Anda di halaman 1dari 15

Pekerjaan Sosial

Dengan Disusun Oleh:

Kemiskinan
Kamaludin Jamil 1904076
Zennyca Zakia Zainab 1904161
Audry Melodia 1904274
Pengantar

Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori
kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta
orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan,
yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak
memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi
PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain
memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok
rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran
psikologis, sosial dan politik. 
Dalam garis besar, pendekatan Depsos dalam
menelaah dan menangani kemiskinan sangat
dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social
work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-
kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal
begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan
kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan
(body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan
keterampilan (body of skils) profesional yang
umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi
pekerjaan sosial (S1, S2 dan S3).
KONSEP DAN STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM
PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL

01 Teori Neo-liberal Dan Sosial Demokrat Mengenai Kemiskinan

02 Strategi Penanganan Kemiskinan Menurut Persfektif Pekerjaan


Sosial
Teori Neo-liberal Dan Sosial Demokrat Mengenai Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia
ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwayuh wajah, dan tampaknya akan terus
menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu
rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna,
penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan. 
Terdapat banyak sekali teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun bila
disederhanakan, setidaknya dalam konteks diskusi ini, maka terdapat dua paradigma atau teori
besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat
yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural dan individual. Pandangan ini kemudian
menjadi basis dalam menganalisis kemesikinan maupun merumuskan kebijakan dan program-
program anti kemiskinan
Teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan
individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan
dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok
tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos
pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi
Keynesian ini, muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada
tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan
pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial
dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat
dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-
management economics) gaya Keynesian ini.
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan
prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian
kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau
sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang
cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula
bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan
berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan
menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan
membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam
menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi
kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Strategi Penanganan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus


utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Dalam
proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan
keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip keberfungsian sosial (social
functioning) (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997).
Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities)
individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di
lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek
pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat
dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan/atau dapat
menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada
di sekitar dirinya.
Sebagaimana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”, psikolog
dengan konsepsi “perilaku adekwat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”, dan pengacara
dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi
pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan
profesi lainnya.

Dengan demikian, jika keseluruhan konsepsi tersebut dipandang sebagai


kontribusi setiap profesi terhadap pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial
dalam domain pembangunan nasional, maka dapat dimodelkan sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 1 (Suharto, 1997). Gambar tersebut menunjukkan bahwa
dalam domain pembangunan nasional, terlibat banyak profesi pertolongan yang
melaksanakan tugas dalam arena pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial.
Diantara profesi-profesi tersebut profesi pekerjaan sosial lebih dominan dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Sedangkan profesi lainnya lebih dominan dalam
pembangunan sosial yang merupakan induk atau muara pembangunan
kesejahteraan sosial.
Jika gambar tersebut dikontekstualkan dalam program pengentasan
kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa sasaran dan garapan profesi pekerjaan
sosial lebih terfokus pada konsepsi dan tugas yang disandangnya, yakni konsepsi
mengenai keberfungsian sosial dalam fungsi pembangunan kesejahteraan sosial.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan
merupakan persoalan-persoalan struktural sebagaimana diformulasikan oleh kaum
sosial demokrat. Dilihat dari tingkatannya, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi
pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai
fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis
kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta
tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis
kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial
dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan
dasar atau tidak buta hurup,).
3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas
dari kemesikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang
kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering
disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai
perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status
“rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi
dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan
pekerjaan sosial (Depsos) adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas.
Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan
harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka
seringkali orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil”
yang melekat padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo
terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh
PMKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum
ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok
destitute, poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa PMKS bisa berada
diantara ketiga kategori kemiskinan di atas.
Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan
sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan
dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer
group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan
(institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS
yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi:
1) Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-
panti sosial
2) Program jaminan, perlindungan, dan asuransi kesejahteraan sosial

Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan
sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si
miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti
kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-
masalah yang dihadapinya.
PROKESOS penanganan kemiskinan – yang pada prinsipnya memadukan
pendekatan neoliberal dan sosial demokrat ini – dapat dikategorikan kedalam
beberapa strategi:
1) Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban
bencana alam.
2) Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-
usaha ekonomis produktif
3) Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga
muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan
remaja.
Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the
missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai
kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan
membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau
Kelompok Usaha Bersama

Anda mungkin juga menyukai