Anda di halaman 1dari 25

RANGKUMAN BAB 10 –BAB 19

BAB 10

KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengahtengah


masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan
senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi
maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus
menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan "misteri" kemiskinan
ini. Di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang
senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena masalah
kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita
saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan
dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
Bab ini mendiskusikan pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani
kemiskinan sebagai salah satu bentuk masalah sosial yang serius dan
krusial dalam konteks pemberdayaan masyarakat di Indonesia

pefinisi dan Dimensi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan konsep clan fenomena yang berwayuh wajah,


bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa
kemiskinan memiliki beberapaciri (Suharto et.al., 2004:7-8):
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan,
sandangdan papan).
2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun
massal.
5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber
alam.
6 . Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.

8 . Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacatfisik maupun mental.


9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita
korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok
marjinal dan terpencil).
Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, D avid Cox

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox


(2004:1-6) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi

2.. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.

3. Kemiskinan sosial.

4. Kemiskinan konsekuensial

Potret Kemiskinan di Indonesia

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah


Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode
1 g97-i 999. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan
menurun secara spektakulerdari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah
orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis
ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan
bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat
dengan tajam dari 22,5 juta jiw a (11,3%) menjadi 49,5 juta jiw a (24,2%)
atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu, International
Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin
di Indonesia pada akhirtahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3
persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).

Paradigma Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yangtelah ada


sejak umat manusia ada. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan
maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan
sempurna. Tidak ada konseptunggal tentang kemiskinan. Strategi penanganan
kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan. Terdapat banyak
sekaliteori dalam memahami kemiskinan. Biladipetakan, literaturmengenai
kebijakan sosial dan pekerjaan sosial menunjukkan dua paradigma atau
teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan.

Teori Neo-liberal

Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas
Hobbes, John Lock dan John Stuart M ill. Intinya menyerukan bahwa
komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu.
Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of
Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944),
dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas

Teori D em o k ra s i-s o s ia l
K eyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan
pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu
mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum
demokrasi-sosial. Teori demokrasi-sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah
persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh
adanya ketidakad ilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumbersumber
kemasyarakatan

Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan


Sejak kelahirannya sekian abad lalu, pekerjaan sosial (social work) telah
terlibatdalam penanggulangan kemiskinan. Perkembangan pekerjaan sosial
berikutnya, khususnya dari kegiatan karitatif menjadi sebuah profesi, juga
tidak dapatdilepaskan dari penanganan kemisikinan. Penerapan the Elizabeth
Poor /.awdi Inggris sebagai strategi menghadapi kemiskinan akibat the
Great Depression tahun 1930-an tercatat sebagai salah satu momentum
pentingdalam sejarah perkembangan profesi pekerjaan sosial.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan
merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomisosial
dan individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori
kemiskinan yang menjadi pusatperhatian pekerjaan sosial, yaitu:

1.Kelompok yang paling miskin (destitute)

2. Kelompok miskin (poor)agai fakir miskin

2. Kelompok miskin (poor)


BAB II

PERLAKUAN SALAH TERHADAP ANAK

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sebagian besar program


pengembangan masyarakat mencakup penguatan ekonomi kecil yang
umumnya berbentuk sektor informal, karena memang masalah utama
masyarakatnya masih berkaitan dengan rendahnya pendapatan. Namun
demikian, di negara-negara maju, terutama yang masih menganut sistem
negara kesejahteraan (welfare state), hampir jarang ditemukan program
pengembangan masyarakat yang berbentuk penguatan ekonomi kecil dan
informal, karena negara memberikan jaminan sosial bagi semua orang,
termasuk mereka yang miskin, cacat, jompo terlantar dan kelompok rentan
lainnya..

p e rm a s a la h a n An a k

P e r m a s a l a h a n anak umumnya dikategorikan ke dalam tiga konsep, yaitu


perlakuan salah terhadap anak atau PSTA (child abuse atau child maltreatm
ent), penelantaran anak (child neglect), dan eksploitasi anak (child exploitation).
Dalam buku ini akan digunakan istilah yangsama, yakni PSTA
untukkonsep-konsepyangbersangkutan. PSTAmeliputi (Suharto, 1997:365-
366):
1. PSTA secara fisik (physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak

2. PSTA secara psikis (mental abuse) meliputi penghardikan, penyampaian


kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film
pornografi pada anak.

3. PSTA secara seksual (sexual abuse) dapat berupa perlakuan pra-kontak


seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata-kata,
sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak
seksual secara langsung

4. PSTA secara sosial (social abuse) dapat mencakup penelantaran anak


dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan
orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses
tumbuh-kembang anak.
Hambatan

Kasus PSTA sulit diuangkap ke permukaan (fenomena gunung es). Bahkan


meskipun kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan
sering sangat terlambat

\■ Penolakan korban sendiri

■ Manipulasi dari si pelaku.

■ Keluarga yang mengalami kasus menganggap PSTA sebagai aib yang


memalukan jika diungkap secara umum.

■ Keluarga yang mengalami kasus menganggap PSTA sebagai aib yang


memalukan jika diungkap secara umum.

■ Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga


(hubungan orang tua-anak,

■Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas "tanda-tanda" pada


diri anak yang mengalami PSTA

* Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti


dan jelas oleh masyarakat luas.

Model Pertolongan
Pekerjaan sosial adalah profesi yang senantiasa menempatkan sasaran
pelayanan (klien) dalam konteks situasi dan lingkungannya (person-insituation
dan person-in-environment). Oleh karena itu, model pelayanan
sosial bagi anak secara umum meliputi tiga aras, mikro, messo, dan messo
seperti diperlihatkan Tabel 11.2 (lihat Suharto, 1997:327-330). Misalny^"
pada model pelayanan mikro, anak dijadikan sasaran utama pelayanan.
Anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisik segera diberikan pertolongan
v v - n iL D A B U S E ) 1 6 3
164MembangunMasyarakatmemberdayakankakyat
y mg bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam keadaan
yangsangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluargadan lingkungan
yang mengancam kehidupannya.
Sistem pelayanan yang diberikan, baik model A, B, maupun C, dapat
berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak yang mengalami masalah
ditempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau
rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu.
Bila pelayanan bersifat non-kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan
diberikan di keluarga atau komunitas di mana anak menetap. Di sini anak
juga dapat diberikan dukungan sosial. Cameron dan Vanderwoerd
(1997:19) mengklasifikasikan dukungan sosial (social support) ke dalam 4
kategori: (a) concrete support: pemberian uang, barang, pakaian,
akomodasi, transportasi yang dapat membantu atau meringankan beban
klien atau pelaksanaan tugas-tugas klien terutama pada saat krisi, (b) educational
support: pemberian informasi, pengetahuan dan keterampilan
sehingga klien mampu menangani masalah, (c) emotional support:
pemberian dukungan interpersonal, penerimaan, kehangatan, dan
pengertian pada saat klien menghadapi kejadian-kejadian yang menekan
(stress and shocks), dan (d) social integration: pemberian akses terhadap
atau kontak positif dengan jaringan sosial yang bermanfaat bagi pelaksanaan
peran klien, termasuk sense of affiliation and personal validation dari klien
tersebut.

program Konseling

Sebagai contoh, bagian ini akan membahas program terapi untuk anak
yang m e n g a la m i sexual abuse. Program konseling untuk kategori ini cukup
bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitifnya. Perlu dicatat
bahwa bantuan pekerja sosial dalam kontek child abuse tidak terbatas
hanya pada korban saja, melainkan juga pada pelakunya. beberapa
model program konseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami
sexual abuse:
1) The dynamics o f sexual abuse. Konseling difokus kan pada
pengembangan konsepsi bahwa kejadian sexual abuse, termasuk
kesalahan dan tanggungjawabnya

2) Protective behaviors counseling. Anak-anak dilatih untuk menguasai


keterampilan mengurangi "kerentanannya" sesuai dengan usianya.
Untuk anak-anak pra-sekolah,

3) Survivor/self-esteem counseling. Menyadarkan anak-anak yang menjadi


"korban" bahwa mereka sebenarnya bukan korban, melainkan "orang
yang mampu bertahan" (survivor) menghadapi masalah sexual abuse.
BAB 3

ALIANSI STRATEGIS DALAM PEMBERDAYAAN KELUARGA

Pembangunan nasional memandang penting keluarga sebagai unit analisis


maupun fokus pemberdayaan. Tidak sedikit departemen dan kementrian
dalam kabinet sekarang ini yang memfokuskan perhatiannya pada
pemberdayaan keluarga. Di Departemen Sosial saja, keluarga menjadi
pusat perhatian beberapa direktorat. Perannya yang strategis membuat
keluarga laksana sang primadona yang 'diperebutkan' oleh banyak kalangan.
Dengan mengambil setting keluarga, bab ini akan membahas beberapa isu
yang berkaitan dengan pengembangan aliansi strategis dalam pemberdayaan
keluarga. Setelah mendiskusikan mengapa banyak pihak tertarik pada
pemberdayaan keluarga, bab ini membahas aliansi strategis, tugas aliansi,
prinsip aliansi, dan proses pembentukan aliansi.

Pemberdayaan Keluarga *■

Keluarga memiliki makna sentral dalam sebuah realitas sosial. Hampir


semua disiplin ilmu memandang keluarga sebagai entitas terkecil yang
sangatfokal. Dalam ilmu ekonomi dikenal domestic economy dan subsistence
economy yang kajiannya terpusat pada keluarga. Antropologi . lam a m e n c e rm a t i
livelihood strategies d a n household mechanisms sebagai
s is tem p e n a n g a n a n m a s a la h y a n g berbasis keluarga. P e k e r ja a n sosial
juga
te la h banyak berjasa dalam mengembangkan berbagai pelayanan sosial
untuk keluarga.

Aliansi Strategis

Aliansi (alliance) atau 'persekutuan' dapat diartikan sebagai kumpulan


perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki sumberdaya (sarana,
prasarana, dana, keahlian, akses, pengaruh, informasi) yang bersedia dan
kemudian terlibat aktif mengambil peran atau menjalankan fungsi dan
tugas tertentu dalam suatu rangkaian kegiatan yang terpadu (lihat
Topatimasangef.a/., 2000)/ Di lihat darikedekatan visi dan fungsi dari masing-masing
anggota aliansi, maka dapat
dibedakan Aliansi Strategis dan Aliansi Taktis.

1. Aliansi Strategis menunjuk pada 'sekutu dekat' atau 'lingkar inti'.


Mereka tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Garis Depan yang
bertugas sebagai penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama,

2. Aliansi Taktis menunjuk pada 'sekutu jauh' atau 'lingkar luar'


seringkali tidak terlibat langsung dalam kegiatan aliansi. Mereka
umumnya tergabung dalam Pokja Pendukung (supporting unit) dan
Pokja Basis (ground work) yang bertugas membantu penyediaan sarana,
logistik, data dan kader yangdibutuhkan oleh lingkar inti.

Tugas Aliansi

Dalam wacana pemberdayaan keluarga, sedikitnya ada tiga tugas utama


yang dapat dilakukan oleh sebuah aliansi:

1. Menganalisis isyu-isyu strategis yang berkaitan dengan permasalahan


dan peran keluarga dalam konteks global dan nasional

.2. Merumuskan grand design dan grand strategy program-program


pemberdayaan keluarga.

3.Melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan publik pada tingkat


makro. Advokasi dapat dilakukan baik terhadap kebijakan yang
dianggap menunjang maupun menghambat proses pemberdayaan
keluarga.

Waspada

Aliansi dapat menjadi wahana strategis dalam mencapai agenda dan tujuan
tertentu. Akan tetapi, aliansi bukanlah sebuah kumpulan dan gerakan
yang hampa dari berbagai resiko (lihat Topatimasang et.al., 2000:28).
Karenanya, anggota-anggota aliansi harus tetap memiliki kewaspadaan
terha
BAB IV

PERMASALAHAN PEKERJAAN MIGRAN

Permasalahan pekerja migran belakangan ini banyak mendapat perhatian.


Kasus-kasus eksploitasi ekonomi, kekerasan fisik, pelecehan seksual dan
bahkan pembunuhan yangdialami pekerja migran Indonesia di luarnegeri
menunjukkan betapa persoalan ini memerlukan penanganan yangefektif.
Lembaga-lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat (LSM) telah terlibat
dalam penanganan masalah ini. Namun, mengingat kasus-kasus yang
dialami pekerja migran seakan tidak pernah tuntas, pendekatan dalam
penanganan masalah bukan saja relevan, melainkan pula sangat mendesak
dilakukan. Bab ini membahas beberapa permasalahan yangdialami pekerja
migran dan strategi penanggulangannya

Pekeija Migran

Per definisi, pekerja migran (migrant workers) adalah orang yang bermigrasi
dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat
yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran
mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran
internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan
177
pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Pekerja
migran in te rn a l (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat
asalnya u n tu k bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah
Indonesia.

Urbanisasi dan Pekerja Migran Internal

Urbanisasi adalah "proses pengkotaan" atau proses perubahan suatu desa


menjadi kota. Secarastatistik/operasional, urbanisasi bisadilihatdari proporsi
penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang yang bekerja d'
sektor non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar 31,5
persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen
bekerja di sektor non-pertanian (Suharto, 2002:149).

Globalisasi dan Pekerja Migran Internasional

Globalisasi adalah proses menyatunya negara-negara di seantero dunia.


Dalam globalisasi, perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal,
jaringan transportasi, serta pertukaran informasi dan kebudayaan bergerak
secara bebas ke seluruh dunia seiring dengan meleburnya batas-batas
negara. Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga kerja
antar negara. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah
airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih
tinggi. Di wilayah Asia saja pada tahun 1994, tenaga kerja asing (sesama
Asia) yang mengisi sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mencapai
jutaan. jumlah terbanyakdatangdari Indonesia (800 ribu), diikuti Filipina
(600 ribu), Bangladesh (400 ribu) dan Thailand (sekitar 400 ribu)

Penanganan

Penanganan terhadap pekerja migran internal dan pekerja migran


internasional tentunya harus dibedakan. Namun demikian, pendekatan
pekerjaan sosial terhadap masalah keduanya memiliki prinsip yang sama:
bahwa penanganan tersebut harus menyentuh akar permasalahan di tempat
asal dan gejala permasalahan yang muncul di tempat tujuan.
Penanganan pekerja migran internal selama ini lebih banyak menyentuh
aspek h ilir ketimbang hulu. Padahal, menyentuh persoalan di hilir saja
seperti halnya kegiatan "menyapu sampah di halaman rumah". Sedangkan,
membersihkan penyebab yang mengotori halaman tersebut tidak tersentuh.
Dengan demikian, penanganan persoalan pekerja migran internal perlu
dilakukan secara terpadu, baik di wilayah hulu (pedesaan) maupun hilir
(perkotaan). Ekoturisme, pengembangan agroindustri, dan penciptaan
lapangan kerja di pedesaan, antara lain, dapat memperbaiki kemakmuran
desa yang pada gilirannya membantu membatasi laju migrasi desa-kota
yangterlalu berlebih. Di perkotaan, pemberian pelatihan bagi peningkatan
produktivitas ekonomi kecil, bantuan permodalan, dan pemberdayaan
masyarakat miskin perkotaan kiranya masih tetap diperlukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas pekerja migran ini.

Sejalan dengan desentralisasi, persoalan pekerja migran internal


sebenarnya merupakan tantangan PEMDA, baik di daerah asal maupun
daerah penerima. PEMDA sudah seharusnya menghadapi persoalan ini
dengan peningkatan ekonomi regional dan pengembangan kualitas
sumberdaya manusia.
Sementara itu, permasalahan yang timbul dari pekerja migran
internasional antara lain disebabkan oleh belum maksimalnya perlindungan
buruh, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kedutaan
Besar Indonesia di Singapura, misalnya, hanya memberi penyuluhan soal migran.
BAB V

MANAJEMEN LEMBAGA PELAYANAN SOSIAL

Program pemberdayaan masyarakat umumnya tidak dilakukan dalam setting


lembaga pelayanan sosial. Namun demikian, sebagaimana pembahasan
mengenai pengembangan masyarakat pada bab tiga, pemahaman mengenai
karakteristik dan dinamika lembaga pelayanan sosial merupakan piranti
penting dalam proses pengembangan masyarakat. Bab ini mengulas
mengenai manajemen standar mutu pelayanan lembaga sosia

Total Quality Management

Pelayanan panti kesejahteraan sosial di Indonesia cenderung masih


konvensional dalam arti pelayanan yang diberikan masih bersifat "rutin"
dan belum dapat disesuaikan dengan tuntutan kekinian. Pada lembaga
atau panti pelayanan anak, misalnya, masalah yang ditangani umumnya
masih berkisar pada isu penelantaran anak (child neglect). Sementara itu
isu-isu sepeti anak jalanan, pekerja anak (khususnya bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak atau the worst forms o f child labour), serta berbagai bentuk
perlakuan salah terhadap anak (child abuse) masih belum mendapat
perhatian memadai

Strategi Pengembangan Pelayanan

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: setelah karakteristik lembaga,


proses dan keluaran pelayanan, dan tugas-tugas manajemen diketahui,
strategi apa yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
lembaga? Mengacu pada Sheafor, Horejsi dan Horejsi (2000), sedikitnya
ada tiga strategi yang layak digunakan:
BAB VI
PEKERJAAN SOSIAL DI DUNIA INDUSTRI

Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, sasaran,


bidanggarapan dan intervensi pekerjaan sosial juga semakin luas. Globalisasi
dan industrialisasi membuka kesempatan bagi pekerjaan sosial untukterlibat
dalam bidangyang relatif baru, yakni dunia industri. Seperti halnya pekerja
sosial medik (medical social worker) yang bekerja di rumah sakit, para
pekerja sosial industri (PSI) atau industrial social worker bekerja pada
setting dunia industri, khususnya di perusahaan, baik negeri maupun swasta.

Definisi Pekeijaan Sosial IndustrI

Di Indonesia, dunia bisnis dan industri merupakan sektor yang masih


jarang melibatkan pekerjaan sosial. Namun demikian, di negara-negara
maju seperti AS, Inggris, Australia dan New Zealand, pemberian pelayanan
sosial dalam perusahaan telah meningkat secara dramatis belakangan ini
(Suharto, 2003). Di negara-negara tersebut, setting pekerjaan sosial tidak
terbatas pada arena tradisional, seperti panti sosial atau lembaga-lembaga
193
rehabilitasi sosial. Para pekerja sosial telah bekerja di rumah sakit (menjadi
pckerja sosial atau sosiawan medis), di sekolah (menjadi pekerja sosial
atau sosiater sekolah), atau di lembaga-lembaga peradilan (menjadi pekerja
sosial koreksional)

Sejarah
Seperti diungkapkan Freud di awal tulisan, fokus profesi pekerjaan sosial
sejatinya harus menyentuh dunia kerja, karena ia memberi sebuah tempat
aman bagi seseorang dalam realitas sebuah komunitas manusia (human
community). Pada tahun 1975, salah seorang pioneer pekerjaan sosial,
Bertha Reynolds, memberi komentar atas pendapat Freud yang dikemukakan
tahun 1930 itu. Menurut Reynolds, "tempat kerja yang merupakan sebuah
persimpangan kehidupan (the crossroads of life) seringkali diabaikan sebagai
sebuah komunitas manusia."
Pernyataan Reynolds tidak lagi berlaku sekarang ini. Dewasa ini kita
telah menyaksikan peningkatan yang luar biasa dalam hal perhatian dan
kehadiran profesi pekerjaan sosiai di dunia kerja. Semenjak tahun 1970-
an, pekerjaan sosial telah menemukan bahwa tempat kerja bukanlah untuk
bekerja saja, tetapi merupakan sebuah tempat yang penting dan unik di
mana para pegawainya perlu diberi informasi mengenai pelayananpelayanan
yang tidak selalu terkait dengan pekerjaan. Tempat kerja juga
merupakan tempat di mana diagnosis aktual mengenai kebutuhan dan
Bentuk-bentuk Program dan Lembaga Naungan

Beberapa permasalahan yang umumnya ditangani PSI adalah masalah sosial,


terutama yang terkait dengan dampak negatif industrialisasi yang oleh
Johnson (1984) disingkat menjadi 5A:
1. Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan kelompok
sosial yang dapat m enimbulkan apatis, marah, dan kecemasan.
2. Alcoholism atau addiction: ketergantungan terhadap alkohol, obatobatterlarangatau
rokok yang dapat menurunkan produktivitas, merusak
kesehatan fisik dan psikis, dan kehidupan sosial seseorang.
3. Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja
dikarenakan rendahnya motivasi pegawai, perasaan-perasaan malas,
tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit fisik dan
psikis.
4. Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya
konsentrasi pegawai atau oleh lemahnya sistem keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja.
5. Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau
pasangan dalam keluarga (suami terhadap istri atau sebaliknya), seperti
memukul dan menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh
frustrasi, kebosanan dan kelelahan di tempat pekerjaannya.

Tipoiogi Pelayanan Pekerjaan Sosial Industri


Satu cara untuk mengkonseptualisasikan beragam pelayanan sosial yang
diberikan pekerja sosial beserta peranan dan keterampilan yang
dijalankannya adalah dengan membuat sebuah tipoiogi model setting PSI
(lihat Straussner, 1989:8-13), yaitu:
1. Model pelayanan sosial bagi pegawai (the employee service model)-,
2. Model pelayanan sosial bagi majikan atau organisasi perusahaan (the
employer-work organization service model);
3. Model pelayanan sosial bagi konsumen (the consumer service model);
4. Model tanggungjawab sosial perusahaan (the corporate social responsibility
model) atau model investasi sosial perusahaan (the corporate
social investment);
5. Model kebijakan publik di bidang pekerjaan (work related public
policy model).

Model Pelayanan Sosial Bagi Pegawai


Model ini meliputi perancangan dan pengimplementasian program-program
dan pelayanan-pelayanan sosial yang tamtam a ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan para pegawai suatu perusahaan secara individual.
Selain bermanfaat bagi pegawai yang bersangkutan, model ini juga sangat
bermanfaat bagi perusahaan, karena dapat meningkatkan kepuasan kerja,
produktivitas dan kesetiaan pegawai terhadap perusahaannya. Berbagai
program dan pelayanan langsung umumnya diarahkan untuk membantu
para pegawai dalam menghadapi gangguan fisik, mental, masalah keluarag
dan masalah sosial yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
peranannya sebagai pegawai. Di AS, beberapa program yang termasuk
dalam kategori ini umumnya dimasukan dalam domain Program-program
Bantuan bagi Pegawai yang dikenal dengan istilah "EAPs", kepanjangan
dari "Employee Assistance Programs" atau MAPs, singkatan dari Member
Assistance Programs (Program-program Bantuan Anggota)

Konselor
Sebagai konselor, PSI memberikan asesmen dan konseling terhadap individu,
keluarga atau kelompok

Konfrontator Konstruktif
Ini merupakan peranan unik yang biasanya dilakukan untuk membantu
individu yang mengalami kecanduan obat atau alkohol. Para pecandu
obat atau alkohol seringkali menyangkal perbuatannya. Karenanya,
penerapan konseling secara biasa tidak akan mampu memecahkan masalah
jni secara efektif. Diperlukan pendekatan konfrontatif yang secara khusus
dikembangkan untuk menghadapi kenyataan ini. Misalnya, pekerja sosial
memanggil supervisor, perwakilan serikat buruh, dan anggota keluarga
pecandu tersebut untuk bersama-sama menghadapi si pecandu itu sambil
membeberkan berbagai masalah yangdiakibatkannya secara komprehensif.

Broker
Ketika menjalankan peranan broker, pekerja sosial menghubungkan pegawai
yang dibantunya dengan sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar
perusahaan. Sebagai contoh, dalam membantu pegawai yang mengalami
kecanduan alkohol, pekerja sosial memberikan referal (rujukan) kepada
lembaga rehabilitasi alkohol, kepada bagian medis perusahaan atau kepada
LSM atau kelompok kemasyarakatan yang menangani permasalahan ini.

Beberapa keahlian yang perlu dimiliki


guna menjalankan peran ini meliputi:
1) Keterampilan melakukan rujukan;
2) Pemahaman mengenai penolakan atau resistensi individu dan organisasi;
3) Pengetahuan mengenai sumber-sumber lembaga dan masyarakat;
4) Keterampilan dalam memberi rekomendasi dan pengembangan sumber;
5) Pengetahuan dalam membangun dan memanfaatkan jaringan.

Pembela
Sebagai pembela, pekerja sosial membantu pegawai memperoleh pelayanan
dan sumber yang karena sesuatu sebab tidak bisa diperolehnya sendiri.
Dipinjam dari profesi di bidang hukum, peranan ini memerlukan tugas dan
kegiatan yang sangatdinamis dan aktif

Mediator
Tugas utama pekerja sosial dalam menjalankan peran ini adalah
menjembatani konflik antara dua atau lebih individu atau sistem serta
memberikan jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak berdasarkan
prinsip "menang-menang" (win-wiri solution).

Pendidik atau Pelatih


Pekerja sosial memberikan informasi dan penjelasan-penjelasan mengenai
opini dan sikap-sikap tertentu yang diperlukan pegawai. Termasuk dalam
peranan ini adalah memberi pelatihan mengenai manajemen stress, caracara
berhenti merokok atau menunjukkan contoh-contoh perilaku positif
yang dapat ditiru oleh pegawai.

Model Kebijakan Publik di Bidang Kepegawaian

Model ini mencakup formulasi, identifikasi, analisis, dan advokasi bagi


kebijakan, program dan pelayanan-pelayanan pemerintah yang langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi dunia kerja. Peran pekerja sosial
yang penting adalah menjadi perencana dan pengembang kebijakan, analis
kebijakan, dan advokat kebijakan. Sebagai perencana dan pengembang
kebijakan, pekerja sosial merancang kebijakan sosial ya n g d a p a td ia ju ka n
kepada pemerintah dan DPR untuk disahkan dan ditindaklanjuti. Misalnya,
kebijakan yang terkait upah kerja m in im um , jaminan sosial bagi pegawai
atau pelayanan sosial bagi pegawai dan keluarganya (misalnya, pelayanan
penitipan anak, h a k cu ti melahirkan bagi pegawai perempuan).
Peran sebagai analis kebijakan menunjuk pada tugas-tugas pekerja
sosial untuk menelaah konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baikyang
akan maupun telah diterapkan oleh pemerintah. Sedangkan sebagai advokat
kebijakan, pekerja sosial menjalankan peran 'mendesakkan' kebijakan
kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan sasaran kebijakan (p o lic y
2 1 2 M em b a n g u n M a s y a r a k a t M em b e rd a y a k a n R a k y a t
audience). Advokasi ini padadasarnyadimaksudkan untuk menyebarluaskan
makalah kebijakan yang ia buat, baik melalui media cetak maupun media
lainnya (radio, TV, public hearing, kampanye, testimoni, seminar, dan
sebagainya)..
BAB VII
DAMPAK SOSIAL KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Saat ini, lebih dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia hidup
di bawah garis kemiskinan. Selain kemiskinan, Indonesia juga masih d ililit
problema pengangguran yang mencapai 38,3 juta jiw a angkatan kerja.
Sebanyak 30,2 juta jiw a di antaranya adalah pengangguran terbuka yang
mencapai 78,85 persen (Republika, 21 Agustus 2003). Pada tahun 2000,
jumlah anak rawan-terlantar di Indonesia adalah 10,1 juta anak. Dalam
laporannya, A Country Strategy for Children and Women, 2001-2005,
pemerintah Indonesia dan UNICEF memperkirakan jumlah pekerja anak
sebesar 1,8 juta dan anak yang terlibat pelacuran sebanyak 40.000-70.000
jiwa (Suharto, 2003a).

Komersialisasi Pendidikan
Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia
memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggungjawab
pemerintah, kemudian diserahkan kepada pihak swasta. Motif utama pihak
swasta adalah mencari keuntungan. Karenanya, mereka seringkali menyulap
pendidikan menjadi lahan bisnisdan investasi. Pendidikan menjadi "barang"
mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah.
Biaya pendidikan, mulai dari tingkatdasar sampai PT, semakin tinggi
dan cenderungtidakterkendali. Di Jakarta dan Tangerang, misalnya, biaya
masuk SD negeri tertentu adalah sekitar Rp.600.000 - Rp.1,1 juta per
murid. Sedangkan untuk tingkat SLTP dan SLTA negeri di atas Rp.2 juta
per murid. Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk buku pelajaran,
uang seragam, lencana, dan pakaian olah raga yang jumlahnya bervariasi
(Fauzi, 2002). Sejalan dengan perubahan status menjadi Badan Hukum
M ilik Negara (BHMN), sejumlah PTN juga berlomba membuka jalur
khusus penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp.1 5 juta
sampai Rp. 150 juta.

Mengapa Komersialisasi Pendidikan


Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besaranggaran pendidikan
yangdialokasikan dari pengeluaran pemerintah {government expenditures)
secara total (Ranis dan Stewart, 1999; Suharto, 2003b). Seperti diperlihatkan
Tabel 1, pada periode 1990-1995, misalnya, Indonesia adalah negara
yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3 persen
dari GDP, jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan
(17,0). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yangdialokasikan untuk
anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5 persen, dibandingkan Thailand
(19,8%) dan Korea Selatan (17,7).
Dampak Sosial
Lemahnya perangkat kebijakan dan penegakan hukum dapat mendistorsi
swastanisasi pendidikan yang sebelumnya bertujuan mulia. Privatisasi
pendidikan juga dapat membawa dampak sosial yang tidak diharapkan
jika tidak disertai aturan main yang jelas dan etika sosial yang benar.

1) Pendidikan menjadi mahal.

2) Cap dalam kualitas pendidikan

3) Diskriminasi

4) Stigmatisasi

5). Perubahan misi pendidikan

6) Memacu konsumerisme dan gaya hidup "besar pasak daripada tiang".


Banyak anak-anak sekolah gedongan yang membawa mobil mahal
(miiik orang tuanya) ke sekolah

7) Memperburuk kualitas SDM dan kepemimpinan masa depan

8) Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan oleh pendidikan.


Secara sederhana,
BAB VIII
KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN MODAL
KEDAMAIAN SOSIAL

Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga


Rote mengguratkan ribuan pulau yang berserak dan ratusan bahasa serta
kebudayaan yang beragam. Apakah konflik sosial yang seringkali terjadi di
Indonesia terjadi karena keberagaman ini? Bersandar pada pcndekatan
pluralisme budaya dari pekerjaan sosial, makalah ini berargumen bahwa
jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya dap'at menjadi benih
konflik social

Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural


Konflik dapat diartikan sebagai benturan atau perseteruan yang terjadi
antara dua pihak atau lebih sebagai akibat adanya perbedaan nilai, status,
kekuasaan, dan keterbatasan sumberdaya (Prasodjo dan Tonny, 2003).
Konflik cenderung diartikan negatif sebagai lawan kata dari kerjasama,
harmoni dan perdamaian. Konflik sering pula diidentikan dengan kekerasan
atau peperangan yang berdarah-darah. Padahal konflik merupakan
keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses pemenuhan kebutuhan
komunitas dan perubahan sosial. Konflik selalu terjadi dalam setiap
komunitas karena perbedaan nilai, status, kekuasaan dan keterbatasan
sumberdaya senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam
masyarakat multikultural.

Dalam masyarakat multikultural, konflik tidak perlu dihindari atau


disembunyikan. Melainkan diakui keberadaannya, lantas dikelola atau
diubah menjadi "energi positif" bagi perubahan sosial yang dinamis dan
maju. Yang terpenting adalah masyarakat multikultural memiliki dan
menyepakati nilai-nilai multikulturalisme. Multikulturalisme adalah ideyang
menekankan pentingnya saling penghormatan antara berbagai kelompok
masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda; penghormatan yang
memungkinkan setiap kelompok, termasuk kelompok minoritas, untuk
mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka buruk
dan permusuhan (DuBois dan Miley, 1992)

Penyebab Konflik Sosial


Ada pendapat bahwa konflik sosial sangatdipengaruhi oleh naluri nativistik
yang ada pada manusia. Artinya, dalam diri manusia telah ada dorongan
yang bersifat naluriah untuk berkonflik. Menurut pendapat ini, manusia
memiliki dorongan untuk menyerang dan menguasai orang lain. Konsep
nativistik dapat ditinjau dari perspektif teori nature maupun nurture (lihat
Budiman, 1982). Menurut teori nature (alam), dorongan biologis merupakan
faktor pendorong perilaku manusia. Misalnya, secara naluriah,
222MembangunMasyarakatMemberdayakanRakyat
memiliki dorongan positif dan negatif dalan, berinteraksi dengan sesamanya
yangdapat mengarah pada kerjasama atau konflik

Konflik sosial sesungguhnya tidak hanya terjadi karena naluri nativistik,


baik berdasarkan perspektif nature maupun nurture. Melainkan, terjadi
karena adanya ketimpangan sosial luar biasa akibat peminggiran.
Peminggiran budaya dapat terjadi secara etnis (dominasi suku mayoritas
terhadapsuku minoritas), maupun secara kelas sosial (dominasi kelompok
kaya terhadap kaum miskin) Di Indonesia, kelas sosial yang kuat yang
memiliki multi power mendominasi hampir semua relung kehidupan.

Konflik Sosial dan Modal Kedamaian Sosial


Modal kedamaian sosial sangat berkaitan dengan konflik. Indonesia adalah
negara yang memiliki modal kedamaian sosial rendah. Akibatnya, salah
satu negara yang saat ini paling tidak menikmati perdamaian adalah Indonesia
(Salusu, 2000:120). Konflik sosial yang berkepanjangan yang terjadi
di Kalimantan, Ambon dan Poso, serta aksi-aksi teorisme yang melanda
Jakarta, Bandung dan terakhir di Bali adalah beberapa kasus yang
menunjukkan rendahnya modal kedamaian sosiasumber utama

terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial,

adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tiadanya


penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan
dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan akhiran
"ism": racism, elitism, sexism, ageism, dan handicapism.l.

1. Racism. Rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan


dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya.

2. Elitism. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap


strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi

3 S e x i sm . Isme ini merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu


memiliki kelebihan atas jenis kelamin lainnya
4. Ageism. Usiaisme menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses
ketuaan.
5. Handicapism. Prasangka atau sikap-sikap negatif terhadap orangyang
memiliki kecacatan adalah manifestasi dari handicapism atau cacatisme.

Potensi dan Hambatan

Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang selaras dengan E Pluribus Unum


Amerika Serikat, jelas merupakan potensi dasaryang hams terus diperkokoh.
Ke-Bhinekaan merupakan eksplisitas kemasyarakatan (das Sein) dari
pluralisme Indonesia. Ke-Tunggal Ikaan adalah wujud dari abstraksi budaya
(das Sollen) dalam mencapai cita-cita negara bangsa. Semakin meluasnya
Bab17-Kon.l.kSos.al,MasyarakatMult,kultural&ModalKe
oama.anSos.al231
penerimaan masyarakat Indonesia terhadap nilai-nilai universal seperti
HAM dan demokrasi juga merupakan potensi yang aka„ memperkuat
pengembangan masyarakat multikultural. Pemilu yangcukup demokratis
dan pemilihan langsung presiden dan wakilnya menumbuhkan harapan
lahirnya pemimpin nasional yang iebih kuat secara politik dan bertanggungjawab
terhadap rakyat banyak. Kearifan lokal yang tumbuh dan
berkembang pada berbagai etnis merupakan guideline bagi masyarakat
setempat dalam berinteraksi dan memaknai kehidupan bermasyarakat yang
heterogen. Kearifan lokal sesungguhnya dapat menjadi modal kedamaian
sosial (Wardhana dan Probokusumo,
BAB IX
GLOBALISASI PERMASALAHAN DAN PENANGANANNYA

Bab ini mengkaji pembangunan kesejahteraan sosial (PKS) dan peran


pekerjaan sosial dalam konteks globalisasi dan permasalahan sosial yang
d itim bulkann ya. Dengan menempatkan globalisasi sebagai muara
permasalahan sosial, peran pekerjaan sosial (social work) dalam arena
pembangunan kesejahteraan sosial pada skala nasional dan internasional
menjadi mudah dipetakan. Selain itu, pandangan ini sejalan dengan
paradigma bam pekerjaan sosial yang memandang bahwa respon pekerja
sosial tidak lagi harus bersifat reaktif-simptomatif yang hanya berperan
sebagai "tukang sapu" sampah sosial. Melainkan, harus pula terlibat dalam
perancangan kebijakan sosial strategis menghadapi perubahan sosial yang
terjadi dalam matra globa

Globalisasi dan Permasalahannya


Sejalan dengan hadirnya era milenium baru, perubahan sosial berlangsung
secara cepat dan massif, menyentuh setiap sisi kehidupan umat manusia
di belahan bumi manapun. Berakhirnya Perang Dingin (The Cold War)
ditandai dengan berakhirnya era konflik ideologis yang telah sekian lama
membagi dunia ke dalam dua kubu yang berlawanan. Kemenangan

demokrasi atas totalitarianisme serta keunggulan kapitalisme atas sosialisme


telah menawarkan peningkatan interaksi dan kolaborasi antar peradaban
yang kemudian memperkuat hegemoni globalisasil

Tulisan ini bersandar pada argumen pokok sebagai berikut: globalisasi


ekonomi adalah ibarat pedang bermata dua; mata yang satu menorehkan
kemakmuran ekonomi, sementara mata yang lainnya menggoreskan lukaluka
kemanusiaan. Transformasi global ini kemudian mengguratkan
tantangan sekaligus kesempatan pada para pekerja sosial, tidak hanya
dalam skala nasional, melainkan pula pada aras internasional. Realitas
baru yang terbentang memberi pesan jelas bahwa globalisasi menuntut
re d e fin is i dan reposisi peran peke rjaan sosial serta p embangunan
kesejahteraan sosial di Tanah A ir yang berdimensi internasional.

G lo b a lis a s i sering d ip a h am i sebagai proses in te rn a s io n a lisa s i


perekonomian yangditandai dengan semakin terbukanya perdagangan dan
peredaran uang antar negara. Dalam bahasa Ramesh Mishra (1999:3-4),
" G lo b a liza tio n refers to a process through w h ich n atio na l economies are
b ecomin g more open and thus more subject to supranational e con om ic
influences and less amenable to n atio na l c o n t r o l" Globalisasi dibentuk
oleh p o litik dan ideologi neoliberalisme. Sehingga dalam kenyataannya,
antara g lo ba lism e dan n eo lib eralism e adalah dw itu n g g a l yang su lit
dipisahkan. Neoliberalisme sendiri berakar pada ekonomi neo-klasik. Dua
tokoh utama pemikiran ini adalah Frederick von Hayek dan muridnya
M ilto n Friedman. Inti ajarannya menekankan pentingnya kebebasan,
khususnya kebebasan e konom i dari camp ur tangan negara. Negara
d ip a n d a n g sebagai p e n g h am b a t meka nism e pasar dan karenanya
mengganggu pertumbuhan ekon omi. Dengan kata lain, neoliberalisme
sangat anti terhadap welfare state dan developmental state (Mishra, 1999;
Suharto, 2001a, 2001b, 2002).

K em a km u ran v e r su s K e se n g s a ra a n
Dengan dukungan neoliberalisme, kekuatan globalisasi tidak ada yang
meragukan. Bermula dari sekte kecil di Universitas Chicago, hembusan
globalisasi kini menguasai jaringan internasional, lembaga penelitian, pers,
dan penerbitan. Sebagian besar ilmuwa n dan kepala pemerintahan akan
merasa "rendah d iri" kalau tidak mengutip doktrin-doktrin neoliberalisme.
TINA (There Is N o Alternative) adalah jargonnya yang begitu membahana
mengisi setiap relung pemikiran ekonom dan ilm uw a n sosial. Seakan2
40MembangunMasvarakatMemberdayakanRakyat
akan, pembangunan dunia ini tidak memiliki alternatif lain, selain mengikuti
pendekatan neoliberalisme. Dalamtataran pral<tis, hampir tidak ada satupun
negara di dunia ini yang bebas dari Coca-cola, M cD o n a ld , KFC, dan
Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem
ekonomi abad 21 (Suharto, 2002).

Namun di b a lik itu, globalisasi juga telah membawa penderitaan


baru bagi dunia. Potret kemajuan di atas ternyata sebagian besar hanya
dialami oleh negara-negara maju. Sedangkan kondisi kehidupan di negaranegara
berkembang masih tetap atau bahkan semakin terbelakang. Seperti
dilaporkan U N D P (2002:13), "But in a g lo b a liz in g w o rld the increasing
interconnectedness o f nations and peoples has made the differences between
them more g la rin g ." Penemuan teknologi baru dan peningkatan
integrasi ekonomi telah membuka kesempatan ekonomi global yang luar
biasa. Tetapi di balik kemakmuran yang umumnya dialami negara-negara
maju itu, k in i masih te rd apat 2,8 m ily a r orang yang h id u p dengan
pendapatan kurang dari 2 d o lla r AS per hari. Seorang gadis yang lahir di
Jepang saat ini m em ilik i 50 persen kemungkinan untuk menatap abad ke-
22, sedangkan 1 dari 4 bayi yang baru lahir di Afghanistan kemungkinan
besar tidak akan pernah merayakan ulang tahunnya yang ke-5 (UNDP,
2002:1-1 3). U N DP (2002:13) menambahkan:

B a h a y a G lo b a lis a s i
Pertanyaannya, mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana?
Sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa globalisasi dapat membawa
malapetaka bagi dunia.

Pertama, globalisasi didasari ideologi free m arket fundamentalism yang


patuh pada mitos " the inv is ible h an d" dan antipati terhadap peran negara
(Stiglitz, 2003). Diyakini bahwa kalau pemerintah mengeliminasi intervensi
ekonominya (subsidi, proteksi, kepemilikan), maka pasar privat dapat
menjalankan perannya lebih efisien yang pada gilirannya mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme "efek
rembesan ke b aw ah " (tric k le d ow n effect). Kenyataannya, "tangan tak
kelihatan" itu tidak mampu mengatur pasar secara sempurna, utamanya di
negara-negara berkembang, karena ketidaksempurnaan informasi dan
ketidaklengkapan pasar

Kedua, globalisasi memperkokoh hegemoni perusahaan-perusahaan


multinasional atau transnasional (MNCsATNCs). Di balik kedok globalisasi,
bersembunyi wajah neoliberalisme, dan di belakang neoliberalisme berjajar
MNC yang memiliki kepentingan menguasai ekonomi dunia

Ketiga, bahaya globalisasi tidak hanya disebabkan oleh saratnya muatan


ideologi neoliberalisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia
disokong oleh tiga lembaga internasional penting: Bank Dunia, International
Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang
sanggup mencengkram dunia

Peran Pekeijaan Sosial


Pekerjaan sosial sebagai profesi kemanusiaan yangdigerakkan oleh ilmu,
teknologi dan etika pertolongan harus menyadari bahwa globalisasi adalah
keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya. Namun,
karena globalisasi ini tidak bebas nilai, ia memuat hidden agenda yang
dapat membahayakan kehidupan umat manusia. Pekerja sosial perlu
waspada terhadap isu-isu yang ditawarkan globalisasi. Isu-isu seperti
liberalisasi perdagangan, investasi dunia

Tugas Pekerja Sosial


Misi dan tugas apa saja yang dapat dilakukan pekerja sosial menghadapi
globalisasi dan permasalahan sosial global ini? Kerangka peran dan tugas
pekerjaan sosial dalam konteks penanganan persoalan sosial global pada
dasarnya bisa dibagi menjad dua yaitu peranan langsung dan peranan
tidak langsung. Gambar 18.2 menggambarkan model peran pekerja sosial
dalam menangani permasalahan sosial global.

Strategi Penanganan
Pekerjaan sosial adalah salah satu dari banysk pom^jpi y^ng m em ilik i
tugas merespon realitas dan konsekuensi sosial globalisasi. 5/cope kemiskinan
global dan intensitas konflik etnis memerlukan respon ekonomi dan
p o litikd a ri negara-negara dan organisasi-orgaisasi internasional. Tantangan
global mengharuskan tindakan pada berbagai tingkatan dan melibatkan
berbagai profesi. Namun demikian, masalah-masalah global secara langsung
berkaitan dengan komitmen dan keahlian pe kerjaan sosia
Hambatan
Meskipun pekerjaan sosial secara jelas m em ilik i peran penting dalam
menangani masalah sosial global, masih terdapat beberapa hambatan yang
menghadang pelaksanaan peran tersebut secara efektif (Hokenstad, Khinduka
dan M id g le y , 1992). Rendahnya status profesional dan sumberdaya
mempengaruhi para pekerja sosial di banyak negara dan membatasi
kapasitas mereka dalam memecahkan permasalahan sosial. Di beberapa
negara, para pekerja sosial terlibat dalam memperjuangkan keadilan sosial,
tetapi mereka seringkali berhadapan dengan tekanan p olitik dan m£ngalami
resiko pribadi. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan struktur
pelayanan sosial seringkali membatasi, ketimbang memperluas peranan
pekerja sosial.l.
Semua rintangan tersebut hanya dapatdihadapi dengan baikoleh pekerja
sosial sendiri. "Social w ork remains a creature o f its ow n destiny", begitu
kata Hokenstad dan Midgley (1997:3). Status profesional ditentukan oleh
tingkat pendidikan para pekerja sosial. Pengaruh p olitik dapat ditingkatkan
melalui keahlian dan organisasi yangtepat. Apresiasi masyarakatterhadap
kontribusi pekerjaan sosial sangattergantung pada bagaimana para pekerja
sosial mampu mendefinisikan dan menentukan prioritas-prioritas serta pilihanpilihan
bidang praktik.

Anda mungkin juga menyukai