Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Miskin dan kemiskinan adalah masalah yang sudah ada sejak lama, sejak ada
makhluk yang bernama manusia. Manusia memang merupakan makhluk yang spesial.
Manusia memiliki banyak kelebihan daripada makhluk lain; memiliki perasaan, fikiran,
dan agama. Dengan tiga hal ini, manusia membuat teknologi, peradaban, dan memoles
infrastruktur alam. Sejatinya, dengan semua kelebihan ini, manusia semakin makmur,
namun ternyata satu sifat dari manusia yang sama dengan sifat hewan juga turut andil,
yaitu nafsu. Hal ini yang memicu munculnya pihak yang sangat kaya dan pihak lain yang
sangat miskin.

Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki


oleh si miskin atau penduduk pada umumnya yang ditandai oleh rendahnya tingkat
pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraan
sehingga menunjukan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan disebabkan oleh
terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki dan dimanfaatkan terutama dari tingkat
pendidikan formal maupun non formal dan membawa konsekuensi terhadap pendidikan
informal yang rendah.

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat
manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah banyak, dan
tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Hingga saat ini belum
ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling
jitu dan sempurna. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun
formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan
relevan, pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus
diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti sehingga kemiskinan tidak lagi
menjadi masalah dalam kehidupan manusia. Tidak ada konsep tunggal tentang
kemiskinan.

Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia
dan di berbagai negara di dunia diperlukan adanya kajian konsep atau kajian teori yang
lebih mendalam. Dengan mengetahui dan memahami teori-teori kemiskinan maka

1
diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyusun sebuah kebijakan pengentasan
kemiskinan yang sesuai dengan keadaan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diambil rumusan masalah,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana paradigma kemiskinan ?
2. Bagaimana perubahan paradigma kemiskinan?
3. Apa saja teori yang termasuk ke dalam paradigma lama dan paradigma baru ?
C. Tujuan Penulisan
Didasarkan pada rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan dari
penulisan ini adalah untuk :
1. Mengetahui paradigma kemiskinan
2. Mengetahui perubahan paradigma kemiskinan
3. Mengetahui teori yang termasuk ke dalam paradigma lama dan paradigma baru

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Kemiskinan

Kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak zaman dahulu.
Namun, hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan penanganan kemiskinan yang
dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan.
Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Secara garis besar
menunjukkan dua paradigma atau teori besar mengenai kemiskinan yakni paradigma neo-
liberal dan demokrasi-sosial. Di dalam buku Edi Suharto disebutkan bahwa dua paradigma
atau pandangan ini kemudian menjadi landasan dalam menganalisis kemiskinan maupun
merumuskan kebijakan dan program-program anti kemiskinan.

1. Teori Neo-Liberal
Teori neo-liberal berakar pada karya politik yang ditulis oleh Thomas Hobbes,
John Lock dan John Stuart Mill. Intinya menyerukan bahwa komponen penting dari
sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya
monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776) dan Frederick Hayek, The
Road to Serfdom (1994) dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang
mengedepankan asas laissez faire yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72)
disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan
“the almost complete absence of state’s intervention in the economy”.
Para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/ atau pilihan-
pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika
kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat
“residual”, sementara dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya
atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam”
yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembagan diatas tidak mampu
menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave,
1998). Penerapan program-program structural adjusment, seperti program jaringan
pengaman sosial (JPS) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,

3
sesungguhnya merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam
penanggulangan kemiskinan ini.

2. Teori Demokrasi-Sosial
Kaum demokrasi-sosial mengkritik adanya keyakinan yang berlebihan terhadap
keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap
akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Berpijak pada analisis
Karl Marx dan Frederick Engels, pendukung demokrasi-sosial menyatakan bahwa “a
free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and
exploitation...a society is just when people’s needs are met, and when inequality and
exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan
Belgrave, 1998: 91 dan 97).
Teori demokrasi-sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan
individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan
dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu
terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-
prinsip ekonomi campuran (Mixed economy) dan “ekonomi manajemen-permintaan”
(demand-management economics) gaya Keynesian yang muncul sebagai jawaban
terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an.
Pendukung demokrasi-sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat
penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan.
Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau
mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan
pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar;
melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan. Dengan kata lain kebebasan
berarti memiliki kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya,
kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini,
kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemmapuan membaca, menulis dan
berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap
orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang
memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihanny dan memenuhi kebutuhannya.
Menyerahkan sepenuhnya penanganan kemiskinan kepada masyarakat dan LSM bukan
saja tidak akan efektif, melainkan pula mengingkari kewajiban negara dalam
melindungi warganya.

4
Menurut pandangan demokrasi-sosial, strategi kemiskinan haruslah bersifat
institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang
dianut di AS, Eropa Barat dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang
diwarnai oleh Teori demokrasi-sosial. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian
tunjangan pendapatan atau dana pensiun misalnya, dapat meningkatkan kebebasan
karena dapat menyediakan penghasilan dasar dimana orang akan memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya
ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency)
karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan bahwa kaum neo-liberal memandang strategi penanganan
kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan
menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung demokrasi-sosial meyakini
bahwa penanganan kemiskinan yang bersifat residual, berorientasi proyek jangka
pendek, justru merupakan strategi yang hanya mengahbiskan dana saja karena efeknya
juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila
kaum neo-liberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum
demokrasi-sosial justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang
mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan
bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya.
Tabel 2.1 : Teori Neo-liberal dan Demokrasi-sosial tentang Kemiskinan

PARADIGMA Neo-Liberal Demokrasi-Sosial


Landasan Teori Individual Srruktural
Konsepsi dan Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif
Indikator Kemiskina
Penyebab Kemiskinan Kelemahan dan pilihan- Ketimpangan struktur
pilihan individu; lemahnya ekonomi dan politik;
pengaturan pendapatan; ketidakadilan sosial
lemahnya kepribadian (malas,
pasrah, bodoh)
Strategi - Penyaluran pendapatan - Penyaluran pendapatan
Penanggulangan terhadap orang miskin dasar secara universal
Kemiskinan secara selektif. - Perubahan fundamental
- Memberi pelatihan dalam pola-pola

5
keterampilan pengelolaan pendistribusian pendapatan
keuangan melalui inisiatif melalui intervensi negara
masyarakat dan LSM dan kebijakan sosial
Sumber : dikembangkan dari Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998: 176)

B. Perubahan Paradigma
Kemiskinan merupakan masalah yang senantiasa aktual, pengkajian konsep
kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang
tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.
Upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak untuk dikaji. Beberapa alasan
yang mendasari pendapat ini yang mendasari sebuah perubahan paradigma, antara lain:
1) Konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan
pendapatan” atau “income poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik
oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan
potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah
ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
2) Jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik
secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan. Meskipun Indonesia
pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang sukses dalam mengentaskan
kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Indonesia
karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun
semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakat akibat
terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.
3) Kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (multiplier effects)
terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di
Indonesia yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya menunjukkan bahwa
ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata mempengaruhi ketahanan
ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat dan ketahanan
nasional. Banyak studi yang menunjukkan bahwa kemiskinan juga merupakan muara
dari masalah sosial lainnya.

Menurut Hardiman dan Midgley (1982) dan Jones (1990), pekerjaan sosial di Dunia
Ketiga seharusnya lebih memfokuskan pada penanganan masalah sosial yang bersifat

6
makro, seperti kemiskinan. Karena merupakan masalah dominan yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang. Sayangnya, dalam perancangan kebijakan dan program anti
kemiskinan para pekerja sosial di Indonesia masih belum mampu memberikan kontribusi.
Khususnya dalam merumuskan konsep dan indikator kemiskinan yang genuine dan sesuai
dengan paradigma pekerjaan sosial.

1. Paradigma Lama
Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada
paradigma neo-liberal yang dimotori oelh Bank Dunia dan didasari oleh teori-teori
modernisasi yang sangat mengagungkan pertumbuhan ekonomi dan produksi (the
production-centred model) (Suharto, 2002). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai
dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, para ilmu sosial selalu merujuk pada
pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran
kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang
menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan”.
Meskipun GNP dapat dijadikan ukuran untuk menelaah performa pembangunan
suatu negara, banyak ahli menunjukkan kelemahan pendekatan ini. Haq (1995) dalam
Edi Suharto (2010) menyatakan bahwa GNP merefleksikan harga-harga pasar dalam
bentuk nilai uang. Harga-harga tersebut mampu mencatat kekuatan ekonomi dan daya
beli dalam sistem tersebut. Namun demikian, harga-harga dan nilai uang tidak dapat
mencatat distribusi, karakter atau kualitas pertumbuhan ekonomi. GNP juga
mengesampingkan segala aktivitas yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti
pekerjaan rumah tangga, pertanian subsistem atau pelayanan-pelayanan yang tidak
dibayar. Dan yang lebih serius lagi, GNP memiliki dimensi tunggal dan karenanya ia
gagal menangkap aspek budaya, sosial, politik dan pilihan-pilihan yang dilakukan
manusia.
Seperti halnya GNP, pendekatan income poverty juga memiliki beberapa
kekurangan. Menurut Satterthwaite (1997) sedikitnya ada tiga kelemahan pendekatan
income poverty :
1) Kurang memberi perhatian pada dimensi sosial dan bentuk-bentuk kesengsaraan
orang miskin
2) Tidak mempertimbangkan keterlibatan orang miskin dalam menghadapi
kemiskinannya
3) Tidak menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan

7
Karena pendekatan GNP dan income poverty memiliki kelemahan dalam
memotret kemiskinan, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan
alternatif. Diantaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan
yang dikembangkan Sen (1973); Social Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan
Round (1977) dan Physical Quality of Life Index (PQLI) oleh Morris (1977). Dibawah
kepemimpinan ekonom asal pakistan, Mahbub Ul Haq pada tahun 1990-an UNDP
memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan
Manusia (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan
mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Berporos pada ide-ide
heterodox dari paradigma popular development, pendekatan ini memadukan model
kebutuhan dasar (basic needs model) yang digagas Paul Streeten dan konsep kapabilitas
(capability) yang dikembangkan Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen. Selain
teori neo-liberal, terdapat beberapa teori yang termasuk ke dalam paradigma lama ini,
antara lain:

a. Teori Development
Teori Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori
pembangunan terutama neo-liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan
pada persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Ada tiga asumsi dasar dari teori ini:
1) Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal,
kemampuan manajerial, dan prasarana yang diperlukan untuk peningkatan
ekonomi.
2) Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat
mengatasi masalah-masalah ketimpangan
3) Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya bila pasar diperluas sebesar-
besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Ketiga asumsi tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan yang terjadi bukanlah
persoalan budaya, sebagaimana anggapan teori marjinal melainkan adalah persoalan
ekonomi dan pembangunan.
b. Teori Artikulasi Moda Produksi
Teori ini adalah salah satu teori yang dikembangkan oleh Pierre Phillipe Rey,
Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran karya Karl Marx dan Frederic

8
Engels mengenai Moda Produksi (Mode of Production). Teori ini berasumsi bahwa
reproduksi kapitalisme di negara-negara miskin terjadi dalam suatu simultanitas
tunggal di mana pada sisi negara miskin terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda
produksi (moda produksi kapitalis dan pra-kapitalis). Koeksistensi dari kedua moda
produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses
bagi kelompok masyarakat miskin yang masih tetap berada dalam ranah moda
produksi pra-kapitalis.
Strategi penanganan kemiskinan yang ditawarkan oleh teori artikulasi moda
produksi dikenal dengan person in environtment dan person in situation yang
dianalogikan sebagai strategi ikan-kail memberikan keterampilan memancing,
menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh kelompok elit dalam
masyarakat, dan mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori artikulasi moda produksi melandasi dua macam pendekatan yaitu moderat
(pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial, program jaminan perlindungan
dan asuransi kesejahteraan sosial, program pemberdayaan masyarakat) dan radikal
(di dalam masyarakatlah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan
taraf hidup sebagian masyarakat tetap rendah sehingga kebijakan paling tepat
adalah reformasi dan transformasi).

2. Paradigma Baru
Paradigma kemiskinan terdahulu masih tetap menyimpan kelemahan.
Konsepsinya masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan individu dan kurang
memperhatikan kemiskinan struktural. Akibatnya, aspek aktor atau pelaku kemiskinan
serta sebab-sebab yang mempengaruhinya belum tersentuh secara memadai. Sistem
pengukuran dan indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan”
kemiskinan berdasarkan faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya
dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”: tidak memiliki pendapatan
tinggi, tidak terdidik, tidak sehat dan sebagainya. Metodanya masih berpijak pada
outcome indicators sehingga belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan
dinamika kemiskinan. Si miskin dilihat hanya sebagai “korban pasif” dan objek
penelitian. Bukan sebagai “manusia” (human being) yang memiliki “sesuatu” yang
dapat digunakannya baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-
usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri.

9
Kelemahan paradigma lama diatas menuntut perubahan pada fokus pengkajian
kemiskinan, khususnya menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran
kemiskinan. Paradigma demokrasi-sosial dapat dijadikan dasar dalam merumuskan
kembali konsep keberfungsian sosial sebagai paradigma baru yang lebih sejalan dengan
misi dan prinsip pekerjaan sosial.
Dalam paradigma baru ini selain teori demokrasi-sosial terdapat pula teori lain
yang juga ikut menyumbangkan konsepnya dalam pemahaman tentang kemiskina,
antara lain:
a. Teori Struktural
Menurut teori fungsional yang dinyatakan Geoge Ritzer (1985) bahwa semua
penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi
suatu faktor sosial terhadap faktor sosial. Sementara dalam teori yang sama Thomas
O’dea (1985) menyatakan bahwa teori fungsional adalah segala yang tidak
berfungsi akan lenyap dengan sendirinya misalnya agama yang sampai saat ini
masih ada dan memiliki fungsi serta memerankan sejumlah fungsinya.
Berangkat dari teori tersebut dapat dinyatakan bahwa kemiskinan salah satu
unsur dalam sistem sosial, artinya keberadaan orang miskin dapat menjaga
eksistensi dari unsur lain dalam suatu sistem, dengan perkataan lain bahwa
keberadaan orang miskin memperkuat posisi mereka sebagai orang kaya.
Kemiskinan akan tetap ada sampai fungsi kemiskinan itu hilang dalam sistem
sosial. Menurut Herbert Gans kemiskinan memiliki fungsi dalam suatu sistem.
Dalam sistem sosial di Amerika Gans melihat adanya lima belas fungsi dari
kemiskinan yang direduksi menjadi empat kriteria, masing-masing fungsi
kemiskinan meliputi: ekonomi, sosial, kultural dan politik. Sedangkan Zastrow
(2000) berpendapat bahwa sedikitnya terdapat dua belas fungsi kemiskinan bagi
kelompok kaya, yakni:
1) Kaum miskin bersedia melakukan pekerjaan yang tidak menyenangkan.
2) Kaum miskin dapat membantu kelompok kaya.
3) Kaum miskin membantu menciptakan lapangan pekerjaan.
4) Kaum miskin membeli kualitas makanan yang buruk dan tidak layak jual.
5) Kaum miskin melakukan hal-hal yang menyimpang yang membuat mayoritas
masyarakat mengerutkan kening sehingga memperkuat norma-norma yang
dominan dalam masyarakat.

10
6) Kaum miskin memberikan kesempatan bagi kelompok mampu lainnya untuk
mempraktikkan ‘tugas agama’ dalam membantu kelompok yang kurang
beruntung.
7) Kaum miskin memungkinkan mobilitas bagi kelompok lain karena kelompok
miskin telah dikeluarkan dari kompetisi untuk memperoleh pendidikan dan
pekerjaan yang lebih baik.
8) Kaum miskin memberikan kontribusi bagi kegiatan kebudayaan.
9) Kaum miskin menciptakan kesenian. Contoh musik reage, blues dll.
10) Kaum miskin berperan sebagai simbol perlawanan bagi kelompok politik
lainnya.
11) Kaum miskin dapat menyerap biaya perubahan (misalnya sebagai tingginya
tingkat pengangguran sebagai hasil peningkatan teknologi).
12) Kaum miskin secara psikologis membantu kelompok lain dalam masyarakat
untuk membuat mereka merasa baik.
Sejumlah fungsi-fungsi tersebut diatas menunjukkan kemiskinan merupakan
suatu aset bagi kelompok kaya yang menjadikan mereka sebagai sumber
keuntungan untuk terus memperkaya diri mereka dan memperkuat eksistensi
mereka. Menurut teori ini, jika ingin merubah keadaan, setidaknya kaum miskin
harus bersatu dan berjuang dalam merubah sistem dan struktur sosial yang ada. Ini
berarti bahwa kaum miskin harus siap menerima konsekuensi yang didapat dari
perjuangan itu.
Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem, dimana masing-masing sub
sistem saling ketergantungan dan mempunyai fungsi masing-masing. Teori ini
memandang kemiskinan sebagai akibat dari ketidakberfungsian ekonomi.
Perkembangan industrialisasi telah menghancurkan sistem ekonomi. Kemiskinan
disebabkan oleh sistem, dimana ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Dimana
struktur yang kuat mengakibatkan yang lemah menjadi tak berdaya karena
kekuasaannya. Berbicara tentang teori ini pastinya terkait dengan struktur
masyarakat, status, dan stratifikasi manusia. Fungsionalisme kemasyarakatan
(Societal Functionalism), sebagai salah satu pendekatan fungsionalisme struktural,
paling dominan digunakan para fungsionalis struktural. Perhatian utama dari
fungsionalisme kemasyarakatan ini ialah struktur sosial dan institusi masyarakat
secara luas, hubungannya dan pengaruhnya terhadap anggota masyarakat
(individu/pemain).

11
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Secara ekstrim teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan
semua struktur adalah fungsional bagi seluruh masyarakat. Penganut teori
fungsional memang memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu
masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negatif. Herbert Gans
(1972) menilai kemiskinan saja memiliki fungsi dalam suatu sistem sosial. Maka
dari itu Gans menyimpulkan tiga alasan bahwa kemiskinan itu berfungsi dalam
masyarakat diantaranya:
1) Kemiskinan masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam masyarakat.
2) Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi
orang miskin.
3) Alternatif yang ada masih lebih mahal daripada imbalan kesenangan yang di
berikannya.
Meskipun Gans mengemukakan bahwa kemiskinan mempunyai fungsi.
Namun implikasi dari Gans ini adalah jika orang ingin menyingkirkan kemiskinan,
maka orang tersebut harus mampu mencari alternatif baru. Seperti halnya
otomatisasi. Otomatisasi disini merupakan suatu yang semula pekerjaannya kotor
dan gajinya pas-pasan, kemudian dialihkan pada pekerjaan yang lebih bersih dan
gajinya lebih tinggi.
Teori struktural ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari teori
ketergantungan yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967), Capitalism
and the Underdevelopment in Latin America, dan juga oleh Teothonio Dos Santos
dan Samir. Teori struktural berasumsi bahwa kemiskinan terjadi bukan karena
persoalan budaya dan pembangunan ekonomi, melainkan politik-ekonomi dunia.
Teori ketergantungan mengajukan tiga asumsi utama:
1) Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga
semua negara di dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme
yang menyebabkan keterbelakangan di negara miskin.
2) Negara-negara inti menarik surplus dari negara miskin melalui suatu matarantai
metropolis-satelit.
3) Sebagai akibatnya negara miskin menjadi semakin miskin dan negara kaya
semakin kaya.

12
Dengan berdasar pada asumsi teori ketergantungan tersebut teori struktural
mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di dunia harus dilihat pada suatu konstelasi
ekonomi internasional dan struktur politik global yang menerangkan bahwa
ketergantungan yang menjadi penyebab negara terbelakang dan masyarakatnya
menjadi miskin. Beberapa bahasan yang dibahas dalam teori struktural ini antara
lain:
1) Teori Stratifikasi Struktural-Fungsional
Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan
sistem dan keperluan seperti ini. Stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak
mengacu pada stratifikasi individu pada sistem stratifikasi, melainkan pada
sistem posisi (kedudukan). Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi
tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau
mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara
masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang
tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang
tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi
untuk memegang posisi tersebut. Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi
masalah karena tiga alasan mendasar :
a. Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain.
b. Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat
daripada posisi yang lain
c. Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak
diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga
memerlukan bakat dan kemampuan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat
dianjurkan agar memberi penghargaan kepada individu yang menempati posisi
tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan
maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang
berakibat pada tercerai-berainya masyarakat. Adapun kritik terhadap Teori
Stratifikasi Struktural-Fungsional ialah :
a. Teori ini menolak keberadaan masyarakat tanpa kelas pada waktu kapanpun.
b. Teori ini melanggengkan orang yang pada keadaan awal telah memiliki
kekuasaan, prestise dan uang.

13
c. Posisi penting yang disebutkan dalam teori ini merupakan sesuatu yang
relatif satu dengan yang lain.
2) Perspektif Kemiskinan Menurut Teori Struktural Fungsional
Dalam mempelajari kemiskinan struktural-fungsional dapat dilihat dari
berbagai perspektif :
a. Perspektif Patologi Sosial (Durkheim)
Kemiskinan dipandang sebagai penyakit sosial, dimana orang gagal dalam
berfungsi sosial dalam peran yang diharapkan struktur sosial yang terus
berubah sehingga tertekan oleh struktur yang lain. Orang-orang menjadi
miskin karena gagal mengikuti atau gagal beradaptasi dengan kondisi yang
selalu berubah tersebut, sehingga mengganggu keberfungsiannya, seperti
terbatasnya akses terhadap informasi, tidak mampu mengikuti pendidikan,
hubungan sosialnya terbatas. Hal inilah yang membuat orang tetap menjadi
miskin karena kalah bersaing (disfungsi).
b. Perspektif Disorganisasi Sosial / Disintegrasi Sosial (Parson)
Kemiskinan disebabkan kesalahan dalam aturan, salah mengorganisir serta
kebijakan yang tidak memihak pada orang miskin akibat dari penyelewengan
institusi karena kurangnya kontrol sosial. Disorganisasi terjadi ketika
masyarakat seluruh/sebagiannya mengalami ketidaksempurnaan dalam
mengorganisasi/ mengintegrasikan tujuan, harapan-harapan, dan aturan-
aturan serta tidak menjaga stabilitas atau keseimbangan. Hal ini mungkin
terjadi karena perubahan begitu cepat dan orang tidak mampu mengikutinya,
sehingga kemungkinan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat dan
orang-orang miskin tetap miskin dan yang kaya tetap kaya.
c. Perspektif Penyimpangan Perilaku
Berkaitan dengan patologi sosial, perspektif ini menimbulkan orang berontak
dan melakukan penyimpangan sebagai wujud perlawanan dan mencari
perhatian untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial. Kemiskinan muncul
karena adanya perbedaan nilai-nilai dan harapan-harapan yang dimiliki oleh
seseorang dengan nilai-nilai dan harapan-harapan kelompok/masyarakat
tempat ia tinggal sehingga ia berperilaku menyimpang. Perilaku menyimpang
tersebut yang menyebabkan ia tidak dapat memanfaatkan sumber-sumber
kesejahteraan yang terdapat pada masyarakat tempat ia berada, sehingga ia
miskin.

14
Dalam pandangan teori ini, kemiskinan diakibatan oleh
ketidakberfungsian sistem. Menurut para penganut fungsional, cara terbaik
untuk menyelesaikan kemiskinan adalah dengan cara penyesuaian untuk
memperbaiki ketidakberfungsian tersebut.

3) Teori Struktural Fungsional dan Analisis Kemiskinan


Strukturalisme begitu berpengaruh di kalangan ilmuwan sosial terutama
di Perancis sejak tahun 1960-an. Tokoh-tokoh utama aliran ini yaitu Claude-
Levis Strauss, Michael Foucault, J. Lacan dan R. Barthes. Aliran ini muncul
ketika eksistensialisme mulai pudar, sementara masyarakat semakin kaya dan
dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan
terkomputerisasi sehingga memudarkan aliran humanisme romantis
eksistensialis (Ahimsa 2009).
Selanjutnya Ahimsa (2009) mengatakan bahwa terbentuknya struktur
merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Sehingga
(mengutip Staruss) struktur juga diartikan sebagai relations of relations atau
system of relation (sistem relasi). Strukturalisme dianggap sebagai suatu
gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua
masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Bambang Rustanto (2014) mengatakan bahwa kemiskinan dan
pegentasannya di Indonesia merupakan bentuk yang struktural. Semakin kuat
dengan melihat penyebab kemiskinan itu sendiri. Setidaknya penyebab
kemiskinan terkait dengan tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial
budaya dan dimensi sosial politik. Dimensi ekonomi yaitu kurangnya sumber
daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang. Baik
secara finansial atau segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan. Dari dimensi sosial budaya yaitu adanya kekurangan jaringan
sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar
produktivitas seseorang meningkat. Sementara dimensi sosial politik melihat
rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial
politik. Tiga dimensi tersebut secara eksplisit maupun implisit menekankan
bahwa strukturlah setidak-tidaknya yang menjadi penyebab kemiskinan.
Sebagai sebuah teori atau metode berpikir, strukturalisme tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan seperti teori-teori lainnya. Teori ini kelebihannya

15
dapat dengan mudah untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan indikator
kemiskinan berikut dengan upaya pengentasannya. Kemudahan tersebut karena
teori ini menggunakan pendekatan struktural yang selalu menitikberatkan pada
kesalahan sistem, hilangnya kesempatan seseorang untuk mengakses sumber
daya ekonomi dan produksi, ketidakadilan dan ketidakmerataan distribusi aset
dan hasil produksi dan lainnya.
Sementara kelemahan teori ini tidak dapat melihat indikator atau
variabel-variabel lain yang tidak disebabkan oleh sistem. Teori ini terlalu asyik
dengan sistem sehingga melupakan atau tidak mampu mengidentifikasi
variabel-variabel yang terdapat pada individu atau pribadi “si miskin”. Teori ini
juga sulit menerima perubahan sebagai penyebab kemiskinan yang
mengakibatkan antara perubahan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang
berbeda dan terpisah satu sama lain.

b. Teori Budaya Kemiskinan


Budaya kemiskinan dapat dilihat dari tiga dimensi kebudayaan. Pertama,
dimensi kognitif yang merupakan sistem pandangan dunia yang menyebabkan
kemiskinan itu terjadi. Sebagai sudut pandang kemiskinan itu sendiri kemudian
membentuk suatu perspektif di dalam mempengaruhi tindakan-tindakan sosial
kelompok orang. Dimensi kedua adalah dimensi evaluatif yang merupakan tata nilai
dan aturan normatif yang mempengaruhi bentuk-bentuk praktek kehidupan
kelompok mayarakat miskin. Hal ini juga merupakan etika yang mengatur tingkah
laku dan ukuran-ukuran nilai yang harus dipatuhi. Ketiga, dimensi simbolik yang
merupakan bentuk-bentuk ekspresi diri kaum miskin yang dengan cara ini juga
keberadaan kebudayaan kemiskinan dapat dideteksi.
Oscar Lewis telah menunjukkan konteks sosial ekonomi dan politik yang
memungkinkan budaya kemiskinan itu terwujud dalam suatu masyarakat miskin.
Faktor-faktor tersebut antara lain : (1) masuknya ekonomi uang yang ditandai oleh
adanya buruh upahan dan muncul kecenderungan kegiatan produksi untuk
keuntungan; (2) masyarakat dengan ciri tingkat pengangguran dan setengah
pengangguran yang tinggi; (3) upah kerja yang rendah yang merupakan tekanan
berat bagi penduduk yang mulai berorientasi pada ekonomi uang. (4) masyarakat
yang gagal membentuk organisasi sosial, ekonomi, dan politik kepada masyarakat

16
yang berupah rendah dan (5) masyarakat dengan kelas dominan yang berupah
rendah akumulasi kekayaan dan pemilikan.
Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar
menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset
produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Di luar
kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku
dan predisposisi yang berpangkal pada pikiran yang tidak tergabung dengan
semangat perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.
Buku karangan Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the
Culture of Poverty (1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai,
pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan
kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai
budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-
kultur tersendiri. Lewis menulis, "the culture of poverty indicates that poor people
share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from the rest
of society and these characteristics perpetuate their life of poverty." Jadi,
kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan negara yang didominasi
golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah
yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain (1) rendahnya semangat dan
dorongan untuk meraih kemajuan, (2) lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk
mengubah kehidupan, (3) rendahnya motivasi bekerja keras, (4) tingginya tingkat
kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum, (5) respons yang pasif dalam
menghadapi kesulitan ekonomi, (6) lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan
yang lebih baik, (7) cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification)
dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), dan (8) tidak berminat
pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri
manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam
Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju,
pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi
sumbangan pada permasalahan kemiskinan, dan bukan hanya faktor eksternal atau
masalah struktural saja.

17
Budaya adalah suatu pedoman atau pegangan operasional yang dimiliki oleh
warga masyarakat dalam menghadapi lingkungan tertentu untuk mereka tetap dapat
melangsungkan kehidupan dan untuk dapat hidup lebih baik lagi. Berkaitan dengan
kemiskinan, kebudayaan merupakan adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga
merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka didalam
masyarakat yang berstrata, sangat individualistik, dan berciri kapitalis. Teori
kemiskinan kebudayaan merupakan:
1) Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya kemiskinan sebagai bentuk
ketidakberdayaan menghadapi kekuatan ekonomi kapitalisme yang telah
mengeksploitasi kehidupan sekelompok orang.
2) Sebagai proses adaptasi; Kemiskinan sebagai proses adaptasi keluarga miskin
karena perubahan sistem ekonomi dari tradisional kepada kapitalisme dalam
memenuhi kebutuhannya.
3) Sebagai sub budaya sendiri; Kemiskinan yag diakibatkan oleh faktor dari dalam
diri individu sendiri dan kelompok miskin, misalnya malas, fatalisme, rendah
diri, ketergantungan dan lainnya.
Dari ketiga bentuk teori kemiskinan diatas, dapat dilihat dengan adanya
partisipasi yang rendah dari komunitasnya, pada tingkat lokal terlihat kumuh, padat
dan tidak terorganisir secara formal, anak-anak yang lebih cepat dewasa dan kurang
mendapat kasih sayang dan pengasuhan orang tua, serta tidak berdaya, tergantung
dan rendah diri.
Dalam beberapa kasus, kemiskinan budaya merupakan kemiskinan yang
diturunkan dari generasi ke generasi dalam lingkaran kemiskinan. Kemiskinan yang
diturunkan disini merupakan kemiskinan yang diakibatkan ketidakmampuan orang
tua dalam memberikan pendidikan yang layak akibat kemiskinannya. Sehingga
anak-anak tersebut tidak memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bekerja dan
dihargai oleh pasar kerja dengan upah yang rendah, kemudian menikah dan
memiliki keluarga baru dengan kemiskinan generasi baru pula.
Sebenarnya budaya kemiskinan menurut beberapa ahli bukanlah faktor utama
adanya kemiskinan, melainkan diakibatkan oleh sistem sosial. Mereka miskin
karena sifat malas dan enggan menabung yang mungkin hanya dimiliki oleh
sebagian kecil saja dari orang miskin, mereka seperti itu karena keterbatasan
mereka dan karena mereka memang miskin dan tidak mampu. Pandangan terhadap
orang miskin dalam teori budaya kemiskinan adalah sebagai psikososialpatologi,

18
masyarakat miskin dipandang sebagai bentuk penyimpangan psikologis yang
mendarah daging dalam kehidupannya. Selain itu ada pandangan sebagai sesuatu
yang diwariskan, dan merupakan stereotip orang miskin yang memberikan ciri pada
kelompok miskin tersebut.
Oscar Lewis, memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang
atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-
keperluan dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis itu, kemiskinan
adalah ketidakcukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan
primernya, seperti pangan, sandang, dan papan untuk kelangsungan hidup dan
meningkatkan posisi sosial-ekonominya. Sumber-sumber daya material yang
dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekadar mampu digunakan
untuk mempertahankan kehidupan fisiknya, tidak memungkinkan bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Dengan demikian kemiskinan terkait langsung dengan pengalaman
seseorang, di perdesaan maupun di perkotaan atau di mana pun, yang mengalami
kelangkaan, keterbatasan, dan kekurangan dalam pemilihan dan penguasaan atas
benda atau tidak adanya akses dan kontrol atas sumber-sumber daya ekonomi atau
kapital lainnya, sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk bisa melakukan
mobilitas secara vertikal. Karena itu, ukuran apa pun yang dipakai untuk mengatur
tingkat kemiskinan dan di mana pun ukuran itu diterapkan, meski menunjuk pada
indikasi bahwa tingkat pendapatan serta pemilikan dan penguasaan sumber daya
ekonomi seseorang sangat serba terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya,
apalagi untuk pemuasan kebutuhan sekunder dan tertier.
Dan kemiskinan ini selalu merupakan lingkaran setan, umpamanya karena
pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan pangan, tidak dapat
berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun jauh dari memenuhi syarat
sebagai tempat "berteduh". Keadaan itu mengakibatkan tingginya kepekaan atau
beresiko besar untuk terserang penyakit, tingkat produktivitas kerja yang rendah,
tingkat pendidikan yang juga rendah, dan akibat lanjutannya adalah dengan
sendirinya pendapatan yang diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di
sini kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.
Bahkan, menurut Oscar Lewis, kemiskinan yang bersangkut-paut dengan
keterbatasan pemilikan dan penguasaan sumber-sumber dasar material itu
selanjutnya akan merefleksikan suatu cara hidup tertentu atau budaya kemiskinan,

19
yang ciri-cirinya antara lain fatalistik, meminta-minta, selalu mengharapkan
bantuan, serta cenderung suka berjudi dan mabuk-mabukan (terutama untuk
masyarakat miskin kota). Malah, jaringan-jaringan dan organisasi-organisasi sosial
yang terbentuk pada masyarakat miskin itu bukannya mendorong pada peningkatan
status ekonomi mereka, tetapi menjerat mereka untuk tetap berada dalam lingkaran
kemiskinan. Dengan kata lain, budaya kemiskinan dan institusi sosial yang muncul
dari kemiskinan cenderung akan memperkuat dan memapankan kemiskinan itu
sendiri, bukannya menemukan jalan dan atau ruang bagi para pendukungnya untuk
bisa naik status sosial-ekonominya.
Lewis menjelaskan bahwa kemiskinan yang ia pahami adalah suatu sub-
kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi. Ia membawakan pandangan
lain bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kelumpuhan ekonomi, disorganisasi
atau kelangkaan sumber daya. Kemiskinan dalam beberapa hal bersifat positif
karena memberikan jalan keluar bagi kaum miskin untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan hidupnya.
Culture of poverty, lanjutnya, mewujud dalam masyarakat yang memiliki
kondisi seperti:
1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan
2) Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi
3) Upah buruh rendah
4) Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi
sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah
5) Sistem keluarga bilateral lebih menonjol
6) Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan
penumpukan harta dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat,
serta ada anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil
ketidaksanggupan pribadi/memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Definisi budaya kemiskinan adalah adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan marginal mereka dimana kebudayaan tersebut cenderung
melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut
mencerminkan upaya mengatasi keputusasaan dari angan sukses di dalam
kehidupan yang sesuai dengan nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Mereka
yang berasal dari strata sosial paling rendah, sedang mengalami perubahan pesat

20
dan yang telah terasing dari masyarakat tersebut yang disebut mempunyai budaya
miskin ini. Adapun beberapa ciri-ciri kebudayaan ini antara lain:
a. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-
lembaga utama masyarakat. Mereka berpenghasilan rendah namun mengakui
nilai-nilai yang ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat
sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status namun tidak memiliki kesadaran
kelas.
b. Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok, penuh sesak,
bergerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan luas
c. Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat,
tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal dan
otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi, solidaritas semu.
d. Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya,
ketergantungan dan rendah diri (fatalisme).
Dilihat dari ciri-ciri tersebut diatas maka saat ciri-ciri di atas tidak ada dalam
suatu masyarakat, maka mereka tidak bisa dikatakan berkebudayaan miskin
meskipun lahirnya mereka miskin secara ekonomi. Misalnya masyarakat primitif
tidak bisa disebut berkebudayaan miskin karena mereka tidak terstratifikasikan dan
mereka mempunyai kebudayaan yang relatif utuh. Masyarakat India tidak bisa
disebut berkebudayaan miskin karena kebudayaan mereka terorganisasi dalam
panchayat dan mereka memiliki sistem kekerabatan unilateral/klan.
Menghilangkan kemiskinan fisik semata-mata, tidak akan cukup
menghapuskan kebudayaan kemiskinan. Ada gagasan yang bisa kita coba lakukan
dalam menghilangkan kemiskinan yaitu meningkatkan taraf hidup mereka dan
mengintegrasikan ke dalam kelas menengah. Bila mungkin dengan menggunakan
pengobatan psikiatrik dan menciptakan perubahan-perubahan struktural yang
mendasar dengan mendistribusikan kembali kekayaan, mengorganisasi kaum
miskin dan membuat mereka mempunyai perasaan bahwa mereka memiliki
kekuatan dan kepemimpinan. Hal yang penting diingat dalam tulisan Lewis yang
menyatakan bahwa “Lebih mudah menghapuskan kemiskinan daripada kebudayaan
kemiskinan.”

21
c. Teori Marjinal
Teori ini berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan
adanya kebudayaan kemiskinan yang tersosialisasi di kalangan masyarakat tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori marjinal. Konsepnya yang
terkenal adalah Culture of Poverty. Menurut Lewis, masyarakat di dunia menjadi
miskin karena adanya budaya kemiskinan dengan karakter apatis, menyerah pada
nasib, sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan, kurang ambisi
membangun masa depan, kejahatan dan kekerasan banyak terjadi.
Ada dua pendekatan perencanaan yang bersumber dari pandangan teori marjinal:
1) Prakarsa harus datang dari luar komunitas;
2) Perencanaan harus berfokus pada perubahan nilai, karena akar masalah ada pada
nilai

d. Teori Kemiskinan Relasional


Teori ini melihat kemiskinan dari hubungan sosial atau relasi sosial antara
orang miskin dengan orang kaya atau dengan lingkungan sosialnya. Pada teori ini
sebenarnya menekankan pada ketidakmampuan orang atau sebuah komunitas dalam
menjangkau sistem sumber yang ada dan dekat dengan lingkungannya. Kemiskinan
ini muncul karena sharing ekspektasi antara kelompok dominan (orang kaya) dan
kelompok miskin.
Kemiskinan relasional dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan orang
untuk menjalin relasi sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga dalam
kehidupan nyata dapat dilihat dengan adanya pengelompokan golongan/kelas,
adanya segregasi/pembatasan wilayah kesatuan pemukiman (perumahan real estate
dan lingkungan miskin). Kesulitan dalam menjangkau pelayanan dan sumber yang
dimiliki orang kaya oleh orang miskin merupakan pembatasan akses dan
pembatasan sosial yang diskriminatif.
Penganut teori ini mengangap kemiskinan sebagai masalah pembagian
harapan, dimana kelompok miskin mendapat penilaian negatif dan pusat labeling.
Mirip dengan kemiskinan relatif, perspektif interaksional-relasional memandang
kemiskinan dengan membandingkan kelompok-kelompok berdasarkan kelasnya.
Dari perspektif ini kemiskinan bukan saja dilihat dari dimensi ekonomi saja,
akan tetapi dilihat dari dimensi sosial dan kemiskinan itu sendiri. Karenanya dalam
pengentasan kemiskinan bukan hanya perlu memberdayakan kehidupan secara

22
ekonomi saja, akan tetapi memberdayakan dari aspek sosialnya juga. Pendekatan
interaksional-relasional diarahkan pada interaksi sosial yang memandang bahwa
perilaku seseorang merupakan produk dari relasi sosialnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

23
Banyak teori tentang kemiskinan antara lain teori struktural, teori budaya dan teori
relasional kemiskinan. Teori kemiskinan struktural yaitu kemiskinan merupakan salah satu
unsur dari sistem sosial yang beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur. .
Selain teori struktural, terdapat juga teori budaya dan teori relasional yang keduanya
memiliki pandangan masing-masing tentang suatu kemiskinan. Dalam perspektif
kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya
ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial
oleh golongan tertentu. Dengan kata lain, lebih mudah menghilangkan kemiskinan
daripada budaya kemiskinannya. Berbeda dengan teori struktural dan budaya, dari
perspektif relasional ini kemiskinan bukan saja dilihat dari dimensi ekonomi saja, akan
tetapi dilihat dari dimensi sosial dan kemiskinan itu sendiri. Karenanya dalam pengentasan
kemiskinan bukan hanya perlu memberdayakan kehidupan secara ekonomi saja, akan
tetapi memberdayakan dari aspek sosialnya juga. Pendekatan interaksional-relasional
diarahkan pada interaksi sosial yang memandang bahwa perilaku seseorang merupakan
produk dari relasi sosialnya. Selain tiga teori tersebut, masih ada beberapa teori tentang
kemiskinan yaitu Teori Marjinal, Teori Demokrasi-sosial, Teori development dan Teori
Neo-liberal.
Dalam perkembangannya, teori-teori tersebut masuk ke dalam sebuah paradigma
yaitu paradigma baru dan paradigma lama yang keduanya merupakan pandangan tentang
permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia. Dengan memahami teori-teori
kemiskinan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyusun sebuah kebijakan
pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia dan di berbagai negara di dunia dapat
dicarikan solusi yang tepat dan terbaik untuk masyarakat.

24

Anda mungkin juga menyukai