Anda di halaman 1dari 12

ENTITAS MARJINAL PADA KALANGAN REMAJA LULUSAN

SEKOLAH YANG BELUM BEKERJA (STUDI DESKRIPTIF PADA


REMAJA GANG BAITUL MUTAQQIN, RT02/RW02, KECAMATAN
KETANGGUNGAN, KABUPATEN BREBES)

M. Hudoyo

18105040015

mhudoyo72@gmail.com

MARGINAL ENTITIES IN UNWORKED ADOLESCENT SCHOOL


GRADUATES (DESCRIPTIVE STUDIES ON ADOLESCENT SCHOOL
GRADUATES BAITUL MUTAQQIN SUBDISTRICT, RT02/RW02,
KETANGGUNGAN DISTRICT, BREBES REGENCY)

M. Hudoyo

18105040015

mhudoyo72@gmail.com

Abstrak

Marjinalitas secara umum terjadi karena adanya ketidakadilan,


kesenjangan, dan ketidaksetaraan yang ada dalam sebuah tataran
masyarakat tertentu. Perihal marjinalitas ini dapat dialami oleh siapa
saja, tak terkecuali remaja-remaja lulusan sekolah yang belum bekerja
karena problem psikologis sosial salah satunya disebabkan oleh keadaan
diri yang menganggur dialami hampir oleh setiap rentang usia.
Marjinalitas dalam remaja dapat diartikan sebagai ketidakmampuan
mengadaptasi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang ada.
Sehingga menyebabkan sekelompok masyarakat terlebih bagi kalangan
remaja menjadi terpinggirkan atau memilih untuk mengasingkan diri
karena adanya keberbedaan secara fundamental. Dengan Metode
Kualitatif yang berarti memberikan data dan gambaran secara deskriptif
baik dari tulisan-tulisan atau dari lisan orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati, tulisan ini akan memberikan eksplanasi yang menyoal
terhadap kualitas dari suatu gejala sosial yang terjadi dari suatu
peristiwa di masyarakat. Lebih lanjut untuk menyinambungkan dan
menguatkan teori Ashobiyyah menurut Ibn’ Khaldun adalah fitrah
berkelompok (‘Ashobiyyah) atau semangat bergolongan (Group-Feeling),
terdapat beberapa pendukung lainnya, seperti Dukungan Sosial yang
membantu meningkatkan Kepercayaan Diri pada kelompok remaja
lulusan sekolah yang belum bekerja.

Kata kunci: Marjinalitas, Remaja, Dukungan Sosial.

Abstract

Marginality in general occurs because of injustice, and inequality.


Inequality that exist in a certain level of society. This marginality can be
experienced by anyone, including teenagers who have graduated from
school who have not worked yet because of social psychological
problems, one of which is caused by unemployment experienced by
almost every age range. Marginality in adolescents can be interpreted as
the inability to adapt to adjust to existing social situations. This causes a
group of people, especially teenagers, to be marginalized or choose to
isolate themselves because of their fundamental differences. With the
qualitative method, which means providing descriptive data and
descriptions either from writtings or from people's words and observable
behavior, this paper will provide an explanation that questions the
quality of a social phenomenon that occurs from an event in society.
Furthermore, to continue and strengthen the theory of Ashobiyyah
according to Ibn' Khaldun is the nature of groups ('Ashobiyyah) or the
spirit of the group (Group-Feeling), there are several other supporters,
such as Social Support which helps increase self-confidence in groups of
teenagers who have not worked.

Keywords: Marginality, Adolesecent, Social Support

A. PENDAHULUAN
Marjinalitas secara umum terjadi karena adanya ketidakadilan, kesenjangan, dan ketidaksetaraan
yang ada dalam sebuah tataran masyarakat tertentu. Baik dalam kelompok masyarakat secara khusus
dan umum. Sebab secara sederhana kata marjinal lahir dari pemikiran-pemikiran dan idealisme yang
terbentuk sedemikian rupa sebagai imbas dari faktor-faktor sosial yang ada. Selain itu, ia juga bisa
diartikan sebagai ketidakmampuan mengadaptasi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang ada.
Sehingga menyebabkan sekelompok masyarakat dalam konteks ini kalangan remaja, menjadi
terpinggirkan atau memilih untuk mengasingkan diri karena adanya keberbedaan secara fundamental.
Pada mulanya, masyarakat marjinal terbentuk karena adanya pembagian kelas-kelas sosial pada
sebuah masyarakat. Pembagian ini yang nantinya akan disebut sebagai stratifikasi sosial, biasanya
pembagiannya kelas sosialnya secara bertingkat Pembagian kelas inilah yang secara umum terbagi
menjad tiga jenis – kelas atas, menengah, dan bawah. Adapun pembagian-pembagiannya yang berada di
atas itulah para kaum elite yang jumlahnya sangat sedikit, yang berada di tengah ialah para kaum
profesional, pekerja, pedagang, wiraswasta, dan kelompok fungsional lainnya. Sedangkan yang berada
dibawah ialah para pekerja lepas, buruh harian, pekerja kasar dan lainnya.
Lebih lanjut, masyarakat marjinal ialah masyarakat yang terpinggirkan secara sosial, politik, dan
budaya. Mereka yang termasuk kedalamnya salah satunya adalah kaum miskin secara keseluruhan. Yang
tergolong kaum miskin ialah kaum buruh, petani miskin, nelayan, pedagang kecil, masyarakat kecil, dan
kaum miskin kota (Laksmi, 2004).
Sebab secara fundamental, kalangan remaja lulusan sekolah pada lingkungan gang Baitul Mutaqqin
ini mengalami tekanan daripada struktur sosial yang terbangun dalam masyarakat sehingga mencuatkan
ketidakmampuan pada diri untuk menembus struktur sosial yang ada yang nantinya akan berimbas pada
pengasingan diri dari lingkungan sosial dan lebih lanjut memberikan efek samping seperti
pemberontakan dan pembentukan identitas sosial baru berdasarkan kelompok-kelompok yang merasa
senasib.
Remaja secara umum ialah fase dimana seseorang melewati masa biologis dari anak-anak, remaja,
lalu dewasa. Dengan kata lain fase ini disebut sebagai fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa.
Seperti dikatakan oleh Monks (2002) bahwa perkembangan kognisi seorang remaja akan berimplikasi
pada perkembangan sosialnya pula. Sedangkan bagi Santrock (2003) sisi keberkembangan mencakup
kognitif, psikologis, biologis, serta sosial emosionalnya. Masa remaja terbagi atas tiga, yaitu masa remaja
awal yang terjadi saat rentang usia 12 – 15. Selanjutnya, masa pertengahan yakni pada usia 15 – 18
tahun. Yang terakhir adalah masa remaja akhir yang terjadi pada rentang usia 18 – 21 tahun.
Tekanan yang dialami oleh remaja pada dasarnya, diawali dengan pengaruh daripada pendapat
orang lain atas dirinya. Sejalan dengan pandangan Rosenberg (dalam Demo dan Seven-Williams, 1984)
yang menyatakan dalam masa ini biasanya seorang remaja sudah memiliki kesadaran akan pendapat
orang lain tentang dirinya. Hal tersebut dikuatkan oleh pandangan Conger (1977) yang mengatakan
“Pada masa tersebut kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya
mampu membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan berusaha
pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang tentang dirinya”.
Lebih dari 20 juta angkatan kerja Indonesia diperkirakan bakal menganggur pada tahun 2020. Ini
berarti meningkat hampir 400 persen atau empat kali lipat dibandingkan tahun 1990 dan meliputi
delapan persen dari total angkatan kerja yang ada (Kompas, 15 Agustus 1996). Berdasarkan survei
Angkatan Kerja Nasional tahun 1994, prosentase pemuda (usia 15 – 25 tahun) yang menganggur relatif
tinggi dibanding rentang usia lainnya yaitu 15,4% atau 2.994.823 orang. Keadaan menganggur para
pemuda atau remaja ini akan menimbulkan stres dengan derajat yang cukup tinggi (Taylor dan Gurney,
dalam Shinta, 1995).
Implikasi yang paling logis dari pandangan orang lain terhadap remaja lulusan sekolah yang belum
bekerja mengakibatkan remaja semakin merasa rendah diri, dan berkurangnya kepercayaan diri pada
remaja (Walgito, 1993). Bagi Mallinchordt dan Fretz (1988) problem psikologis sosial salah satunya
disebabkan oleh keadaan diri yang menganggur dialami hampir oleh setiap rentang usia, termasuk
remaja. Terdapat ciri-ciri yang lebih khusus dari kepercayaan diri yang berkurang akibat keadaan
menganggur yang dialami oleh kalangan remaja, menurut Amanah (1993) merasa tidak aman, tidak
bebas bertindak, cenderung ragu-ragu dan pemalu jika tampil di hadapan orang banyak, membuang-
buang waktu dalam mengambil keputusan, pengecut, serta cenderung menyalahkan pihak lain sebagai
penyebab masalah.
Sematan yang paling dominan dengan pengalaman mengganggur para remaja lulusan sekolah yang
belum bekerja adalah entitas-entitas negatif yang terwujud dalam anggapan masyarakat yang mencap
mereka sebagai pemalas, tidak percaya diri, pasif, tidak inovatif, pengecut, dan terbelakang.
Sebagai pendalaman materi tulisan, dengan kajian teori yang diambil dari Teori Konflik Fungsional
menurut Ibn’ Khaldun. Ibn’ Khaldun merupakan seorang yang gemar melalangbuana sebagai filsuf dan
politisi yang masyhur di era Renaisans dan kekhalifahan Islam. Kebiasaannya membaca keadaan sosial
yang ia hinggapi dalam setiap khilafah ia catat, sehingga dari kebiasaan tersebut ia dengan lihai
mengetahui perbedaan dari tiap-tiap suku dan khalifah yang ia singgahi. Dari sana ia banyak
menganalisis dan mencetuskan pikiran-pikiran hebat. Salah satu teori yang telah ditelurkan dari
pemikiran panjangnya adalah Teori Konflik Fungsional. Menurutnya, Dasar dari eksisnya konflik
menurut Ibn’ Khaldun adalah fitrah berkelompok (‘Ashobiyyah) atau semangat bergolongan (Group-
Feeling) (Munawwir, 1997). Lebih lanjut untuk menyinambungkan dan menguatkan teori yang
Ashobiyyah, terdapat beberapa pendukung lainnya, seperti Dukungan Sosial yang membantu
meningkatkan Kepercayaan Diri pada kelompok remaja lulusan sekolah yang belum bekerja. Adapun
definisi Dukungan Sosial pemberian informasi baik secara verbal maupun nonverbal, pemberian
bantuan tingkah laku atau materi melalui hubungan sosial yang akrab atau hanya disimpulkan dari
keberadaan mereka yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai (Sarafino, 1990).
Yang diharapkan sekali bahwa penempatan teori Ashobiyyah sebagai landasan dasar yang berbatas pada
semangat bergolongan daripada perkumpulan remaja lulusan sekolah yang belum bekerja yang didasari
oleh perasaan dan keadaan yang senasib sebagai salah satu pembentuk entitas marjinal pada kalangan
remaja lulusan sekolah yang belum bekerja ini. Untuk kemudian teori dukungan sosial yang ditinjau dari
kacamata ilmu psikologi sosial atau sosiologi kejiwaan, sebagai salah satu alat bantu untuk meningkatkan
kemandirian, keberanian dan kepercayaan diri dari remaja-remaja lulusan sekolah yang belum bekerja.
Sehingga diharapkan kedua teori ini dapat saling berkesinambungan menciptakan sebuah pra-analisis
yang layak untuk dipelajari dan dikaji secara ilmiah.
Melihat fenomena tersebut menciptakan intensi penulis untuk menaruh perhatian penuh pada
pembentukan entitas sosial kalangan remaja lulusan sekolah yang belum bekerja di lingkungan gang
Baitul Mutaqqin secara spesifik yang mengamati, meneliti, dan merespon dengan literatur terkait yang
kontekstual dan relevan untuk menguatkan serta melengkapi kajian yang sudah ada. Untuk selanjutnya
berusaha mengetahui landasan dasar para remaja lulusan sekolah yang belum bekerja di lingkungan
gang Baitul Mutaqqin memilih untuk mengasingkan diri dari masyarakat, mengetahui alasan dan sebab-
sebab mereka belum bekerja serta mengkaji sejauh mana usaha mereka dalam memperoleh pekerjaan.
Pengamatan dilakukan secara fleksibel dengan memperhatikan perilaku dan kebiasaan secara
holistik dan runut pada setiap remaja lulusan sekolah yang belum bekerja di lingkungan Gang Baitul
Mutaqqin. Dengan berdasarkan pada rumusan masalah yang terdiri dari berbagai bentuk pertanyaan
tentang; Bagaimana proses pembentukan/kontruksi identitas sosial pada kalangan remaja lulusan
sekolah yang belum bekerja di lingkungan gang Baitul Mutaqqin? Apa yang menjadi faktor penyebab
kalangan remaja lulusan sekolah di lingkungan gang Baitul Mutaqqin belum bekerja? Dan apa dampak
sosial yang ditimbulkan dari adanya eksistensi kalangan remaja lulusan sekolah di lingkungan gang
Baitul Mutaqqin.
Untuk kemudian perumusan masalah tadi akan membentuk suatu tujuan yang berusaha memberikan
jawaban atas masalah yang ada. Dengan mencoba mengetahui proses konstruksi identitas sosial pada
kalangan remaja lulusan sekolah di lingkungan gang Baitul Mutaqqin, dan mengetahui faktor penyebab
kalangan remaja lulusan sekolah di lingkungan gang Baitul Mutaqqin belum bekerja serta mengetahui
dampak sosial yang ditimbulkan dari adanya eksistensi kalangan remaja lulusan sekolah di lingkungan
gang Baitul Mutaqqin
B. METODE
Dengan metode Kualitatif tulisan ini akan memberikan eksplanasi yang menyoal terhadap kualitas
dari suatu gejala sosial yang terjadi dari suatu peristiwa di masyarakat. Pengertian Metode Kualitatif
sendiri sudah dijelaskan oleh Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 1995) yang berarti memberikan data
dan gambaran secara deskriptif baik dari tulisan-tulisan atau dari lisan orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Sedangkan, untuk kepentingan pengumpulan data dan sebagai penguat sumber penulis
memakai model pengamatan Observasi, yang menurut (Sudjono, 1986) adalah mendapatkan keterangan
atau data secara sistematik dari gejala-gejala sosial agar memperoleh data yang pasti dan jelas untuk
diteliti. Ditambah dengan model Wawancara yang tidak direncanakan (unstadardized interview) atau
mengalir, karena sejatinya menurut Koentjaraningrat (1998) mengkategorikan model wawancara
menjadi dua – wawancara berencana (standardized interview) dan tidak. Selainnya, hanya kepada
penguatan terhadap literatur yang masih berkaitan dengan topik penelitian. Bisa dilalui dengan
Dokumentasi, baik dari foto-foto, makalah-makalah, buku-buku, artikel berita, atau tulisan yang
berkaitan dengan topik penelitian lainnya (Arikunto, 2006). Tujuan penelitian yang penulis ingini
merujuk pada kesederhanaan saja, oleh karenanya teknik analisis data menggunakan Model Analisis
Interaktif dari Miles dan Hubermann (Miles dan Huberman, 1992) dengan empat hal utama,
Pengumpulan Data, Reduksi Data dan Penyajian Data serta Penarikan Kesimpulan. Ditambah dengan
modifikasi pusposive sampling, yang berorientasi pada ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan
penelitian (Moleong, 2004).
C. PEMBAHASAN
1. Remaja secara Umum

Adapun apa yang disebut remaja, ialah dimana fase transisi dari anak-anak menjadi seorang yang
dewasa – biasa disebut dengan istilah Pubertas, atau secara awam dapat diketahui sebagai masa akil
baligh, yang mana sebuah fase pertengahan dan peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Pada masa-masa inilah remaja akan banyak mencoba hal baru yang belum diketahuinya yang cenderung
bersifat negatif untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan sementara sampai ia bosan. Remaja
secara umum ialah fase dimana seseorang melewati masa biologis dari anak-anak, remaja, lalu dewasa.
Dengan kata lain fase ini disebut sebagai fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Seperti dikatakan
oleh Monks (2002) bahwa perkembangan kognisi seorang remaja akan berimplikasi pada perkembangan
sosialnya pula. Sedangkan bagi Santrock (2003) sisi keberkembangan mencakup kognitif, psikologis,
biologis, serta sosial emosionalnya. Masa remaja terbagi atas tiga, yaitu masa remaja awal yang terjadi
saat rentang usia 12 – 15. Selanjutnya, masa pertengahan yakni pada usia 15 – 18 tahun. Yang terakhir
adalah masa remaja akhir yang terjadi pada rentang usia 18 – 21 tahun.

Sedangkan ciri- ciri remaja adalah remaja tidak mesti dilihat dari satu sisi, tetapi dapat dilihat dari
berbagai segi. Misalnya dari segi usia, perkembangan fisik, psikis, dan perilaku. Menurut Gayo (1990)
dalam Zahra (2010) tentang “Remaja” secara umum bahwa ciri-ciri remaja usianya berkisar 12-20 tahun
yang dibagi dalam tiga fase yaitu; Adolsensi dini, adolsensi menengah, dan adolsensi akhir. Penjelasan
ketiga fase ini sebagai berikut:

a. Adolsensi dini

Fase ini berarti preokupasi seksual yang meninggi yang tidak jarang menurunkan daya
kreatif/ketekunan, mulai renggang dengan orang tuanya dan membentuk kelompok kawan atau
sahabat karib, tingkah laku kurang dapat dipertanggungjawabkan. Seperti perilaku di luar
kebiasaan, delikuen, dan akal atau defresif.

b. Adolsensi menengah
Fase ini memiliki ciri umum: Hubungan dengan kawan dari lawan jenis mulai meningkat,
pentingnya, fantasi dan fanatisme terhadap berbagai aliran, misalnya, mistik, musik, dan lain-
lain. Menduduki tempat yang kuat dalam prioritasnya, politik dan kebudayaan mulai menyita
perhatiannya sehingga kritik tidak jarang dilontarkan kepada keluarga dan masyarakat yang
dianggap salah dan tidak benar, seksualitas mulai tampak dalam ruang atau skala identifikasi,
dan desploritas lebih terarah untuk meminta bantuan.
c. Adolesensi akhir
Pada masa ini remaja mulai lebih luas, mantap, dari dewasa dalam ruang lingkup
penghayatannya. Ia lebih bersifat ‘menerima’ dan ‘mengerti’ malahan sudah mulai menghargai
sikap orang/pihak lain yang mungkin sebelumnya ditolak. Memiliki karier tertentu dan sikap
kedudukan, kultural, politik, maupun etikanya lebih mendekati orang tuanya. Bila kondisinya
kurang menguntungkan, maka dalam masa adolesensi akhir ini, akan mempengaruhi tahap
kesulitan jiwanya. Remaja dalam kondisi ini, memerlukan bimbingan dengan baik dan bijaksana,
dari orang-orang di sekitarnya.

2. Keadaan Masyarakat di Gang Baitul Mutaqqin secara Umum

Bahasan akan tertuju pada deskripsi lokasi yang penulis fokuskan di dusun penulis sendiri, yaitu
salah satu Dusun yang bertempat di Gang Baitul Mutaqqin di bilangan Jl. Jend. Sudirman di Desa
Ketanggungan, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Sebenarnya nama gang yang penulis
sendiri teliti agaknya masih menjadi suatu kebingungan. Bila dasar yang diambil dari pemaparan
wawancara mengalir penulis dengan salah satu narasumber (Prasetyo, wawancara, 03 Mei 2021) didapat
informasi bahwa nama Gang menurut pengertian lingkaran pertemanan anak muda ialah bernamakan –
Gang Castolex, tidak diketahui lebih lanjut apa makna dari Castolex sendiri. Sedang, jika berdasarkan
pada pengertian lingkaran sesepuh atau orang-orang dewasa yang sudah berdomisili di gang ini maka
gang ini bernamakan Gang Baitul Mutaqqin – diambil dari nama Mushola di depan Gang. Secara
Demografi, penduduk dusun ini berlatarbelakang hampir semuanya orang Jawa yang beragama Islam.
Presentase kecil dari suku lain datangnya dari Sunda, Batak dan Minang yang semuanya beragama Islam.
Hubungan yang dibangun pada lingkungan dusun ini terbilang cukup erat. Norma Sosial cukup dipatuhi,
Gotong Royong masih ada, dan Budaya bertegur sapa masih sangat dibiasakan di dusun ini. Dari segi
Geografi, Dusun ini berlatar dataran rendah yang dimusimi oleh dua musim. Sebagian besar diisi oleh
pemukiman rumah yang lokasinya berdekatan, dengan sebagian kecil karangan tanah diantara deret
rumah yang ada. Sementara itu, keadaan masyarakat di dusun ini dihimpun dari berbagai latar belakang.
Terdapat sebagian yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata atau menengah keatas,
menengah, dan menengah kebawah. Menurut pengamatan peneliti, yang terlihat jelas disini presentil
angka ditentukan dari angka terbanyak diisi oleh golongan menengah, juga menengah kebawah, untuk
menengah keatas bisa dihitung jari. Hal tersebut dikonfirmasi lagi pada ketua RT (Farizqi, wawancara, 14
Mei 2021) diketahui dari sekitar 65 KK, hanya berkisar dari angka 10-15 KK saja yang terdata sebagai
menengah kebawah. Menengah berkisar di angka belasan. Untuk yang mampu hanya terdata tidak
sampai 10 KK. Namun, oleh karena pengamatan dilakukan hampir setiap waktu ketika penulis sedang
keluar dan bercengkrama bersama masyarakat sekitar, bisa dipastikan. Sedangkan menurut ketua RT
pada wawancara mengalir yang sama, ia menjelaskan bahwa angka usia produktif di dusun gang Baitul
Mutaqqin tersebar sekitar 20% dari seluruh penduduk dusun.
3. Keadaan Remaja Lulusan Sekolah yang Belum Bekerja di Gang Baitul Mutaqqin

Perlu diketahui lebih lanjut bahwa sebagian besar dari data keseluruhan remaja lulusan sekolah yang
belum bekerja itu disebabkan oleh banyak hal. Seperti yang penulis sudah lakukan pada observasi dan
wawancara mengalir kepada salah satu narasumber yang sudah lulus sekolah semenjak 2016 dan
sebenarnya sudah beberapa kali mendapat pekerjaan (Gavin - nama samaran, wawancara, 07 Mei 2021)
bahwa ia menjelaskan upaya mencari pekerjaan dewasa ini sangat begitu sulit, meskipun di Kabupaten
Brebes sudah banyak pabrik baru. Tetapi tenaga pekerja yang dibutuhkan rata-rata perempuan – yang
dipekerjakan sebagai sewing (penjahit untuk pabrik-pabrik garmen atau tekstil) begitupun pada
beberapa pabrik selain garmen.

Untuk selanjutnya data dikuatkan oleh Sky (nama samaran) yang sudah lulus sekolah pada tahun
2018 dan beberapa kali mendapat pekerjaan walau beberapa kali keluar (wawancara, 05 Mei 2021) ia
mengatakan
“Sekarang mendapatkan pekerjaan sangatlah susah, apalagi kemarin saya mengundurkan diri karena
ketidakcocokan dengan lingkungan dan tekanan pekerjaan, daripada saya pusing dan stress lebih baik saya
keluar. Eh pas saya keluar, untuk mencari pekerjaan baru benar-benar sulit. Tekanan saya sekarang
berganti pada tuntutan orang tua terlebih usia saya yang sudah diatas kepala dua”

Dan data dari (Bontot – nama samaran, wawancara, 08 Mei 2021) yang sama-sama menyampaikan
“Sebenarnya saya sudah sempat mendapatkan pekerjaan tatkala ruko sebelah rumah milik orang tua saya
disewa oleh suatu counter hp, dan karena satu dan lain hal saya diperbolehkan bekerja di counter tersebut.
Namun, setelahnya saya keluar, bukan karena tidak betah atau apa. Tetapi kakak-kakak saya dan ibu saya
lebih rela saya mengenyam jenjang Pendidikan tinggi dulu, mereka ingin saya berkuliah dulu dan barulah
setelahnya saya boleh bekerja. Walau hati kecil saya inginnya langsung bekerja saja, karena belajar
memerlukan otak dan saya orangnya pemalas”

Namun tak selamanya data yang ada berisi tentang remaja menganggur lulusan sekolah yang buruk
dan negatif, adapun data yang lain seperti data dari Gerry (nama samaran) (wawancara, 02 April 2021)
yang menjabarkan tentang pengalamannya bahwa selama beberapa bulan ia mengganggur setelah lulus
sekolah, ia melanjutkan usaha kecil milik keluarganya – dalam artian bergantian jam kerja dengan
ayahnya untuk berjualan bubur ataupun bakso dan martabak telor. Walaupun ketika pertamakali ia lulus,
ia bingung apa yang akan ia lakukan. Ia juga sama seperti kebanyakan remaja lainnya, hanya
menghabiskan waktu secara tidak produktif. Meski dua bulan terakhir ini ia sudah berhasil bekerja di
sebuah pabrik sebagai seorang buruh.

Terlebih lagi dari data yang sudah diperoleh diatas, akan terjadi satu kesinambungan yang begitu
mengakar kuat dengan suatu teori psikologi sosial tentang dukungan sosial dan kepercayaan diri yang
begitu berpengaruh pada proses perkembangan seorang remaja. Seperti sudah sangat dipahami teori
tersebut adalah Dukungan Sosial yang membantu meningkatkan Kepercayaan Diri pada kelompok remaja
lulusan sekolah yang belum bekerja. Adapun definisi Dukungan Sosial pemberian informasi baik secara
verbal maupun nonverbal, pemberian bantuan tingkah laku atau materi melalui hubungan sosial yang
akrab atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa diperhatikan,
bernilai dan dicintai (Sarafino, 1990). Sedangkan dalam perwujudannya kalangan remaja menganggur
lulusan sekolah memang tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai dan cukup, sehingga
berimbas kurang baik pada kalangan remaja tersebut, dan berdampak pula pada lingkungan masyarakat
sekitar pula. Lalu penguatan sebuah perkumpulan remaja lulusan sekolah yang belum bekerja ini sesuai
dengan teori yang dijabarkan oleh Ibn’ Khaldun yang menurutnya, Dasar dari eksisnya konflik menurut
Ibn’ Khaldun adalah fitrah berkelompok (‘Ashobiyyah) atau semangat bergolongan (Group-Feeling)
(Munawwir, 1997: 936). Implikasi teori tersebut muncul dari adanya integrasi yang kuat dari beberapa
remaja yang merasa senasib lalu membentuk semacam perkumpulan yang tidak resmi dimana
menjadikan tempat mereka sebagai pelarian dan membuang beban secara kolektif. Perkumpulan
tersebut mereka jadikan sebagai tempat bercengkerama, bermain, dan berbagi keluh kesah bersama.

Oleh karena itu melalui pemaparan diatas, bahwa banyak penyebab besar yang memengaruhi
tindakan apa yang akan dilakukan remaja, terlebih untuk konteks pemerolehan pekerjaan setelah ia lulus
sekolah, penyebab besarnya datang daripada tuntutan orang tua, dan tuntutan lingkungan serta
pandangan orang lain. Remaja penganggur ini mempunyai masalah antara lain (a) merasa bosan, (b)
kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai, (c) kurang informasi mengenai lowongan pekerjaan, (d)
resah mengenai masa depan, (e) tidak tahu harus melakukan apa, (f) menggunakan waktu secara tidak
efektif, dan (g) masalah-masalah kepribadian seperti: rendah diri saat bergaul dalam masyarakat, malu
merasa tidak dianggap berpotensi, merasa dimanfaatkan tenaganya tanpa imbalan, dan merasa tidak
diperhatikan oleh orangtua karena orangtua lebih memperhatikan adik-adik yang masih bersekolah.
(Afiatin dan Andayani, 1998).

Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam pada diri seorang remaja akan mengalami proses
internalisasi yang terbilang hanya sepihak pada diri mereka sendiri saja. Jadi, pengalaman pertama kali
tentang satu kejadian, bisa saja dijadikan sebagai landasan pertama mengapa ia bisa mengalami
ambivalensi atau menurut Mu’tadin (2002) remaja sering mengalami dilema yang sangat besar antara
mengikuti kehendak orang tua atau mengikuti kehendaknya sendiri.

4. Respon Remaja Lulusan Sekolah yang Belum Bekerja di Gang Baitul Mutaqqin

Observasi selanjutnya secara mendalam berfokus pada tingkah laku dan respon yang dilakukan oleh
kumpulan remaja lulusan sekolah yang menganggur ini untuk kemudian menjadikan perkumpulan
tersebut menjadi satu wadah yang secara tidak sengaja menyatu dalam dirinya, dan membentuk
semacam konstruk baru yang mempromosikan ashobiyyah – semangat bergolongan dalam hal ini
persamaan dan kepentingan serta nasib yakni sama-sama lulusan sekolah yang belum mendapatkan
pekerjaan.

Pengamatan beralih untuk menunjukan apa-apa saja yang dilakukan perkumpulan remaja ini dalam
kesehariannya. Penulis menyelami kehidupan mereka selama kurang lebih satu bulan secara relatif dan
fleksibel. Bahwasannya, apa yang mereka lakukan setiap hari hanyalah menghabiskan waktu dengan
bercengkerama seperti mengopi, merokok, dan mengobrol biasa. Biasanya ditandai dengan waktu
malam, apabila para warga-masyarakat sudah masuk ke rumahnya masing-masing yang paling tidak
sekitar pukul 22:00 malam. Hal tersebut nyaris mereka lakukan setiap hari tanpa henti. Yang menjadi
unik ialah semangat berkumpul ini dilandasi dari adanya keresahan akan tuntutan orang terdekat seperti
orang tua, kerabat, teman dan lainnya. Sehingga membuat mereka mengambil jalan singkat sebagai
pelarian atas ketidakmampuannya mengolah kecerdasan emosionalnya serta ketidakmampuannya atas
pemenuhan tuntutan lingkungan tadi.

Sebagai perpanjangan tangan dari adanya tindakan dan kegiatan yang dilakukan selain dari mengopi,
merokok, dan mengobrol. Biasanya lebih lanjut mereka melakukan satu kegiatan yang tidak bermanfaat
dan hanya menghabiskan waktu secara sia-sia saja. Seperti contohnya, melakukan tindak kenakalan
remaja – yang sangat sering terjadi di dusun Baitul Mutaqqin adalah mengonsumsi barang haram seperti
Narkoba dan meminum Alkohol baik yang sudah diizinkan secara umur maupun yang belum legal secara
umur. Dan biasanya mereka lakukan tidak hanya pada perkumpulan remaja lulusan sekolah yang belum
bekerja saja, tetapi juga untuk yang sudah bekerja juga mengikuti alur kenakalan yang sama. Tetapi,
memang secara mayoritas didahului oleh mereka-mereka yang belum bekerja. Tidak sampai melanggar
hukum atau melakukan tindak kriminal yang parah dan mengakibatkan kerugian baik sosial dan
ekonomi untuk warga lingkungan sekitar, hanya saja melakukan tindak kenakalan yang terbilang
merugikan bagi orang lain di lingkungan lain. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sunarwiyati
(1985), membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan, yaitu: 1) Kenakalan biasa, seperti suka
berkelahi, suka keluyuran, pergi dari rumah tanpa pamit, 2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran
dan kejahatan seperti mengendarai tanpa SIM, mengambil barang orang tua atau orang lain tanpa ijin, 3)
Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks bebas, pencurian. (dalam
Masngudin, 2003).

Hal tersebut dikuatkan pada sebuah observasi yang penulis lakukan saat malam hari yang bertepatan
pada malam tahun baru 2021 pada 1 Januari lalu, bahwa sebagian remaja yang merasa sejalan dan
sefrekuensi akan membentuk satu grup perkumpulannya sendiri. Sesungguhnya, remaja-remaja
menganggur lulusan sekolah itu mengadakan satu pertemuan lagi pukul 02:00 dini hari, setelah
pertemuan yang sudah dijalankan ketika tengah malam pukul 00:00 malam. Pertemuan yang kedua inilah
yang biasanya dijadikan ajang bersenang-senang dan meluapkan segala beban yang mereka derita
selama ini – dalam konteks ini tekanannya adalah status tidak bekerja. Dalam perkumpulan itu ada yang
berpisah dari gerombolan dan melakukan tindak tidak senonoh dengan perempuan, ada yang meminum
alkohol bersama dan adapula yang hanya sekedar merokok, bermain kartu serta bercengkaram saja.
Biasanya klimaks dari pertemuan itu terjadi tatkala mereka semua sudah mabuk. Secara tak sadar
mereka mengungkit masalah masa lalu yang sudah selesai atau pun belum atau mencari-cari masalah
baru, hanya untuk memuaskan hasrat untuk berkelahi. Tindakan-tindakan kenakalan tersebut dilakukan
biasanya pada hari-hari libur, atau tanggal besar. Dan dilakukan saat malam harinya. Seperti malam
tahun baru, malam idul fitri, malam idul adha, dan tak jarang ketika malam-malam minggu di akhir
pekan. Tidak sampai melanggar hukum atau melakukan tindak kriminal yang parah dan mengakibatkan
kerugian baik sosial dan ekonomi untuk warga lingkungan sekitar, hanya saja melakukan tindak
kenakalan yang terbilang merugikan bagi orang di lingkungan lain. Jadi kenakalan yang diciptakan
haruslah yang berkaitan dengan lingkungan atau kelompok perkumpulan lain. Secara internal memang
solidaritas anak remaja gang Baitul Mutaqqin termasuk kuat, sebab perselisihan antara teman satu
lingkungan sangat jarang terjadi, lebih sering perselisihan terjadi dengan pihak lain, dengan dusun lain.
(Sky – nama samaran, wawancara, 07 Juni 2021)

Sehingga pada muaranya, konklusi dari perkumpulan remaja menganggur lulusan sekolah ini adalah
tentang kesamaan entitas sebagai kumpulan remaja yang terpinggirkan oleh masyarakat karena
ketidakmampuan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan baik yang disebabkan oleh
ketidakmampuan memenuhi tuntutan lingkungan yang ada. Entitas inilah yang nantinya akan kian
berkembang pesat dan menimbulkan begitu banyak kerugian baik untuk keluarga secara internal dan
secara eksternal untuk masyarakat yang ada di Gang Baitul Mutaqqin sendiri.

Sedangkan menurut Kemendikbud (2013) persoalan ekonomi dan geografis, melainkan karena
rendahnya mutu dan relevansi pendidikan yang dilaksanakan dengan lingkungan, potensi, kebutuhan,
dan minat anak. Padahal, PP No. 32 Tahun 2013 tentang perubahan atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan menjadi salah satu penyebab utama dalam problematika masyarakat
marjinal.
Dalam satu sisi, masyarakat marjinal memiliki kelebihan dalam hal gotong-royong, kebersamaan
dalam perilaku kehidupan beragama dan bermasyarakat, sopan santun yang tulus khas masyarakat
pedesaan (Zahrulianingdyah, 2013). Ini sejalan dengan pengamatan yang sudah penulis lakukan, bahwa
kelebihan dari entitas marjinal pada sebuah kelompok masyarakat dimanfaatkan secara kurang baik
seperti pada sebagian besar perkumpulan remaja lulusan sekolah yang menganggur tersebut
mengadakan beberapa pertemuan untuk meluapkan kekecewaan mereka yang didapat dari tekanan
lingkungan yang ada. Hal ini dikuatkan oleh beberapa karakteristik masyarakat marjinal juga
didefinisikan sebagai deprativion trap atau perangkat kemiskinan yang terdiri dari lima unsur, yaitu: a)
Kemiskinan itu sendiri, b) kelemahan fisik, c) keterasingan atau kadar isolasi, d) kerentanan, e)
ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling terkait sehingga membentuk perangkap kemiskinan
yang benar-benar mematikan peluang hidup masyarakat dan mengakibatkan proses marginalisasi
(Suyanto, 2005).

5. Dukungan Sosial sebagai Solusi untuk Remaja Lulusan Sekolah yang Belum Bekerja.

Untuk menyehatkan kembali problematika ini, seharusnya ada satu moderasi yang menengahi akar
permasalahan remaja lulusan sekolah yang menganggur ini. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa entitas
remaja memang sudah lazimnya secara psikologis dan sosiologis mengalami fase-fase yang terbilang
dinamis dan memberikan dampak untuk masyarakat. Kontrol utama yang harus dikontruksi adalah
bagaimana mengabstraksikan perilaku sosial serta tindakan sosial para remaja tersebut sebagai output
yang mau tidak mau harus diterima oleh semua kalangan masyarakat yang lain dengan manfaat yang
memberikan kebaikan untuk masyarakat.

Yang harus segera digalakkan adalah bagaimana menyuluhkan secara bertahap dan secara fleksibel
mengenai dukungan sosial kepada remaja-remaja menganggur lulusan sekolah ini. Sedangkan bagi
masyarakat, baiknya memberikan pemahaman yang secara sosiologis membantu dan secara psikologis
menyokong pendirian prinsipil dan idealistik daripada setiap remaja baik yang memberikan dampak buruk
atau baik untuk lingkungannya.

Bahwa entitas remaja dan marjinal dalam penyatuannya akan membuat ledakan sosial yang cukup
berpengaruh pada satu lingkungan sosial yang berakibat pada kondisi sosial nantinya seperti representasi
buruk untuk Gang Baitul Mutaqqin. Adapun ledakan sosial tersebut akan terjadi di masa mendatang dan
menimbulkan banyak masalah baru dari luar lingkungan yang disebabkan selisih persepsi dari masyarakat
luar. Berikut adalah beberapa contohnya:

“Kasus narkoba ini, terungkap oleh Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Samarinda di
bulan November tahun 2014 lalu di jalan Hasan Basri, kelurahan Temindung Permai, kecamatan Sungai
Pinang Samarinda, berhasil menciduk lima orang tersangka yang kedapatan tengah berpesta narkoba jenis
sabu-sabu. Yang mengejutkan tiga dari lima orang tersebut masih berusia belasan tahun dan masih termasuk
dalam kategori anak remaja”. (Majalah SOCIETA (Majalah Inspiratif Berwawasan Kesejahteraan Sosial.
Edisi VI/2014).

“Kasus pembegalan yang marak saat ini terjadi, merupakan pergerakan sindikat kejahatan secara
berkelompok dan merupakan kriminal murni yang dilakukan pelaku di kota-kota besar, dan sebagai
pelakunya diketahui masih berusia remaja” (TV One (20 Maret 2015).

Untuk selanjutnya ada satu teori yang cukup relevan dengan masalah ini, teori tersebut adalah tentang
dukungan sosial yang ditawarkan oleh Oford (1992) mengemukakan bahwa ada lima dimensi fungsi dasar
dukungan sosial, yaitu: (a) dukungan materi, yaitu dukungan yang berupa bantuan nyata (tangible aid)
atau dukungan alat (instrumental aid); (b) dukungan emosi, yaitu dukungan yang berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi; (c) dukungan penghargaan,
yaitu dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu; (d) dukungan
informasi, yaitu pemberian informasi yang diperlukan oleh individu; dan (e) dukungan integritas sosial,
yaitu perasaan individu sebagai bagian dari suatu kelompok.

Secara definitif Dukungan Sosial merupakan sebuah pemberian informasi baik secara verbal maupun
non-verbal, pemberian bantuan tingkah laku atau materi melalui hubungan sosial yang akrab atau hanya
disimpulkan dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai
(Sarafino, 1990).

Penambahan lain datangnya dari Afiatin dan Andayani (1998) yang menyinggung konsep kesadaran
akan diri dengan tiga prinsip. Pertama, prinsip Universalitas yang berlaku untuk penerimaan secara sadar
bahwa apa yang pernah, sedang, dan akan dilalui adalah hal-hal yang sudah, sedang, dan akan dilalui oleh
semua orang. Kedua, prinsip Kohesivitas atau bisa dijelaskan sebagai prinsip yang berkenaan dengan
kebersamaan. Dan yang ketiga, prinsip Altruisme yang mana memberikan sudut pandang tentang kebaikan
daripada saling membantu satu sama lain.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara keseluruhan entitas marjinal yang bersatu dengan entitas remaja akan memunculkan sebuah
reaksi sosial yang mengakibatkan sebuah ledakan sosial yang akan terjadi di masa mendatang dan
memunculkan beberapa problematika sosial berupa masalah-masalah marjinalitas yang bersingunggan
dengan lapisan masyarakat yang ukurannya besar. Karena pada dasarnya permasalahan pengangguran
terjadi di setiap rentang usia yang ada, tidak hanya dilalui oleh remaja semata. Oleh karena itu, harus
diadakan suatu konstuksi sosial yang membangun masyarakat dan membantu menyelesaikan
permasalahan ini secara komprehensif dan holistik demi terciptanya masyarakat yang ideal. Banyak
penawaran yang solutif yang diharapkan bisa menyelesaikan persoalan ini, seperti yang ditawarkan oleh
Afiatin dan Andayani (1998) tentang ketiga prinsip tentang prinsip Universalitas yang berlaku untuk
penerimaan secara sadar bahwa apa yang pernah, sedang, dan akan dilalui adalah hal-hal yang sudah,
sedang, dan akan dilalui oleh semua orang. Kedua, prinsip Kohesivitas atau bisa dijelaskan sebagai
prinsip yang berkenaan dengan kebersamaan. Dan yang ketiga, prinsip Altruisme yang mana
memberikan sudut pandang tentang kebaikan daripada saling membantu satu sama lain. yang dapat
menguatkan konsep Dukungan Sosial yang sudah ada. Untuk yang lainnya, adalah mengalihkan konsep
Ashobiyyah atau semangat berkelompok kepada ranah yang lebih baik dan positif, sehingga dapat
membentuk pola baik yang terbiasa sehingga akan mengkontruksi kalangan remaja menganggur lulusan
sekolah ini menjadi sebuah strata sosial yang produktif dan patut diperhitungkan serta diberdayakan.
Dan sebaik-baik dukungan sosial, adalah dukungan sosial yang bertahap – dalam artian tidak langsung
mengajak pada lingkungan yang berbeda dari biasanya, harus ada adaptasi yang bertahap demi menjaga
kestabilan mental yang ada. Seperti bayi yang harus diberi makan biskuit basah dan bubur terlebih
dahulu sebelum hendak memakan sayur-mayur yang tentu baik untuknya.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang sudah penulis lakukan, saran yang idealnya bagaimana
memoderasi lapisan muda – remaja, yang sedang berkutat dengan masalah periodik seperti pubertas
secara biologis maupun psikologis dengan fase-fasenya yang dipenuhi gejolak sosial dan psikis secara
umum. Untuk kemudian disatukan dengan lapisan tua – masyarakat secara umum. Untuk memperoleh
jalan tengah yang solutif sehingga dapat menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, T. and Andayani, B., 1998. Peningkatan kepercayaan diri remaja penganggur melalui
kelompok dukungan sosial. Jurnal Psikologi, 25(2), pp.35-46.
Amanah, N. 1993. Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Efektivitas Komunikasi pada
Pramuwisata di Denpasar dan Sekitarnya. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Anas Sudjono. Teknik Pengumpulan dan Evaluasi Suatu Pengantar. Yogyakarta: UP Rama. (1986).
Conger, J.J. (1977). Adolescent and Youth. New York: Harper and Row Publishers Inc.
Demo, D.H. & Seven-Williams, R.C. 1984. Devolopment Changing and Stability In Adolescent Self
Concept. Journal of Devolopment Psychology, Vol. 2, No. 6, p. 1100-1110.
Kompas, 15 Agustus 1996. Persoalan Kependudukan Tahun 2020: Lebih 20 Juta Angkatan Kerja
Menganggur.
Laksmi, Laksmi. (2004). Kemiskinan informasi pada masyarakat marjinal di Indonesia. AL-
MAKTABAH 6.1.
Mallinchrodt, B. dan Fretz, B.R., 1988. Social Support and the Impact of Job Loss on Older Professionals.
Journal of Counseling Psychology, Vol. 35, 3, 281-286.
Masngudin., H., M., S. (2003), Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan
Keberfungsian Sosial Keluarga: Studi Kasus di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta, Jakarta:
Departemen Sosial RI.
Miles, Matthew B., and A. Michael Huberman. (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta: UI Press
Moleong, Lexy J. (2004). Metode Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. (1989).. Metodologi Penelitian Kualitatif. RK2N: Litbang KemKes.
Monks, F.J. (2002) Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Cet. 14.:
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Santrock, J., W. (2003). ADOLESCENCE; Perkembangan Remaja, edisi keenam, Terjemahan. Jakarta:
Erlangga.
Sarafino, E.P. 1990. Health Psychology: Biopsychological Interaction. John Wiley and Sons, New York.
Suyanto, B. 2005. Pemberdayaan Komunitas Marginal di Perkotaan. dalam Moh. Aziz. dkk. Dakwah
Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Suyanto, B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Marginal di Perkotaan (Dalam Moh. Ali Aziz,
Eet.all, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat). Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
Shinta, E. 1995. Perilaku Coping dan Dukungan Sosial pada Pemuda Penganggur. Jurnal Psikologi
Indonesia, No. 1, 34-42.
Walgito, B. 1993. Peran Orang Tua dalam Pembentukan Kepercayaan Diri: Suatu Pendekatan Psikologi
Humanistik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suharsimi, Arikunto. (2006).. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Zahrulianingdyah, A. 2013. Model Desain Pengembangan Diklat Gizi yang Efektif Untuk Masyarakat
Marginal. Jurnal Pendidikan & Kebudayaan, 19. No. 4 Desember 2013, 500.

Anda mungkin juga menyukai