Anda di halaman 1dari 19

Relevansi Dekadensi Moral Remaja dan Keluarga Disfungsional di Indonesia

(Analisis menggunakan Teori Struktural Fungsionalisme Talcott Parson)

Oleh : Annisa Swasti Fauza

1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan sejumlah kemudahan untuk


memecahkan permasalahan sehari-hari manusia. Namun secara bersamaan modernisasi di
sejumlah bidang kehidupan telah mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sesuai dengan
nilai norma bangsa. Dikotomi tersebut tentu saja perlu dikaji secara komperehensif
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan akan merusak karakter dan kepribadian suatu
bangsa. Kemajuan teknologi saat ini mengarahkan pola perilaku individu pada kondisi yang
mengkhawatirkan. Pola pikir masyarakat telah disetting kearah materialistik dan perlahan
menyampingkan aspek spiritual dan moralitas.

Hurlock (1993: 74) mengungkapkan bahwa dekadensi moral adalah prosedur adat dimana
perilaku seseorang dikendalikan oleh konsep moral tertentu dan telah menjadi kebiasaan bagi
mereka sebagaimana harapan suatu komunitas atau kelompok sosial tertentu. Bisa
disimpulkan konsep moral yang dimaksud bertentangan dengan nilai norma lingkungan
sekitar dan apabila dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan bahkan kebudayaan individu atau
kelompok bersangkutan. Wacana dekadensi moral telah teraktualisasi di sekitar kita bahkan
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Banyaknya kasus kejahatan yang menimpa negara
Indonesia tidak bisa dianggap sepele dan perlu dicarikan solusi atas pemecahan masalah
tersebut.

Merosotnya moralitas ditunjukkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang, penipuan,


pembunuhan, serta perilaku penyimpangan lain yang semakin parah seiring dengan tekanan
hidup yang semakin berat dan rendahnya kontrol sosial. Mirisnya para pelaku penyimpangan
tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun juga para remaja sebagai generasi
penerus bangsa. Seperti yang diketahui banyak sekali berseliweran di media massa berita
mengenai kekerasan, tawuran, pelecehan seksual serta aksi negatif lainnya oleh para remaja
yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan kesopanan.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2020 mencatat jumlah
penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta, dimana persentase remaja berjumlah 27,94%.
Secara tidak langsung persentase tersebut mengindikasikan usia remaja turut mempengaruhi
kebijakan ekonomi, sosial, pembangunan suatu negara serta memerlukan perhatian khusus
mengingat usia remaja diidentikkan dengan masa pengenalan diri sendiri. Hal tersebut sejalan
dengan definisi remaja menurut World Health Organization (WHO) sebagai masa transisi
sesudah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa dengan usia sekitar 10-19 tahun. Masa
transisi tersebut merupakan fase kritikal yang ditandai dengan pertumbuhan dan perubahan
yang sangat pesat. Perubahan tersebut mencakup faktor fisik, alat reproduksi, sosial,
kemandirian dan pencarian identitas diri (www.who.int). Dalam proses pencarian jati diri
kadangkala tiap remaja memiliki kematangan emosi yang berbeda-beda. Artinya setiap
permasalahan dan tantangan yang dialami tidak selalu disikapi dengan bijaksana dan bisa
mengarah kepada perilaku menyimpang.

Kehadiran media massa turut mempengaruhi aksi penyimpangan remaja. Kemudahan akses
situs-situs web berbau kekerasan dan pornografi secara perlahan ditiru dan dipraktekkan.
Tayangan di televisi juga menyajikan aksi yang tidak layak ditonton dan seakan mendorong
penonton untuk melakukan tindakan serupa. Ucapan sarkasme, kasar, dan kotor tidak
ubahnya seperti ucapan sehari-hari remaja zaman sekarang tanpa tahu makna aslinya. Praktik
kata-kata seperti fuck, bitch, shit dll dimaknai sebagai sesuatu yang keren dan parahnya
seringkali dipraktekkan dengan orang yang notabenenya lebih tua. Keluarga disfungsional
juga mendorong aksi penyimpangan oleh para remaja. Keluarga yang merupakan media
sosialisasi pertama seorang anak justru tidak dilaksanakan dengan baik. Seorang anak yang
mestinya diajarkan untuk beretika dan berperilaku dengan baik di rumah, malah selalu
ditekan dan disalahkan melalui kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Pada akhirnya
perilaku yang didapat seorang anak tersebut akan diinternalisasikan sebagai cara
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Kurangnya perhatian dan kasih sayang
oleh orangtua juga membuat anak melakukan berbagai cara agar diperhatikan bahkan melalui
perilaku menyimpang.

Melihat berbagai faktor yang melatarbelakangi fenomena Dekadensi Moral oleh Para Remaja
menjadi perhatian penulis terutama untuk mengkaji keterkaitannya dengan keluarga
disfungsional. Fenomena Dekadensi Moral tersebut juga akan dikaji menggunakan teori
Strukturalisme Fungsional Talcott Parson serta berbagai upaya pencegahan dan solusi yang
dilakukan untuk menganalisis fenomena Dekadensi Moral tersebut.
2. Landasan Teori

A. Pengertian Dekadensi Moral

Kata dekadensi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Decadence” yang artinya kemunduran,
kehancuran. Dekadensi secara etimologis berarti kemunduran, kemerosotan tentang
kebudayaan. Bisa disimpulkan dekadensi moral adalah kemunduran atau kemerosotan yang
dititikberatkan pada perilaku atau tingkah laku, kepribadian dan sifat (Zakiah: 28). Dekadensi
yang terjadi saat ini telah menimbulkan dampak-dampak negative suatu budaya, bangsa dan
ras.

Moral adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekadar sesuatu yang nampak tentang
sesuatu yang baik, melainkan juga sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang
untuk berbuat baik. Moral mengimplikasikan adanya disiplin. Pelaksanaan moral yang tidak
berdisiplin sama artinya dengan tidak bermoral (Nurul Zakiah: 12-13). Moral menyangkut
seperangkat aturan mengenai suatu perbuatan baik dan buruk yang telah disepakati oleh
masyarakat serta menjadi pedoman individu dalam bertingkah laku.

Bisa disimpulkan dekadensi moral adalah suatu kondisi moral suatu individu, kelompok, atau
bangsa yang mengalami kemerosotan dan kemunduran. Dekadensi moral tersebut
diaktualisasikan melalui pola pikir dan perilaku yang tidak sesuai dengan moralitas dan
mengarah kepada perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor internal dan eksternal baik berupa ketidakmatangan emosi maupun
lingkungan sekitar seperti keluarga disfungsional yang mendorong aksi menyimpang.

B. Pengertian Remaja

Departemen Pendidikan Nasional (2002) mengartikan remaja adalah usia muda atau mulai
dewasa, sedangkan remaja menurut William (2002) merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya
setempat.

Hurlock (2003) membagi tiga kelompok remaja sesuai dengan usia tahap perkembangan:

a. Eurly adolescence (remaja awal)


Berada pada rentang usia 12-15 tahun, merupakan masa negative, karena ada masa ini
terdapat sikap dan sifat negative yang belum terlihat dalam masa kanak-kanak, individu
merasa bingung, cemas, takut dan gelisah.

b. Middle adolescence (remaja pertengahan)

Dengan rentang usia 15-18 tahun pada masa ini individu menginginkan atau menandakan
sesuatu dan mencari-cari sesuatu, merasa sunyi dan merasa tidak dapat dimengerti oleh orang
lain.

c. Late Adolesence (remaja akhir)

Berkisar pada usia 18-21 tahun. Pada masa ini individu mulai stabil dan mulai memahami
arah hidup dan menyadari dari tujuan hidupnya. Mempunyai pendirian tertentu berdasarkan
satu pola yang jelas.

C. Pengertian Keluarga Disfungsional

Benton (1997) menyebutkan bahwa keluarga disfungsional merupakan kondisi apa saja yang
menganggu keberfungsian sebuah keluarga. Setiap keluarga pasti pernah mengalami kondisi
sulit, apakah itu penyakit, kematian, atau masalah ekonomi tetapi yang membedakan apakah
keluarga itu sehat tidak adalah pada cara merespon masalah. Jika keluarga sehat kembali
berfungsi normal setelah krisis berlalu, asalah dalam keluarga disfungsional cenderung
menjadi kronis sehingga anak-anak tidak mendapatkan pemeliharaan dan pemenuhan
kebutuhan yang seharusnya.

Hawari (2004) mengemukakan disfungsi keluarga diidentikkan dengan gangguan pada peran
orangtua dalam mendidik anak, sehingga dalam pertumbuhannya anak akan mengalami
deprivasi (kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, dan diberikan kasih sayang) yang
menyebabkan anak kehilangan figure orangtua secara fisik (loss), dikarenakan tidak adanya
(lack) peran orangtua yang penting dalam proses imitasi dan identifikasi anak.

Sejalan dengan Yusuf (2010) bahwa disfungsi keluarga adalah keluarga yang tidak mampu
berfungsi secara normal, yaitu keluarga yang mampu melaksanakan fungsinya seperti: saling
memperhatikan dan mencintai; bersikap terbuka dan jujur; orangtua yang mampu
mendengarkan dan melindungi anak; menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya;
saling sharing masalah atau pendapat di antara anggota keluarga; mampu berjuang mengatasi
masalah hidupnya; saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi; komunikasi antara anggota
keluarga berlangsung dengan baik; terpenuhinya kebutuhan psikososial anak dan mewarisi
nilai-nilai budaya serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Secara umum keluarga disfungsional merupakan suatu kondisi adanya gangguan fungsi dan
peran dalam keluarga secara optimal yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti masalah
ekonomi, perceraian,dll yang mengakibatkan seorang anak tidak memperoleh kebutuhan dan
hak dengan baik sehingga rentan melakukan tindakan menyimpang sebagai akibat
ketidakberfungsian peran orangtua dalam tumbuh kembang sang anak.

3. Teori Strukturalisme Fungsional Talcott Parson

Parson berpandangan bahwa suatu sistem sosial harus memenuhi beberapa persyaratan untuk
mencapai keteraturan sosial dan stabilitas. Sistem sosial tersebut diaplikasikan melalui
perilaku individu dalam struktur sosial yang telah terbentuk sejak lama. Menurutnya suatu
hubungan sosial akan tetap terjalin apabila terdapat hubungan timbal balik yang disesuaikan
dengan nilai norma serta harapan peran setiap individu. Parson menyajikan kerangka khusus
dalam mengkaji persyaratan mengenai keteraturan suatu sistem sosial, yaitu (Doyle Paul
Johnson: 129) dan (Robert H. Lauer: 109) :

a. Adaption

Berkaitan dengan penyesuaian dengan situasi lingkungan, penyesuaian dari sistem “tuntutan
kenyataan”, dan proses transformasi aktif dari situasi. Adaption merupakan fungsi mendasar
dari peranan individu dalam kelompok

b. Goal Attainment

berkaitan dengan tindakan yang diarahkan pada pencapaian tujuan kelompok, prioritas
pemilihan tujuan yang penting (untuk kelompok) dari beberapa tujuan. Goal Attainment
merupakan fungsi dan peran kolektif berupa kesepakatan untuk mencapai tujuan.

c. Integration

Berkaitan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem: upaya membangun solidaritas
sosial. Integration merupakan fungsi nilai dan norma yang menjadi pedoman dalam
kelompok.

d. Latency
Berkaitan dengan upaya menjaga sistem untuk tetap seiimbang, upaya mengikat individu
dalam sistem , upaya bersiap-siap bilamana sewaktu-waktu ada para anggota bertindak diluar
sistem. Latency merupakan fungsi pemeliharaan pola, alat untuk memotivasi agar tetap dalam
integrasi.

4. Pembahasan

a. Kasus-kasus Dekadensi Moral di Indonesia

Berbagai aksi penyimpangan oleh remaja mengindikasikan suatu polarisasi tingkah laku yang
disertai dengan krisis moral yang semakin genting dari waktu ke waktu. Adanya globalisasi
menjadi media untuk menyebarkan konsepsi dan generalisasi suatu tindakan menyimpang
yang dianggap ‘wajar’. Pembenaran akan tindakan tersebut didukung oleh media massa untuk
membentuk suatu konstruksi yang diperankan oleh aktor tertentu lalu secara tidak sadar
diikuti oleh seluruh masyarakat. Contohnya dari cara berbicara dan berpakaian menggunakan
brand bermerk.

Segmentasi masyarakat dalam hal usia tentu memiliki perbedaan pemahaman dalam
menanggapi maraknya informasi di media massa. Dalam hal ini usia remaja rentan terjadi
sasaran miskomunikasi wacana dan tayangan di media massa. Usia remaja selalu diliputi rasa
penasaran untuk mencoba sesuatu hal yang baru baik itu baik ataupun buruk. Adanya
dekadensi moral merupakan representasi daripada penerapan sesuatu hal yang didapat baik di
lingkungan sekitar maupun media massa.

Kasus pergaulan bebas oleh remaja pernah terjadi di Kabupaten Jember pada 13 September
2018 lalu, dimana pelaku (AL) yang masih berstatus sebagai pelajar mengaku kepada polisi
bahwa ia menemukan seorang bayi di teras rumah kosong, di Desa Balung Kulon. Setelah
diselidiki pengakuan tersebut hanyalah aksi untuk mengelabui polisi untuk menutupi aibnya
sebagai orangtua daripada hubungan diluar nikah dengan pacarnya yang juga masih dibawah
umur (Liputan6.com).

Kasus lainnya yang terjadi di Kabupaten Tegal adalah pembunuhan terhadap Nurkhimah
alias lik (16) oleh 5 teman-temannya yang rata-rata masih dibawah umur. Mayat korban
ditemukan 5 bulan kemudian setelah dilaporkan menghilang Pembunuhan tersebut terjadi
pada April 2019 saat korban dan pelaku dalam kondisi mabuk-mabukan. Sebelum dibunuh
korban diajak pacarnya AM (20) untuk melakukan hubungan seks, lalu korban terlibat
pertengkaran dengan AM dengan alasan cemburu terhadap korban yang memiliki hubungan
khusus dengan pria lain. Korban juga diserang oleh salah satu temannya yang mengaku sakit
hati pernah dihina dan direbut pacarnya oleh korban. Kronologis tindak pembunuhan adalah
leher korban dicekik oleh AM dan dibantu teman-temannya hingga tewas. Lalu mayat korban
dimasukkan kedalam karung plastic kemudian diikat dengan tali. Mayat korban
disembunyikan di rumah kosong (detiknews.com).

Aksi tawuran antar geng pelajar terjadi di Kota Surabaya pada 09 Februari 2021. Aksi
tersebut disebabkan oleh saling ejek antar geng Populer dan barisan tanpa pemimpin (BTP) di
media sosial Facebook. Kedua geng tersebut melakukan tawuran pada Sabtu dini hari di Jalan
Dupa Rukun tepat di depan Pasar Loak Baru. Dari kejadian tersebut, satu orang korban MDS
(16) mengalami luka bacok dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aksi serupa juga pernah
terjadi di kawasan Kemayoran pada 24 Desember 2020 lalu dan menimbulkan korban jiwa
Dimas yang dikeroyok oleh pelaku yang berjumlah 8 orang dengan menggunakan senjata
tajam (detiknews.com).

Tidak hanya tawuran namun marak terjadi aksi pelecehan seksual dan tindak pidana
perdagangan orang (TPPO) oleh pelaku AT (21 tahun) dan korban PU (15). AT merupakan
anak anggota DPRD kota Bekasi dan disebutkan bahwa korban dan pelaku memiliki
hubungan pacaran. Pelaku seringkali mengajak korban untuk berhubungan seks dan sering
mendapat tindak kekerasan. Tidak hanya mendapat kekerasan dan pelecehan seksual, pelaku
juga menjual korban dengan pria hidung belang melalui aplikasi Michat. Korban pun
mengalami trauma psikologis dan terjangkit penyakit kelamin sehingga membutuhkan
perawatan intensif. Lain halnya dengan kasus pemerkosaan di Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur yang dilakukan oleh seorang Paman TP (26) terhadap seorang gadis DN (16) yang
ternyata keponakannya sendiri. Pelaku mengaku khilaf saat melihat korban tertidur pulas di
kamar (regional.kompas.com).

Kepala Deputi bidang Perlindungan Anak Kementerian Permberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak mengatakan bahwa sepanjang bulan Januari hingga Juli 2020 tercatat ada
4116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Dari angka tersebut yang paling banyak
dialami oleh anak adalah kekerasan seksual. Lalu kemudian ada 346 kasus korban
penelantaran anak, 73 korban tindak pidana perdagangan anak (TPPO) dan 68 korban
eksploitasi anak (kompas.com).

Secara tidak sadar kasus-kasus tersebut menunjukkan pola perilaku remaja di Indonesia
sudah berada pada tahap merosotnya moralitas dan kesusilaan pada diri pelaku. Awal mula
pertengkaran dari adu mulut yang pada dasarnya bisa diselesaikan dengan damai berujung
pada tindak kekerasan dan pembunuhan. Tentu hal ini menimbulkan suatu anomali dan
dikategorikan sebagai bentuk masalah sosial yang memerlukan pendekatan khusus serta
upaya sistematis dan kehati-hatian agar ditemukan jalan keluar. Sebab apabila semakin
dibiarkan maka fenomena dekadensi moral tersebut akan menjadi momok serius dan
menganggu kestabilan eksistensi suatu negara dalam menciptakan generasi penerus bangsa
yang beradab dan beretika.

B. Faktor Penyebab Dekadensi Moral Remaja

Aksi Dekadensi Moral dilatarbelakangi berbagai aspek internal dan eksternal. Bisa jadi aksi
tersebut merupakan kombinasi daripada kumpulan aspek yang saling mempengaruhi dan
berkontribusi dalam menciptakan kemerosotan moral di kalangan remaja. Berikut adalah
faktor-faktor penyebab dekadensi moral remaja:

1. Lemahnya pemahaman mengenai agama

Agama menjadi alat kontrol sosial yang berasal dari dalam diri individu. Dalam agama Islam
seseorang yang memiliki keyakinan bahwa setiap perbuatan selalu diawasi dan dicatat oleh
malaikat akan berperilaku sesuai dengan norma dan moral yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Sebaliknya jika seseorang kurang memahami ajaran agama yang dianut serta batasan-batasan
dalam bertingkah laku cenderung selaku memikirkan keduniawian dan melakukan
pelanggaran tanpa memikirkan sebab akibat yang ditanggung di akhirat nanti.

2. Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah,
maupun masyarakat

Seperti yang diketahui pendidikan moral perlu dilakukan sejak dini mulai dari keluarga.
Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan
dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Tidak hanya dirumah, sekolah juga dijadikan sebagai
lapangan untuk menumbuhkembangkan mental dan moral anak didik, disamping ilmu
pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Untuk menumbuhkan sikap moral yang
demikian itu, pendidikan agama di sekolah harus dilakukan secara intensif agar ilmu dan
amal dapat dirasakan anak didik di sekolah. Apabila agama/moral tersebut diabaikan, maka
didikan agama/moral yang diterima di rumah tidak akan berjalan dengan baik, bahkan
mungkin paradoks (berlawanan) dan berdampak pada kegagalan pendidikan moral. Tidak
lupa juga peran masyarakat sebagai alat kontrol secara eksternal dimana kerusakan
masyarakat sangat berpengaruh dalam pembinaan anak, sebab masyarakat merupakan
lingkungan anak melakukan interaksi dengan orang lain termasuk teman sepermainan teman
belajar, dll.

3. Gaya hidup dan arus budaya materialitis, hedonistis, dan sekularistis

Dengan banyaknya informasi yang masuk di media cetak dan elektronik menyebabkan terjadi
pertukaran kebudayaan asing dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan asing seperti
materialistis, hedonistic, dan sekuler merupakan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mengesampingkan spiritualitas dan moral. Secara tidak sadar manusia
didorong untuk hidup bersenang-senang dan memandang uang merupakan segalanya
(materalistik). Media massa juga membentuk suatu pola pikir kesenangan duniawi adalah
tujuan hidup umat manusia. Kebudayaan tersebut akan mendorong aksi penyimpangan yang
bertentang dengan moral, indivualistik yang tidak memikirkan spiritualitas. Sehingga
kehidupan manusia menjadi tidak terarah dan diwarnai dengan aksi kekerasan, dll.

C. Relevansi Dekadensi Moral Remaja dan Keluarga Disfungsional di Indonesia

Pemahaman seorang individu terhadap suatu informasi tertentu didasarkan akan internalisasi
nilai norma yang didapat dari lingkungan sekitar. Apabila nilai norma yang diterima
cenderung keliru dan melenceng, maka hal tersebut mempengaruhi cara individu memandang
dunia dan mengadakan hubungan sosial yang lebih luas (masyarakat). Artinya individu yang
selalu diajarkan kekerasan, acuh tak acuh dan tidak dibimbing mengenai cara berperilaku
maka hal tersebut akan ditiru dan dimaknai sebagai sesuatu yang benar. Begitupun halnya
dengan dekadensi moral remaja juga terjadi oleh peniruan terhadap aksi yang dilihat maupun
dirasakan oleh remaja dalam kehidupan sehari-hari.

Secara fundamental keluarga merupakan salah satu unsur struktur sosial penting dalam
membentuk suatu kepribadian dan moralitas individu yang berkualitas. Idealnya sebuah
keluarga menjadi wadah anak untuk mengembangkan potensi diri serta terpenuhi haknya
berupa kasih sayang, support, dan identitas diri yang baik oleh kedua orangtuanya.
Realitasnya tidak semua keluarga mampu membentuk kepribadian seorang anak sesuai
dengan harapan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya tantangan dan
hambatan yang berbeda-beda pada tiap keluarga, ada yang mampu melewatinya dan
sebaliknya ada keluarga yang tidak mampu mengatasi sehingga yang selanjutnya terjadi
adalah perubahan pada pola tingkah laku, peran dan fungsi didalam keluarga yang tidak
berjalan dengan semestinya. Kondisi ini dinamakan dengan disfungsi keluarga atau keluarga
yang disfungsional. Secara khusus keluarga disfungsional akan menimbulkan bahaya bagi
perkembangan anggota keluarga dan bagi pembangunan Indonesia secara umum.

Keluarga disfungsional dapat mengakibatkan anggota didalamnya mengalami penderitaan ,


kesakitan, kesulitan lantaran karakteristik dasar keluarga yang buruk. Keluarga disfungsional
dapat menurunkan pola-pola kehidupan disfungsional kepada keturunan atau generasi
penerus sehingga masalah sosial ini menjadi masalah berkelanjutan. Keluarga disfungsional
dicirikan dengan adanya beberapa hal seperti kekerasan dalam rumah tangga (fisik, seksual,
dan emosional, penggunaan obat-obatan dan alcohol yang kronis, kemiskinan, stress tinggi,
konflik antar anggota, perceraian, yang semua itu menyakiti anak secara psikis maupun fisik
(Parillo, 2008).

Menurut Benton (1997) terdapat beberapa tipe keluarga disfungsional yaitu :

1) Underfunction parents, yaitu orangtua yang tidak menjalankan tugas dan kewajibannya
sebagai orangtua dan membiarkan anak-anaknya menghidupi diri mereka sendiri.

2) Overfunction Parents, yaitu orangtua yang berlebihan, terlalu keras dan kaku dalam
memperlakukan anak agar memenuhi keinginan mereka, tidak membiarkan anak mereka
berkembang untuk menjadi diri sendiri.

3) Orangtua yang tidak konsisten, atau dalam memperlakukan anak mereka melanggar batas
dengan melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh orangtua.

Lebih lanjut implementasi daripada tipe keluarga disfungsional menurut Benton (1997)
adalah sebagai berikut.

1) Implementasi daripada tipe pertama adalah kasus perceraian dalam keluarga. Keluarga
yang ayah dan ibunya bercerai sering tidak memperhatikan psikologis anaknya. Mereka
terlalu mementingkan kepentingan diri sendiri yang berakibat terlantarnya anak dan semakin
membuat mental seorang anak menjadi terganggu. Hal ini rentan menyebabkan anak
berperilaku keras, agresi bahkan antisosial terhadap lingkungan sekitarnya.

2) Implementasi daripada tipe kedua adalah orangtua yang terlalu disiplin dan tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri sendiri. Ranah-ranah
tertentu yang seharusnya menjadi privasi seorang anak, malah orangtua yang terlalu ikut
campur didalamnya. Anak juga tidak diberikan kebebasan dan terlalu dikontrol dalam
menjalani kehidupan. Sehingga dalam jangka panjang akan menciptakan pribadi anak yang
tidak mampu mengambil keputusan sendiri dan terlalu menggantungkan hidupnya dengan
orang lain.

3) Impelementasi daripada tipe ketiga adalah perilaku kekerasan baik kekerasan verbal, fisik,
dan seksual yang tidak selayaknya dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya. Kekerasan
verbal menyangkut mengenai cara berbicara orangtua dengan ucapan yang kasar, kotor,
menghina dan meremehkan terhadap seorang anak. Secara tidak sadar ucapan tersebut akan
dikonsepsikan anak sebagai bagian daripada identitas diri sehingga anak tumbuh dengan
sikap tidak percaya diri dan merasa tidak bisa bergaul dengan orang lain. Kekerasan fisik
berupa perlakuan orangtua yang menyebabkan luka, kesakitan secara fisik pada si anak.
Kekerasan fisik biasanya berupa pemukulan, menampar, meninju, menusuk dengan benda
tajam, dll. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan diri cenderung akan
mengimplementasikan hal yang sama dengan orang disekitarnya apabila keinginan tidak
terpenuhi dan sebagai cara untuk meluapkan emosi. Kekerasan seksual berupa perlakuan
orangtua yang menyerang organ vital si anak dengan ancaman atau paksaan serta tanpa
persetujuan dari korban yang bersangkutan. Kekerasan seksual akan menimbulkan trauma
fisik dan ketakutan yang membuat anak tumbuh dengan rasa malu, sedih, marah dan sering
menyalahkan diri sendiri atas hal yang menimpa dirinya.

Keluarga yang disfungsional akan menganggu pola kehidupan anggota didalamnya. Hal ini
akan menciptakan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan justru semakin menambah
permasalahan bagi keluarga tersebut. Dekadensi moral yang dilakukan oleh remaja
merupakan representasi daripada faktor keluarga yang tidak berkembang dengan baik. Sesuai
dengan penemuan pada penelitian Indrawati (2011) yang menyatakan bahwa keluarga
memainkan peran yang sangat menentukan dan keluarga yang disfungsional dan gagal
pengasuhan anak menjadi penyebab utama delikuensi remaja.

Disfungsi keluarga yang dirasakan oleh seorang anak akan membentuk sifat dan kepribadian
yang buruk. Hal ini sejalan dengan penelitian medis yang dilakukan oleh Feliti, dkk (1998)
bahwa pengalaman menderita kekerasan dalam rumah tangga dan hidup dalam keluarga yang
disfungsioanl merupakan faktor risiko munculnya gangguan kesehatan, pola hidup yang tidak
sehat (alkoholisme, penyalahgunaan zat, depresi, upaya-upaya bunuh diri, merokok, obesitas,
dsb) dan penyakit (sakit jantung, sakit paru-paru kronis, patah tulang, dan gangguan liver)
dan yang berpotensi menyebabkan kematian pada orang dewasa. Semakin berat masa kecil
seseorang (semakin banyak kekerasan yang dialaminya, semakin banyak faktor risiko bagi
kesehatannya di masa depannya. Penelitan oleh Kartono (2000) juga memaparkan bahwa
pola hidup, tingkah laku orangtua, kebiasaan, cara hidup, cara berfikir, dan filsafat hidup
keluarga memiliki pengaruh besar dalam membentuk perilaku dan sikap anggota keluarga,
sehingga pola keluarga yang patologi (menyimpang) akan membuahkan masalah psikologis,
konflik pada pribadi anak, dan menjadi penyebab utama kejahatan anak.

Bisa disimpulkan fenomena kemerosotan moral remaja saat ini berbanding lurus terhadap
disfungsional keluarga. Artinya terdapat relevansi dan hubungan kausalitas antar dua aspek
tersebut. Pola pengasuhan orangtua yang tidak efektif dan banyak melakukan tindak
kekerasan rentan membuat anak mempraktekkan hal serupa dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis seperti pertengkaran dan berujung pada
perceraian juga mempengaruhi psikologis dan mental seorang anak sehingga melakukan aksi
penyimpangan untuk sekadar mendapat perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pada
hakikatnya keluarga sebagai media sosialisasi pertama dan utama bagi seorang anak perlu
untuk menjalankan peran dan fungsi dengan sebaik-baiknya terutama dalam memberikan
pendidikan karakter dan moral yang berkualitas agar anak memiliki benteng yang kuat saat
menghadapi lingkungan dan kondisi yang tidak baik. Orangtua perlu menerapkan pola
pengasuhan yang disesuaikan dengan kemampuan dan umur anak sehingga didapatkan
pemahaman mengenai suatu nilai yang terinternalisasi dengan baik.

D.. Revitalisasi dan Keberfungsian Keluarga sebagai Strategi Pencegahan Dekadensi


Remaja di Indonesia

Keberfungsian Keluarga menyangkut keefektifan setiap keluarga dalam mengelola aktivitas


serta indikator lainnya seperti pemecahan masalah, komunikasi, distribusi peranan, serta
kontrol perilaku anggota keluarga. Keluarga yang berfungsi dengan baik akan menciptakan
suasana rumah tangga yang sehat dan harmonis. Menurut Friedman (1998) menuliskan
bahwa terdapat setidaknya 5 fungsi keluarga, yaitu:

1) Fungsi Afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk
mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.

2) Fungsi Sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain.
3) Fungsi Reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga

4) Fungsi ekonomi adalah memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan anggota keluarga.

5) Fungsi Perawatan/pemeliharaan yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan Kesehatan


anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.

Kelima fungsi tersebut saling berkoordinasi dan mempengaruhi dalam mencapai suatu
keluarga yang ideal. Apabila salah satu cara tidak terpenuhi maka akan terjadi hambatan
dalam penerapan fungsi yang tidak berjalan dengan baik. Kelima fungsi tersebut didukung
dengan indikator dalam keberfungsian sebuah keluarga berupa (Walker: 1978) : a) peranan
keluarga, b) ekspresi emosi keluarga, c) saling ketergantungan/individuasi keluarga, d)
komunikasi keluarga, e) distribusi kekuasaan keluarga, e) sub sistem keluarga.

Indikator dalam keberfungsian keluarga diawali dengan peranan keluarga misalnya ayah
berperan sebagai kepala rumah tangga, ibu berperan mengurus rumah tangga, dan anak
berperan untuk membantu orangtua. Peranan tersebut memiliki hak dan kewajiban masing-
masing yang harus dipenuhi, terutama hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dan cinta
oleh orangtuanya. Kedua adalah ekspresi emosi keluarga terfokus bahwa setiap anggota
memiliki derajat emosi berbeda-beda ada yang sensitif dan ada juga yang memendam emosi.
Pengaturan mengenai emosi tersebut perlu disadari dan dikelola agar tidak mengarah kepada
hal yang negatif. Ketiga adalah saling ketergantungan antar keluarga yang menyangkut
perbedaan sistem nilai dan opini yang berbeda-beda, aktivitas sosial dan rekreasi sendiri
setiap anggota keluarga yang mestinya dihargai dan didukung sepanjang aktivitas keluarga
tidak terganggu. Keempat adalah distribusi kekuasaan keluarga dalam artian kekuasaan
terpusat pada kedua orang tua dan setiap anggota diberikan hak untuk mengemukakan
pendapat dalam anggota keluarga sehingga apabila terjadi konflik bisa diselesaikan dengan
efekif tanpa adanya kekerasan. Kelima adalah komunikasi keluarga yang menyangkut pola-
pola pertukaran informasi antar anggota dengan nada yang positif dan menghindari
miskomunikasi yang parah. Keenam adalah sub sistem keluarga yang menyangkut
pelaksanaan tanggung jawab dan fungsi yang telah disepakati dengan tepat.

Adanya perubahan-perubahan fungsi didalam keluarga seiiring dengan perkembangan zaman


dalam hal ini globalisasi dan modernisasi sangatlah kentara. Misalnya semenjak
industrialisasi, peran orangtua dalam fungsi sosialisasi terhadap anak semakin bergeser
dengan adanya lembaga pendidikan formal (sekolah). Perubahan yang diterima tidak bisa
dihindari mengingat hal tersebut merupakan keniscayaan yang mengiringi kehidupan
manusia. Sehingga yang perlu dilakukan adalah beradaptasi dan memilih upaya alternatif
agar fungsi keluarga keluarga bisa berjalan dengan semestinya terutama dalam pola
pengasuhan dan komunikasi yang baik antar anggota. Revitalisasi merupakan implementasi
terhadap proses perubahan secara lebih adaptif. Orangtua perlu menerapkan parenting styles
sebagai bentuk kepedulian terhadap tumbuh kembang anak. Salah satu upaya revitalisasi
yang diusulkan oleh Stephen Covey (1990) adalah sebagai berikut:

1) Menetapkan perspektif jangka panjang

Perspektif jangka panjang diyakini dapat membuka jalan untuk berbagai masalah yang
dihadapi. Asumsinya, keberlangsungan keluarga sangat ditentukan oleh daya tahan terhadap
masalah yang menghadang. Perspektif ini berkaitan dengan sistem berpikir yang open-
minded baik oleh orangtua dan anak terhadap setiap permasalahan internal dan eksternal
dalam anggota keluarga. Misalnya setiap anak memiliki hobi dan kemampuan yang berbeda,
dan seorang anak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan sendiri terutama apabila
ia sudah menginjak usia remaja. Yang harus dilakukan orangtua adalah saling menghargai
pilihan yang ditetapkan anak namun tetap menerapkan kontrol sosial terhadap anak. Sebab
masih banyak orangtua yang tidak mendukung pilihan anak sehingga akan timbul percikan-
percikan konflik dan daya tahan keluarga pun tidak berjalan dengan ideal.

2) Mengkaji ulang tujuan

Tujuan yang realistis dan progresif memperhatikan aspek sasaran yang ingin dicapai
sekaligus mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki. Sering terjadi sasaran tidak
disesuaikan dengan kemampuan sehingga muncul rasa tidak percaya ada anggota keluarga
lain. Misalnya untuk mencapai suatu keluarga yang harmonis, maka hal yang perlu dilakukan
adalah memperhatikan aspek permasalahan dan konflik yang terjadi antar anggota serta
menawarkan solusi terbaik agar konflik tersebut tidak menganggu keberlangsungan fungsi
keluarga sehingga pola hidup keluarga harmonis pun bisa tercapai.

3) Integrasi sistem dalam keluarga

Empat sistem dinilai vital dalam keluarga, yaitu sistem perumusan sasaran dan rencana,
sistem standarisasi, sistem upaya peningkatan, dan sistem komunikasi serta pemecahan
masalah. Untuk mencegah perilaku penyimpangan anak, maka upaya yang dilakukan adalah
membangun pola komunikasi antar orangtua-anak. Orangtua bisa menggunakan pendekatan-
pendekatan sesuai dengan kebutuhan dan kematangan emosi seorang anak tanpa maksud
untuk memojokkan setiap perilaku negatif anak. Hal tersebut dilakukan agar anak tetap
merasa diperhatikan dan terjalin komunikasi tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi.

4) Menciptakan rasa aman dalam keluarga

Rasa aman diperoleh melalui integrasi dalam keluarga, berpegang pada prinsip yang tidak
mudah diubah, memperkaya kehidupan pribadi, menghargai lingkungan alam, membiasakan
untuk mempertajam kehidupan fisik, mental dan spiritual, rela membantu sesama anggota
keluarga, serta menempatkan orang lain sebagai pihak yang mencintai dan mempercayai.

E. Peran Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dalam Pendidikan Moral menggunakan


Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parson.

Parson berpandangan bahwa suatu sistem sosial harus memenuhi beberapa persyaratan untuk
mencapai keteraturan sosial dan stabilitas. Sistem sosial tersebut diaplikasikan melalui
perilaku individu dalam struktur sosial yang telah terbentuk sejak lama. Menurutnya suatu
hubungan sosial akan tetap terjalin apabila terdapat hubungan timbal balik yang disesuaikan
dengan nilai norma serta harapan peran setiap individu. Parson menyajikan kerangka khusus
dalam mengkaji persyaratan mengenai keteraturan suatu sistem sosial, yaitu (Doyle Paul
Johnson: 129) dan (Robert H. Lauer: 109) :

1. Adaptation

Kehidupan masyarakat selalu disertai dengan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek.


Merosotnya moral generasi penerus bangsa memerlukan proses adaptasi dari berbagai
lembaga sosial agar mengadakan sosialisasi dan pengajaran terhadap individu tersebut.
Dalam proses adaptasi ini mencakup peran dari lembaga terkait seperti sekolah, keluarga, dan
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki dan keteraturan sosial.
Sosialisasi dimulai dari keluarga sebagai salah satu institusi utama yang mempengaruhi
kepribadian dan sikap seorang anak didalam masyarakat secara informal. Sekolah merupakan
sarana penguatan moral dan kepribadian seorang anak secara formal sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan. Serta masyarakat menjadi pihak yang melakukan kontrol sosial dan
pengawasan terhadap remaja yang melakukan tindakan menyimpang.

2. Goal Attainment
Goal attainment berkaitan dengan kesepakatan mengenai tujuan bersama yang hendak
dicapai. Dalam hal ini pelaksanaan pendidikan moral baik melalui keluarga, sekolah dan
masyarakat dilakukan untuk mencapai suatu kehidupan yang harmonis dalam membentuk
identitas dan karakteristik remaja yang beretika, beradab dan berkualitas sesuai dengan
pendekatan yang telah disepakati. Misalnya pendekatan yang dilakukan oleh sekolah
dipresentasikan melalui mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Karakter guna
membentuk sikap peserta didik yang ditopang dengan spiritualitas dan moralitas yang baik.
Keluarga juga bisa melakukan pendekatan dengan pola komunikasi yang disesuaikan dengan
karakteristik anak tanpa melalui kekerasan verbal, fisik dan seksual. Pola komunikasi tersebut
bisa direalisasikan melalui penghargaan terhadap setiap pilihan dan keputusan yang diambil
anak serta tidak meremehkan kemampuan si anak serta memenuhi kebutuhan seorang anak
untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya.

3. Integration

Integrasi berkaitan dengan komitmen bersama-sama baik oleh keluarga, sekolah dan
masyarakat untuk konsisten menanamkan pendidikan moral terhadap remaja. Konsistensi hal
tersebut berupa penyatuan nilai dan norma yang sudah disepakati. Integrasi yang baik juga
akan menciptakan solidaritas sosial dan memudahkan pencapaian tujuan tanpa menghadirkan
konflik yang buruk didalamnya.

4. Latency

Latency berkaitan dengan pemeliharaan pola sebagai upaya agar sistem sosial tetap
seimbang. Pemeliharaan pol aini juga dilakukan untuk menjaga integrasi dan Kerjasama oleh
berbagai pihak. Misalnya banyaknya situs-situs web negatif yang mudah diakses menjadi
tanggungjawab orangtua untuk memberikan batasan anak menggunakan sosial media dan
mengajak anak untuk selalu bersikap kritis dan tidak mudah meniru perilaku yang
bertentangan dengan nilai dan norma didalam masyarakat. Lalu sekolah bisa
mensosialisasikan mengenai tantangan bersosial media serta dampak yang ditimbulkan
apabila remaja terjerumus kepada perilaku menyimpang. Sekolah bisa memperkuat praktek
spiritualitas dan moralitas peserta didik melalui pendidikan karakter yang sejalan dengan
problematika yang sedang dihadapi remaja. Pemeliharaan pola oleh lingkungan masyarakat
bisa dilakukan melalui konsistensi anggota dalam menjauhi tindakan menyimpang serta
mejadi teladan bagi remaja dalam bertingkah laku.
KESIMPULAN

Wacana dekadensi moral telah teraktualisasi di sekitar kita bahkan semakin meningkat dari
waktu ke waktu. Banyaknya kasus kejahatan yang menimpa negara Indonesia tidak bisa
dianggap sepele dan perlu dicarikan solusi atas pemecahan masalah tersebut. Merosotnya
moralitas ditunjukkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang, penipuan, pembunuhan,
serta perilaku penyimpangan lain yang semakin parah seiring dengan tekanan hidup yang
semakin berat dan rendahnya kontrol sosial. Mirisnya para pelaku penyimpangan tersebut
tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun juga para remaja sebagai generasi penerus
bangsa

Keluarga yang disfungsional akan menganggu pola kehidupan anggota didalamnya. Hal ini
akan menciptakan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan justru semakin menambah
permasalahan bagi keluarga tersebut. Pola pengasuhan orangtua yang tidak efektif dan
banyak melakukan tindak kekerasan rentan membuat anak mempraktekkan hal serupa dalam
kehidupan sehari-hari. Kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis seperti pertengkaran
dan berujung pada perceraian juga mempengaruhi psikologis dan mental seorang anak
sehingga melakukan aksi penyimpangan untuk sekadar mendapat perhatian dari lingkungan
sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Faturochman. 2001. Revitalisasi Peran Keluarga. Buletin Psikologi. No. 2. Hal 43-45.

Fahrudin, Adi. 2012. Keberfungsian Keluarga: Konsep dan Indikator Pengukuran dalam
Penelitian. Jurnal Informasi. Vol 17(02).

Indrawati Endang Sri, dkk. 2014. Profil Keluarga Disfungsional Pada Penyandang Masalah
Sosial di Kota Semarang. Jurnal Psikologi Undip. Vol 13(2). Hal 123-126.

Ningrum, Diah. 2015. Kemerosotan Moral di Kalangan Remaja: (Sebuah Penelitian


Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran Adab). UNISIA. Vol XXVII (82).

Iskarim, Mohammad. 2016. Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar (Revitalisasi Strategi PAI
dalam Menumbuhkan Moralitas Generasi Bangsa). Jurnal Edukasia Islamika .Vol
01(01).

Huda, Nurul. 2016. Kemandirian pada Remaja yang Diasuh Orangtua Tunggal. Paper.

Sulferina, Wan. 2018. Disfungsi Keluarga dan Gangguan Tingkah Laku Pada Anak
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru, Riau. Jurnal Psikologi.

Taulabi Imam, Mustofa Bustomi. 2019. Dekadensi Moral Siswa dan Penanggulangan
Melalui Pendidikan Karakter. Paper. Vol 30 (01).

Masykur Achmad M, Kustanti Enen Ratna. 2019. Persepsi Terhadap Keberfungsian


Keluarga dan Juvenile Delinquency Pada Remaja Siswa SMA. Jurnal Wacana
Psikologi.

Anda mungkin juga menyukai