembaga nasional yang kompeten untuk mengeluarkan fatwa.
Maka dilakukanlah kajian terhadap hukum BPJS Kesehatan yang dalam perjalannya bukan
saja dilakukan oleh lembaga MUI, tapi juga dilakukan oleh beberapa ormas Islam lainnya.
Hingga pada akhirnya hasil kajian yang berbeda-beda itu memunculkan perbedaan
pendapat, ada yang sepakat BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan syariah, ada pula yang
menilai sebaliknya. Perbedaan pendapat yang bermunculan ini tentunya disertai dengan
dalil-dalil dari masing-masing pendapat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,
zu'ama dan cendikiawan muslim Indonesia,6 merupakan pihak yang berpendapat
transaksional yang dilakukan oleh BPJS – khususnya BPJS Kesehatan - belum
mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari
transaksi antar para pihak.
Pernyataan MUI ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN),7 yang merujuk
kepada Ijtima Ulama fatwa MUI V Tahun 2015 dengan kesimpulan, “Penyelenggaraan
jaminan sosial oleh BPJS tidaksesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur
gharar, maisir dan riba.”8
MUI yang menilai terdapatnya unsur gharar9 dalam BPJS disimpulkan dari premi bulanan
yang dibayar peserta, namun tidak jelas besaran jumlah yang akan diterima. Bisa lebih
besar, bisa kurang. Dalam hal ini dinilai terdapat unsur gharar (ketidak jelasan).
Sedangkan unsur maisir10 menurut MUI, dilihat dari perhitungan keuangan yang bisa jadi
untung, bisa jadi rugi. Setiap peserta BPJS Kesehatan mendapatkan dua kemungkinan,
antara untung atau rugi dengan kesehatan sebagai taruhannya. Jika peserta sakit, ia bisa
mendapatkan klaim lebih besar dari premi yang telah dibayarkan, dan sebaliknya ketika
sehat ia tidak mendapatkan apa-apa.

Adapun unsur riba11 dalam BPJS didapat dari pengelolaan dana premi peserta yang
diinvestasikan pada bisnis ribawi di lembaga-lembaga keuangan konvensional.12 MUI
menempatkan BPJS Kesehatan layaknya asuransi kesehatan, sehingga ditakar
berdasarkan ketentuan asuransi syariah yang telah difatwakan.
Terkait asuransi ini, Dewan Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang
menggarisbawahi bahwa asuransi syariah terlepas dari unsur gharar (penipuan), maisir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Adapun akad asuransi dalam bentuk tijârah (konvensional) maka harus dilakukan dalam
bentuk mudharabah.13
Berdasarkan uraian di atas, MUI melihat permasalahan BPJS Kesehatan ini dikelola dengan
model asuransi konvensional. Hal lainnya adalah pola pertanggungan yang dijalankan BPJS
adalah transfer of risk, dimana risiko pertanggungan dialihkan dari peserta kepada BPJS.
Transaksi seperti ini diharamkan dalam Islam.
Dalam pengelolaan dan penanggungan risiko, beberapa hal yang tidak boleh terdapat di
dalam asuransi syariah adalah gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maisir
(perjudian). Sedangkan dalam investasi atau manajemen dana tidak diperkenankan
adanyanya riba (bunga). Ketiga larangan ini; gharar, maisir dan riba merupakan praktek
yang harus dihindari dalam asuransi syariah, dan ketiga hal ini yang menjadi pembeda
dengan asuransi konvensional.14
Berbeda dengan pendapat MUI, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama
(NU) melalui Bahtsul Masail15 memiliki pendapat berbeda dengan MUI. Melalui Muktamar
NU Ke-33 yang diselenggarakan di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 1-5 Agustus 2015
dinyatakan, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan syariat Islam dan masuk
dalam akad ta’âwun.”16
Dalil yang digunakan dalam penetapan hukum BPJS Kesehatan ini merujuk kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta dikuatkan dengan pendapat ulama dari kitab-kitab
mu’tabarah. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an tentang perintah untuk saling
tolong-menolong dalam kebaikan dan bukan dalam keburukan.17 Begitu pula dengan
hadis yang menjelaskan bahwa kaum muslimin satu dengan yang lainnya adalah
bersaudara, maka jiwa saling tolong-menolong harus tumbuh di dalam diri seorang
mukmin.18
Kemudian menggunakan Tafsir al-Baghâwî dalam menjelaskan QS. Al-Maidah ayat 2 yakni
dorongan untuk saling membantu satu sama lain dalam melakukan kebajikan dan
ketakwaan. Al-Bir ditafsirkan mengikuti kebaikan, dan at-Takwa artinyamenjauhi larangan.
Kemudian
janganlah saling membantu dalam hal kekafiran, kezaliman ataupun kemaksiatan.19
Terkait dengan hukum setoran BPJS di bank Konvensional, menurut NU hal tersebut masih
dalam ranah khilafiah. Berdasarkan keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung yang
diselenggarakan pada tanggal 16-20 Rajab 1412 H/ 21-25 Januari 1992 M dengan keputusan
bahwa hukum bank Konvensional adalah khilaf: halâl, mubâh, syubhât.
Kajian dari ulama kalangan Nahdhiyyin ini kemudian membolehkan pemerintah untuk
mewajibkan semua warga negara mengikuti program BPJS Kesehatan tersebut, dengan
catatan bagi warga miskin biaya iuran ditanggung oleh pihak pemerintah. Adapun terkait
denda, Bahtsul Masail NU membolehkan sanksi itu diberikan selama peserta tersebut
memiliki kesanggupan untuk membayarnya.
Sedangkan dalam hal investasi, Bahtsul Masail menyimpulkan pada dasarnya investasi dari
dana yang terkumpul dalam BPJS Kesehatan itu diperbolehkan, demi memenuhi
kebutuhan dana kesehatan. Namun ada pengecualian apabila investasi tersebut disimpan
pada sektor yang masih diragukan kehalalannya atau bahkan sudah jelas keharamannya
maka hukumnya haram.20
Melihat perbedaan ini, penulis menelaah alasan masing-masing pendapat dan hasilnya
penulis menilai pendapat hasil Ijtima Ulama MUI dinilai lebih tepat, yakni BPJS Kesehatan
hukumnya haram karena masih mengandung tiga unsur yaitu riba, maisir dan gharar.
Namun, kendati BPJS Kesehatan dihukumi haram, namun berdasarkan fatwa MUI pula
keharamannya saat ini menjadi pengecualian, karena melihat tingkat kebutuhan
masyarakat yang tinggi terhadap BPJS Kesehatan.
Dalam konteks kebutuhan yang tinggi ini, maka dapat dikatagorikan ke dalam kondisi
darurat, sehingga program tersebut diperbolehkan untuk diikuti dikarenakan beberapa
faktor. Diantaranya karena BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan berbiaya
murah, terjangkau serta kebutuhan kesehatan itu darurat, disamping itu juga karena
hingga kini belum adanya alternatif BPJS Kesehatan yang berlandaskan syariah.
Pertimbangan BPJS Kesehatan menjadi kebutuhan darurat di tengah masyarakat juga
melihat potret masyarakat yang hidup serba berkecupan, karena tidak sanggup mengikuti
Asuransi Syariah dikarenakan biaya premi yang tidak terjangkau, sehingga BPJS Kesehatan
menjadi alternatif. Namun ketika alternatif ini tidak mereka pilih, maka ketidakikutsertaan
mereka dalam BPJS Kesehatan dapat berujung bahaya (dharar) sehingga hal itu harus
dihindari, sesuai dengan kaidah: adh-dharâru yuzâl.21 Sehingga berdasarkan kepada
maslahat yang lebih besar sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka hukum menjadi
peserta BPJS Kesehatan adalah boleh22 karena alasan darurat23 dengan segala ketentuan
yang berlaku.24
Sebagai bentuk tanggungjawab MUI terhadap fatwa dibolehkannya BPJS Kesehatan
selama dalam kondisi darurat, maka diusulkan agar segera dibentuknya BPJS Kesehatan
Syariah, berlandaskan pada fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI.25 Sehingga pada
tahun 2015 diterbitkanlah Fatwa DSN MUI No: 98/DSN-MUI/XII/2015 yang mengatur
tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah.
Beberapa ketentuan yang dibahas dalam fatwa tersebut diantaranya adalah, ketentuan
akad dan pesonalia hukum, ketentuan terkait iuran dan layanan, ketentuan terkait dana
jaminan sosial bernilai negatif, ketentauan terkait kesulitan likuiditas aset dana jaminan
sosial, ketentuan

Anda mungkin juga menyukai