BAB 10
KEMISKINAN
3. Kemiskinan sosial.
4. Kemiskinan konsekuensial
Paradigma Kemiskinan
Teori Neo-liberal
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas
Hobbes, John Lock dan John Stuart M ill. Intinya menyerukan bahwa
komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu.
Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of
Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944),
dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas
Teori D em o k ra s i-s o s ia l
K eyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan
pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu
mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum
demokrasi-sosial. Teori demokrasi-sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah
persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh
adanya ketidakad ilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumbersumber
kemasyarakatan
p e rm a s a la h a n An a k
Model Pertolongan
Pekerjaan sosial adalah profesi yang senantiasa menempatkan sasaran
pelayanan (klien) dalam konteks situasi dan lingkungannya (person-insituation
dan person-in-environment). Oleh karena itu, model pelayanan
sosial bagi anak secara umum meliputi tiga aras, mikro, messo, dan messo
seperti diperlihatkan Tabel 11.2 (lihat Suharto, 1997:327-330). Misalny^"
pada model pelayanan mikro, anak dijadikan sasaran utama pelayanan.
Anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisik segera diberikan pertolongan
v v - n iL D A B U S E ) 1 6 3
164MembangunMasyarakatmemberdayakankakyat
y mg bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam keadaan
yangsangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluargadan lingkungan
yang mengancam kehidupannya.
Sistem pelayanan yang diberikan, baik model A, B, maupun C, dapat
berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak yang mengalami masalah
ditempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau
rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu.
Bila pelayanan bersifat non-kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan
diberikan di keluarga atau komunitas di mana anak menetap. Di sini anak
juga dapat diberikan dukungan sosial. Cameron dan Vanderwoerd
(1997:19) mengklasifikasikan dukungan sosial (social support) ke dalam 4
kategori: (a) concrete support: pemberian uang, barang, pakaian,
akomodasi, transportasi yang dapat membantu atau meringankan beban
klien atau pelaksanaan tugas-tugas klien terutama pada saat krisi, (b) educational
support: pemberian informasi, pengetahuan dan keterampilan
sehingga klien mampu menangani masalah, (c) emotional support:
pemberian dukungan interpersonal, penerimaan, kehangatan, dan
pengertian pada saat klien menghadapi kejadian-kejadian yang menekan
(stress and shocks), dan (d) social integration: pemberian akses terhadap
atau kontak positif dengan jaringan sosial yang bermanfaat bagi pelaksanaan
peran klien, termasuk sense of affiliation and personal validation dari klien
tersebut.
program Konseling
Sebagai contoh, bagian ini akan membahas program terapi untuk anak
yang m e n g a la m i sexual abuse. Program konseling untuk kategori ini cukup
bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitifnya. Perlu dicatat
bahwa bantuan pekerja sosial dalam kontek child abuse tidak terbatas
hanya pada korban saja, melainkan juga pada pelakunya. beberapa
model program konseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami
sexual abuse:
1) The dynamics o f sexual abuse. Konseling difokus kan pada
pengembangan konsepsi bahwa kejadian sexual abuse, termasuk
kesalahan dan tanggungjawabnya
Pemberdayaan Keluarga *■
Aliansi Strategis
Tugas Aliansi
Waspada
Aliansi dapat menjadi wahana strategis dalam mencapai agenda dan tujuan
tertentu. Akan tetapi, aliansi bukanlah sebuah kumpulan dan gerakan
yang hampa dari berbagai resiko (lihat Topatimasang et.al., 2000:28).
Karenanya, anggota-anggota aliansi harus tetap memiliki kewaspadaan
terha
BAB IV
Pekeija Migran
Per definisi, pekerja migran (migrant workers) adalah orang yang bermigrasi
dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat
yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran
mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran
internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan
177
pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Pekerja
migran in te rn a l (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat
asalnya u n tu k bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah
Indonesia.
Penanganan
Sejarah
Seperti diungkapkan Freud di awal tulisan, fokus profesi pekerjaan sosial
sejatinya harus menyentuh dunia kerja, karena ia memberi sebuah tempat
aman bagi seseorang dalam realitas sebuah komunitas manusia (human
community). Pada tahun 1975, salah seorang pioneer pekerjaan sosial,
Bertha Reynolds, memberi komentar atas pendapat Freud yang dikemukakan
tahun 1930 itu. Menurut Reynolds, "tempat kerja yang merupakan sebuah
persimpangan kehidupan (the crossroads of life) seringkali diabaikan sebagai
sebuah komunitas manusia."
Pernyataan Reynolds tidak lagi berlaku sekarang ini. Dewasa ini kita
telah menyaksikan peningkatan yang luar biasa dalam hal perhatian dan
kehadiran profesi pekerjaan sosiai di dunia kerja. Semenjak tahun 1970-
an, pekerjaan sosial telah menemukan bahwa tempat kerja bukanlah untuk
bekerja saja, tetapi merupakan sebuah tempat yang penting dan unik di
mana para pegawainya perlu diberi informasi mengenai pelayananpelayanan
yang tidak selalu terkait dengan pekerjaan. Tempat kerja juga
merupakan tempat di mana diagnosis aktual mengenai kebutuhan dan
Bentuk-bentuk Program dan Lembaga Naungan
Konselor
Sebagai konselor, PSI memberikan asesmen dan konseling terhadap individu,
keluarga atau kelompok
Konfrontator Konstruktif
Ini merupakan peranan unik yang biasanya dilakukan untuk membantu
individu yang mengalami kecanduan obat atau alkohol. Para pecandu
obat atau alkohol seringkali menyangkal perbuatannya. Karenanya,
penerapan konseling secara biasa tidak akan mampu memecahkan masalah
jni secara efektif. Diperlukan pendekatan konfrontatif yang secara khusus
dikembangkan untuk menghadapi kenyataan ini. Misalnya, pekerja sosial
memanggil supervisor, perwakilan serikat buruh, dan anggota keluarga
pecandu tersebut untuk bersama-sama menghadapi si pecandu itu sambil
membeberkan berbagai masalah yangdiakibatkannya secara komprehensif.
Broker
Ketika menjalankan peranan broker, pekerja sosial menghubungkan pegawai
yang dibantunya dengan sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar
perusahaan. Sebagai contoh, dalam membantu pegawai yang mengalami
kecanduan alkohol, pekerja sosial memberikan referal (rujukan) kepada
lembaga rehabilitasi alkohol, kepada bagian medis perusahaan atau kepada
LSM atau kelompok kemasyarakatan yang menangani permasalahan ini.
Pembela
Sebagai pembela, pekerja sosial membantu pegawai memperoleh pelayanan
dan sumber yang karena sesuatu sebab tidak bisa diperolehnya sendiri.
Dipinjam dari profesi di bidang hukum, peranan ini memerlukan tugas dan
kegiatan yang sangatdinamis dan aktif
Mediator
Tugas utama pekerja sosial dalam menjalankan peran ini adalah
menjembatani konflik antara dua atau lebih individu atau sistem serta
memberikan jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak berdasarkan
prinsip "menang-menang" (win-wiri solution).
Saat ini, lebih dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia hidup
di bawah garis kemiskinan. Selain kemiskinan, Indonesia juga masih d ililit
problema pengangguran yang mencapai 38,3 juta jiw a angkatan kerja.
Sebanyak 30,2 juta jiw a di antaranya adalah pengangguran terbuka yang
mencapai 78,85 persen (Republika, 21 Agustus 2003). Pada tahun 2000,
jumlah anak rawan-terlantar di Indonesia adalah 10,1 juta anak. Dalam
laporannya, A Country Strategy for Children and Women, 2001-2005,
pemerintah Indonesia dan UNICEF memperkirakan jumlah pekerja anak
sebesar 1,8 juta dan anak yang terlibat pelacuran sebanyak 40.000-70.000
jiwa (Suharto, 2003a).
Komersialisasi Pendidikan
Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia
memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggungjawab
pemerintah, kemudian diserahkan kepada pihak swasta. Motif utama pihak
swasta adalah mencari keuntungan. Karenanya, mereka seringkali menyulap
pendidikan menjadi lahan bisnisdan investasi. Pendidikan menjadi "barang"
mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah.
Biaya pendidikan, mulai dari tingkatdasar sampai PT, semakin tinggi
dan cenderungtidakterkendali. Di Jakarta dan Tangerang, misalnya, biaya
masuk SD negeri tertentu adalah sekitar Rp.600.000 - Rp.1,1 juta per
murid. Sedangkan untuk tingkat SLTP dan SLTA negeri di atas Rp.2 juta
per murid. Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk buku pelajaran,
uang seragam, lencana, dan pakaian olah raga yang jumlahnya bervariasi
(Fauzi, 2002). Sejalan dengan perubahan status menjadi Badan Hukum
M ilik Negara (BHMN), sejumlah PTN juga berlomba membuka jalur
khusus penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp.1 5 juta
sampai Rp. 150 juta.
3) Diskriminasi
4) Stigmatisasi
K em a km u ran v e r su s K e se n g s a ra a n
Dengan dukungan neoliberalisme, kekuatan globalisasi tidak ada yang
meragukan. Bermula dari sekte kecil di Universitas Chicago, hembusan
globalisasi kini menguasai jaringan internasional, lembaga penelitian, pers,
dan penerbitan. Sebagian besar ilmuwa n dan kepala pemerintahan akan
merasa "rendah d iri" kalau tidak mengutip doktrin-doktrin neoliberalisme.
TINA (There Is N o Alternative) adalah jargonnya yang begitu membahana
mengisi setiap relung pemikiran ekonom dan ilm uw a n sosial. Seakan2
40MembangunMasvarakatMemberdayakanRakyat
akan, pembangunan dunia ini tidak memiliki alternatif lain, selain mengikuti
pendekatan neoliberalisme. Dalamtataran pral<tis, hampir tidak ada satupun
negara di dunia ini yang bebas dari Coca-cola, M cD o n a ld , KFC, dan
Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem
ekonomi abad 21 (Suharto, 2002).
B a h a y a G lo b a lis a s i
Pertanyaannya, mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana?
Sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa globalisasi dapat membawa
malapetaka bagi dunia.
Strategi Penanganan
Pekerjaan sosial adalah salah satu dari banysk pom^jpi y^ng m em ilik i
tugas merespon realitas dan konsekuensi sosial globalisasi. 5/cope kemiskinan
global dan intensitas konflik etnis memerlukan respon ekonomi dan
p o litikd a ri negara-negara dan organisasi-orgaisasi internasional. Tantangan
global mengharuskan tindakan pada berbagai tingkatan dan melibatkan
berbagai profesi. Namun demikian, masalah-masalah global secara langsung
berkaitan dengan komitmen dan keahlian pe kerjaan sosia
Hambatan
Meskipun pekerjaan sosial secara jelas m em ilik i peran penting dalam
menangani masalah sosial global, masih terdapat beberapa hambatan yang
menghadang pelaksanaan peran tersebut secara efektif (Hokenstad, Khinduka
dan M id g le y , 1992). Rendahnya status profesional dan sumberdaya
mempengaruhi para pekerja sosial di banyak negara dan membatasi
kapasitas mereka dalam memecahkan permasalahan sosial. Di beberapa
negara, para pekerja sosial terlibat dalam memperjuangkan keadilan sosial,
tetapi mereka seringkali berhadapan dengan tekanan p olitik dan m£ngalami
resiko pribadi. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan struktur
pelayanan sosial seringkali membatasi, ketimbang memperluas peranan
pekerja sosial.l.
Semua rintangan tersebut hanya dapatdihadapi dengan baikoleh pekerja
sosial sendiri. "Social w ork remains a creature o f its ow n destiny", begitu
kata Hokenstad dan Midgley (1997:3). Status profesional ditentukan oleh
tingkat pendidikan para pekerja sosial. Pengaruh p olitik dapat ditingkatkan
melalui keahlian dan organisasi yangtepat. Apresiasi masyarakatterhadap
kontribusi pekerjaan sosial sangattergantung pada bagaimana para pekerja
sosial mampu mendefinisikan dan menentukan prioritas-prioritas serta pilihanpilihan
bidang praktik.