Anda di halaman 1dari 113

SKRIPSI

No. 2448
MANSOUR FAKIH DAN TRANSFORMASI SOSIAL
(Studi pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi Sosial di Indonesia)

Diajukan sebagai syarat wajib bagi penulisan tugas akhir untuk


mendapatkan gelar strata satu

Disusun oleh:
ANGGRAINI MIFTACHUR ROCHMAH
(03/166144/SP/20199)

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat adalah sebuah kompleksitas individu dan kelompok yang terdiri

dari berbagai kepentingan dan seringkali berbenturan. Pada dasarnya, interaksi yang

terjadi dalam internal masyarakat sendiri merupakan suatu hubungan kekuasaan

antara kekuatan kelompok–kelompok sosial yang ada. Jika dianalogikan dalam

hubungan yang lebih makro, hubungan kekuasaan juga terjadi dalam hubungan

antara masyarakat dengan negara. Relasi kekuasaan yang terjadi antara masyarakat

dengan negara inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan seperti persoalan

keadilan dan asas kemerataan yang tidak dirasakan oleh setiap warga negara karena

berbagai faktor, seperti bias suku, ras, gender, agama, kelompok ekonomi serta

afiliasi politik masyarakat.

Secara sederhana, keadilan dapat dimaknai sebagai keseimbangan antara

pemberian hak dan pemenuhan kewajiban. Dalam hubungan masyarakat dan negara,

parameter keadilan di ukur dari kesamaan, kesempatan dan perlakuan negara

terhadap masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berkaitan dengan

kedudukannya baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok. Ada

hubungan timbal balik yang bersifat mutualisme antara negara dengan masyarakat.

Masyarakat diwajibkan untuk memenuhi kewajiban yang tertuang dalam ketentuan

dan peraturan negara, sedangkan masyarakat berhak memperoleh haknya sebagai

1
warga negara dan sebagai manusia. Dengan demikian, akan terjadi hubungan yang

sinergis diantara keduanya.

Memang terdengar sebagai sebuah hal yang utopis ketika kita mulai

membicarakan masalah keadilan bagi setiap orang dan keinginan untuk menciptakan

keadilan itu sendiri sehingga keadilan tersebut dapat dinikmati oleh setiap orang.

Namun, bukan pula suatu hal yang mustahil karena bisa jadi hal tersebut sangat

mungkin untuk bisa diwujudkan.

Ketidakadilan termanifestasi dalam berbagai bentuk. Ada dua golongan yang

mempunyai pendapat berbeda dalam melihat berbagai persoalan yang terjadi di

masyarakat, seperti persoalan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kesenjangan

sosial dan berbagai masalah keadilan. Pertama, golongan yang berpendapat bahwa

persoalan yang terjadi adalah kesalahan internal, yaitu kesalahan yang berasal dari

manusia atau masyarakat sendiri. Masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk

memajukan kesejahteraannya sendiri sebagai manusia padahal kesempatan sudah

ada. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa persoalan ketidakadilan yang terjadi

adalah sebagai akibat dari sistem dan struktur yang tidak adil. Mansour Fakih

menyebut keadaan ini sebagai proses dehumanisasi yang terjadi baik secara represif

maupun menggunakan sistem dan struktur yang ada. Dehumanisasi ini yang

menyebabkan timbulnya berbagai macam persoalan ketidakadilan dan penegakan

Hak–hak Asasi Manusia.

Respon manusia terhadap keadaan di sekitarnya tidak terlepas dari pengaruh

pemikiran yang melingkupinya, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, politik,

budaya, dll. Apakah dia menyadari suatu realitas sosial sebagai suatu kewajaran yang

2
memang terjadi begitu adanya atau bahkan sebenarnya realitas sosial yang ada adalah

sebuah rekayasa sosial yang siapapun bisa saja menciptakan realitas sosialnya sendiri

sekaligus melakukan perubahan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan kesadaran

kritis untuk memahami realitas yang ada disekitar kita.

Kesadaran kritis manusia terkadang terbelenggu oleh ideologi–ideologi yang

ada disekitarnya, seperti, ideologi kapitalistik. Manusia tidak menyadari kenyataan

yang sebenarnya terjadi. Sebagai contoh, bagaimana dia melihat pembangunan dan

modernisasi di Indonesia yang tidak hanya sekedar menjadi jargon yang digembor-

gemborkan pemerintah, tetapi juga sudah menjadi diskursus (discourse)1 dan bahkan

ideologi bagi setiap rakyat Indonesia. Diskursus yang dibangun selama ini adalah

pembangunan dan modernisasi diyakini sebagai solusi dari berbagai krisis yang

melanda negeri ini.

Disatu sisi, moderinisasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk

menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dalam mewujudkan kehidupan yang

lebih baik bagi masyarakat di negara berkembang. Modernisasi di segala bidang

membawa konsekuensi ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik secara

ekonomi, politik, hukum dan sosial. Disini lain, modernisasi cenderung membuat

masyarakat merasa nyaman berada dalam kemapanan yang diciptakan oleh sebuah

atau beberapa sistem dan struktur yang melingkupinya. Kemapanan yang membuat

manusia, baik kedudukannya sebagai seorang individu maupun sebagai suatu

1
Discourse kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai wacana. Namun, penggunaan
wacana dianggap lebih merujuk pada efek–efek positif yang ditimbulkan. Sedangkan discourse lebih
merujuk pada efek negatif. Jadi diskursus dianggap lebih tepat digunakan untuk menjelaskan bahwa
segala sesuatu tidak bebas kepentingan

3
kelompok yang ada dalam masyarakat, memilih untuk bersikap apatis terhadap

keadaan di sekitarnya.

Dibidang ekonomi, modernisasi dan pembangunan ekonomi di Indonesia

tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sistem kapitalisme yang melingkupinya.

Kapitalisme dianggap menciptakan jarak antara rakyat kecil dengan masyarakat

menengah ke atas menjadi semakin jauh, siapa yang mempunyai modal dan

kekuasaan dialah pemenangnya. Bahkan kapitalisme diyakini sebagai penyebab

meningkatnya jumlah kemiskinan di berbagai negara, khususnya di negara–negara

berkembang. Masyarakat memang dikondisikan untuk menjadi miskin. Kapitalisme

merupakan sistem akumulasi modal dan keuntungan yang hanya dapat dinikmati

oleh sekelompok elit.

Masyarakat menganggap ini sebagai satu solusi yang diambil negara untuk

mengentaskan kemiskinan dan akan membawa perbaikan kehidupan ekonomi

masyarakatnya. Pembangunan dan modernisasi yang hanya difokuskan pada aspek

perekonomian saja membuat masyarakat jauh dari kehidupan politik. Asal perut

kenyang, maka hal lain seperti masalah politik dan hukum tidak akan dipersoalkan

lagi. Bahkan politik seperti halnya seks, menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan.

Hal ini menjadi salah satu strategi negara untuk menjauhkan masyarakat dari

kehidupan politik, mengurung kesadaran kritisnya dan membuat masyarakat menjadi

apolitis dengan menggiring perhatian masyarakat pada pentingnya pertumbuhan dan

pembangunan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan dan modernisasi sebenarnya tidak seperti yang terlihat

sebagaimana idealnya. Bagi Mansour Fakih, hal tersebut merupakan salah satu

4
bentuk dari hegemoni negara untuk mengendalikan masyarakat sekaligus mengurung

kesadaran kritisnya dari realitas sosial yang sebenarnya. Pembangunan dan

modernisasi diukur dari tingkat pertumbuhan dan pendapatan masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan. Dengan

tanpa disadari, keduanya telah merenggut hak–hak masyarakat dalam aspek

kehidupan non ekonomisnya seperti aspek politik, sosial maupun aspek hukum.

Implikasinya adalah timbulnya berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan

penegakan Hak–hak Asasi Manusia.

Tidak hanya itu saja, praktek ketidakadilan juga dapat kita temui dari

banyaknya perlakuan diskriminatif bagi sekelompok orang, seperti kaum perempuan,

masyarakat cacat, anak–anak. Perempuan selalu diposisikan sebagai makhluk yang

lemah, tidak mempunyai kekuatan untuk memajukan dirinya sendiri. Sedangkan

kaum cacat selalu dilihat sebagai sekelompok orang–orang aneh yang tidak bisa

melakukan apapun.

Tulisan ini akan melacak pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi

Sosial sekaligus melakukan beberapa catatan kritis di dalamnya. Mansour Fakih

adalah seorang aktivis yang menaruh perhatian besar terhadap terjadinya proses

perubahan sosial di Indonesia, kesetaraan gender, perjuangan hak–hak masyarakat

cacat (yang kemudian disebut dengan istilah difable -different able people-- )2 dan

penegakan Hak–hak Asasi Manusia di Indonesia. Pemikirannya mengenai

Transformasi Sosial banyak dipengaruhi oleh teori–teori sosial kritis, khususnya teori

2
Ada beberapa kalangan yang menerjemahkan difabel dengan different abilities. Tetapi istilah
pertama kali yang muncul dari kata difabel merupakan singkatan dari different able people yang
dalam perkembangannya orang menerjemahkan dengan berbeda-beda.Lih Saleh Abdullah, Januari
2007

5
sosial kritis yang berasal dari kalangan neo marxis, seperti pemikiran Antonio

Gramsci.

Konsep pemikiran yang menarik dari ide Mansour Fakih mengenai

Transformasi Sosial ini adalah upaya perlawanan terhadap sistem yang dianggap

tidak pro rakyat kelas bawah yang dilakukan tidak hanya sebatas dengan melakukan

demo ataupun upaya–upaya represif yang mungkin bisa dilakukan tetapi juga bisa

dilakukan dengan upaya non represif lainnya. Bukan hanya melalui aksi demonstrasi,

kerusuhan, huru–hara, dan revolusi seperti bentuk–bentuk gerakan sosial3 yang

umum dilakukan.

Berangkat dari asumsi kestabilan ekonomi akan menguatkan kestabilan

politik, negara telah melegitimasi setiap tindakan dan kebijakannya sebagai

kebijakan yang jelas pro rakyat. Dalam pandangan Mansour, sistem yang ada

sekarang ini adalah penyebab keadaan sosial ekonomi yang terjadi di banyak negara

berkembang semakin memburuk, misalnya saja, dibidang ekonomi, yaitu

meningkatnya angka kemiskinan.

Lebih dari itu, Mansour Fakih berusaha untuk memaparkan ide Transformasi

Sosial secara lebih luas dan jelas sehingga mampu mengkerangkai terjadinya proses

perubahan sosial di Indonesia. Transformasi Sosial perlu dilakukan untuk merubah

kondisi yang ada sekarang. Kondisi yang timpang dan sarat dengan ketidakadilan.

Proses perubahan sosial yang efektif tidak hanya memposisikan masyarakat sebagai

obyek. Namun lebih dari itu, masyarakat adalah komponen penting untuk menjadi

subyek dalam proses berlangsungnya perubahan sosial itu sendiri.

3
Haryanto, MA, Analisis Tahap–Tahap Gerakan Mahasiswa Indonesia : Laporan Penelitian,
FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1983

6
B. Rumusan Masalah

Sebuah penelitian yang dilakukan selalu berangkat dari sebuah atau beberapa

persoalan. Berbagai persoalan itu yang kemudian akan dirumuskan dalam

pertanyaan–pertanyaan yang menjadi kunci untuk melakukan penelitian ini. Setelah

menguraikan latar belakang permasalahan yang ada, maka ada pertanyaan mendasar

dan paling besar yang ingin coba di jawab oleh penulis dalam tulisan ini yaitu :

1. Apakah yang dimaksud dengan Transformasi Sosial dalam

pandangan Mansour Fakih?

2. Apa yang melatar belakangi pemikirannya?

3. Apakah kontribusi Pemikiran Mansour Fakih untuk pergerakan

sosial di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam menelusuri pemikiran Mansour

Fakih mengenai transformasi sosial dimaksudkan untuk:

1. Menambah pemahaman secara teoritik mengenai ide transformasi

sosial yang dikembangkan oleh Mansour Fakih. Dengan pemahaman

tersebut, diharapkan akan memberikan pemahaman yang lebih luas

mengenai perubahan sosial yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

2. Memberikan suatu pandangan baru bagi masyarakat Indonesia pada

khususnya dalam melakukan suatu perubahan sebagai respon dalam

menyikapi realitas sosial yang terjadi di sekeliling kita sekaligus

wacana baru untuk memahami realitas sosial yang ada.

7
D. Panduan Teoritis

Kerancuan penggunaan istilah perubahan sosial dan transformasi sosial sering

menyebabkan adanya multi-interpretasi di kalangan masyarakat dengan konsekuensi

menimbulkan berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Secara terminologis,

perubahan sosial dan transformasi sosial memiliki makna yang sama, yaitu

menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik. Perubahan sosial lebih familiar

dipakai untuk menunjuk pada perubahan sosial yang bersifat ekonomis, sedangkan

transformasi sosial merujuk pada perubahan jangka panjang yang memiliki cakupan

perubahan yang lebih luas. Cakupan perubahan itu meliputi segala aspek kehidupan

dan lapisan masyarakat. Beberapa kalangan menggunakan istilah perubahan sosial

dan transformasi sosial secara terpisah. Namun, pada dasarnya kedua istilah tersebut

merujuk pada satu makna yang sama.

D.1 Teori Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan terjemahan langsung dari social change. Dari

dua suku kata itu dapat diketemukan arti katanya. Social, memberi makna terhadap

segala sesuatu yang ada dan berkembang bersama, melibatkan pihak–pihak lain yang

didalamnya tercipta interaksi dan lahirnya nilai–nilai yang dipegang bersama.

Sedangkan change, menunjukkan adanya perubahan. Perubahan sosial atau social

change dapat dipahami sebagai perubahan suatu keadaan atau norma dan nilai yang

telah dipegang oleh masyarakat, namun tidak berarti mengabaikan apa yang telah ada

dimasa lalu.

Kondisi ini sangat berbeda sekali dengan pemikiran–pemikiran kaum

konservatif yang pro status quo. Mereka beranggapan bahwa seluruh kehidupan

8
dijagat raya ini sudah diatur dan ditentukan oleh kehendak Tuhan dan alam. Mereka

meyakini bahwa perubahan sosial hanya akan membuat tatanan masyarakat yang

telah ada menjadi porak–poranda. Dengan demikian, tidak akan menyumbangkan

apapun bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam kajian ilmu sosiologi, perubahan sosial merupakan sebuah proses yang

mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk mencapai

ataupun menciptakan suatu keadaan yang berbeda dari keadaan sebelumnya, yaitu

suatu keadaan yang memiliki tatanan sosial yang lebih baik. Perubahan sosial

merupakan konsekuensi dari kehidupan sosial masyarakat yang dinamis. Namun

demikian, tidak selamanya perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan

masyarakat (secara bersamaan)4 tetapi akan mengalami tahapan–tahapan tertentu

yang akan memberi efek bagi aspek kehidupan sosial lainnya, baik dalam tingkat

pengaruh yang besar atau hanya sedikit saja.

Talcot Parsons5 menganalogikan perubahan sosial dengan manusia sebagai

suatu sistem. Manusia ibarat sebuah sistem yang terdiri dari berbagai organ dimana

apabila ada masalah dengan salah satu organ akan mempengaruhi fungsi organ lain.

Begitu juga dalam perubahan sosial, dimana perubahan pada satu bagian akan

mengakibatkan perubahan pada bagian lain.

Namun, pada dasarnya perubahan itu ada, terjadi dan memberi pengaruh

terhadap hal–hal lain karena tidak ada aspek kehidupan dalam masyarakat yang bisa

berdiri sendiri. Satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi.

4
Piotr sztomka, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media, Jakarta, 2001
5
Suwarsono dan Alvin Y.SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 2000

9
Masyarakat akan selalu mengalami perubahan yang menuju pada keseimbangan

baru.

D.1.1. Teori Perubahan Sosial dari Berbagai Perspektif

Kemunculan berbagai teori perubahan sosial tidak terlepas dari paradigma

dan perspektif yang digunakan dalam menganalisa realitas sosial yang ada. Jika

diklasifikasikan, secara garis besar, teori perubahan sosial terbagi menjadi dua, yaitu

teori perubahan sosial mainstream dan teori perubahan sosial sebagai kritik dari teori

perubahan sosial mainstream.

D.1.1.1 Teori Perubahan Sosial Mainstream

Teori perubahan sosial mainstream selalu didominasi oleh teori modernisasi

dan pembangunan. Asumsinya adalah perubahan dan perbaikan ekonomi akan

berpengaruh pada perubahan dan perbaikan di bidang politik dan sosial. Teori

modernisasi dan pembangunan sangat populer di negara–negara berkembang. Teori

ini menjadi paradigma utama dalam melakukan perubahan sosial di negara–negara

dunia ketiga. Teori modernisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh negara–

negara barat khususnya Amerika Serikat. Awalnya teori modernisasi ini digunakan

untuk mencegah perluasan ideologi komunisme uni soviet di negara–negara Asia.

Modernisasi tidak bisa dilepaskan dari pembangunan (developement). Di

hampir seluruh negara berkembang, teori ini dijadikan teori perubahan sosial

dominan yang dianggap menjadi satu–satunya tujuan dalam melakukan perubahan

10
sosial. Bagi penganut teori perubahan sosial mainstream, teori perubahan sosial

dominan ini dianggap paling banyak menjanjikan harapan.6

Modernisasi merupakan proses yang terjadi melalui berbagai tahap.7 Pada

intinya, teori modernisasi menekankan pada aspek internal bagi kegagalan proses

perubahan sosial yaitu pada aspek individu atau pelaku perubahan sosial itu sendiri.

Teori modernisasi bekerja dengan dimulai dari mencari penyebab kegagalan

perubahan sosial yang terjadi di suatu negara, yaitu penyebab terjadinya kemiskinan

di suatu negara.

Kelompok penganut teori modernisasi meyakini bahwa dalam suatu

masyarakat dibutuhkan manusia modern. Manusia modern adalah manusia yang

mampu mengembangkan sarana material menjadi sesuatu yang produktif. Inkeles

menjelaskan mengenai karakteristik manusia modern. Manusia modern memiliki

ciri–ciri sebagai berikut:

1. Sikap keterbukaan terhadap pengalaman dan ide–ide baru.

2. Berorientasi ke masa sekarang dan ke masa depan.

3. Memiliki kesanggupan untuk merencanakan.

4. Memiliki keyakinan bahwa manusia mampu menguasai alam, bukan

sebaliknya.

Menurut kaum modernis, dalam konteks masyarakat tradisional, nilai–nilai

dan norma masih erat dipegang. Hubungan emosional diantara individu dalam

masyarakat masih sangat kuat. Masyarakat tradisional cenderung mempunyai

6
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergoalakan Ideologi LSM Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 39
7
Agus Salim, Perubahan Sosial:Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi kasus Indonesia, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2002 hal 10

11
hubungan sosial hubungan yang mempribadi dan emosional.8 Hal ini berbeda dengan

masyarakat modernis yang memiliki hubungan kerja yang tidak mempribadi dan

berjarak9 bahkan cenderung individualistik.

Syarat untuk menjadi manusia modern adalah setiap orang harus mempunyai

motivasi dalam dirinya. McClleland menyebutnya sebagai virus need for

achievement (n-ach). Konsep need for achievement adalah semangat baru dalam

melakukan pekerjaan yang tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

materialnya saja tetapi juga memenuhi kepuasan batin dengan melakukan pekerjaan

yang sempurna. McClelland meyakini bahwa faktor penyebab terjadinya kemiskinan

dan keterbelakangan adalah karena manusia tidak mempunyai motivasi untuk

berprestasi. Dalam dunia usaha, konsep n-ach dibutuhkan untuk mendorong jiwa

berwirausaha.

Parameter utama bagi keberhasilan modernisasi adalah tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi yang ditandai dengan kondisi masyarakat yang memiliki sifat

terbuka, mempunyai kemampuan berusaha dan bekerja keras, penggunaan

tekhnologi tinggi dan investasi modal yang memadai.

D.1.1.2 Teori Perubahan Sosial Strukturalis

Kepopuleran teori modernisasi di negara–negara berkembang tidak terlepas

dari peran negara maju yang bertindak sebagai sponsor dan promotor.

Namun demikian, teori modernisasi tidak lepas dari berbagai kritikan. Teori

Modernisasi mendapat kritik yang sangat tajam tidak hanya dari golongan radikal

tetapi juga dari kelompok akademisi sosial lainnya. Pada perkembangan selanjutnya,

8
Ibid hal 12
9
Ibid hal 12

12
modernisasi di negara berkembang cenderung mengacu pada proses modernisasi

yang terjadi di negara barat. Hal ini membuat tertutupnya kemungkinan model dan

teori10 lain dalam melakukan pembangunan di negara dunia ketiga. Modernisasi

dianggap sebagai teori ideal untuk memajukan negara–negara berkembang.

Dari sudut pandang Neo Marxis, teori modernisasi dipandang hanya sekedar

sebagai ideologi yang digunakan Amerika serikat untuk melakukan intervensi

terhadap negara–negara berkembang demi tercapainya kepentingan Amerika.11 Kritik

dari Neo Marxis terhadap teori modernisasi ini yang melahirkan teori dependensi.

Teori dependensi menitik beratkan pada persoalan kemiskinan,

keterbelakangan dan persoalan–persoalan pembangunan lainnya yang terjadi di

negara berkembang. Teori dependensi mewakili suara negara berkembang untuk

menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju.12

Raul Prebish, Paul Baran, Cordoso, Andre Gunder Frank adalah beberapa

tokoh penganut teori dependesia ini. Dari gagasan–gagasan mereka dapat ditarik

benang merah bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan di negara

berkembang adalah bukan masalah internal masyarakatnya, namun lebih dari itu,

permasalahannya ada pada sistem ekonomi dan politik yang melingkupinya.

D.2 Agen Perubahan Sosial

Ada dua pola umum terjadinya perubahan sosial berdasarkan agennya. Agen

perubahan sosial adalah mereka yang mempu menggerakkan terjadinya perubahan

10
Mansour Fakih, Masyrakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia,
Op.cit 132
11
Agus Salim, Op.cit hal 53
12
Agus Salim, Op.cit hal 89

13
sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial bisa terjadi karena digerakkan dan bahkan

dikendalikan oleh negara maupun diserahkan oleh pasar.13

Pertama, di negara berkembang, sering juga disebut dengan negara dunia

ketiga, negara memainkan peran penting dalam proses perubahan sosial. Negara, di

ibaratkan sebagai arsitek perubahan sosial yang merancang desain pembangunan

sedemikian ideal. Dalam hal ini, negara memposisikan masyarakat sebagai obyek

yang hanya mengikuti pola perubahan yang di desain oleh negara. Atau dengan kata

lain, masyarakat adalah partisipan perubahan sosial. Kedua, disamping negara yang

memegang peranan penting, pasar (market) juga berperan penting dalam perubahan

sosial di Indonesia. Di Indonesia sendiri, sebagai salah satu negara berkembang,

proses perubahan sosial tidak hanya dikendalikan oleh negara tetapi juga oleh pasar.

Disamping dua pola umum yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya

masyarakat juga bisa berperan dalam proses perubahan sosial itu sendiri. Pada

umumnya, mereka diorganisir dalam sebuah organisasi yang mewakili mereka dalam

melakukan perubahan sosial. Organisasi–organisasi ini yang dinamakan dengan

Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) dalam era Orde baru lebih dikenal dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

D.3 Transformasi Sosial

Transformasi sosial hampir selalu digunakan bersamaan dengan istilah

perubahan sosial. Istilah transformasi dapat di uraikan menjadi dua suku kata. Trans

yang dimaknai sebagai perpindahan dan formasi yang diartikan sebagai bentuk,

13
Agus Salim, Op.cit hal 13

14
susunan. Jadi, secara sederhana, Transformasi dapat diartikan sebagai perubahan

bentuk atau perubahan susunan.

Menurut Roy Bhaskar, perubahan sosial meliputi proses reproduction dan

proses transformation. Proses reproduction adalah proses pengulangan segala hal

yang menjadi warisan nenek moyang, baik berbentuk materiil maupun immateriil

yang berwujud nilai, norma dan adat. Hal ini berkaitan dengan perilaku masa lampau

masyarakat yang berpengaruh pada masa sekarang dan masa depan. Sedangkan

proses transformasi adalah suatu proses penciptaan hal yang baru.

Perubahan sosial memang menjadi agenda utama dari setiap gerakan–gerakan

sosial. Pilihannya adalah perubahan yang hanya sekedar bersifat reformatif atau

transformatif.14 Perubahan sosial reformatif menekankan pada upaya untuk

mendorong masyarakat miskin dan terbelakang untuk mengejar ketertinggalannya

dari masyarakt maju. Perubahan sosial reformatif ini menjadi ciri khas teori

perubahan sosial mainstream. Sedangkan prubahan sosial yang bersifat transformatif

lebih menekankan pada perubahan yang dilakukan secara mendasar, yaitu perubahan

sistem dan struktur. Perubahan sosial transformatif atau yang biasa disebut dengan

transformasi sosial dinilai lebih efektif untuk memecahkan permasalahn yang ada

dalam masyarakat ketimbang perubahan sosial reformatif yang hanya terfokus pada

penyebab terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan.

14
Suwarsono, Op.cit hal 89

15
Transformasi sosial dilakukan dengan mendasarkan pada perspektif

transformatif dalam memandang sesuatu. Perspektif transformatif mempunyai ciri-

ciri sebagai berikut: 15

1. Mempertanyakan paradigma mainstream yang telah berkembang dalam

masyarakat dan ideologi yang tersembunyi di dalamnya.

2. Selain itu, perpektif transformatif digunakan untuk menemukan paradigma

altrenatif yang akan mengubah struktur dan superstruktur yang menindas

rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mengontrol cara

produksi dan mengontrol informasi dan ideologi mereka sendiri.

3. Menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan yang memiliki kontrol atas

sejarah dan pengetahuan mereka sendiri.16

4. Perspektif transformatif berusaha menciptakan superstruktur dan struktur

yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol perubahan sosial dan

menciptakan sejarah mereka sendiri, struktur yang memungkinkan bagi

masyarakat menuju jalan demokratis dalam perubahan sosial, ekonomi dan

politik.

Tidak seperti teori perubahan sosial mainstream dalam pemahaman umum

yang mereduksi perubahan sosial sebagai perubahan besar di bidang ekonomi saja,

transformasi sosial menunjuk pada perubahan yang sifatnya lebih menyeluruh dan

mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perubahan sosial seperti yang umum

dipahami. Menyeluruh, dalam hal ini memberi arti bahwa perubahan sosial tidak

15
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Op.cit hal 131
16
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Op.cit hal 133

16
sekedar bertumpu pada aspek ekonomi saja sebagai titik awal untuk melakukan

perubahan di aspek–aspek yang lain.

Sebagai contoh, Antonio Gramsci dapat dikatakan sebagai salah satu pemikir

Neo Marxis yang juga menyumbangkan gagasan–gagasannya mengenai perubahan

sosial. Gagasan besarnya yang disebut dengan hegemoni17 memberi kontribusi bagi

proses perubahan sosial. Konsep perubahan sosial18 yang ditawarkan Gramsci

merupakan kritik dari konsep marxisme yang terlalu deterministik dalam

menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Marxisme

meyakini bahwa perjuangan kelas dalam aspek ekonomi adalah hal yang utama

karena buruh merupakan agen peubahan sosial yang paling penting. Sedangkan

Gramsci berpendapat bahwa buruh dan perjuangan kelas bukan satu–satunya faktor

penentu terjadinya perubahan sosial. Diperlukan suatu aliansi diantara kekuatan–

kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat untuk dapat melakukan suatu perubahan

yang bersifat transformatif.

Transformasi sosial tidak hanya perubahan sosial yang berkarakter kelas,

yang menunjuk pada satu golongan masyarakat saja tetapi juga mencakup perubahan

sosial non kelas.

D.4 Transformasi Sosial dalam Konteks Indonesia

Sejak pemerintahan Orde baru, Indonesia, seperti negara berkembang pada

umumnya menggunakan teori modernisasi untuk mengatasi berbagai masalah

kemiskinan dan keterbelakangan. Negara masih memegang peranan penting dalam

17
Secara umum dapat dipahami sebagai penguasaan terhadap suatu bangsa. Istilah ini pertama kali
digunakan oleh seorang Marxis dari Rusia bernama Plekhanov untuk menunjukkan pada kelas pekerja
mengenai pentingnya membentuk suatu aliansi dalam rangka melawan tsarisme.
18
Gramsci juga menggunakan istilah transformasi sosial untuk merujuk pada istilah perubahan sosial.

17
proses perubahan sosial sekaligus ada campur tangan dari pasar. Campur tangan

pasar terhadap perubahan sosial tidak lebih sekedar dari konspirasi negara dengan

pasar untuk tetap memegang kendali perubahan sosial, menentukan arah dan tujuan

perubahan sosial bagi masyrarakat Indonesia.

Namun, yang terjadi pada kenyataannya, teori modernisasi tidak cukup

mampu menjawab berbagai persoalan yang terjadi di negara ini. Jargon

pembangunan yang menekankan pada aspek fisik dengan pertumbuhan ekonomi

yang cukup tinggi pada masa Orde baru menyimpan banyak penderitaan rakyat. Dari

segi ekonomi, negara sangat bergantung dari bantuan negara barat dan lembaga

keuangan internasional lainnya. Implikasinya, beban utang yang ditanggung oleh

rakyat semakin bertambah dan semakin bertambah. Tentu saja, hal seperti ini tidak

membuat keadaan menjadi baik malah sebaliknya, negara dan masyarakat menjadi

tergantung dengan negara barat.

Di bidang politik, sosial dan budaya, belum dapat dilihat hasil yang

memuaskan dari perubahan sosial selama ini. Meninggalkan Orde baru dan masuk

era Reformasi, tidak membuat keadaan menjadi lebih baik walau memang kran

demokrasi dibuka lebih lebar. Masih banyak permasalahan yang terjadi di negara ini,

seperti, masih banyak terjadi pelanggaran Hak–hak Asasi Manusia, seperti

perdagangan manusia, perdagangan anak, diskriminasi suku dan kelompok dalam

memperoleh hak–hak politik, hak hukum ataupun diskriminasi gender di lingkungan

kerja. Era Reformasi nampaknya tidak cukup menyediakan ruang bagi proses

perubahan sosial yang sebenarnya.

18
E. Metode Penelitian

Penelitian mengenai Transformasi Sosisal ini merupakan jenis penelitian

yang menggunakan metode kualitatif deskriptif. Peneliti hanya menggambarkan dan

memaparkan sebuah fenomena yang terjadi sebagai jawaban dari pertanyaan riset

yang diajukan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan dengan apa adanya

pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi Sosial. Apa yang melatar

belakangi pemikiran itu muncul, bagaimana Mansour merumuskannya dan outcome

apa yang dihasilkan.

E.1 Jenis Data

Data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan riset dari penelitian ini

terbagi menjadi dua jenis, yaitu data mengenai profil Mansour Fakih yang meliputi

latar belakang pendidikan, profesi, akademis, data mengenai pemikiran-pemikiran

besar yang mempengaruhi pemikiran Mansour Fakih serta data yang berbicara

mengenai Transformasi Sosial yang berasal dari buku dan artikel yang ditulis

Mansour Fakih sendiri ataupun yang disinggung oleh penulis lain.

E.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan menggunakan metode

dokumentasi dan wawancara.

E.2.1 Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yang digunakan adalah dengan mengumpulkan

dokumen–dokumen, yang dapat berupa buku, maupun artikel. Pengumpulan

dokumen hanya terbatas pada buku–buku, artikel, jurnal dan laporan penelitian

19
lainnya mengenai transformasi sosial, gender dan feminisme, bahasan mengenai

difabel, pendidikan dan bahasan mengenai Hak–hak Asasi Manusia.

Dari metode dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini maka akan

dapat diperoleh data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang

diperoleh dari buku yang ditulis oleh Mansour Fakih, yaitu Bebas dari

Neoliberalisme, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Masyarakat Sipil untuk

Transformasi Sosial, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Modernisasi, Jalan Lain:

Manifesto Intelektual Organik. Data sekunder lainnya diperoleh dari artikel, laporan,

jurnal yang ditulis langsung oleh Mansour Fakih maupun pernyataan–pernyataan dari

Mansour Fakih yang dipublikasikan oleh media massa. Adapun data sekunder adalah

data yang diperoleh dari buku, artikel, jurnal, surat kabar/koran/media massa yang

mendukung.

E.2.2 Metode Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan

responden dalam proses tanya jawab.19 Mengingat wawancara tidak bisa dilakukan

langsung dengan sumbernya, maka wawancara akan dilakukan dengan orang–orang

yang memiliki kedekatan dengan obyek. Mereka adalah rekan kerja Mansour Fakih

selama berada di INSIST (Indonesian Society for Social Transformation).

Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara tidak

berstruktur untuk menghindari suasana formal yang akan menghambat penulis dalam

menggali data lebih banyak. Wawancara dilakukan penulis dengan Saleh Abdullah

sebagai sekretaris sekretariat INSIST dan Toto Raharjo sebagai Ketua dewan

19
W Gulo, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta, 2002 hal 119

20
Pendidikan. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki

oleh penulis mengingat sumber-sumber wawancara yang penting tidak berada di

Yogyakarta.

E.3 Kelemahan dan Kelebihan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan riset

dalam penelitian ini memiliki kelemahan dan kelebihan sebagai berikut:

a. Kelebihan dan Kelemahan Metode Dokumentasi

Kelebihan menggunakan metode dokumentasi adalah bahwa ada banyak

hal yang bisa diperoleh sebagai data, baik data primer maupun data

sekunder. Sedangkan kelemahan dari metode dokumentasi ini adalah

kesulitan pada saat interpretasi data itu sendiri sehingga tidak mudah

untuk membedakan mana data yang sebenarnya ataupun yang hanya

memberikan informasi dan penjelasan yang mendukung bagi data

tersebut.

b. Kelebihan dan Kelemahan Metode Wawancara Tidak Berstruktur

Kelebihan dari menggunakan metode wawancara yang tidak berstruktur

adalah kejelasan data bisa digali lebih dalam tidak terbatas pada panduan-

panduan wawancara yang dilakukan disamping itu juga dengan

menggunakan metode wawancara tidak berstruktur akan menciptakan

suasana yang lebih nyaman antara pewawancara dan sumber informasi.

Kelemahan metode wawancara tidak berstruktur ini adalah apabila

wawancara tidak fokus pada topik yang dibicarakan sehingga data yang

21
seharusnya bisa diperoleh malah jadi tidak bisa didapatkan dari sumber

informan.

E.4 Teknik Analisa Data

Analisa data dimaksudkan untuk menggali dan menggambarkan pemikiran

Mansour fakih mengenai transformasi sosial. Teknik analisa data yang digunakan

adalah:

1. Tahap pengumpulan data

Pengumpulan data dimulai dengan mengumpulkan data–data yang diperoleh

dari buku–buku, artikel, surat kabar dan jurnal maupun dari hasil wawancara dengan

rekan kerja. Data itu akan dibagi dalam bentuk data primer dan data sekunder.data

primer merupakan tulisan langsung dari Mansour Fakih dan data sekunder

merupakan data penunjang dari penulis–penulis lain yang berbicara mengenai

Mansour Fakih dan Transformasi Sosial, gender, feminisme, pendidikan dan Hak

Asasi Manusia di Indonesia.

2. Reduksi data

Reduksi data yaitu memilah–milah data yang relevan dan yang kurang

relevan untuk mencapai tujuan penelitian. Pemilahan data dilakukan dengan mencari

sumber dan informasi yang diperoleh dari buku, jurnal, surat kabar, artikel dan hasil

akan dikumpulkan. Langkah selanjutnya adalah mencari mana sumber dan informasi

yang dapat dijadikan data penting dan mendukung penelitian ini.

22
3. Metode interpretasi20

Metode intrepretasi data dimaksudkan untuk memahami maksud, konsep

yang di kemukakan oleh Mansour Fakih.

4. Metode deskriptif

Setelah proses pengumpulan data, intrepretasi data kemudian dari hasil data

yang diperoleh akan disajikan dan diuraikan secara sistematis dan runut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan akan dibagi menjadi lima bab sebagai berikut:

1. BAB I : Pendahuluan

Berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, panduan teoritis dan

metodologi penelitian yang akan digunakan dalam melakukan penelitian.

2. BAB II : Mansour Fakih dan Pengaruh Pemikiran-Pemikiran Besar terhadap

Pemikiran Mansour Fakih

Berisi deskripsi singkat mengenai latar belakang Mansour Fakih yang

meliputi kehidupan sosialnya, latar belakang pendidikan, aktivitas dan lingkungan

kerja serta pemikiran–pemikiran tokoh besar yang diadopsi Mansour Fakih dan

mempengaruhinya.

3. BAB III : Transformasi Sosial Ala Manosur Fakih

Berisi penjelasan mengenai Transformasi Sosial yang dibayangkan oleh

Mansour Fakih dan bagaimana Mansour Fakih merumuskan gagasan-gagasannya

20
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial , Gadjah Mada Press,
Yogyakarta, 1992 hal 72

23
tersebut. Di dalam Bab IV ini, perspektif difabel akan dibahas sebagai isu yang

paling menonjol dari gagasan Transformasi Sosial Mansour Fakih.

4. BAB IV : Menumbuhkan Perspektif Difabel dalam Kerangka Hak Asasi

Manusia

Berisi mengenai relevansi pemikiran Mansour Fakih tentang Transformasi

Sosial dalam konteks masyarakat Indonesia, yaitu yang erat kaitannya dengan

gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

5. BAB V : Penutup

Berisi mengenai kesimpulan dan refleksi kritis atas gagasan Transformasi

Sosial Mansour Fakih.

24
BAB II

MANSOUR FAKIH DAN PENGARUH PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BESAR

TERHADAP PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH

A. Pengantar

Penjelasan BAB II ini akan bercerita mengenai profil Mansour Fakih dan

Pemikiran-pemikiran besar yang mempengaruhi pemikiran Mansour Fakih.

Menelusuri pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan begitu saja tanpa

mengetahui latar belakang kehidupan seorang tokoh tersebut. Setiap pemikiran

manusia tidak terlepas dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, yang

mempengaruhi pola pikir mereka sehingga mampu merumuskan satu atau beberapa

hal dalam hidupnya. Pemikiran seseorang muncul melalui proses belajar dan

memahami berbagai macam peristiwa serta kejadian yang secara langsung ataupun

tidak langsung terjadi pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Pemikiran seseorang

mengenai suatus hal juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran–pemikiran lain, situasi

politik

Pembahasan mengenai sosok Mansour Fakih yang meliputi latar belakang

keluarga, pendidikan yang mencakup perjalanan intelektualnya sekaligus latar

belakang profesi akan dibahas dalam BAB II ini. Hal tersebut merupakan faktor–

faktor internal yang membentuk citra dan pemikiran dari Mansour Fakih. Sedangkan

untuk faktor eksternal, penulis membahas mengenai buah pemikiran dari sejumlah

tokoh besar yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran–pemikiran Mansour Fakih.

25
BAB II ini akan menjadi pengantar bagi pembaca sebelum memahami lebih

jauh berbagai hasil pemikiran dari Mansour Fakih yang nantinya akan dibahas dalam

BAB III. Dengan demikian, kajian dalam BAB II dan BAB III dapat dikatakan

sebagai suatu rangkaian deskripsi tentang bangun pemikiran Mansour Fakih dengan

pijakan awalnya dimulai dari bab ini.

B. Mengenal Mansour Fakih

Tidaklah asing menyebut nama Mansour Fakih sebagai salah satu tokoh

pergerakan sosial dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sosoknya

begitu mendapat tempat di kalangan para aktivis kemanusiaan, baik di tingkat

nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai seorang pegiat perjuangan Hak–

hak Asasi Manusia terutama bagi lapisan masyarakat bawah dan masyarakat marjinal

yang mengalami diskriminasi oleh struktur dan kultur dalam masyarakat Indonesia.

Mansour Fakih dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan kepentingan hak–

hak sipil, hak–hak politik, hak–hak ekonomi dari kelompok–kelompok masyarakat

sipil, kelompok yang termarjinalisasi, apakah itu kelompok perempuan, komunitas

difabel dan sebagainya.21

B.1 Mengenal Lebih Dekat Dengan Mansour Fakih

Mansour Fakih dilahirkan di Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa Timur

pada tanggal 10 Oktober 1953 dari sebuah latar belakang keluarga yang biasa.

Walaupun latar belakang kehidupan Mansour Fakih yang berasal dari keluarga yang

21
Budi Santoso, Pengantar dalam Refleksi Kawan Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya
Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta, 2004 hal 22.

26
biasa, tetapi ia beruntung mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang

lebih tinggi di kota. Pendidikan yang pada waktu itu tidak bisa dinikmati setiap

orang. Melalui kesempatan mengenyam pendidikan itu pula, Mansour Fakih berhasil

merumuskan dirinya sendiri dan teguh memegang prinsip–prinsipnya.

Mansour Fakih bukanlah berasal dari lingkungan yang mempunyai trah

keluarga, latar belakang komunitas, dan kelompok maupun institusi besar yang

mempunyai pengaruh luar biasa besar terhadap perjalanan kariernya. Mansour Fakih

adalah potret yang mewakili orang–orang yang tidak jelas asal–usulnyanya, tidak

jernih kastanya, dan kabur trah sosial politik dan sosial ekonominya.22 Mansour

Fakih merupakan seorang individu dengan kepekaan yang luar biasa dalam

memahami realitas sosial di sekitarnya. Kepekaan yang didukung oleh rasa empati

yang diwujudkan dalam tindakan–tindakan nyata.

Dimata para sahabatnya, Mansour Fakih dikenal sebagai orang yang paling

tidak bisa mengucapkan kata “tidak”23 sehingga banyak hal yang sebetulnya

sederhana menjadi suatu hal yang demikian rumitnya bagi seorang Mansour hanya

karena ia tidak mau menyakiti orang lain. Itulah yang menjadi kekurangan Mansour

sekaligus kelebihan yang membuat ia dan pemikiran–pemikirannya bisa dengan

mudah diterima banyak pihak.24 Ia adalah sosok multidimensi dan gampang bergaul

dengan orang lain.25

22
Puthut EA, Orbituari Mansour Fakih: Buku yang Selalu Terbuka dalam Refleksi Kawan
Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta 2004 hal 17.
23
Ibid hal 18.
24
Ibid hal 18.
25
Budi Santoso, Op.cit hal 23.

27
Bermula dari pengalaman Mansour kecil26 ketika ia tidak dipilih sebagai

pasukan inti untuk mewakili sekolah dalam perlombaan baris–berbaris karena

badannya dianggap terlalu kecil dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi pasukan

inti, Mansour kecil bertanya mengapa alasan tidak terpilihnya dia adalah persoalan

tinggi badan. Dalam benaknya, Mansour kecil berontak, dan melontarkan

pertanyaan, “Bukankah tinggi badan adalah persoalan fisik yang mutlak di atur oleh

Tuhan tanpa bisa kita mengaturnya?” Jika demikian halnya, bagaimana dengan

mereka yang dilahirkan dalam keadaan yang “kurang sempurna”? Apakah

masyarakat juga tidak akan memilihnya untuk urusan–urusan yang sebenarnya

menjadi haknya untuk terlibat? Peristiwa tersebut menjadi bagian penting dalam

perjalanan hidup Mansour Fakih, dimana hal tersebut di kemudian hari memotivasi

Mansour Fakih untuk ikut berpatisipasi dalam berbagai aktivitas penegakan hak–hak

masyarakat yang terpinggirkan.

Mansour Fakih dikenal sebagai salah seorang fasilitator Hak–hak Asasi

Manusia yang tidak pernah lelah dan terus–menerus mempromosikan pentingnya

semua orang memiliki kesamaan visi untuk mengembalikan harkat kemanusiaan,

persamaan dalam hak–hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Usaha yang

dilakukannya adalah dengan aktif memfasilitasi kawan–kawan muda aktivis

pergerakan masyarakat melalui beragam kegiatan yang dilengkapi oleh kerangka

kerja dengan prinsip hak–hak asasi manusia (Human Rights Mainstream).27 Ia adalah

trainner bagi NGO–NGO untuk memasukkan Human Rights Mainstream ke dalam

26
M.B Wijaksana, In Memoriam Mansour Fakih, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004 hal 118.
27
Idham Ibty, Mitra senior, Mansour Fakih, Mewasiatkan Pembelajaran HAM dalam Refleksi
Kawan seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta, 2004 hal
124.

28
kerangka kerjanya. Bahkan secara radikal, ia mengusulkan adanya reorientasi LSM

Indonesia yang secara tidak sadar telah ikut andil memperburuk kehidupan rakyat

Indonesia yang semakin tergantung pada industrialisasi negara–negara penghutang.28

Ia selalu mengingatkan kepada kawan–kawan muda untuk percaya bahwa Hak–hak

Asasi Manusia perlu dijaga, dihormati dan dilindungi serta disosialisasikan dalam

lingkungan masyarakat. Sebagaimana penuturannya berikut ini:

“…sebagai pribadi Anda mempunyai tanggung jawab terhadap


proses humanisasi. Sebagai pribadi Anda juga punya tanggung jawab
menjadikan bumi sebagai tempat singgah kita semua, menjadi tempat
yang berkah dan penuh rahmat bagi semua penghuninya, bagi semua
manusia. Apa yang dapat Anda lakukan untuk memajukan
HAM?...Anda harus terlibat untuk membela HAM…., apa yang
mungkin Anda perankan untuk memajukan HAM?sudah waktunya
Anda ikut melakukan usaha Pemberantasan Buta HAM…”29

Mansour Fakih seolah berwasiat kepada siapa saja mengenai keharusan

mendesak negara untuk melakukan Human Rights Mainstreaming, yakni

mengintegrasikan semua konvensi HAM PBB yang telah diratifikasi ke dalam semua

kebijakan negara maupun program pembangunan.30

B.2 Perjalanan Intelektual Mansour Fakih

Perjalanan intelektual Mansour Fakih diawali dengan keseriusannya dalam

menyelesaikan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) (sekarang

UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Teologi dan

Perbandingan Agama Fakultas Ushuludin pada tahun 1978. Melihat dari riwayat

pendidikan tingginya, Mansour Fakih menjadikan filsafat dan teologi sebagai basic

28
Fajar Sudarwo, Pemikirannya (Mansour Fakih) Terus Menggelinding di Kepala Aktivis Pro
Keadilan dan Demokratisasi dalam Refleksi Kawan Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya
Mansour Fakih, OXFAM, Yoygakarta, 2004 hal 121.
29
Mansour Fakih dalam kata Pengantar buku Keadilan Untuk Semua (Sirikit Syah,2004) yang
dituturkan kembali oleh Idham Ibty ibid hal 125.
30
Ibid hal 125.

29
keilmuannya. Mansour adalah seorang pengagum pemikiran–pemikiran islam

rasional (Mu’tazillah)31 yang memang menjadi pemikiran–pemikiran islam populer

dalam mewarnai menguatnya wacana islam rasional pada masa itu. Kekagumannya

tersebut kemudian mengantarkan Mansour Fakih pada perkenalannya dengan

cendekiawan–cendekiawan muda tahun 1970-an seperti Alm. Nurcholis Madjid,

Alm. Ahmad Wahib hingga Azyumardi Azra.32

Setelah menempuh pendidikan strata satunya di IAIN Syarif Hidayatullah,

Mansour kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Massachusetts untuk

meraih gelar Master of Education dari Centre International Education pada tahun

1990 melalui tesisnya yang berjudul Participatory Research on Economic

Development : A Source Book of Practicioners. Pada tahun 1994, di universitas yang

sama, Mansour Fakih berhasil menyelesaikan pendidikan doktornya dengan meraih

gelar Doctor of Education. Disertasinya yang berjudul The Role of Non

Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory in Indonesia

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah dibukukan dengan judul

Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia.

Desertasinya ini merupakan hasil penggalian dan diskusi yang mendalam

bersama rekan–rekannya sesama aktivis pendidikan kritis, yang meneliti tipologi

LSM–LSM di Indonesia.33 Desertasinya menunjukkan bukti kekritisan pemikiran

Mansour Fakih mengenai posisi LSM di Indonesia. Salah satu wacana yang

31
M.B Wijaksana, Op.cit hal 119.
32
M.B Wijaksana, Log.cit hal 119.
33
M.B Wijaksana, Op.cit hal 119.

30
ditawarkan berdasarkan penelitian tersebut adalah LSM34 di Indonesia harus

mengambil posisi sebagai ORNOP35 dengan cara keluar dari paradigma

developmentalis dan mengembangkan program–programnya. Ia menawarkan wacana

kepada ORNOP dalam mengembangkan demokratisasi di Indonesia tidak justru

dilakukan dengan cara membantu pemerintah menjadi agen pembangunanisme yang

jelas–jelas menguntungkan negara donor.36

Sejak tahun 1979, Mansour Fakih mulai bergabung dengan NGO (Non

Govermental Organization) dan kemudian malang melintang di dunia itu selama

hidupnya. Pada waktu itu, ia menjadi peneliti dan petugas lapangan LP3ES Jakarta

sampai pada tahun 1981. Inilah yang menjadi awal Mansour Fakih berkecimpung di

dunia pergerakan sosial di Indonesia melalui pendidikan, sesuai dengan latar

belakang akademisnya.

Berbekal analisis sosial struktural dan metodologi partisipatif, Mansour

Fakih37 kemudian malang melintang dalam dunia pendidikan dan pengorganisasian

masyarakat yang kemudian membawanya bertemu dengan orang–orang dan berbagai

kelompok yang aktif melakukan proses–proses pendidikan kerakyatan (popular

education) dan kerja–kerja advokasi. Dari dunia itulah ia selanjutnya bertemu

dengan orang–orang seperti Toto Rahardjo, Erwin Pandjaitan, Simon Hate, Ahmad

Mahmudi, dan Roem Topatimasang, yang telah cukup lama bergerak di lapis bawah,

34
Penggunaan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dianggap sebagai diskursus yang
merujuk pada organisasi kemasyarakatan yang merupkan alat dari developmentalisme. Tangan kanan
pemerintah dalam developmentalisme. Oleh karena itu, melalui pedebatan yang panjang diantara
aktivis–aktivis NGO (Non Governmental Organization), digunakanlah kata ORNOP (Organisasi Non
Pemerintah) yang merupakan terjemahan langsung dari NGO untuk menggantikan istilah LSM.
35
Istilah ORNOP lebih banyak digunakan karena memberi kesan sebagai oposan pemerintah.
36
Fajar Sudarwo, Op.cit hal 122.
37
Puthut EA, Op.cit hal 4.

31
melakukan kerja–kerja pengorganisasian rakyat melalui media kesenian. Toto dan

Simon-lah yang mengenalkan Mansour dengan seniman dan budayawan sekelas

Emha Ainun Nadjib yang kemudian menjadi kawan diskusi Mansour mengenai

teologi islam. Melalui orang–orang inilah Mansour mengenal langsung pemikiran–

pemikiran dan metodologi kritis dari Paulo Freire. Bahkan ketika di Amerika, ia

mendapat kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan Freire secara langsung.

Kiprah pertamanya dimulai dengan menjadi fasilitator dalam berbagai

penelitian dan pelatihan. Disinilah ia bertemu dengan orang–orang, seperti Tawang

Alun, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Ismid Hadad yang kemudian menjadi

guru sekaligus rekan Mansour Fakih dalam mendalami ilmu–ilmu sosial ekonomi

kritis terutama dengan pendekatan strukturalis.38

Pada tahun 1982–1984, ia menjadi fasilitator utama dan peneliti di Lembaga

Studi Pembangunan (LSP) serta konsultan Pan Asia Research Jakarta. Setahun

kemudian, tepatnya pada tahun 1985, ia menjadi fasilitator utama di Perhimpunan

Pengembangan Masyarakat (P3M) sampai pada tahun 1987. Dua tahun kembali dari

menyelesaikan pendidikan masternya, ia menjadi konsultan senior Indeco de Unie

Bandung. Mansour Fakih juga menjadi country representative OXFAM-UK untuk

Indonesia di Yogyakarta selama tiga tahun, yaitu pada tahun 1993-1996. Pada tahun

yang sama, ia juga menjadi anggota dewan pengurus YLKI. Pada tahun 1997–2002,

ia menjadi konsultan senior REMDEC Jakarta sekaligus menjabat sebagai direktur

INSIST (Indonesian Society for Social Transformation) di Yogyakarta. Selain itu, ia

pernah menjadi peneliti tamu pada Institute for Development Studies di Universitas

38
M.B Wijaksana, Log.cit hal 119.

32
Sussex, Inggris. Ia juga menjadi dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2000 dan tugas itu berakhir bersamaan

dengan wafatnya Mansour Fakih di tahun 2004.

Pada tahun 2002, dia menerima tawaran sebagai anggota Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia sampai pada tahun 2004. Tawaran ini ia terima karena selain

dukungan dari teman–temannya juga karena keyakinannya bahwa proses

dehumanisasi di Indonesia terjadi secara struktural. Menurutnya, ia harus terlibat

dalam sebuah struktur tertentu untuk mengurangi terjadinya proses dehumanisasi di

Indonesia dan struktur itu adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS

HAM).

Mansour juga bergaul dengan kelompok intelektual dari kalangan Katholik

yang banyak menerapkan metodologi pendidikan Freirean, seperti Romo Ruedi

Hoffmann dari PUSKAT (Pusat Kateketik) dan Romo Mangunwijaya dari Pastoran

Salam, Yogyakarta.

Roem Topatimasang adalah nama yang tidak bisa dipisahkan dari nama

Mansour Fakih di kalangan akitivis gerakan sosial di Indonesia. Bersama Utomo dan

Roem, Mansour melakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan di seluruh

Indonesia. Mansour, berbekal teori dan latar belakang akademisnya, dan Roem

dengan latar belakang pengalaman empiriknya sebagai aktivis gerakan politik

mahasiswa dan pengorganisir masyarakat lapis bawah, menjadi pasangan fasilitator

utama. Keduanya menjelajahi berbagai daerah di Indonesia dan mendidik kesadaran

masyarakat sekitar untuk melakukan perlawanan atas berbagai ketidakadilan yang

sedang dirasakan.

33
Mansour Fakih juga dikenal sebagai seorang yang sangat anti neoliberalisme.

Sebagai contoh misalnya, hal seperti ini dapat dilihat ketika ia mulai menggunakan

Linux dikomputernya disaat masih banyak orang menggunakan Microsoft. Hal ini ia

lakukan sebagai bagian dari aksi menentang rezim hak kepemilikan intelektual yang

didukung neoliberalisme. Baginya, Microsoft merupakan bagian dari neoliberalisme.

Dengan tidak menggunakan Microsoft itu berarti ia telah melakukan perlawanan

terhadap neoliberalisme.

B.2.1 Mansour Fakih dan INSIST (Indonesian Society for Social

Transformation)

Kehidupan Mansour tidak bisa dilepaskan dari organisasi–organisasi

pergerakan sosial dan Hak–hak Asasi manusia yang memiliki skope nasional

maupun internasional, terlebih dalam dunia NGO dan LSM. Kiprahnya dalam NGO

(Non Government Organization) di Indonesia tidak diragukan lagi. Salah satunya

adalah INSIST (Indonesian Society for Social Transformation). Organisasi yang

dirintisnya bersama Roem Topatimasang serta beberapa kawannya, seperti Rizal

Malik, Sri Kusyuniati, Sita Aripurnami, Fauzi Abdullah dan Wilarsa Budiharga.

Pada tahun 1997, setelah INSIST dibentuk, beberapa kawan yang lain pun ikut

bergabung, seperti Toto Raharjo, Saleh Abdullah, Amir Sutoko, Simon Hate, Noer

Fauzi, dan Yando Zakaria. Beberapa intelektual, seperti P.M Laksono, Francis

Wahono, dan Ivan A. Hadar juga ikut aktif dalam kegiatan–kegiatan INSIST.

Mansour menyebut INSIST sebagai sekolah para aktivis gerakan sosial di

Indonesia untuk mengembangkan pola pengorganisasian masyarakat. Sekarang,

34
INSIST berkembang menjadi suatu organisasi terbuka bagi banyak aktivis gerakan

sosial dan intelektual dari berbagai tempat di seluruh Indonesia.

INSIST bisa dikatakan sebagai “alat”39 bagi berjalannya proses Transformasi

Sosial di Indonesia. Dikatakan sebagai alat karena Mansour menyadari akan

kelemahannya sebagai manusia yang tidak bisa berjuang sendiri. Oleh karena itu, ia

membutuhkan organisasi dengan kesamaan visi dan misi mengenai pergerakan sosial

dan transformasi sosial di Indonesia dan teman yang memiliki komitmen untuk

melakukan perubahan tatanan sosial yang mendasar dan baru. Kumpulan orang–

orang yang berada di INSIST ini yang oleh Mansour Fakih kemudian disebut sebagai

komunitas santun.

Selain melahirkan aktivis muda, penulis, budayawan maupun sastrawan

muda yang berwawasan transformasi sosial dengan program INVOLEVMENT-nya

(Indonesia Volunteers for Social Movement), Mansour bersama Roem

Topatimasang, Anu Lounela dan Eko Prasetyo memimpin Dewan Redaksi tetap

jurnal INSIST, WACANA. WACANA merupakan salah satu jurnal pemikiran yang

diperhitungkan di Indonesia. Jurnal ini dimaksudkan untuk mewadahi pergulatan–

pergulatan wacana transformasi sosial, bukan sekedar menyalurkan kegenitan

intelektual semata. INSIST merupakan realisasi pemikiran Mansour Fakih dalam

mengembangkan demokratisasi dan perjuangan hak–hak sipil di Indonesia.40

Demikian besar cita–cita dan semangatnya dalam memperjuangkan keadilan

bagi setiap orang, tetapi belum sempat ia melihat proses rehumanisasi benar–benar

tercapai, Mansour Fakih meninggal dunia karena serangan stroke. Mansour tutup

39
Wawancara dengan Saleh Abdullah (direktur INSIST) Januari 2007.
40
Fajar Sudarwo, Log.cit hal 122.

35
usia pada tanggal 15 Februari 2004, pukul 23.00 WIB di rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta.

C. Elaborasi Pemikiran-Pemikiran Besar dibalik Pemikiran Mansour

Fakih

Pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi Sosial sangat dipengaruhi

oleh pemikiran–pemikiran kaum strukturalis dan posmodernis. Selama di Amerika

Serikat, dalam rangka menempuh pendidikan formal master dan doktornya, Mansour

Fakih sangat dipengaruhi oleh pemikiran–pemikiran Antonio Gramsci tentang

hegemoni dan juga pandangan–pandangan serta teori–teori gerakan feminisme.

Pemikiran lainnya adalah pemikiran Paulo Freire mengenai metodologi pendidikan

kritis yang digunakan sebagai acuan bagi Mansour Fakih untuk mengadakan

pelatihan dan training–training pendidikan.

Rangkaian pemaparan berikut ini memuat sejumlah penjelasan mengenai

pemikiran tokoh yang mempengaruhi pemikiran Mansour Fakih. Pemaparan tersebut

akan dibatasi pada konsep-konsep yang diserap oleh Mansour, baik itu berasal dari

seorang tokoh seperti Gramsci, Freire, Foulcault, maupun teori feminisme lainnnya.

Rangkaian pemaparan berikut ini tentunya memuat juga uraian tentang bagaimana

buah pemikiran dari para tokoh-tokoh tersebut membentuk dan mempengaruhi

pemikiran Mansour Fakih.

36
C.1 Hegemoni Gramscian

Selama menempuh pendidikan di Amherst Amerika Serikat, pemikiran

Mansour Fakih sangat dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci.41 Diantara

banyaknya gagasan-gagasan politik dan perubahan sosial Gramsci, terdapat tiga

gagasan utama yang sangat mempengaruhi pemikiran Mansour Fakih, yaitu konsep

Gramsci mengenai hegemoni, perubahan sosial dan intelektual organik.

Hegemonik Gramscian42 bertitik tolak dari pemikiran Gramsci mengeni

hubungan antar kelas yang ada dalam masyarakat dengan kekuatan-kekuatan sosial

yang ada di dalamnya dengan menekankan pada faktor politik dan ideologi yang

mengacu pada gagasan dasar Marx mengenai hubungan antar kelas, serta hubungan

antara kelas dan negara. Yang harus digaris bawahi dari gagasan Gramsci adalah

hegemoni bukanlah konsep hubungan dominasi kekerasan melainkan sebuah

konsensus. Konsensus dilakukan melalui jalur politik dan ideologis dimana kelas

terdominasi mengakui keunggulan dan kekuasaan kelas hegemonik.

41
Antonio Gramsci lahir di Ales Sardinia pada tanggal 22 januari 1891 dan meninggal di Roma pada
27 April 1937. Gramsci adalah salah satu pemikir dalam tradisi pemikiran teori kritis dengan karyanya
yang terkenal Quqreni del Carcere atau Selection from the Prison Notebooks mengenai mengapa dan
bagaimana negara modern mendapatkan konsensus atas kekuasaannya terhadap mayoritas masyarakat
dan bagaimana konsensus itu dapat diubah menjadi konsensus baru yang mendukung nilai – nilai
sosialisme yang merupakan kumpulan dari catatan harian yang ditulis sewaktu dia di penjara pada
tahun 1929-1935. Pemerintahan Fasis Italia menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Minatnya
terhadap politik khusunya mengenai gerakan sosial dan gerakan kaum buruh di Turin pada waktu itu
muncul sejak dia duduk dibangku kuliah. Gramsci kemudian menekui bidang media massa,
kebudayaan dan kritik ideologi. Seiring dengan perjalanan hidupnya sebagai seorang aktivis, dia mulai
terlibat dalam aktivitas – aktivitas politik dengan aktif dalam kegiatan partai politik yang concern
terhadap gerakan – gerakan perjuangan kaum buruh.Gramsci memberikan konsepsi mengeni partai –
partai komunis yang demokratis di negara – negara barat dengan menjadi peletak dasar western
communism sebagai suatu alternatif komunisme untuk membedakan dengan perkembangan dan
praktek komunisme di Uni Soviet. Gramsci juga mewariskan perubahan yang besar dalam berbagai
perdebatan pemikiran dan teori mengenai perubahan sosial, terutama bagi perubahan sosial radikal
dan revolusioner.
42
Hegemoni merupakan teori yang didasarkan pada analisis Gramsci mengenai penyerahan ideologi
kelompok tertindas terhadap rezim Mussolini pada masa formasi social kapitalistik eksploitatif dan
penindasan ekonomi politik yang di ikuti oleh dukungan terhadap keradaan rezim Mussolini.

37
Konsep Hegemoni Gramsci didasarkan pada analisis Gramsci terhadap

peristiwa penyerahan ideologi kelompok tertindas terhadap rezim Mussolini pada

masa formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan ekonomi politik

oleh rezim Mussolini. Penyerahan ideologi ini kemudian diikuti dengan pemberian

dukungan terhadap keberadaan rezim Mussolini. Penyerahan ideologi ini dilakukan

melalui jalur konsensus yang berimplikasi pada munculnya suatu kelompok yang

mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar untuk mengendalikan kelompok lain.

Kelompok inilah yang dinamakan Gramsci sebagai kelas hegemonik.43

Gramsci memberikan persyaratan bagi suatu kelas untuk bisa menjadi kelas

hegemonik. Pertama, disamping harus memiliki kesadaran politik kolektif dan

organisasi, untuk menjadi kelas hegemonik, suatu kelas haruslah bisa

menggabungkan perjuangan dari berbagai kepentingan dan perjuangan yang

dilakukan oleh kekuatan–kekuatan sosial lain dengan kepentingan kelas mereka

untuk bisa meraih kepemimpinan nasional.44 Kedua, bagi Gramsci, suatu kelas

belum bisa dikatakan kelas hegemonik hanya karena kelas tersebut mampu untuk

mempengaruhi kelas lain. Tetapi lebih dari itu, kelas hegemonik harus mampu

menampung seluruh aspirasi masyarakat, tidak hanya dalam bentuk perjuangan

kelas, tetapi juga perjuangan non kelas seperti perjuangan hak–hak politik,

perjuangan gerakan kaum perempuan, gerakan mashasiswa, dan lain-lain,45 dengan

cara–cara yang demokratis. Inilah yang disebut Gramsci dengan nasional kerakyatan.

Ketiga, Gramsci mensyaratkan adanya kelompok intelekual organik yang mampu

43
Kelas yang mendapatkan persetujuan dan pengakuan dari kekuatan dan kelas social lain dengan
cara menciptakan sistem aliansi.
44
Roger Simon, Gagasan–Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar-INSIST, Yogyakarta, 2004 hal
56.
45
Ibid hal 58.

38
menjabarkan ideologi organik dan mengemban tugas melaksanakan reformasi moral

dan intelektual.46 Mereka adalah orang–orang yang mampu menjalankan fungsi–

fungsi intelektualnya.

Analisis yang digunakan Gramsci, digunakan juga oleh Mansour Fakih

dengan kontekstualisasi masyarakat Indonesia di era developmentalisme dan

neoliberalisme. Masyarakat tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang

ditindas oleh negara dan sistem neoliberalisme. Penindasan yang tidak tampak

sebagai penindasan karena tidak ada tindakan kekerasan yang bisa dilihat secara

kasat mata. Namun dibalik itu, masyarakat sesungguhnya sedang mengalami

penindasan ideologis. Sadar atau tidak, masyarakat telah melakukan penyerahan

ideologi kepada kelas hegemonik (negara dan pasar).

Hegemoni pada dasarnya merupakan upaya merebut kekuasaan sekaligus

mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh. Dengan demikian, kelompok yang

tertindas bisa menggunakan hegemoni untuk melawan dan merebut kekuasaan dari

kelas hegemonik. Hal ini dilakukan apabila keadaan yang ada tidak lagi memberikan

ruang gerak dan keadilan bagi kelas yang terhegemoni. Ini yang disebut Gramsci

sebagai counter hegemoni. Dengan melakukan counter hegemoni bukan tidak

mungkin bagi kelas terhegemoni untuk bisa berganti menjadi kelas hegemonik.

Hegemonik Gramscian digunakan Mansour sebagai pisau analisis ketika

melakukan kajian intensif terhadap sistem dan struktur di Indonesia. Menurutnya

struktur yang ada di Indonesia merupakan struktur yang hegemonik. Dan struktur

46
Ibid hal 85.

39
yang bersifat hegemonik ini yang menurut Mansour sebagai pangkal dari apa yang

dinamakan dehumanisasi.

Menurut Mansour Fakih, pengakuan terhadap keunggulan dan kekuasaan

hegemoni dapat dilihat dari perubahan cara hidup, cara berpikir dan cara pandang

masyarakat yang meniru serta menerima cara maupun gaya hidup dari kaum kapitalis

yang mendominasi dan sesungguhnya mengeksploitasi mereka.47 Masyarakat,

sebagai kelas terhegemoni, tidak menyadari sesungguhnya mereka berada dalam

hubungan kekuasaan yang menindas. Hubungan kekuasaan yang bersifat menindas

dan eksploitatif itu dibangun dalam sebuah struktur dan dijaga oleh sistem. Dengan

kata lain, hegemoni sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat secara sosial dan

pribadi yang mencakup moralitas, keagamaan dan intelektual masyarakat sendiri.48

Kelas yang terhegemoni akan dengan sukarela, tanpa mereka sadari, menyerahkan

ideologi mereka terhadap kelompok hegemonik dan bersedia membuat kesepakatan

untuk membentuk sistem aliansi dengan maksud dan tujuan yang menurut kelas

terhegemoni sama.

Gagasan Gramsci inilah yang menjadi landasan bagi Transformasi Sosial

Mansour Fakih. Mansour Fakih mengembangkan gagasan–gagasan utama Gramsci

mengenai model alternatif perubahan sosial non-deterministik. Perubahan sosial

yang tidak hanya berpangkal pada aspek ekonomi saja. Mansour berpendapat,

dengan mewujudkan masyarakat yang inklusif, otomatis juga akan mewujudkan

tatanan sosial baru, yaitu masyarakat yang berkeadilan. Pendapat ini merupakan

pengembangan dari gagasan Gramsci mengenai kelas hegemonik.


47
Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002 hal
140.
48
Ibid hal 140.

40
C.2 Discourse Analysis Michael Foulcault

Michael Foulcault49 adalah salah seorang tokoh posmodernisme yang

memberikan analisa dan pandangan mengenai pengaruh teori posmodernisme

terhadap teori perubahan sosial. Gagasan utama dari Foulcault adalah discourse

analysis. Discourse analysis yang dikemukakan oleh Foulcault merupakan kajian

yang mendalam mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, yakni

bagaimana pengetahuan dan kekuasaan berinteraksi dan menciptakan suatu praktek

dominasi.50

Arkeologi dan genealogi merupakan istilah yang digunakan Foulcault untuk

mendiskripsikan dan menguraikan anatomi suatu kekuasaan dalam sebuah discourse.

Menurut Foulcoult, dalam sebuah pernyataan atau wacana terkandung kekuasaan

karena konsepsi dan wacana tidak pernah netral, obyektif, dan bebas nilai.

Senada dengan analisa Foulcault, Mansour Fakih meyakini bahwa ilmu

pengetahuan ikut andil dalam memberikan legitimasinya bagi sebuah diskursus.

Baginya, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tidak bebas nilai. Pengetahuan selalu

memiliki kepentingan sendiri dan berpihak. Masalahnya adalah pada apa dan siapa

kepentingan itu berpihak. Bagi Mansour sendiri, pengetahuan harus berpihak pada

kepentingan–kepentingan rakyat pada umumnya, disamping pada khususnya

berpihak pula kepada masyarakat yang dipinggirkan.

49
Michael Faoulcault lahir di Poiter, Perancis pada tahun 1926 dan meninggal di Paris pada tahun
1984. Ia merupakan pencetus gagasan mengenai posmodernisme. Ia menyumbangkan gagasan kritik
bagaimana sebuah makna dikonstruksi. Baginya, “knowledge is not something that can exist apart
from power relations”.
50
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 170.

41
C.3 Gender dan Feminisme

Banyak analisis dan teori–teori sosial yang digunakan untuk memahami

terjadinya ketidakadilan. Analisis itu sekaligus digunakan juga sebagai alat untuk

memerangi ketidakadilan sosial yang terjadi di sepanjang sejarah kemanusiaan

masyarakat. Salah satu analisis yang digunakan Mansour Fakih untuk

mempertanyakan terjadinya ketidakadilan sosial adalah analisis gender. Analisis

gender adalah suatu analisis yang menjadi alat perjuangan bagi gerakan–gerakan

feminisme. Analisis gender digunakan untuk mempertanyakan terjadinya

ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin. Analisis gender, seperti

halnya teori sosial lainnya digunakan untuk memahami realitas sosial.

Menurut Mansour, masyarakat kurang memahami apa sesungguhnya gender

itu, sehingga masyarakat pada akhirnya seringkali tidak bisa membedakan secara

jelas konsep gender dan seks. Kurangnya pemahaman terhadap perbedaan konsep

gender dan seks memang menjadi salah satu pemicu terjadinya ketidakadilan gender.

Jika seks merupakan pembagian dua jenis kelamin secara biologis, maka gender

adalah seperangkat peran. Gender merupakan seperangkat perilaku khusus yang

mencakup penampilan, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah

tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain,51 yang disampaikan

kepada orang lain guna melahirkan identifikasi bahwa itu laki–laki atau perempuan.

Gender bukan definisi permanen, artinya, sifat–sifat yang melekat dalam gender bisa

saja dipertukarkan. Misalnya, perempuan disosialisasikan sebagai makhluk yang

lemah–lembut, emosional, mudah menangis, berambut panjang, menggunakan rok,

51
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002 hal 3.

42
dan penuh kasih sayang. Adapun laki–laki sendiri dikonstruksi sebagai seorang

makhluk yang kuat, rasional, tidak menangis, berambut pendek, menggunakan

celana, dan lain-lain. Ciri–ciri tersebut bisa saja “dipertukarkan”. Misalnya, siapa

bilang laki–laki tidak boleh menangis atau tidak semua perempuan lemah lembut,

sarat dengan sifat-sifat feminim.

Sementara itu, feminisme merupakan gerakan yang menggunakan analisis

gender sebagai landasannya. Feminisme merupakan gerakan kesadaran yang

berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi sekaligus

gerakan untuk menghentikan diskriminasi52 itu sendiri. Ada empat gerakan

feminisme yang menggunakan pendekatan dan perspektif yang berbeda–beda dalam

memahami diskriminasi dan marjinalisasi yang dialami oleh kaum perempuan.

Secara sederhana, empat perspektif tersebut dapat dibagi menjadi dua aliran besar

feminisme, yaitu aliran fungsionalis dan aliran konflik,53 meskipun kemudian lahir

pula aliran–aliran feminisme lainnya dari perspektif yang berbeda. Namun, keempat

aliran feminisme ini merupakan aliran yang utama.

Analisis gender dan prinsip–prinsip gerakan feminisme sangat berpengaruh

bagi pandangan Mansour Fakih terhadap kedudukan perempuan dalam struktur

masyarakat di berbagai aspek kehidupan, meliputi ekonomi, sosial, politik dan

budaya. Pemikiran Mansour sangat dipengaruhi oleh pemikiran feminisme aliran

konflik, seperti feminisme Marxis dan feminisme Radikal.

52
Mansour Fakih, Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari analisa gender, Risalah Gusti,
Surabaya. 1996 hal 38.
53
Mansour Fakih, Analisis Gender, Op.cit hal 79.

43
Pengaruh feminisme Marxis dan feminisme Radikal dalam pemikiran

Mansour Fakih terlihat dari bagaimana Mansour Fakih melihat praktek ketidakadilan

di masyarakat.

Bagi feminisme radikal, ketertindasan perempuan disebabkan karena

persoalan ideologi. Feminisme radikal mempermasalahkan ideologi patriarki sebagai

sumber yang menjadi landasan bagi tertindasnya kaum perempuan. Patriarki adalah

suatu sistem kekuasaan seksual dimana laki-laki mempunyai kekuasaan superior

serta mempunyai kendali ekonomi terhadap perempuan (Bhasin 1996:13-15).54

Feminisme radikal muncul sebagai reaksi atas diskriminasi berdasarkan jenis

kelamin di Barat pada tahun 1960-an (Jaggar 1988:9-10).55 Feminisme radikal

menyatakan faktor biologis sebagai dasar pembedaan. Perbedaan jenis kelamin

antara laki-laki dan perempuan yang dilanggengkan oleh patriarki merupakan sistem

yang memberi kekuasaan bagi laki-laki untuk menguasai perempuan secara ekonomi

serta mengkontrol fungsi reproduksi perempuan. Sementara itu, feminisme Marxis

berkeyakinan bahwa ketertindasan perempuan disebabkan karena perbedaan kelas

dalam hubungan produksi. Perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas

dalam hubungan produksi. Artinya, perempuan tertindas secara struktural dalam

aspek ekonomi.

Pendapat yang dikemukakan oleh kaum feminisme Marxisme ini berangkat

dari analisis Marx mengenai hubungan antara suami dan istri yang dianalogikan

dengan hubungan antara kaum proletar dengan borjuis. Perempuan dalam sistem

kapitalisme menjadi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi dalam hubungan

54
Ibid hal 99.
55
Ibid hal 100.

44
industri. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang

bersifat struktural.56 Bagi mereka sistem kapitalisme adalah sumber dari

permasalahan penindasan perempuan.

Bagi Mansour, feminisme sangat relevan digunakan sebagai pisau analisis

dalam kajian dehumanisasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih banyak

orang yang menganggap kaum perempuan tidak ada kaitannya dengan kemiskinan

struktural. Pemahaman seperti ini tidak hanya menjangkiti masyarakat awam saja.

Para praktisi perubahan sosial, kalangan intelektual akademis yang notabene

mempunyai banyak pengetahuan tentang kemiskinan, ikut pula terjangkiti

pemahaman seperti itu ketika melihat kaum perempuan dan kemiskinan struktural.

Di Indonesia, analisis gender yang dikembangkan Mansour Fakih menjadi analisis

baru dalam memahami marjinalisasi dan pemiskinan yang dialami perempuan

sekaligus menjadi analisis baru untuk mewujudkan hubungan emansipatoris antara

laki–laki dan perempuan.

C.4 Metodologi Pendidikan Kritis Freirean

Pemikiran keempat yang ikut mempengaruhi pemikiran Mansour Fakih

adalah pendidikan kritis Paulo Freire.57 Tesis utama yang dikemukakan Freire adalah

pendidikan merupakan suatu alat untuk menindas dan melanggengkan penindasan.

Pertama, Freire dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses

politik. Kedua, berangkat dari anggapan dasar bahwa pendidikan adalah sebuah

tindakan politik, menyatakan bahwa pendidikan merupakan alat untuk menyebarkan

56
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 88.
57
Paulo Freire di lahirkan di Brasil 19 September 1921 di kota Recife dan meninggal dunia pada
tanggal 2 Mei 1997. freire dikenal sebagi tokoh pendidikan radikal yang menjadi arsitek bagi model
pendidikan untuk memberdayakan kaum tertindas dari sistem pendidikan. Bukunya yang terkenala
adalah Pedagogy of the Oppressed disamping Pedagogia do Oprimido.

45
sistem kapitalis dominan.58 Ketiga, proses penyebaran itu dilakukan melalui sistem

pendidikan dan pengetahuan yang mendukung, yaitu menciptakan pendidikan yang

monologis dengan guru sebagai pemberi pengetahuan dan murid sebagai penerima

pengetahuan. Inilah yang disebut Freire sebagai pendidikan gaya bank,59 sebuah pola

pendidikan tertindas. Pendidikan gaya bank merupakan pendidikan satu arah, anti

dialogis, anti kritis.

Pola pendidikan tertindas ini mengakibatkan kelompok tertindas berada

dalam suatu kondisi dimana dia harus menyesuaikan diri dengan situasi dominan

yang ada disekitarnya. Pola pendidikan seperti ini menempatkan kelompok tertindas

pada posisi yang tidak memberinya ruang dan kesempatan untuk bisa

memberdayakan dirinya sendiri, karena segala sesuatunya ditentukan dan diarahkan

oleh kelompok penindas.

Tesis yang kedua dari Freire, yaitu disamping keberadaannya yang dapat

digunakan sebagai alat penindasan, pendidikan juga dapat digunakan sebagai

instrumen dalam proses pembebasan. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh

Freire, Mansour juga meyakini bahwa pendidikan merupakan alat untuk kembali

memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi yang telah dialaminya. Hal ini

58
Lies Marcos dan Setyo Fajar Dewantoro, Op.cit hal 101.
59
Pendidikan gaya bank:
1. guru mengajar, murid diajar.
2. guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa – apa.
3. guru berpikir, murid dipikirkan.
4. guru bercerita, murid mendengarkan.
5. guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri
dengan pelajaran itu.
9. guru mencampuradikkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya yang ia
lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

46
didasarkan pada asumsi bahwa perjuangan manusia untuk menjadi manusia

seutuhnya adalah sebuah fitrah. Kaum tertindas harus melihat diri mereka sendiri

sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologis dan kesejarahan untuk

menjadi manusia seutuhnya.60 Lebih dari itu, proses pembebasan tidak hanya

dilakukan terhadap kelompok tertindas saja, melainkan harus dilakukan juga

terhadap kelompok penindas. Pendidikan yang membebaskan adalah wahana

pendidikan demokratis, yakni pendidikan yang menantang, suatu tindakan kritis

terhadap upaya mengetahui, membaca realitas, dan memahami bagaimana

masyarakat bekerja.61

Metode alternatif yang dikembangkan Freire adalah partisipatoris, dimana

peserta didik ditempatkan sebagai subyek dalam kegiatan belajar. Mendesain suasana

belajar dengan menciptakan komunikasi dua arah antara guru dan murid.

Menempatkan murid tidak hanya sebagai penerima informasi, tetapi sama–sama

sebagai pencipta pengetahuan dan pemberi informasi. Guru hanyalah fasilitator bagi

murid untuk membuka kesadaran kritis masyarakat dalam memahami realitas dengan

pengetahuan yang dipahaminya.

Pendidikan sebagai proses pembebasan tidak hanya dilakukan dengan

memperbaiki metode dan teknik pendidikan yang ada. Menurutnya, pendidikan yang

membebaskan harus sangat sadar bahwa transformasi tidak hanya sekedar

mempertanyakan metode atau teknik. Masalah utamanya adalah hubungan yang

berbeda diantara pengetahuan dan masyarakat.62 Lebih lanjut Freire mengatakan

60
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 2000 hal 43.
61
Ira Shor dan Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka Petikan Pengalaman dalam Lies Marcos dan
Setyo Hajar Dewantoro, Op.cit hal 109.
62
Dialog Freire dengan Ira Shor dalam Lies Marcoes dan Setyo Hajar Dewantoro, Op.cit hal 106.

47
bahwa pendidikan kaum tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan

dengan, dan bukan untuk, kaum tertindas dalam perjuangan yang tiada henti untuk

meraih kembali kemanusiaan.63

Konsep pendidikan kritis Freirean ini yang kemudian dikembangkan

Mansour Fakih dalam memberikan pelatihan di berbagai daerah dalam rangka

memunculkan kesadaran kritis masyarakat untuk melawan dan memerangi

dehumanisasi. Pendidikan kritis yang dirintis oleh Mansour Fakih bukanlah melalui

jalur pendidikan formal, akantetapi pendidikan kritis bagi masyarakat pada umumnya

dirintis melalui jalur yang disebut dengan “sekolah” rakyat, dimana rakyat

ditempatkan sebagai subyek, rakyat lebih mengetahui bagaimana cara dan jalan

keluar terbaik untuk permasalahan yang dihadapinya. Banyaknya pengalaman

Mansour sebagai seorang aktivis, membuat dia sangat bersemangat ketika harus

berhadapan dengan kelompok masyarakat marjinal untuk mendengarkan dan menjadi

fasilitator mereka dalam mencari jalan keluar terbaik bagi permasalahan mereka

sendiri.

D. Penutup

Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa keempat pemikiran besar

tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam mempengaruhi serta membentuk

pemikiran Mansour Fakih ketika memahami realitas sosial yang ada. Proses

pengadopsian pemikiran-pemikiran tersebut diatas, mungkin memang terkesan

bahwa Mansour hanya mencomot konsep-konsep dan kemudian hanya

63
Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan. Pendidikan yang memanusiakan, dalam Menggugat
Pendidikan, Omi Intan Naomi (Ed), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003 hal 439.

48
mengumpulkan konsep-konsep tersebut. Tetapi lebih dari itu, dari elaborasi keempat

konsep diatas serta bagaimana cara Mansour menggunakan konsep-konsep tersebut

dalam konteks masyarakat Indonesia, kita dapat menarik benang merah apa yang

menjadi fokus perhatian dari keempat konsep yang diadopsi Mansour, yaitu

terjadinya ketidakadilan secara struktural. Gramsci dan Freire menggunakan istilah

dehumanisasi untuk menjelaskan praktek ketidakadilan struktural yang terjadi di

dalam masyarakat. Adopsi konsep hegemoni Gramsici, analisis dicscourse, analisis

gender dan pendidikan kritis Freirean berujung pada satu titik, yaitu ketidakadilan.

Dari sinilah berkeyakinan bahwa proses dehumanisasi di Indonesia terjadi

secara struktural. Sistem dan struktur yang telah ada memberi peluang bagi tumbuh

suburnya dehumanisasi. Menyadari perannya sebagai seorang intelektual, Mansour

pun mulai memikirkan bagaimana cara untuk memerangi ketidakadilan yang terjadi

di dalam masyarakat.

Pengadopsian konsep dan teori yang dikuasainya serta pengalaman

empirisnya sebagai seorang aktivis pergerakan rakyat, Mansour Fakih berhasil

merumuskan suatu gagasan yang berangkat dari isu ketidakadilan (dehumanisasi).

Konsep yang digunakan untuk membebaskan manusia dari proses dehumanisasi yang

secara sadar maupun tidak, telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Konsep yang

mencerminkan sebuah terobosan baru yang ditawarkan Mansour Fakih untuk melihat

dan memecahkan persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan. Konsep inilah yg di

sebut dengan Transformasi Sosial dan akan diulas di dalam BAB III sebagai bahasan

utama dari tulisan ini.

49
BAB III

TRANSFORMASI SOSIAL ALA MANSOUR FAKIH

A. Pengantar

Di dalam BAB III ini akan mendeskripsikan mengenai gagasan Transformasi

Sosial Mansour Fakih secara keseluruhan dengan menekankan pada sisi metode dan

isu serta agen Transformasi Sosial sebagai kekhasan gagasan Transformasi Sosial

tersebut.

Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, ketidakadilan menjadi titik

tolak pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi Sosial. Pada BAB III ini

akan dibahas secara menyeluruh pemikiran Mansour Fakih mengenai Transformasi

Sosial, yaitu sebuah gambaran dari upaya Mansour Fakih mengelaborasi pemikiran-

pemikiran besar yang mempengaruhinya sehingga pada akhirnya ia mampu

merumuskan pemikiran–pemikirannya tersebut dalam sebuah konsep bernama

Transformasi Sosial. Buah pemikiran yang menjadi sebuah konsep alternatif dalam

memerangi ketidakadilan pada khususnya dan proses perubahan sosial pada

umumnya.

Di dalam BAB III ini, akan dibahas dua hal penting yang paling menonjol

dalam gagasan Sosial Mansour Fakih yang membedakan dengan gagasan

Transformasi Sosial lainnya, yaitu isu penting yang menjadi salah satu gagasan

Mansour dalam merumuskan konsep Transformasi Sosial, yaitu perspektif difabel

sebagai bentuk cacat yang dikonstruksi dan mengenai agen Transformasi Sosial.

50
Pembahasan mengenai isu perspektif difabel sebagai bahasan utama dalam

BAB ini dikarenakan isu difabel merupakan isu baru di Indonesia yang digunakan

sebagai perspektif untuk memahami terjadinya ketidakadilan. Tidak banyak orang

yang berbicara mengenai difabel. Dengan demikian, isu difabel dalam BAB ini akan

diulas untuk lebih memahami Transformasi Sosial dalam pemikiran Mansour Fakih.

untuk mendapatkan satu pemahaman mengenai Transformasi Sosial secara utuh.

B. Dehumanisasi sebagai Titik Awal

Dehumanisasi merupakan istilah untuk merujuk pada keadaan dimana

sebagian besar masyarakat mengalami berbagai macam bentuk ketidakadilan

menyangkut kedudukannya sebagai manusia dalam berbagai aspek kehidupan.

Persoalan dehumanisasi dan kemiskinan bersumber pada kebijakan–kebijakan yang

terbentuk dalam sistem relasi yang tidak adil di bidang politik, ekonomi, baik di

tingkat lokal, nasional maupun internasional. Sistem relasi itu memang didesain agar

struktur sosial timpang dan tidak merata.64 Dehumanisasi tidak hanya membawa

korban bagi mereka yang berada dalam kondisi tertindas, tetapi sekaligus juga bagi

mereka yang berada pada posisi menindas.

“.....saat ini kita tengah menyaksikan proses dehumanisasi dan


pemiskinan yang terjadi disekitar kita. Sistem sosial dan budaya yang
telah kita dirikan ternyata merupakan suatu sistem yang secara
sistematis sanggup meruntuhkan hakikat kemanusiaan kita…..banyak
petani terpinggirkan dan tergusur dari sawah tempat mereka
menggantungkan hidupnya. Kaum miskin kota dan fakir miskin yang
tergusur….anak jalanan yang seharusnya dipelihara negara, dikejar
dan ditangkapi dan diperlakukan layaknya kriminal. Kekayaan Negara

64
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme,INSIST, Yogyakarta, 2003, hal 20.

51
yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dijual melalui
program privatisasi..”65

Jadi, dapat dipahami bahwa proses dehumanisasi adalah suatu proses

terenggutnya Hak Asasi Manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari

suatu kelompok, yang sarat dengan nuansa dan unsur eksploitatif di segala aspek

kehidupan serta dilanggengkan oleh sistem dan struktur yang ada.

Proses dehumanisasi, secara disadari atau tidak, telah tumbuh dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat sendiri. Menjalar dari hubungan antara

rakyat dengan sistem dan struktur yang diciptakan negara, ke dalam kehidupan

bermasyarakat yang sederhana, dimana hadir di dalamnya relasi antar individu dan

antar kelompok. Proses dehumanisasi juga terjadi dalam hubungan kemasyarakatan

yang selama ini sarat dengan nilai–nilai budaya ketimuran, dimana gambaran seperti

sikap menghormati dan menghargai dijunjung tinggi serta mendapatkan tempat

bernaungnya. Dehumansasi tidak hanya terjadi pada aspek pelanggaran hak–hak

politik dan sipil masyarakat saja, tetapi juga telah menyentuh aspek sosial dan

budaya masyarakat.

“…setiap saat kita menyaksikan bagaimana proses dehumanisasi


dipertontonkan dan dirayakan media massa dengan telanjang tanpa
rasa sesal apa–apa. Mata kita bagaikan tertusuk benda tajam,
menyaksikan bagaimana orang tega memusnahkan tetangga desanya,
hanya karena beda kepercayaan yang dianut. Anehnya, semangat
untuk memusnahkan jalan pikiran, memusuhi pandangan dan bahkan
menghancurkan raga mereka yang berbeda kepercayaan itu makin
subur dan makin banyak penganutnya saja..”66

65
Ibid hal 1
66
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal vi.

52
Menurut Mansour, kondisi ekonomi merupakan akar penyebab terjadinya

dehumanisasi. Mansour Fakih mengawali analisanya dalam memahami berbagai

macam bentuk ketidakadilan dengan memberikan sejumlah analisa terhadap

fenomena kapitalis global di negara–negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia

sebagaimana berikut ini.

Pertama, Mansour Fakih menunjuk neoliberalisme, sebuah bagian dari

kapitalisme dengan wajah baru, sebagai biang dari berbagai praktek ketidakadilan

yang termanifestasi dalam fenomena kemiskinan dan keterbelakangan.

Neoliberalisme berkembang dan lahir setelah kapitalisme dan developmentalisme

mengalami kegagalan di negara–negara Asia. Neoliberalisme merupakan sebuah

gambaran dari upaya negara–negara kaya dalam memberikan jalan keluar bagi

kegagalan developmentalisme di negara–negara Asia. Bagi negara–negara kaya,

kegagalan developmentalisme merupakan akibat dari banyaknya praktek korupsi

yang didukung oleh sistem pemerintahan yang kurang baik. Mansour Fakih

menyebut neoliberalisme sebagai agama sekuler baru yang diamalkan secara

sistemik dan struktural melalui mekanisme kebijakan.67

Neoliberalisme adalah suatu sistem ekonomi yang dikembangkan dari

liberalisasi ekonomi. Prinsip utama neoliberalisme adalah persaingan bebas dengan

memasukkan gagasan–gagasan globalisme di dalamnya. Neoliberalisme

mengakibatkan subsidi negara untuk rakyat dihentikan. Campur tangan negara

dalam kegiatan ekonomi ditiadakan dan kepemilikan komunal masyarakat

tradisional dihapus karena dianggap menghalangi pertumbuhan dan melangggar

67
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Op.cit hal 54.

53
prinsip–prinsip persaingan bebas.68 Hal tersebut selanjutnya berimplikasi kepada

sejumlah hal sebagai berikut:

a. Negara mempunyai sedikit ruang atau bahkan tidak mempunyai ruang

sama sekali untuk bekerja demi kesejahteraan masyarakat. Hal ini

dikarenakan peran dan fungsi negara digantikan oleh pasar dan swasta.

Peran dan campur tangan negara dianggap terlalu berlebihan. Proteksi

negara dianggap akan menghalangi persaingan bebas.

b. Akumulasi modal yang menjadi bagian dari sistem kapitalis global

(neoliberalisme) telah mengakibatkan kerusakan–kerusakan lingkungan

dan tercerabutnya nilai–nilai kemasyarakatan yang selama ini dijunjung

tinggi oleh masyarakat. Pembalakan hutan dan eksploitasi sumber daya

alam dilakukan untuk memenuhi roda produksi industri.

c. Sikap individualistik yang menjadi prinsip liberalisasi dan modernisasi

membawa konsekuensi pada renggangnya kehidupan bermasyarakat.

Antar tetangga tidak saling kenal, masyarakat bersikap apatis dan

mementingkan kepentingan diri mereka sendiri karena begitu asyik

dengan kegiatan–kegiatan lain yang mereka lakukan demi memenuhi

kebutuhan hidup di tengah jaman yang tidak memberi kesempatan kepada

mereka yang dikatakan tidak mau berusaha.

Dengan demikian, sistem ekonomi yang tengah berlangsung saat ini adalah

sebuah sistem yang didesain untuk mengambil alih fungsi dan peran negara sebagai

sebuah institusi yang bekerja untuk rakyat. Dalam bahasa Mansour Fakih, saat ini

68
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Op.cit hal 8.

54
tengah berlangsung suatu proses transformasi global dari peran dan fungsi negara

kepada swasta dan pasar yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat, dimana negara

hanya menjadi wasit persaingan bebas antar perusahaan transnasional. Berbagai

ideologi dan aturan globalisasi termasuk perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi

dan penyesuaian struktural, telah menghancurkan penghidupan jutaan orang.69

Negara dianggap tidak mampu untuk memenuhi kontrak sosialnya. Negara dinilai

gagal menjalankan fungsinya dalam melindungi hak–hak sipil, politik, ekonomi,

sosial dan hak–hak budaya rakyat70 dengan membiarkan neoliberalisme merajalela

dimana–mana.

Kedua, menurut Manosur proses dehumanisasi terjadi karena didukung oleh

diskursus dominan yang ada di dalam masyarakat. Dominasi diskursus tidak terlepas

dari hegemoni suatu kelompok terhadap kelompok lain. Hegemoni diyakini menjadi

mekanisme legitimasi diskursus dan melanggengkan dehumanisasi, menyebabkan

banyak terjadinya penindasan dan kesengsaraan yang diakibatkan bekerjanya sistem

kapitalisme terhadap kaum miskin.

“…dominasi dari suatu diskursus ternyata tidak sekedar urusan


penggunaan istilah belaka. Lebih dari itu, diskursus ternyata telah
melahirkan implikasi luar biasa terhadap perilaku dan telah
menjadikan kesengsaraan dan bahkan kematian dari banyak orang yang
menjadi korbannya…”71

Diskursus merupakan alat yang paling berbahaya untuk melanggengkan

praktek ketidakadilan. Diskursus berperan membentuk cara pandang dan pola pikir

masyarakat terhadap suatu hal. Caranya yaitu dengan menanamkan ideologi–

69
Jerry Mander, dkk, Globalisasi Membantu Kaum Miskin? Dalam Seri Kajian Global Globalisasi
Kemiskinan dan Ketimpangan, Cindelaras, Yogyakarta, 2004 hal 5.
70
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Op.cit hal 21.
71
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal xiii.

55
ideologi tertentu yang diselundupkan ke dalam istilah–istilah yang sangat sering

digunakan dan berhubungan dengan masyarakat.

Menyikapi keadaan yang demikian, menurut Mansour Fakih, kita harus

melakukan sesuatu yang dapat memberikan perbaikan tatanan kehidupan sosial.

Meskipun meyakini bahwa sistem dan struktur adalah sumber ketidakadilan dengan

pemerintah sebagai alatnya, akan tetapi menurut Mansour Fakih, kita tidak perlu

mengkerdilkan negara, yang tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya dengan

baik, sebagai wujud pelampiasan dendam terhadap suatu rezim.

Mansour Fakih mengingatkan masyarakat untuk “merebut” negara, agar

kembali pada hakekat dan eksistensinya, yakni untuk melindungi warganya dari

eksploitasi, pemiskinan, marginalisasi, hegemoni, dan mencegah kemiskinan,

dominasi, maupun pelanggaran hak–hak politik, budaya, sosial dan ekonomi rakyat72

untuk mewujudkan masyarakat tanpa eksploitasi atau suatu sistem sosial tanpa

“pencurian’ struktural.73 Lebih dari itu, masyarakat juga harus bisa “mengambil” alih

fungsi–fungsi negara dengan bentuk yang berbeda. Hal tersebut bisa dimulai dengan

memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan manusia,

sehingga apabila masyarakat mengalami pelanggaran atas hak–hak yang dimilikinya,

maka dia berhak untuk mendapatkan hak–haknya kembali.

72
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal ix.
73
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal xiii.

56
C. Transformasi Sosial : Konsep Menuju Tatanan Kehidupan yang Lebih

Baik

Dari uraian diatas, dapat ditarik benang merah bahwa yang menjadi

permasalahan bagi Mansour Fakih adalah kehadiran praktek–praktek ketidakadilan

yang tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi) ditengah kehidupan masyarakat.

Untuk itu, Mansour Fakih berpendapat diperlukannya suatu usaha yang bertujuan

untuk melakukan rehumanisasi (memanusiakan kembali manusia), yaitu dengan cara

memperbaiki dan mencapai tatanan sosial yang lebih baik melalui suatu proses

perubahan. Mansour Fakih menyebutnya sebagai Transformasi Sosial. Sementara itu,

parameter dari rehumanisasi yang menjadi tujuan utama dari Transformasi Sosial

sendiri adalah terciptanya suatu masyarakat yang berkeadilan.

Transformasi Sosial adalah sebuah pemikiran yang sama sekali bukan hal

baru. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, Transformasi Sosial

merujuk pada makna yang sama dengan perubahan sosial, yaitu melakukan

perubahan terhadap keadaan yang sekarang karena dianggap tidak lagi sesuai dengan

tuntutan kebutuhan. Dalam pemikiran Mansour Fakih, Transformasi Sosial

didefinisikan sebagai berikut:

Transformasi sosial adalah proses penciptaan hubungan ekonomi,


politik, kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih
baik. 74

Transformasi sosial adalah perubahan yang menyeluruh dan mendasar


menuju terciptanya struktur dan sistem sosial yang adil secara
menyeluruh.75

74
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Op.cit hal 38
75
Mansour Fakih, Masyrakakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Op.cit hal 32.

57
Maksud dari hubungan mendasar yang baru dan lebih baik diatas adalah

struktur, yakni perubahan dari struktur ekonomi yang eksploitatif menuju struktur

tanpa eksploitasi, hubungan kultur hegemonik perlu dirubah menjadi hubungan

struktur politik yang non represif, dan perlunya perubahan dari struktur gender yang

mendominasi perempuan menuju struktur yang membebaskan.76 Oleh karena itu,

Mansour Fakih mengatakan bahwa alat untuk mewujudkan struktur baru yang lebih

baik itu adalah demokrasi.

Menurut Mansour, demokrasi yang berjalan sekarang ini belum benar-benar

menjadi landasan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Demokrasi dengan

wajah pembangunan dan perubahan sosial reformatif sebenarnya adalah sistem

ekonomi yang memiliki watak otoriter dan eksploitatif. Sementara itu, dibidang

politik ia memiliki watak represif dan secara kultural memiliki watak dominatif.77

Oleh karena itu, demokratisasi diperlukan untuk memberikan peluang dan wewenang

yang memungkinkan masyarakat menentukan dan mengelola hidupnya sendiri

melalui dialog, diskusi, dan aksi yang bertumpu di atas persamaan serta keadilan.78

Mansour Fakih memasukkan Transformasi Sosial sebagai salah satu model

alternatif bagi perubahan sosial yang merupakan tujuan utama dari setiap gerakan

sosial.79 Dikatakan sebagai model alternatif bagi perubahan sosial karena perubahan

sosial yang ada selama ini adalah perubahan sosial yang hanya bersifat reformatif

saja, sekedar mencari penyebab kemiskinan dan menimpakan kesalahan kepada

manusia serta menempatkan rakyat sebagai obyek, bukan sebagai subyek perubahan

76
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 hal
66-67.
77
Ibid hal 66.
78
Ibid hal 66.
79
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Log.cit hal 38

58
sosial. Rakyat tidak lebih dari pelaksana kebijakan yang telah didesain oleh negara

dan pasar.

Menurut Mansour Fakih, Transformasi Sosial sebagai model alternatif

perubahan sosial, dapat digunakan untuk menciptakan relasi sosial politik yang lebih

adil dan berwatak emansipatoris dengan menekankan pada aspek kelas, gender

maupun relasi kekuasaan yang lebih luas dan berimplikasi terhadap praktek dan

proyek pembangunan sosial80 serta memiliki ruang lingkup yang lebih luas baik dari

segi metode, dimensi maupun motivasi.81 Mansour Fakih menekankan pada aspek

gender dalam melakukan suatu perubahan karena bagi Mansour Fakih analisis

gender sangat diperlukan untuk memahami akar–akar munculnya ketidakadilan dan

dehumanisasi.

Transformasi Sosial kemudian dijadikan sebagai sebuah “ideologi”82 oleh

Mansour Fakih dalam upayanya untuk melakukan perubahan–perubahan cara

berpikir masyarakat. Bagi Mansour, peralihan menuju sebuah cara pandang alternatif

bagi pola pikir masyarakat merupakan modal untuk melawan hegemoni dan

diskursus dominan demi sebuah perubahan yang berkeadilan. Misi utamanya adalah

merubah cara pandang dan pola pikir masyarakat yang ada sebelumnya dengan cara

pandang baru sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.

80
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 43.
81
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 44.
82
Muhammad Miftakhudin, Mansour Terperosok dalam Institusi Komnas HAM dalam Refleksi
kawan Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih, OXFAM, 2004 hal 41.

59
C.1 Kesadaran Kritis : Modal Awal

Dalam satu pendapatnya, Robert Owen83 mengatakan bahwa manusia adalah

pangkal tolak untuk membangun kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal tersebut

dapat dipahami karena manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang dibekali

cipta, rasa dan karsa, sehingga membedakan dia dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Dengan demikian, manusia mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu sebagai respon terhadap lingkungan sekitarnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Setiap manusia memiliki tingkat kesadaran

yang berbeda–beda di dalam memberikan reaksi atas aksi yang terjadi. Tingkat

kesadaran manusia dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Kesadaran naif

Kesadaran naif adalah kesadaran tingkat awal yang dimiliki oleh manusia.

Pada tingkat ini, masyarakat menyadari kepentingan dan kehidupannya sebagai

seorang individu yang utuh untuk memahami realitas disekitar. Kesadaran akan

pemahamannya terhadap realitas yang ada terbatas pada sikap egoistiknya,

kepentingan–kepentingan pribadinya. Sulit sekali untuk bisa melihat kehidupan

ini sebagai suatu hal yang kompleks.

b. Kesadaran massif

Tingkat kesadaran massif adalah tingkat kesadaran manusia dimana

manusia sudah merasa memahami realitas yang ada dengan pemahaman yang

lebih luas, akan tetapi hanya sebatas pemikiran, ide, gagasan dan wacana.

Analisa didasarkan pada kenyataan yang ada tetapi belum mampu untuk

83
Sigit Pamungkas, Sosialisme Islam HOS Tjokroaminoto, Skripsi, FISIPOL UGM, Yoygakarta,
2001.

60
menjabarkannya pada tindakan praksis, belum mempengaruhi perilakunya

untuk bisa melakukan sesuatu.

c. Kesadaran kritis

Pada tingkat kesadaran kritis ini, manusia tidak hanya menyadari dan

memahami realitas yang ada disekelilingnya, akantetapi tahu juga apa yang

harus dilakukannya untuk menghadapi keberadaan dari realitas yang ada

tersebut. Sekaligus mempunyai kemampuan untuk menghadapi realitas.

Tingkat kesadaran kritis ini jarang sekali dapat kita temukan. Kesadaran kritis

kadang terbelenggu oleh berbagai macam ideologi yang diyakini dan kondisi sosial

dimana kita berada.

Oleh sebab itu, Mansour Fakih menempatkan kesadaran kritis sebagai modal

awal sekaligus syarat mutlak bagi Transformasi Sosial. Landasan utama yang paling

penting bagi praktek Transformasi Sosial adalah adanya kesadaran kritis dari

masyarakat untuk memahami realitas di sekelilingnya sekaligus memecahkan

berbagai persoalan yang ada. Dengan demikian, mereka mampu menciptakan realitas

sosial mereka sendiri dengan didasarkan pada kebutuhan–kebutuhan strategis

mereka. Kesadaran kritis mendorong setiap manusia untuk selalu mempertanyakan

apapun yang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya.

D. Agen Transformasi Sosial

Ditengah jaman yang serba sulit ini, perhatian masyarakat terbatas pada

pemenuhan kebutuhan ekonominya. Sistem dan struktur telah diciptakan sedemikian

rupa sehingga masyarakat kehilangan simpati dan empatinya terhadap berbagai

61
persoalan kemanusiaan. Mansour Fakih melihat hal ini sebagai upaya kelompok

berkuasa untuk membelenggu kesadaran kritis masyarakatnya melalui hegemoni.

Oleh karena itu, diperlukan sejumlah aktor yang mampu menjadi agen atau motor

penggerak dalam merangsang dan menumbuhkan kembali rasa kemanusiaan dalam

diri masyarakat, menghidupkan lagi simpati dan empati ditengah masyarakat.

Orang–orang tersebut adalah mereka yang mampu menciptakan situasi dan

lingkungan yang kondusif untuk memunculkan kembali kesadaran kritis masyarakat.

Para agen tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, adalah apa yang disebut Mansour sebagai kalangan intelektual

organik. Intelektual organik adalah mereka yang mempunyai komitmen dan

kesadaran untuk membentuk suatu komunitas. Komunitas itu disebut sebagai

komunitas santun.84 Komunitas santun adalah komunitas yang berkesadaran kritis,

yang memfasilitasi kebebasan berpikir dan berekspresi, yang akan digunakan untuk

melanjutkan proses dialektis dalam menemukan dan menciptakan format sosial yang

berkeadilan. Komunitas yang menghargai pluralitas keyakinan dan ideologi. Dan

dengan komunitas itulah, para intelektual organik kemudian membangun suatu

kekuatan untuk melakukan transformasi sosial.

Kedua, organisasi. Keberadaan organisasi merupakan sebuah hal yang

penting bagi transformasi sosial. Mansour menyadari setiap perjuangan sangatlah

sulit atau bahkan mustahil untuk bisa dilakukan sendiri. Suatu perjuangan

memerlukan adanya kerjasama diantara orang–orang yang berkomitmen untuk

melakukan transformasi sosial. Organisasi yang dimaksud Mansour Fakih adalah

84
Mansour Fakih, Pengantar Jalan Lain, Op.cit hal ii.

62
organisasi–organisasi non pemerintah (ORNOP) yang lebih dikenal dengan sebutan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terlepas dari perkembangan dan pergeseran

paradigma serta ideologi LSM–LSM yang cenderung pro developmentalisme dan

globalisasi, LSM/ORNOP, di awal kemunculannya, memberikan secercah harapan

yang dibangun dari suara akar rumput untuk melakukan perubahan. Organisasi non

pemerintah bergerak ditingkat akar rumput, menyuarakan dan memperjuangkan

kepentingan–kepentingan masyarakat.

Dengan organisasi inilah Mansour melakukan pelatihan–pelatihan diberbagai

daerah sebagai bentuk komitmennya untuk melakukan Transformasi Sosial melalui

pendidikan, jalur yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, disamping

advokasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat, khususnya rakyat

yang mengalami marjinalisasi. Pelatihan–pelatihan pendidikan yang dia lakukan

merupakan salah satu upaya untuk memfasilitasi gerakan- gerakan masyarakat. Dari

pelatihan itulah lahir aktivis–aktivis muda yang dinamakan Mansour sebagai

intelektual organik yang mampu menjalankan fungsi sosial dan intelektualnya untuk

memperjuangkan kepentingan masyarakat.

E. Melakukan Perubahan Transformatif : Suatu Metode

Di dalam sejarah pergerakan sosial, sebuah gerakan sosial ditujukan untuk

melakukan suatu perubahan. Sebuah “perlawanan” terhadap suatu rezim

pemerintahan maupun kelompok dominan yang kerap dilakukan dengan metode

yang bersifat represif. Metode yang bersifat represif itu dimanifestasikan melalui

cara-cara, seperti demonstrasi, pemogokan, dan aksi–aksi protes lainnya.

63
Namun, hal-hal tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Mansour

Fakih mengenai suatu perubahan. Menurut Mansour Fakih, Transformasi Sosial

dapat dilakukan dengan cara non represif. Transformasi Sosial dapat dilakukan

dengan menekankan pada upaya untuk mengubah cara pandang masyarakat yang

selama ini telah tertanam, menjadi pola pikir dan pola perilaku masyarakat.

Hakikat Transformasi Sosial adalah mengubah pola pikir dan cara pandang

masyarakat dalam menghadapi permasalahan maupun realitas sosial yang ada dengan

wacana baru sebagai cara pandang alternatif. Cara inilah dianggap “aman” melawan

hegemoni negara. Tidak seperti demonstrasi ataupun aksi–aksi menentang lainnya

yang sering menimbulkan reaksi keras dari penguasa dalam berbagai bentuk, seperti

penangkapan aktivis, boikot atau pembekuan organisasi–organisasi.

Dalam merumuskan gagasan mengenai Transformasi Sosial, Mansour lebih

menekankan pada dua hal yang menjadi metode untuk melawan hegemoni negara

sebagai bentuk memerangi ketidakadilan, yaitu dengan dekonsturksi wacana yang

memunculkan wacana baru dalam rangka mengubah pola pikir masyarakat. Inilah

yang disebut dengan countra discourse dan menggunakan pendidikan. Namun

demikian, countra discourse merupakan metode utama yang digunakan Mansour

untuk proses rehumanisasi sedangkan pendidikan merupakan instrumen untuk

memunculkan kesadaran kritis. Terkait dengan hal tersebut, berikut ini merupakan

uraian dari serangkaian cara-cara yang dipaparkan oleh Mansour Fakih untuk

melakukan sebuah transformasi sosial.

64
E.1 Mengubah Pola Pikir dan Cara Pandang Masyrakat dengan

Countra Discourse

Countra discourse adalah salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan

Mansour Fakih untuk menentang discourse yang dilanggengkan oleh hegemoni.

Dengan kata lain, countra discourse merupakan sebuah countra hegemony.

Penggunaan kata discourse dalam bahasa Indonesia sering rancu dengan penggunaan

kata wacana sebagai penggantinya. Discourse cenderung bermakna sebagai sesuatu

yang membentuk dan mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memandang

sesuatu atau beberapa hal didalam aspek kehidupan masyarakat. Kecenderungan

tersebut tidak terlepas dari pengaruh dan hegemoni negara. Discourse digunakan

untuk menyembunyikan ideologi tertentu yang ada di dalam suatu makna sehingga

seolah–olah discourse tersebut tidak mempunyai ideologi dan kepentingan tertentu.

Sementara itu, kata wacana sendiri dinilai memiliki makna yang lebih positif

daripada discourse. Kata wacana bermakna pada suatu pandangan alternatif baru.

Oleh karena adanya perbedaan pemaknaan diantara kata discourse dan wacana

tersebut, maka dipakailah kata serapan dalam bahasa Indonesianya, yaitu diskursus,

sebagai terjemahan langsung sekaligus untuk menggantikan penggunaan kata

discourse dalam bahasa Indonesia.

Terkait dengan diskursus, Mansour Fakih dikenal sebagai sosok yang begitu

gigih membongkar diskursus–diskursus dominan yang ada di dalam masyarakat,

terutama mengenai pembangunan dan kegagalan pembangunan itu sendiri.

Pemikiran–pemikirannya merupakan suatu bentuk countra discourse terhadap

developmentalisme. Ia juga merintis digunakannya analisis gender dalam mencari

65
penyebab kegagalan pembangunan sekaligus sebagai alat analisis untuk menemukan

solusi alternatifnya.

Uraian berikut akan menjelaskan bagaimana countra discourse yang

dilayangkan Mansour terhadap diskursus dominan. Countra discourse yang

dikemukakan Mansour meliputi pandangannya terhadap developmentalisme, gender,

dan kaum difabel yang bagi Mansour sarat dengan praktek ketidakadilan.

E.1.1 Menggugat Developmentalisme dan Neoliberalisme

Developmentalisme sering dikenal dengan istilah pembangunan yang menjadi

sistem perubahan sosial di masa pemerintahan Orde Baru. Pembangunan dijadikan

sebagai sebuah diskursus oleh pemerintahan Orde Baru pada masa itu. Diskursus

yang digunakan untuk memberikan gambaran terhadap sistem perubahan sosial yang

ideal. Penggunaan istilah pembangunan terkesan hendak “menghilangkan” nilai–nilai

ideologis yang melekat dalam istilah developmentalisme.

Developmentalisme sebagai diskursus menjadi paham yang merupakan suatu

ideologi dan teori tentang perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah satu teori

perubahan sosial adalah fenomena yang luar biasa karena gagasan dan teori tersebut

begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global,

terutama dunia ketiga.85

Mansour Fakih menjelaskan bahwa developmentalisme adalah strategi

negara–negara kaya yang merasa mampu menyelamatkan negara–negara dunia

ketiga dari keterbelakangan sekaligus membawa negara–negara dunia ketiga pada

kemajuan. Organisasi–organisasi internasional yang bergerak dalam bidang ekonomi

85
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001
hal 11.

66
mulai dibangun, disosialisasikan sebagai motor penggerak pertumbuhan dan menjadi

alat negara kaya dalam menjalankan misinya. Hal ini diperkuat dengan pengetahuan

ekonomi baru yang diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih.86

Tetapi dibalik itu semua, terciptalah suatu bentuk kekuasaan dan kontrol baru atas

negara dunia ketiga oleh negara kaya secara halus.

“…negara dunia ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai


bentuk, dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga
internasional, universitas, badan perencanaan, modal besar, sehingga
dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat.
Dan ketika pembangunan mengalami krisis, diskursus baru, yakni
globalisasi, diluncurkan untuk melanggengkan subjection, dominasi
dan eksploitasi..”87

Neoliberalisme yang muncul sebagai solusi bagi kegagalan

developmentalisme juga bukan merupakan jalan keluar ideal. Bagi Mansour Fakih,

gagasan globalisasi dalam neoliberalisme menyimpan ancaman bagi rakyat

Indonesia, seperti halnya dengan kebanyakan nasib rakyat di negara dunia ketiga.

Secara sederhana, globalisasi dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian

ekonomi nasional bangsa–bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Ini

merupakan salah satu fase pekembangan kapitalisme liberal.88

Menurut Mansour Fakih,89 globalisasi sebagai proses penintegrasian ekonomi

nasional ke dalam sistem dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor–aktor utama,

seperti: Pertama, Transnational Corporation (TNCs), perusahaaan multinasional

besar yang didukung negara yang diuntungkan oleh TNCs. Aktor kedua, dewan

86
Ibid hal 190.
87
Ibid hal 190
88
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Op.cit hal 211.
89
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Op.cit hal 215.

67
perserikatan perdagangan global yang disebut dengan WTO (World Trade

Organization). Ketiga adalah Lembaga keuangan global IMF (Internasional

Monetary Fund) dan World Bank. Ketiga aktor ini merupakan aktor utama dalam

mempengaruhi kebijakan negara–negara dunia ketiga untuk mengintegrasikan

ekonomi nasional mereka ke dalam ekonomi global.

Intervensi dan provokasi dari kebijakan nasional dalam mengintegrasikan

ekonomi nasional ke dalam ekonomi global ini dilakukan dengan penetrasi ke

pedalaman area masyarakat. Penetrasi yang bersifat memaksa, struktural dan

berwatak otoriter. Bagi Mansour, hal ini merupakan tantangan bagi kalangan

masyarakat sipil untuk memunculkan wacana tandingan, yakni untuk

mengembangkan pemahaman globalisasi dari perspektif pinggiran, globalisasi dari

perspektif masyarakat marjinal.

Globalisasi yang dikembangkan dari perspektif marjinal menegaskan

pemahaman bahwa globalisasi tidak pernah dan tidak akan pernah memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat melalui kebijakan nasional suatu negara. Adapun

yang terjadi adalah sebaliknya, hal tersebut merupakan upaya aktor–aktor

kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Dominasi diskursus lain dapat dilihat pada penggunaan istilah penyesuaian

harga untuk menggantikan istilah kenaikan harga.90 Hal ini mungkin terkesan sangat

sederhana, tapi bagi Mansour penggunaan kata penyesuaian harga mempunyai

dampak psikologis yang besar bagi masyarakat. Dengan penggunaan kata

penyesuaian harga, masyarakat tidak menyadari bahwa yang terjadi sebenarnya

90
Muhammad Miftahudin, Op.cit hal 40.

68
adalah kenaikan harga yang membawa konsekuensi pada meningkatnya pengeluaran

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disatu sisi dan memberi keuntungan lebih

kepada pemilik modal di sisi lain.

E.1.2 Membongkar ketidakadilan dan mewujudkan masyarakat yang

berkeadilan dengan analisis gender

Mansour Fakih menggunakan analisis gender untuk memahami emansipasi

kaum perempuan dalam kaitannya dengan masalah ketidakadilan dan perubahan

sosial. Ini sungguh merupakan hal yang menarik ketika seorang laki–laki, apalagi di

Indonesia, seperti Mansour Fakih menaruh perhatian besar terhadap emansipasi

kaum perempuan dan laki–laki. Ini merupakan bagian dari upaya countra discourse

terhadap hegemoni dominan yang dilakukan Mansour Fakih.

Wacana mengenai emansipasi dan marjinalisasi kaum perempuan telah

berkembang lebih dulu di negara–negara barat. Di Indonesia sendiri hal tersebut

tampaknya belumlah terlalu populer dan menarik untuk dikaji lebih dalam. Telah

disinggung diatas, menurut Mansour Fakih, untuk mewujudkan masyarakat yang

berkeadilan perlu diciptakan suatu relasi sosial politik yang lebih adil dan berwatak

emansipatoris melalui penekanan pada aspek kelas dan gender. Lebih dari itu, bagi

Mansour ketika mempertanyakan status perempuan artinya adalah mempersoalkan

pula sistem dan struktur yang telah mapan.91 Hal ini tentu saja sangat sulit untuk

dilakukan tanpa adanya kesadaran dari setiap orang untuk menyikapi permasalahan

ini dari sudut pandang yang lebih luas.

91
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Op.cit hal 5.

69
Ketidakadilan gender berawal dari adanya perbedaan peran antara laki–laki

dan perempuan. Perbedaan gender telah dibentuk, disosialisasikan, dan

dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, bahkan terkesan dilegitimasi oleh

ajaran agama dan negara. Perbedaan gender melahirkan anggapan bahwa laki–laki

memiliki tanggung jawab dan hak yang lebih besar daripada perempuan, seperti

misalnya: laki–laki bertanggung jawab terhadap tugas publiknya (pencari nafkah)

dan perempuan mendapatkan tugas yang meliputi pekerjaan domestik (pekerjaan

rumah tangga) tanpa medapatkan penghargaan. Inilah yang disebut Mansour dengan

diskursus.

“…ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk


ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan dan
beban kerja lebih serta sosialisasi ideologi nilai peran gender…”92

Manifestasi ketidakadilan gender dapat terjadi pada tingkat negara, di tempat

kerja, dalam sistem adat istiadat masyarakat dibanyak kelompok etnik, dalam tafsir

keagamaan maupun di lingkungan rumah tangga sendiri.93 Ketidakadilan gender sulit

untuk diubah karena telah mengakar dan menjadi keyakinan, baik bagi kaum laki–

laki maupun kaum perempuan. Mansour menjelaskan kondisi–kondisi yang

menunjukkan serta menggambarkan marjinalisasi terhadap perempuan sebagaimana

berikut ini:

a. Kaum perempuan mengalami proses pemiskinan dan marginalisasi di bidang

ekonomi akibat dari sistem kapitalis.

92
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Op.cit hal 13.
93
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Op.cit hal 23.

70
Sistem kapitalis menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja murah dan

mengganggap perempuan tidak memiliki nilai produksi karena pekerjaan

domestik yang dilakukannya tidak dihargai sebagai hasil produksi.

Keterpinggiran perempuan dalam teknologi pertanian membuat Mansour

lebih melihat gender sebagai isu pembangunan. Mansour Fakih berpendapat,

konsekuensi–konsekuensi dari neoliberalisme telah meminggirkan kaum

perempuan di bidang ekonomi. Ia mencontohkan terjadinya transformasi di

bidang pertanian yang memaksa petani menggunakan teknologi khusus untuk

panen. Akibatnya, teknologi khusus ini telah meminggirkan cara panen

tradisional yang dilakukan oleh kaum perempuan.

Gender merupakan suatu akar sosial atau nilai budaya dan sosial yang sangat

erat hubungannya dengan masalah struktural. Dari sinilah terjadi proses

pemiskinan hanya karena ada salah satu jenis kelamin manusia yang

disubordinasikan, yaitu pemiskinan terjadi pada perempuan.94

b. Kaum perempuan memiliki akses yang minim di bidang politik menyangkut

keterlibatannya dalam proses politik dan pengambilan keputusan.

Hal ini terjadi karena stereotype yang terlanjur melekat dalam diri

perempuan. Rasionalitas menjadi syarat wajib terjunnya seseorang dalam

kancah politik. Sedangkan perempuan dianggap lebih bersifat emosional

daripada rasional. Anggapan ini merupakan salah satu bentuk subordinasi

terhadap perempuan di bidang politik. Subordinasi yang tertuju pada satu

jenis kelamin yaitu, perempuan, karena semata–mata dia adalah perempuan.


94
Erlinda M. Panisales, Gerakan Hak Azasi Manusia di Indonesia dalam Perspektif Gender dalam
Refleksi Kawan Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta,
2004 hal 26.

71
c. Penafsiran agama yang salah telah men-subordinasikan perempuan terkait

dengan keberadaan dari kedudukannya yang kemudian diposisikan lebih

rendah daripada kaum laki–laki.

Pemahaman agama yang sempit membuat manusia menelan mentah–mentah

apa yang ditulis dalam kitab–kitab keagamaan maupun pada ketentuan–

ketentuan yang mengatur hubungan, hak dan kewajiban antara laki–laki dan

perempuan, tanpa menelaah lebih lanjut dengan kontekstualisasi jaman yang

telah berkembang.

d. Kaum perempuan selalu menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh laki–

laki yang didukung oleh sistem dan struktur.

Kekerasan yang dialami kaum perempuan tidak lebih dari usaha sistem

patriarki untuk menunjukkan superioritasnya terhadap kaum perempuan.

Kekerasan yang dialami tidak hanya menyangkut kekerasan fisik tetapi juga

kekerasan psikis, seperti misalnya: ancaman maupun eksploitasi terhadap

tubuh perempuan. Eksploitasi terhadap tubuh perempuan dianggap sebagai

bentuk pelecehan demi keuntungan pihak tertentu. Eksploitasi terhadap tubuh

perempuan bisa dilihat dari maraknya pornografi yang mempertontonkan

kemolekan tubuh perempuan, pemaksaan kehendak, ancaman dan tekanan–

tekanan psikis lainnya.

Namun, Mansour Fakih melihat bahwa inti dari terjadinya ketidakadilan

gender dengan perempuan sebagai korbannya bukan terletak pada permasalahan

superioritas kaum laki–laki terhadap kaum perempuan, melainkan terletak pada

sistem. Sistem yang memberi ruang dan keleluasaan bagi kaum laki–laki sehingga

72
dapat melakukan lebih banyak hal dari kaum perempuan. Hal tersebut dilakukan

melalui keberadaan stereotipe sifat yang dilekatkan dalam memaknai laki–laki dan

perempuan. Laki–laki selalu dikonstruksikan sebagai pihak yang lebih kuat daripada

kaum perempuan.

Mansour berpendapat, ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan gender

memang tidak hanya menempatkan kaum perempuan saja sebagai korban, tetapi

kaum laki–laki juga. Namun, jika dilihat dari kuantitas dan kualitas, ketidakadilan

tersebut memang banyak terjadi pada kaum perempuan. Baginya, kaum perempuan

mengalami penindasan berlapis.95 Dimulai dari peminggiran secara ekonomi,

keterbelakangan pengetahuan, dan ditambah pula dengan beban akibat pembagian

gender yang tidak adil di masyarakat.

“…ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender


yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi
masyarakat, keyakinan agama serta kebijakan dan perencanaan
pembangunan..”96

Dengan demikian, ketidakadilan gender sebenarnya terjadi tidak hanya pada

kaum perempuan, tetapi juga kaum laki–laki karena, pada dasarnya persoalan yang

ada terletak pada ideologi yang dianut oleh laki–laki dan perempuan. Hal ini sangat

berpengaruh dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, yakni bias gender

dalam pembangunan.97 Bias gender dalam pembangunan ini mengakibatkan

terjadinya perbedaan dampak atas kebijakan yang ada bagi laki–laki dan perempuan.

Bias gender dalam pembangunan tersebut menempatkan perempuan dalam posisi

yang kurang menguntungkan daripada laki–laki. Ini yang dimaksud Mansour dengan

95
M.B Wijaksana, Op.cit hal 121.
96
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Log.cit hal 170.
97
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Log.cit hal 170.

73
countra discourse. Melawan diskursus yang telah tertanam dalam diri setiap manusia

mengenai konsep laki–laki dan perempuan.

Memang bukan perkara yang mudah untuk memerangi ketidakadilan gender.

Persoalannya adalah spektrum ketidakadilan gender sangatlah luas, dari urusan

individu sampai pada urusan negara. Mansour Fakih memberikan solusi alternatif

untuk menghentikan praktek ketidakadilan gender dalam jangka pendek. Solusi

alternatif tersebut adalah sebagai berikut:98

a. Mengupayakan pelaksanaan pendidikan dan mengaktifkan berbagai

organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.

Hal ini perlu dilakukan karena menyangkut permasalahan subordinasi

perempuan. Dengan adanya organisasi, perempuan mempunyai tempat untuk

berapresiasi dan berekspresi sebagai bentuk dari aktualisasi diri. Organisasi

inilah yang merupakan sarana untuk menunjukkan kemampuan perempuan

disamping untuk mengembangkan potensi dan kekuatan yang dimiliki kaum

perempuan.

b. Menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotipe

terhadap kaum perempuan.

Perempuan harus memulai memupuk keberanian untuk memberikan

penolakan yang tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan

pelecehan. Hal ini perlu dilakukan karena terkadang perempuan yang

memilih diam dianggap sebagai bentuk dari persetujuan daripada

ketidakberdayaan kaum perempuan.

98
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Op.cit hal 154.

74
c. Merubah asumsi, konsepsi, keyakinan dan persepsi masyarakat mengenai

perempuan.

Hal ini berkaitan erat dengan ideologi, keyakinan yang telah ada sebelumnya.

Oleh sebab itu, Mansour Fakih, dengan analisis gendernya berusaha untuk

menyusun suatu konsep mengenai Gender Tranining Mainstream untuk

membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga kaum laki – laki dari

praktek ketidakadilan yang disebabkan oleh adanya perbedaan peran gender.

Gender Training Maninstream merupakan salah satu metode yang digunakan

Mansour Fakih dalam menentang diskursus dominan.

Gender Training Mainstream adalah proses peningkatan kesadaraan

menyangkut isu gender yang kemudian akan direspon oleh suatu organisasi.99

Gender Training Mainstream diperkenalkan Mansour Fakih dalam berbagai

pekerjaan–pekerjaan dan menjadi isu inti dalam kerja LSM–LSM. Mansour

ingin mengintegrasikan gender ke dalam isu–isu pembangunan atau

bagaimana gender menjadi inti, nilai inti dalam sebuah pekerjaan LSM. Dia

mengembangkan metode–metode untuk mengintegrasikan gender, terutama

dalam perencanaan siklus proyek.100

E.2 Pendidikan untuk melawan Hegemoni

Pendidikan, disamping sebagai alat untuk melakukan melanggengkan

hegemoni, juga sebagai alat untuk melawan hegemoni itu sendiri sebagai mekanisme

ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat.

99
Erlinda M. Panisales, Op.cit hal 29.
100
Erlinda M. Panisales, Op.cit hal 27.

75
Menurut Mansour, pendidikan adalah sarana tepat untuk kembali

memunculkan dan mengembangkan kesadaran kritis masyarakat. Pendidikan

merupakan sebuah sarana yang berperan penting untuk mengubah kesadaran naif dan

massif manusia menjadi kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial yang ada.

Pendidikan adalah alat yang efektif untuk melawan hegemoni meski disatu sisi

pendidikan juga merupakan alat untuk melanggengkan hegemoni itu sendiri.

Pendidikan popular merupakan metode yang ia gunakan ketika menurunkan

gagasan Transformasi Sosial dalam setiap program pelatihan bagi aktivis-aktivis

gerakan sosial.

F. Perspektif Difabel : Cacat yang Dikonstruksi

Isu mengenai difabel yang mencakup pandangan, stereotipe, hak-hak kaum

difabel merupakan pembahasan utama dalam bab ini sebagai isu yang paling

menonjol dalam gagasan Tansformasi Sosial Mansour Fakih diantara pandangan-

pandangannya mengenai gender dan developmentalisme yang kemudian menjadi

perspektif dalam memahami varian ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.

Difabel sebagai perspektif didasarkan pada pertanyaan mendasar yang

diajukan oleh Mansour, yaitu dimana posisi manusia yang menyandang predikat

cacat dalam sistem sosial, budaya, ekonomi, serta pendidikan. Berkaitan dengan hal

tersebut, Mansour memulai analisisnya dengan bagaimana konstruksi diskursus

mengenai “kecacatan” yang tersosialisasikan dalam sistem sosial ekonomi dan

budaya serta tertata dalam struktur formasi sosial di Indonesia dewasa ini.101

101
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 305

76
Difabel (differently able people) adalah istilah yang dikemukakan Mansour

Fakih untuk menggantikan penggunaan kata penyandang cacat, invalid, abnormal,

ataupun disable, bagi orang–orang yang mempunyai kemampuan berbeda karena

perbedaan fisik yang dimilikinya. Istilah penyandang cacat dianggap mengandung

stereotipe dan bermakna disempowering. Kaum difabel selama ini selalu dianggap

sebagai orang yang tidak “normal”, bahkan orang yang tidak mempunyai

kemampuan.

Istilah difabel muncul pertama kali sebagai langkah awal Mansour dalam

proses dekonstruksi sosial sekaligus sebagai salah satu bentuk resistensi dan

pemberdayaan yang hakiki sebagai wacana tandingan. Istilah itu muncul ketika

Mansour berbincang–bincang dengan Setia Adi Purwanta (direktur eksekutif Dria

Manunggal Yogyakarta)102 mengenai ada tidaknya hakikat cacat. Dalam

pembicaraan itulah Mansour mengusulkan kata difabel untuk menggantikan kata

disable.

Dalam pembicaraan antara Mansour dan Setia Adi Purwanta, Setia Adi

Purwanta mengatakan bahwa kebutaannya adalah kenormalannya, hanya dengan

kebutaan itu dia sebenarnya bisa menjalankan tugas–tugasnya dengan baik. 103 Dari

pernyataan Setia Adi tersebut, Mansour berpendapat bahwa sebenarnya cacat itu

tidak benar–benar ada.

“…cacat merupakan rekayasa atau konstruksi sosial yang sengaja


dibangun melalui sistem kekuasaan, baik yang berada pada jalur
struktural maupun jalur kultural. Proses pencacatan itu sendiri dimulai
dari penyebutan atau pemberian istilah mulai dari yang paling

102
Setia Adi Purwanta, Menumbuhkan Perspektif difabel untuk mewujudkan masyarakat inklusi dalam
Refleksi Kawan Seperjuangan peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta,
2004 hal 54-55.
103
Ibid hal 53.

77
menyakitkan hingga yang dimaksudkan menghaluskan tetapi intinya
tetap memiliki konotasi penolakan sehingga perlakukan dan
penempatan pada posisi marjinal dalam struktur sosial…cacat
sebenarnya menjadi ada karena diadakan, proses pengadaannya
melalui berbagai media dan berlangsung lama sehingga baik birokrat,
masyarakat, anggota keluarga bahkan individu yang bersangkutan
sendiri mengakui bahwa dirinya benar – benar cacat, maka cacatlah
mereka…”104

Menurut Mansour, sebutan “penyandang cacat” ataupun “manusia normal”

merupakan hasil konstruksi sosial yang dibangung oleh sebuah diskursus. Istilah

“penyandang cacat” memiliki konotasi negatif yang menunjuk pada

“ketidakmampuan”. Oleh karena itu, “cacat” kerap kali ditpertentangkan dengan

sebutan “orang normal”. Lebih lanjut, Mansour menjelaskan kecacatan dan

kenormalan merupakan konstruksi sosial sebagai berikut. Kecacatan selalu

dihubungkan dengan kondisi fisik maupun kondisi psikis seseorang yang ditandai

dengan tidak berfungsinya salah satu bagian tersebut. Menurut Mansour, tidak

berfungsinya satu atau beberapa bagian seseorang baik fisisk maupun psikis tidak

ada kaitannya sama sekali dengan mampu atau tidaknya seseorang secara

keseluruhan. Ia masih bisa melakukan berbagai aktivitas dengan menggunakan organ

dan bagian dalam diri mereka yang lain yang masih berfungsi sebagaimana mestinya.

Sedangkan indikator normal dalam konsep kenormalan adalah apabila keseluruhan

bagian fisik maupun psikis seseorang bisa berfungsi dengan baik.

Menurut Mansour, indikator-indikator tersebut tidak bisa menjadi parameter

bagi kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitasnya.

Bagi Mansour, kondisi “cacat” adalah ketika seseorang tidak bisa menjalankan

104
Dituturkan Mansour Fakih kepada Setia Adi Purwanta dalam Setia Adi Purwanta, ibid hal 53.

78
fungsi-fungsi sosialnya seperti, koruptor, palanggar Hak Asasi Manusia, aktor

penindasan politik dan budaya, dll.

Mereka yang menyandang predikat “penyandang cacat” dalam struktur

masyarakat sosial mengalami berbagai macam bentuk marginalisasi, subordinasi,

stereotype, beban kerja dan bahkan kekerasan.105

Diskursus cacat pada dasarnya dipengaruhi oleh pandangan normalisme yang

menimbulkan subordinasi dan pelabelan negatif terhadap kaum difabel yang dapat

mendorong terjadinya kekerasan fisik maupun psikologis terhadap mereka, ataupun

menghadirkan kekerasan struktural terhadap kaum difabel yang termanifestasi dalam

segenap peraturan, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan negara.106

Jadi, “cacat” dan “normal” adalah konstruksi sosial yang tidak selalu

menggambarkan realitas sosial secara efektif.107 Konstruksi sosial dibangun dengan

dilanggengkan oleh kepentingan dari golongan yang menganggap dri mereka normal

untuk membedakan diri dengan mereka yang dianggap tidak normal dan cacat.108

F.1 Posisi Difabel dalam Pembangunan

Mansour Fakih menganalisis lebih lanjut posisi difabel dalam pembangunan

untuk memahami apa yang disebutnya dengan cacat yang dikonstruksi. Jika dilihat

dari perspektif pembangunan, pembangunan tidak pernah melibatkan kaum difabel

dalam berbagai kegiatan pembangunan. Hal ini disebabkan karena kaum difabel

dianggap sebagai kelompok yang tidak mempunyai kontribusi terhadap

105
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 311-316
106
Mansour Fakih, Panggil Saja Kami Kaum Difabel dalam Jalan Lain, Op.cit hal 315.
107
Mansour Fakih, Jalan Lain, Op.cit hal 309
108
Mansour Fakih, Jalan Lain,Log.cit

79
pembangunan.109 Difabel disosialisasikan sebagai kelompok yang tidak “normal”

karena kecacatannya, sehingga kerap dinilai tidak mempunyai kemampuan untuk

ikut serta dalam pembangunan.

Pandangan ini muncul dari keyakinan akan rendahnya kualitas sumber daya

kaum difabel sehingga mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing sebagai

“manusia normal” dalam masyarakat maupun dalam proses pembangunan.110 Ini

yang kemudian menjadi asumsi dasar bagi analisis mainstream. Masih menurut

analisis mainstream ini, marginalisasi kaum difabel dalam pembangunan terjadi

karena kaum difabel tidak bisa mengejar ketertinggalannya dari “manusia normal”

lainnya karena keterbatasan yang dimilikinya. Lebih lanjut, Mansour Fakih

menjelaskan bahwa kalaupun ada keterlibatan kaum difabel dalam pembangunan, itu

tidak lebih dari sekedar menggunakan kaum difabel sebagai tujuan pembangunan

dengan merancang kegiatan yang memenuhi kebutuhan praktis kaum difabel tanpa

mempertanyakan kebutuhan strategis mereka, bukan membebaskan dan mewujudkan

emansipasi difabel.

Dengan menggunakan analisis kritis, Mansour Fakih mencoba untuk

melahirkan wacana tandingan mengenai hakikat difabel dan hak–hak kaum difabel

itu sendiri. Mansour melihat penindasan difabel sebagai realitas obyektif karena

adanya diskriminasi akibat adanya keyakinan bahwa mereka (kaum difabel) tidak

109
Ibid hal 76.
110
Mansour Fakih, Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi Kaum Difabel,
diseminasi Nasional di Yogyakarta 27-28 september 1999 dengan judul Perwujudan Fasilitas Umum
yang Aksesibel bagi Semua di dokumentasikan dan dibukukan dalam peringatan 100 hari wafatnya
Mansour Fakih, OXFAM, Yogyakarta, 2004 hal170.

80
bermanfaat bagi pertumbuhan dan akumulasi kapital dalam sistem produksi

kapitalisme.111

Asumsi utama yang digunakan Mansour Fakih adalah setiap manusia,

termasuk kaum difabel, berhak mendapatkan hak–hak sebagai seorang manusia yang

utuh, terlepas dari perbedaan fisik yang dimiliki satu dengan yang lainnya. Kaum

difabel memiliki hak dan kesempatan, serta perlindungan yang sama dengan kaum

non-difabel. Ketidakadilan diantara kaum difabel dan non-difabel terjadi karena

bekerjanya sistem dan struktur yang tidak adil dari ideologi “normalisme” sehingga

pada akhirnya membawa korban. Sebuah ideologi yang telah mengorbankan jutaan

orang, baik yang dicacatkan maupun yang merasa normal.112

F.2 Pemberdayakan Kaum Difabel

Menurut Mansour, pemberdayaan terhadap kaum difabel harus dilakukan.

Menurut Mansour, usaha untuk memberdayakan kaum difabel tidak terbatas dalam

menjawab dan memenuhi kebutuhan praktis mereka, tetapi juga memperjuangkan

posisi kaum difabel dari ideologi “kenormalan”, “kecacatan” yang mencacatkan

mereka.113 Bagi Mansour, memperjuangkan hak–hak kaum difabel adalah agenda

utama dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal itu dapat dilakukan dengan kegiatan

sebagai berikut:114

a. Mendidik kesadaran manusia ‘normal” akan hak asasi difabel kepada setiap

individu. Hal ini dimulai dari lingkup rumah tangga sampai pada tingkat

urusan negara. Upaya tersebut dilakukan mulai dari mengubah pandangan

111
Ibid hal 173.
112
Ibid hal 177.
113
Ibid hal 177.
114
Ibid hal 179.

81
orang “normal” terhadap kaum difabel sampai kepada proses pembuatan

kebijakan pemerintah mengenai hak–hak kaum difabel. Mansour

menitikberatkan kepada organisasi–organisasi yang memiliki perhatian

terhadap kaum difabel pada umumnya dan LSM pada khususnya, untuk terus

memperjuangkan hak dan posisi kaum difabel yang setara dengan manusia

“normal’.

b. Menciptakan kota yang ramah terhadap kaum difabel terutama pada seluruh

fasilitas publik. Hal ini dilakukan dengan memberikan kemudahan akses

terhadap fasilitas–fasilitas umum demi kelancaran kegiatan–kegiatan difabel

dan menyediakan fasilitas umum yang memadai bagi kaum difabel.

c. Menanamkan gerakan diseminasi ideologi kritis mengenai kaum difabel pada

setiap program dan kebijakan kelembagaan dan keorganisasian, baik lembaga

pemerintah, pendidikan, program kemasyarakatan, maupun keagamaan

bahkan di kalangan NGO / ORNOP.

d. Melakukan Law inforcement, yaitu melakukan audit diskriminasi terhadap

difabel, monitoring dan evaluasi terhadap proses ataupun proyek dan institusi

pembangunan sosial yang melanggengkan diskriminasi terhadap kaum

difabel, serta advokasi terhadap perubahan kebijakan yang mampu

mengakomodir kepentingan–kepentingan kaum difabel.

82
G. Penutup

Dari uraian diatas mengenai gagasan Transformasi Sosial, ada beberapa hal

yang kita ketahui sebagai ciri khas dan keunikan dari gagasan Transformasi Sosial

Mansour Fakih, yaitu, keunikan pertama terletak pada metode yang dijalankan oleh

Mansour Fakih bagi berjalannya proses Transformasi Sosial itu sendiri, yaitu dengan

menggunakan metode countra discourse dan pendidikan populer yang diadopsi dari

pendidikan kritis Freire. Kedua, yaitu mengenai agen Transformasi Sosial dimana,

Transformasi Sosial dijalankan dengan jaringan aktor-aktor gerakan sosial yang kuat.

Dengan kata lain, Transformasi Sosial di lakukan secara kelembagaan. Ketiga, yaitu

isu yang diangkat Mansour mengenai perspektif difabel. Perspektif difabel

merupakan perspektif baru yang membuka pemahaman lebih luas mengenai praktiek

ketidakadilan yang disebut Mansour sebagai proses dehumanisasi. Perspektif difabel

merupakan countra discourse yang unik dari pemikiran Mansour Dakih. Selama ini

difabel tidak pernah menjadi bahan analisis ang berkaitan dengan dehumanisasi yang

terjadi secara struktural.

Ketika menyinggung keadilan bagi kaum difabel, hal tersebut memberi arti bahwa

keadilan harus dilakukan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan

masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keadilan juga

harus berbicara tentang perlindungan hak asasi kaum difabel sebagai isu penting Hak

Asasi Manusia ketika kita juga berbicara tentang ketidakadilan.

83
BAB IV

RELEVANSI PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH TERHADAP HAK

ASASI MANUSIA DI INDONESIA

A. Pengantar

Era Reformasi merupakan masa peralihan dari rezim otoritarianisme Orde

baru menuju pada suatu rezim yang lebih demokratis. Rezim ini ditandai dengan

dibukanya kran kebebasan di segala aspek kehidupan masyarakat, khususnya

dibidang politik. Hal ini tentu saja membawa efek positif bagi perkembangan

demokrasi di Indonesia.

Kondisi demikian ini memberikan angin segar bagi pemikiran-pemikiran

Mansour untuk berkembang di antara wacana-wacana alternatif baru. Pemikiran-

pemikiran Mansour Fakih mengenai gender, hak-hak kaum difabel, hak kaum

perempuan dan anak-anak menjadi sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang

tengah berbenah dalam hal penegakan hukum dan Hak-hak Asasi Manusia pasca

runtuhnya Orde baru.

Di dalam BAB IV ini akan membahas mengenai relevansi pemikiran

Mansour Fakih dalam konteks masyarakat Indonesia sebagai kontribusi pemikiran

Mansour Fakih. Sumbangan terbesar pemikiran dan pandangan Mansour Fakih

terhadap gerakan soial di Indonesia adalah bagaimana Mansour mencoba merubah

cara pandang dan pola pikir dalam masyarakat serta bagaimana pemikiran tersebut

84
mewarnai pergerakan sosial dalam level praksis115serta bagaimana relevansi

pemikiran Mansour terhadap gagasan dan perkembangan gerakan Hak Asasi

Manusia di Indonesia.

Pada BAB III sebelumnya, penulis telah mengelaborasi dengan jelas

bagaimana cara Mansour merubah pola pikir masyarakat dan bagaimana metode

yang tepat digunakan dalam level praksis dalam bentuk pendidikan dan

pengorganisasian masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan BAB IV ini lebih

difokuskan dalam mengelaborasi relevansi pemikiran Mansour terhadap gagasan dan

perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia karena Transforamsi Sosial yang

dirumuskan Mansour syarat dengan nilai-nilai humanis yang terkandung didalamnya.

Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pembahasan ulang di dalam BAB IV

ini.

B. Hak Asasi Manusia dan Pilar Demokrasi

Jika kita membaca atau mendengar istilah Hak Asasi Manusia, maka yang

akan terlintas pertama kali dalam benak kita adalah mengenai hak-hak dasar

manusia. Hak Asasi Manusia sangat erat hubungannya dengan demokrasi di suatu

negara, bahkan bisa dikatakan Hak Asasi Manusia yang di dukung oleh ditegakannya

hukum menjadi parameter bagi sebuah negara untuk bisa di katakan demokratis atau

tidak.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana keterkaitan Hak-hak Asasi Manusia

(HAM) dengan demokrasi, maka perlu juga untuk memahami terlebih dahulu konsep

115
Wawancara dengan Toto Rahardjo (Ketua Dewan Pendidikan INSIST), 3 Juli 2007

85
Hak-hak Asasi Manusia secara umum dan pentingnya Hak Asasi Manusia dalam

kehidupan yang demokratis.

B.1. Jaminan Kebebasan Individu dalam Kerangka Hak Asasi

Manusia

Hak Asasi Manusia bukanlah sebuah isu baru. Hak Asasi Manusia

didasarkan pada doktrin hukum alam dimana manusia dengan sendirinya

menyandang serangkaian hak alamiah yang kekal dan tidak dapat dicabut,

ditinggalkan dan berkurang karena tuntutan hak ilahi.116 Konsep Hak-hak Asasi

Manusia mengandung ciri-ciri sebagai berikut: 117

1. Hak Asasi Manusia merupakan hak setiap orang yang dimiliki karena

kemanusiaannya. Hak Asasi Manusia memberi penghormatan dan

penghargaan terhadap hak-hak pribadi dan hak dasar manusia sebagai

individu.

2. Hak Asasi Manusia memuat prinsip-prinsip universalisme dan persamaan.

Setiap manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang sama. Artinya,

Hak Asasi Manusia berlaku untuk setiap manusia dimana karakteristik

ras, agama, suku, pandangan politik, asal usul tidak relevan untuk

dipersoalkan.

3. Hak Asasi Manusia adalah hak mutlak yang dimiliki oleh setiap orang.

Dengan demikian, tidak ada seorangpun bahkan negara yang bisa untuk

membatasi hak-hak tersebut.

116
Muh. Budairi Idjehar,SH,M.Hum, HAM Versus Kapitalisme, INSIST, Yogyakarta, 2003 hal 70
117
Disarikan dari Eko Prasetyo, Hak Asasi Manusia: Silang Sengketa Konflik Kepentingan, Op.cit

86
Kemunculan Hak Asasi Manusia dimulai dari kesadaran akan kemanusiaan

manusia sebagai seorang individu sekaligus sebagai resistensi terhadap sistem

kekuasaan imperialistik dan feodalistik.118 Kedua sistem kekuasaan tersebut banyak

memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.119

Pengalaman akan berbagai tindak kekerasan, penindasan sewenang-wenang atas hak-

hak pribadi oleh penguasa merupakan faktor utama lahirnya gagasan mengenai Hak-

hak Asasi Manusia ini. Beberapa kalangan mengatakan Hak Asasi Manusia sebagai

puncak prestasi dari proses modernisasi politik di negara-negara Eropa dan Amerika

utara.120

Kelahiran Magna Charta 1215 di Inggris yang berisi pelarangan penahanan

dan perampasan harta kaum bangsawan secara sewenang-wenang sesungguhnya

bukanlah sebuah dokumen yang mengatur mengenai hak-hak individu warga negara,

tetapi hanya mengatur dan menjamin kepemilikan dan hak-hak kaum bangsawan

saja. Meskipun demikian, Magna Charta dapat dikatakan sebagai cikal bakal

munculnya hak-hak sebagai suatu rangkaian yang membatasi kekuasaan.121

Kemudian, pada tahun 1679 lahirlah apa yang dinamakan dengan Habeas Corpus Act

dimana dalam dokumen tersebut ditentukan bahwa seseorang bisa ditahan atas

perintah hakim. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1689, muncullah Bill of

Rights yang menjadi titik awal menuju revolusi Hak Asasi Manusia.

118
Eko Prasetyo, Hak Asasi Manusia: Silang Sengketa dan Konflik Kepentingan, INSIST,
Yogyakarta, 2001 hal 30
119
Misalnya penjajahan di Indonesia dengan sistem kerja rodi pada masa kolonial Belanda dan
romusha pada pemerintah Jepang menduduki Belanda, Perang etnis, diskriminasi Ras di Afrika
Selatan yang dikenal denga politik Apharteid, dll.
120
Ibid hal 7
121
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan
Keadilan Global (terjemahan dari Crimes Against Humanity: The Strunggle For Global Justice),
diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM),
Jakarta, 2002, hal 5

87
Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia kemudian berkembang dan

melahirkan berbagai macam peraturan dan konvenan yang mengatur mengenai Hak

Asasi Manusia yang dilindungi hukum. Puncaknya adalah lahirnya Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia dengan mengusung paradigma humanis yang

dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.

Diproklamasikannya Deklarasi Universal menjadi harapan baru bagi jutaan orang

untuk memasuki dunia baru yang bebas dari segala macam bentuk penindasan dan

diskriminasi.

Hak Asasi Manusia menjadi begitu penting ketika manusia mulai menyadari

tentang hakikatnya sebagai satu kesatuan individu dan kelompok yang utuh.

Kesadaran ini timbul ketika masyarakat mengalami segala macam bentuk kekerasan,

penindasan dan perlakuan diskriminatif atau yang lebih sering disebut dengan

pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) kemudian menjadi pedoman baru dalam

menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut pelanggaran Hak-hak Asasi

Manusia. Dampaknya sungguh sangat luar biasa. Pertama, jaminan terhadap hak-hak

individu disamping pengakuan terhadap hak kolektif, memberikan ruang bagi setiap

manusia untuk mengaktualisasikan diri atas eksistensi mereka, baik di bidang politik,

ekonomi, sosial maupun budaya. Kedua, Hak Asasi Manusia tidak hanya sekedar

diterapkan dalam perlakuan non diskriminatif, tetapi juga digunakan dalam kerangka

kerja birokrasi dan aparaturnya di berbagai negara. Ketiga, penegakan Hak Asasi

Manusia yang didukung oleh penegakan hukum (rule of law) dijadikan parameter

88
bagi suatu negara untuk bisa dikatakan sebagai negara demokratis ataupun tidak.

Penegakan Hak Asasi Manusia merupakan konsekuensi logis dari demokrasi.

B.2. Dinamika Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia

Sebagai ajaran universal,122 demokrasi memuat prinsip-prinsip utama yang

harus dipenuhi oleh suatu negara. Prinsip utama dari demokrasi seperti yang

dikemukakan oleh Dahl adalah bahwa demokrasi ditandai dengan adanya persamaan

hak dan tidak ada perbedaan perlakuan di antara masyarakat yang di atur oleh

undang-undang dan peraturan-peratauran. Artinya, dalam demokrasi, rakyat

memiliki hak-hak yang sama sehubungan dengan kedudukannya sebagai manusia

dan warga negara tanpa dipengaruhi oleh latar belakang politik, ekonomi dan

sosialnya.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencatat rekor pelanggaran Hak-

hak Asasi Manusia terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia telah berlangsung lama,

yaitu sejak pemerintahan kolonial menduduki Indonesia yang diteruskan oleh rejim

Orde baru selama 32 tahun, dimana penagakan Hak Asasi Manusia hanya sekedar

menjadi wacana tanpa makna dan implementasi nyata. Oleh karena itu, komitmen

untuk menegakan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia menjadi salah satu agenda

penting di era reformasi untuk menuju pada tatanan kehidupan yang lebih

demokratis.

Di Indonesia, penegakan Hak-hak Asasi Manusia mengalami pasang surut

sebelum mendapat tempat yang layak seperti sekarang ini. Dinamika pasang surut

122
Muh. Budairi Idjehar,SH,M.Hum, Op.cit. hal 7

89
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia selalu dipengaruhi oleh sistem politik

dan karakter birokrasi yang berlaku di Indonesia. Perbedaan yang mencolok adalah

bagaimana penegakan Hak Asasi Manusia di masa pra reformasi dan pasca

reformasi. Uraian berikut ini akan menjelaskan secara singkat dinamika

perkembangan penegakan Hak Asasi Manusia pada masa pra reformasi dan pasca

reformasi yang sangat berpengaruh pada proses demokrasi di Indonesia.

B.2.1 Pra Reformasi

Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto merupakan pemerintahan

sentralistik yang dibangun atas landasan struktur politik123 otoritarian dengan

didukung oleh birokrasi represif dan militer. Dengan dukungan dari dua aktor utama

tersebut, negara mempunyai kekuasaan absolut atas rakyat dan segala kehidupan

didalamnya. Dengan demikian, perkembangan gagasan dan gerakan Hak-hak Asasi

Manusia di Indonesia tidaklah mendapat tempat yang menguntungkan selama masa

pemerintahan Orde baru. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penegakan Hak

Asasi Manusia pada masa pemerintahan orde baru berada pada level yang rendah.

Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia pada masa pemerintahan Orde baru

tidak berkembang pesat seperti di kebanyakan negara-negara barat lainnya karena

faktor-faktor sebagai berikut:

1. Pemerintah otoriter Orde baru mempunyai kekuasaan dan kewenangan

untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya atas nama kemajuan

negara dan masyarakat.

123
Eko Prasetyo, op.cit hal 29

90
2. Prinsip universalisme yang terkandung dalam Hak-hak Asasi Manusia

sering dicurigai sebagai muatan individualistik liberal barat yang sering

dipertentangkan dengan nilai-nilai kolektifisme124 dalam budaya

ketimuran. Nilai-nilai yang terkandung dalam Hak Asasi Manusia

dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Oleh karena

itu, Hak Asasi Manusia harus ditegakkan sesuai dengan konteks

Indonesia dimana parameternya ditentukan oleh kebijakan dan peraturan

yang dibuat oleh pemerintah Orde baru.

3. Pembangunan di bidang ekonomi menjadi salah satu agenda penting yang

harus dikerjakan oleh pemerintahan Orde baru. Pembangunanisme

dijadikan sebuah ideologi bagi perbaikan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat. Oleh karena itu, dengan mengatasnamakan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat, otoritarianisme yang dijalankan Orde baru dengan

menempatkan pertumbuhan ekonomi dalam prioritas teratas sekaligus

menjadi legimitasi bagi segala bentuk kebijakan dan peraturan yang

menyangkut kehidupan masyarakat.

Dari ketiga faktor tersebut dapat kita ketahui bahwa dibangunnya orde

menjadi masa panjang bagi terjadinya pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia di

Indonesia, terutama dalam bidang politik dan hukum. Pelanggaran Hak Asasi

Manusia terjadi secara struktural dan sistematis di tengah wacana demokrasi dan

kedaulatan rakyat, yaitu melalui kebijakan-kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh

pemerintah. Kekerasan menjadi instrumen utama dalam mewujudkan stabilitas

124
Eko Prasetyo, Op.cit hal 28

91
nasional.125 Demokrasi hanya tinggal menjadi jargon dan slogan tanpa implementasi

yang nyata. Demokrasi yang ada di Indonesia merupakan demokrasi semu dimana

setiap warga negara harus tunduk pada setiap ketentuan dan kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, hukum dan politik

adalah pelanggaran dominan yang terjadi sepanjang pemerintahan Orde baru.

Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia terjadi dalam sistem ekonomi kapitalistik yang

berada dalam setiap program pembangunan pembangunan. Tidak ada ruang yang

luas bagi setiap warga negara untuk mengapresiasikan dan mengaktualisasikan diri

dalam berbagai kegiatan ekonomi. Hubungan antara pemilik modal dengan

pekerjanya tidak lain merupakan hubungan antara majikan dan budak dimana mereka

diperas untuk mengisi kantong-kantong keuntungan kaum kapitalis. Akibatnya, si

miskin akan tetap berada dalam kemiskinan dan si kaya akan terus tenggelam dalam

tumpukan hartanya. Persoalan Hak Asasi Manusia yang terjadi di bidang ekonomi

lebih karena pengambilan keputusan ekonomi yang pragmatis126 untuk

mempertahankan hak-hak istimewa golongan-golongan tertentu.

Di bidang politik, masyarakat tidak mendapatkan hak-hak politiknya secara

penuh. Dimulai dari tidak adanya kebebasan bagi setiap warga negara untuk

mengeluarkan pendapatnya, untuk berserikat, berkumpul dan membentuk organisasi

yang kesemuanya di atur dalam berbagai peraturan-peraturan. Tidak hanya itu, media

massa, sebagai sarana penyebaran demokrasi pun, berada dalam pengawasan dan

125
Cornelis Lay & Pratikno, KOMNAS HAM 1993-1997 Pergulatan dalam Otoritarianisme, FISIPOL
UGM, Yogyakarta, hal 25
126
Eko Prasetyo, Op.cit hal 68

92
sensor sekaligus mendapat tekanan dan ancaman127 dari pemerintah. Dibidang sosial

dan budaya, yang paling jelas terlihat adalah diberlakukannya homogenisasi budaya,

adanya pengekangan dalam memilih agama dan kepercayaan yang dianut setiap

warga negara.

B.2.2 Reformasi

Mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun merupakan

simbol runtuhnya pemerintah otoritarianisme Orde baru di Indonesia sekaligus di

mulainya kehidupan baru di era Reformasi dengan format pemerintahan yang baru.

Pada masa transisi setelah keruntuhan Orde baru, terjadi perubahan besar dibidang

politik. Hal tersebut dapat dilihat dari kelonggaran yang diberikan negara untuk

media massa dalam hal penyiaran berita dan informasi kepada masyarakat,

munculnya partai-partai politik baru yang siap bertarung dalam pemilihan umum,

adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat, kebebasan dalam berekspresi,dll.

Disamping itu, pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, setiap warga negara

bebas untuk memeluk agama dan kepercayaan yang dianutnya. Hal ini sangat

berbeda sekali dengan orde baru dimana negara membatasi pilihan agama yang

diakui oleh negara sebagai agama resmi.

Era Reformasi merupakan masa transisi menuju pemerintahan yang

demokratis. Meski belum sepenuhnya mengarah pada demokrasi yang sesungguhnya

127
Ancaman yang dilakukan adalah dengan menggunakan massa sebagai alat untuk menekan media
massa. Disamping itu banyak kasus yang terjadi dimana polisi melakukan pemanggilan terhadap
wartawan atas tulisan-tulisan yang dimuatnya. Disamping itu, tentu saja masih lekat dalam ingatan
kita pembredelan media-media massa seperti Tempo, Editor, Sinar Harapan dan harian-harian lainnya
pada massa pemerintah orde baru. Disusunnya undang-undang penyiaran juga menutup kebebasan
pers baik media cetak maupun media elektronik. Untuk media elektronik, pemerintah mendirikan
TVRI dan RRI untuk siaran televise dan Radio. Hal ini dimaksudkan untuk mengkontrol berbagai
siaran dan informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat.

93
namun, demokrasi tidak lagi hanya sekedar menjadi wacana tanpa implementasi.

Setidaknya ada usaha untuk menghadirkan kehidupan demokratis ditengah bangsa

yang plural ini. Demikian halnya dengan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia.

Gelombang gerakan Hak Asasi Manusia mulai terlihat diberbagai pelosok negeri ini.

Hak Asasi Manusia, sebagai sebuah gerakan tidak lagi mencakup ruang lingkup yang

terbatas hanya dibidang politik dan hukum saja. Tetapi lebih dari itu, gerakan Hak

Asasi Manusia meluas dalam lingkup ekonomi, sosial dan budaya.128

Jika pada masa pemerintahan orde baru, penegakan Hak Asasi Manusia

ditekankan dalam bidang politik dan hukum, maka di era reformasi ini gerakan

perjuangan perempuan, masyarakat HIV/AIDS, masyarakat adat yang mendapat

perlakuan diskriminatif sampai gerakan kaum homoseksual dan lesbian menjadi

wacana penting bagi penegakan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia.

Semangat Hak-hak Asasi Manusia bergema dalam setiap aspek kehidupan

masyarakat yang menuntut adanya pengakuan atas eksistensi dan keadaaan “apa

adanya” dari setiap individu sebagai manusia dan sebagai warga negara. Bahkan hak

asasi manusia menjadi rujukan sebagai perspektif dalam setiap program dan

kebijakan serta peraturan yang disusun oleh negara. Namun demikian, tidak serta

merta penegakan Hak Asasi Manusia sukses di wujudkan. Pelanggaran-pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia masih saja terjadi. Ditengah menguatnya wacana Hak

Asasi Manusia, muncul perluasan aktor pelanggaran Hak Asasi Manusia. Aktor

128
Rentang waktu 1998-2001 spektrum isu pelanggaran HAM meluas dengan isu disekitar masalah
gender, hak anak, agama, indegenious rights, hak kelompok minoritas dan diskriminasi rasial serta
persoalan pengungsi berkembang secara cepat menggeser dominasi siu hak sipil dan politik yang
selama orba menjadi fokus perhatian lih Cornelis Lay & Pratikno, Op.cit hal 62

94
pelanggar Hak Asasi Manusia tidak lagi didominasi oleh birokrasi dan militer, tetapi

juga masyarakat sipil lainnya seperti pemilik modal, masyarakat yang berbasis

identitas komunal primordial mayoritas yang muncul di berbagai daerah,129 seperti

konflik Maluku dengan sentimen agama ataupun konflik Sampit, dll.

Hak asasi manusia tetap menjadi isu penting yang terus diperdebatkan dalam

kehidupan bernegara di Indonesia. Meskipun jelas, ada benturan-benturan

kepentingan yang terjadi disana tetapi, masih banyak pihak yang mempunyai

komitmen untuk menegakkan Hak Asasi Manusia di bumi Indonesia ini.

C. Relevansi Pemikiran Mansour Fakih terhadap Hak Asasi Manusia

Telah diuraikan sebelumnya di atas bahwa pada era transisi Reformasi,

pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia merembet dalam lingkup yang lebih

luas dan tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor utama tetapi juga aktor non

negara, yaitu kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Jika kita membuka

lagi pembahasan BAB III sebelumnya, kondisi tersebut secara jelas digambarkan

oleh Mansour Fakih yang ia disebut sebagai proses dehumanisasi. Masyarakat telah

kehilangan jiwa humanisnya terhadap sesama manusia. Etnis, agama, ras, perbedaan

pandangan politik, identitas, asal-usul dijadikan penyebab bagi terjadinya penindasan

antar manusia.

C.1 Pemikiran Mansour Fakih Menemukan Ladang Bersemai

Sejak pemerintahan Orde lama hingga era Reformasi seperti sekarang ini,

pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia menjadi kasus penting

129
Cornelis Lay & Pratikno, Komnas HAM 1998-2001, Op.cit hal 85

95
yang tidak pernah terselesaikan. Era Reformasi, yang konon berpegang pada prinsip-

prinsip Hak-hak Asasi Manusia masih juga menyisakan kekecewaan akan kasus-

kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lampau yang tidak terselesaikan

dan selalu mentah di depan hukum. Bahkan, di era Reformasi ini, terjadi perluasan

aktor pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi

manusia yang beragam.

Transformasi Sosial Mansour Fakih menemukan ladang bersemai dalam hal

ide dan metode. Transformasi Sosial yang dirumuskan oleh Mansour Fakih menjadi

sangat relevan dengan konteks Indonesia dalam menegakan Hak-hak Asasi Manusia

di Indonesia. Transformasi sosial memuat nilai-nilai humanis yang menjadi landasan

dari bekerjanya Hak Asasi Manusia sebagai salah satu alternatif untuk

menyelesaikan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Dalam satu pendapatnya, Mansour mengatakan bahwa masyarakat kita telah

kehilangan jiwa kemanusiaan dalam diri mereka sehingga masing-masing dari

mereka mampu untuk menindas satu sama lain dengan motif yang beragam, tidak

hanya terbatas pada urusan politik, ekonomi tetapi juga karena sebab-sebab yang

sangat sepele. Keadaan tersebut, bukanlah suatu keadaan yang terjadi tanpa sebab.

Mansour tetap berkeyakinan bahwa pada dasarnya pelanggaran hak asasi manusia

terjadi secara sistemik, struktural dan kultural.

Dari pernyataan Mansour tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ada kondisi

yang menyebabkan meluasnya aktor pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Kondisi

itu adalah sebagai berikut:

96
1. Masyarakat Indonesia terlalu lama hidup dalam tekanan dan kekerasaan.

Pengalaman menjadi sebuah bangsa yang terjajah berabad-abad lamanya

membuat masyarakat Indonesia menjadi orang-orang yang terbiasa hidup

dalam suatu keadaan dimana kekerasan mewarnai kehidupan mereka

sehari-hari. Bahkan, setelah masa penjajahan berakhir dengan

diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945, rezim-rezim pemerintahan yang berkuasa juga menerapkan sistem

pemerintahan yang otoritarianisme dimana kekerasan merupakan hal yang

wajar dan lazim di lakukan. Nilai-nilai otoritarianisme telah tertanam kuat

dalam benak setiap orang. Akibatnya, terjadi proses imitasi yang

didasarkan pada sebuah logika otoritarian yang telah ada sebelumnya

sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa kekerasan adalah sebuah

cara yang tepat untuk menyelesaikan suatu persoalan secara efektif.

Masyarakat menjadi pribadi yang agresif, mudah tersinggung dan

mengadopsi sikap-sikap otoriter.

2. Tuntutan untuk bertahan hidup. Akibat dari himpitan ekonomi yang berat

yang bersumber dari setiap kebijakan ekonomi yang memihak kepada

para pemilik modal dan mengabaikan masyarakat kecil. Setiap orang

lebih memilih otot daripada akal dan hati nurani serta bersedia melakukan

apa saja untuk bertahan hidup, termasuk menindas orang lain.

97
D. Perspektif Difabel dalam Kerangka Hak Asasi Manusia di Indonesia

Jika menyimak dengan lebih cermat pemikiran-pemikiran Mansour Fakih

maka sesungguhnya Mansour Fakih sebenarnya juga berbicara mengenai Hak-hak

Asasi Manusia yang harus seharusnya dihormati, dijaga dan dilindungi oleh negara

tetapi malah dilakukan oleh negara sendiri dengan menggunakan kekuasaan dan

kewenangan yang dimilikinya.

Pandangan dan pemikiran Mansour mengenai masyarakat difabel dapat

dikatakan sebagai sumbangan besar bagi perkembangan Hak Asasi Manusia di

Indonesia. Pertama, dari dua pandangannya tersebut Mansour mencoba membongkar

praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi dalam kehidupan sosial

masyarakat dan memberikan rangsangan kepada para aktivis penegak Hak Asasi

Manusia untuk lebih peka melihat dan memahami kenyataan yang sebenarnya terjadi

dalam masyarakat kita. Kedua, pandangannya mengenai kaum difabel memberikan

prespektif baru130 kepada para aktivis penegak Hak Asasi Manusia untuk

mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak

Asasi Manusia tidak hanya sebatas pada pelanggaran terhadap hak sipil dan hak

politik masyarakat.

Lebih lanjut Toto Rahardjo memberikan contoh pada permasalahan yang

dihadapi kaum petani, merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia

ketika seorang petani tidak lagi mempunyai hak untuk memproduksi lahannya secara

mandiri, baik dari pemilihan bibit, pupuk sampai cara memanen. Atau dengan kata

lain, ketika orang tidak menguasai apa yang sebenarnya ia kuasai maka itulah yang

130
Wawancara dengan Toto Rahardjo, 3 Juli 2007

98
dinamakan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia.131Tidak hanya sebatas pada itu

saja, analisis teori ini kemudian diterapkan dalam level praktis dengan menjadi

supporting organisasi masyarakat dalam bentuk pengorganisasian, pelatihan dan

advokasi.

Analisisnya mengenai eksistensi kaum difabel dalam struktur masyarakat

Indonesia dan hak-hak layak didapatkan oleh mereka secara jelas menjelaskan bahwa

mungkin selama ini kita ikut andil dalam melanggar hak-hak kaum difabel yaitu

dengan memberikan pelabelan negatif kepada mereka sebagai masyarakat cacat dan

tidak berguna. Dengan analisisnya ini, Mansour mencoba menyentuh ranah

masyarakat untuk kembali menumbuhkan jiwa humanis untuk saling menghargai dan

menghormati satu sama lain dengan apa adanya. Perspektif difabel menjadi satu

perspektif baru dalam memahami bentuk dan pelanggaran Hak Asasi Manusia,

seperti halnnya perspektif gender dan hak perempuan, hak anak, dll

E. Penutup

Ada beberapa catatan penting yang akan menjadi bagian penutup dari bab ini.

Pertama, penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia tidak dapat berjalan

dalam logika otoritarianisme dimana negara menjadi sentral yang mengatur

kehidupan masyarakatnya. Kedua, penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia

akan berhasil ditegakkan dalam logika demokrasi dimana hak-hak individu mendapat

pengakuan yang sama selayaknya hak-hak kolektif. Ketiga, peningkatan pelanggaran

terhadap Hak-hak Asasi Manusia baik secara kuantitas maupun kualitas membawa

131
Wawancara dengan Toto Rahardjo, 3 Juli 2007

99
pengaruh terhadap perluasan definisi dan makna pelanggaran terhadap Hak-hak

Asasi Manusia itu sendiri. Pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia mencakup

keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Keempat, pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia tidak hanya termanifestasi kedalam kekerasan-kekerasan fisik tetapi juga

psikis misalnya, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, perlakuan diskriminatif,

dll.

Terlepas dari meningkatnya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bersumber

pada sistem dan struktur yang ada dan benturan-benturan kepentingan yang ada,

perkembangan gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia mulai menunjukkan

peningkatan yang signifikan. Isu-isu yang tidak pernah diangkat menjadi masalah

publik karena tidak termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia, mulai

mendapat perhatian dari berbagai pihak. Misalnya, perlindungan hak-hak kaum

perempuan diwilayah domestik maupun publik. Jika pada masa pemerintahan Orde

baru, penegakan Hak Asasi Manusia ditekankan dalam bidang politik dan hukum,

maka di era Reformasi ini gerakan perjuangan perempuan, masyarakat HIV/AIDS,

masyarakat adat yang mendapat perlakuan diskriminatif sampai pada gerakan kaum

homoseksual dan lesbian menjadi wacana penting bagi penegakan Hak-hak Asasi

Manusia di Indonesia.

Disamping itu, penghormatan dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia

harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan

demikian, Hak Asasi Manusia tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus segera

diselesaikan oleh bangsa ini untuk menjadi sebuah bangsa yang berkeadilan.

100
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Transformasi Sosial pada hakekatnya merupakan sebuah model perubahan

sosial alternatif. Dikatakan sebagai model perubahan sosial alternatif karena

Transformasi Sosial bukanlah model perubahan sosial mainstream dimana perubahan

sosial mainstream memberi penekanan terhadap peningkatan dan pertumbuhan

ekonomi sebagai tolak ukur berhasil tidaknya perubahan sosial dalam suatu negara.

Hasil penulisan penulis untuk memetakan dan memahami pemikiran Mansour

Fakih mengenai Transformasi Sosial ini pada akhirnya berujung pada beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, Transformasi Sosial merupakan sebuah metode untuk melakukan

perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Sebuah metode yang dibangun

dengan kesadaran kritis sebagai pondasinya.

Kedua, gagasan mengenai Transformasi Sosial oleh Mansour Fakih

merupakan sebuah gagasan yang berangkat dari ketidakadilan yang dialami oleh

masyarakat. Ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam kehidupan sosial, ekonomi,

politik dan budaya masyarakat. Ketidakadilan yang terjadi secara struktural dan

sistematis. Praktek ketidakadilan yang termanifestasi baik secara fisik maupun non

fisik. Berbagai bentuk ketidakadilan ini oleh Mansour Fakih disebut sebagai proses

dehumanisasi.

101
Ketiga, Transformasi Sosial merupakan sebuah proses untuk menciptakan

hubungan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang lebih baik dengan tujuan

utamanya adalah mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Caranya adalah dengan

dekonsturksi wacana dominan sekaligus menghadirkan wacana baru sebagai wacana

alternatif dari wacana dominan yang ada. Ini yang disebut sebagai countra discourse.

Countra Discourse merupakan sebuah usaha untuk mengubah pola pikir dan

pandangan masyarakat Indonesia dalam memahami realitas yang terjadi disekitarnya

sekaligus untuk menghadapi berbagai persoalan yang ada. Transformasi Sosial

memungkinkan setiap orang untuk melihat berbagai peristiwa dan persoalan yang

ada dengan kacamata dan sudut pandang yang lebih luas. Kata kuncinya adalah

mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat dalam memahami setiap peristiwa

dan berbagai persoalan yang dialaminya.

Keempat, Transformasi Sosial mencakup lingkup dan metode yang lebih luas.

Transformasi Sosial tidak hanya mencakup salah satu aspek kehidupan masyarakat

tetapi keseluruhan aspek, sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Kelima, Transformasi Sosial Mansour Fakih merupakan sebuah usaha untuk

menghadirkan rehumanisasi (masyarakat yang berkeadilan) dalam diri masyarakat

Indonesia sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara. Rehumanisasi bertujuan untuk

mengembalikan manusia ke dalam hakekatnya sebagai manusia dengan berpegang

pada nilai-nilai humanis.

Keenam, proses rehumanisasi yang coba dihadirkan oleh Mansour Fakih

melalui gagasan Transformasi Sosial merupakan usaha untuk memperbaiki sistem

dan struktur serta kultur yang selama ini memberi legitimasi bagi terjadinya praktek

102
ketidakadilan yang termanifestasi ke dalam pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia.

Sasaran Transformasi Sosial tidak hanya terbatas pada lingkup masyarakat sipil

tetapi juga negara. Hal ini jelas dikatakan oleh Mansour Fakih, bahwa masyarakat

mempunyai tugas untuk “mengembalikan” negara ke dalam eksitensinya sebagai

institusi yang bekerja untuk rakyat dan fungsi-fungsi utamanya yang berperan untuk

melindungi masyarakat dan seluruh kehidupan yang ada didalamnya.

Mansour mencita-citakan sebuah keadaan dimana setiap masyarakat

mendapatkan keadilan yang terwujud dalam pemenuhan kesejahteraan ekonomi,

sosial dan budaya. Transformasi Sosial bukanlah menjadi pekerjaan masyarakat sipil

saja tetapi juga negara. Artinya, setiap pihak harus mempunyai komitmen yang sama

untuk mewujudkan proses rehumanisasi, yaitu dengan cara memberi penghormatan

dan penegakan Hak Asasi Manusia.

Jika digambarkan secara sistematis, kerangka berpikir Mansour Fakih dapat

digambarkan sebagai berikut;

103
Ketimpangan sistem
Ketimpangan sistem relasi
relasi dan
dan struktur
struktur sosial
sosial yang
yang tidak
tidak adil
adil

DEHUMANISASI yang dilanggengkan oleh hegemoni


- ekonomi
- politik
- sosial dan budaya

diskursus Pendidikan alat


hegemoni

TRANSFORMASI SOSIAL
-

Countra Pendidikan alat melawan


discourse hegemoni

REHUMANISASI

104
B. Refleksi Kritis terhadap Gagasan Transformasi Sosial Mansour

Fakih

Gagasan Transformasi Sosial merupakan gagasan dan metode baru dalam

proses perubahan di Indonesia. Secara keseluruhan deskripsi gagasan Transformasi

Sosial yang telah diuraikan dalam BAB III diatas, memuat hal-hal sebagai berikut;

Apa yang telah dipikirkan dan dilakukan oleh Mansour Fakih dapat menjadi

salah satu motivasi untuk menghadirkan kembali jiwa humanis dalam diri kita

sendiri. Komitmen untuk menghadirkan sebuah perubahan untuk mewujudkan

masyarakat yang berkeadilan bisa dimulai dari kita sendiri, yaitu bagaimana kita

memandang segala sesuatunya dengan pemikiran kritis.

Oleh karena itu, sungguh sangat disayangkan jika pemikiran-pemikirannya

hanya sekedar menjadi wacana atau bahkan slogan tanpa di ikuti oleh tindakan-

tindakan nyata. Sangat disayangnya jika cita-citanya menghadirkan rehumanisasi

ditengah masyarakat dan negara Indonesia hilang seiring “hilang”nya jasadnya dari

dunia ini. Meneruskan cita-cita yang telah dirintis oleh Mansour Fakih tidak hanya

menjadi tugas dan kewajiban para aktivis sosial dan aktivis Hak Asasi Manusia

semata tetapi juga menjadi tugas kita sebagai masyarakat “biasa”.

Gagasan Transformasi Sosial itu sendiri harus lebih disikapi secara kritis.

Sebagai kajian yang bukan hal baru lagi, gagasan Transformasi Sosial yang

dirumuskan Mansour Fakih juga memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut.

a. Kelebihan gagasan Transformasi Sosial

Kelebihan gagasan Transformasi Sosial dapat terlihat dalam dua hal, yaitu

sebagai berikut:

105
Pertama, pada aspek isu yang diangkat dan bagaimana Transformasi Sosial

tersebut dijalankan oleh agen-agennya. Isu yang diangkat Mansour berkaitan dengan

masalah ketidakadilan tidak hanya terkait pada hubungan struktur ekonomi dan

politik saja, yang menyangkut dominasi negara kaya terhadap negara berkembang,

tetapi juga merupakan isu-isu yang erat kaitannya dengan kultur yang ada dalam

masyarakat Indonesia sendiri.

Kedua, adalah bagaimana cara Mansour mensosialisasikan Transformasi

Sosial itu sendiri. Cara yang dilakukan Mansour untuk mensosialisasikan gagasan

Transformasi Sosial adalah ia bergerak melalui kelembagaan. Baginya, jaringan

dalam gerakan sosial adalah hal yang penting dilakukan. Jaringan yang dimaksud

adalah kekuatan organisasi masyarakat sipil beserta aktivis-aktivis gerakan sosial

sebagai agen Transformasi Sosial. Mansour mensosialisasikan Transformasi Sosial

dengan melakukan training metode Transformasi Sosial itu sendiri terhadap NGO

dan aktivis-aktivis gerakan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dalam kiprahnya

bersama INSIST sebagai apa yang ia namakan sekolah aktivis gerakan sosial, yaitu

dengan mengambil posisi sebagai supporting organisasi-organisasi kemasyarakatan

yang telah ada untuk penguatan masyarakat sipil.

b. Kelemahan gagasan Transformasi Sosial

Kelemahan gagasan Transformasi Sosial adalah sebagai berikut;

Pertama, mengubah cara pandang terhadap suatu hal memang bukan perkara

semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini dikarenakan menyangkut ideologi

yang tetanam dan telah mengakar kuat dalam setiap benak masyarakat.

106
Kedua, Transformasi Sosial juga akan menjadi sulit dilakukan ketika ia

dipertentangkan dengan sistem, struktur, sosial dan kultur yang terlanjur melekat

dalam masyarakat Indonesia. Memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk

bisa mengubah pola pikir dan ideologi yang terlanjur melekat dalam kultur

masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, proses rehumanisasi (memanusiakan

kembali manusia) di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan

jika tidak bisa dikatakan belum terwujud. Meski hidup dalam era Reformasi yang

lebih demokratis dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde baru, tidak menjadi

jaminan bahwa proses rehumanisasi akan berjalan lancar, mulus tanpa hambatan.

Penulis juga melakukan catatan kritis bagi pembahasan kaum difabel dalam

pandangan Mansour Fakih. Pertama, kata pemberdayaan sebagai usaha untuk

menempatkan kaum difabel pada posisi yang sejajar dengan mereka yang dikatakan

normal. Ketika berbicara mengenai makna dalam sebuah kata ataupun istilah, kata

pemberdayaan terkesan memiliki makna dari tidak berdaya menjadi sebuah usaha

untuk memberikan daya. Mungkin ini yang tidak disadari Mansour Fakih bahwa

ketika istilah pemberdayaan juga bisa menjadi sebuah diskursus. Kedua, analisis

Mansour mengenai difabel merupakan countra discourse yang ia lakukan dalam

kaitannya dengan ketidakadilan struktural, yaitu bahwa ketidakadilan struktural tidak

hanya sebatas pada sistem relasi yang berjalan timpang sekaligus hegemoni antara

negara-negara kaya terhadap negara berkembang seperti yang terlihat jelas dalam

analisisnya mengenai developmentalisme dan gender.

Harus kita sadari bahwa kehidupan dalam suatu negara merupakan satu

rangkaian kehidupan yang kompleks. Terdapat banyak benturan kepentingan yang

107
terjadi disana. Benturan kepentingan antar individu, antara kelompok yang satu

dengan kelompok yang lain dan juga benturan kepentingan antara masyarakat

dengan negara. Kondisi demikian ini menjadi tantangan yang harus dihadapi, tetapi

pada saat yang sama bisa juga menjadi hambatan bagi terwujudnya masyarakat yang

berkeadilan.

Namun demikian, Transformasi Sosial tentu saja bukan satu-satunya model

perubahan sosial yang kemudian menjadi harga mati bagi proses perubahan sosial itu

sendiri. Jika demikian halnya, tentu saja akan terjadi lagi hegemoni dalam

mekanisme discourse yang memunculkan persoalan ketidakadilan. Oleh karena itu,

penting bagi agen Transformasi Sosial itu sendiri untuk memperlakukan wacana

Transformasi Sosial sebagai wacana yang terbuka.

108
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus
Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002

Cornelis Lay & Pratikno, KOMNAS HAM 1993-1997 Pergulatan dalam


Otoritarianisme, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2002

----------------------------, KOMNAS HAM 1998-2001: Pergulatan dalam Transisi


Politik, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2002

Eko Prasetyo, Hak Asasi Manusia: Silang Sengketa Konflik Kepentingan, INSIST,
Yogyakarta 2001

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk


Mewujudkan Keadilan Global (terjemahan dari Crimes Against Humanity:
The Strunggle For Global Justice), diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Jakarta, 2002

Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial , Gadjah
Mada Press, Yogyakarta, 1992

Haryanto, MA, Analisis tahap – tahap gerakan mahasiswa Indonesia:laporan


penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1983

Jerry Mander, dkk, Globalisasi Membantu Kaum Miskin? Dalam Seri Kajian Global
Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, Cindelaras, Yogyakarta,2004

109
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002

Prof. Dr. Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ROSDA, Bandung,


2004

Dr. Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, INSIST PRESS,
Yogyakarta, 2002

----------------------, Masyrakakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan LSM


di Indonesia, Pustaka Pelajar, 2004

---------------------, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, 2004

--------------------, Bebas dari Neoliberalisme, INSIST PRESS, Yogyakarta, 2003

----------------------, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, 2005

M.B Wijaksana, In Memoriam Mansour Fakih, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta,


2004

Ir. M. Iqbal Hasan, MM, Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002

Muh. Budairi Idjehar,SH,M.Hum, HAM Versus Kapitalisme, INSIST, Yogyakarta,


2003

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 2000

110
---------------, Pendidikan yang Membebaskan. Pendidikan yang memanusiakan,
dalam Menggugat Pendidikan, Omi Intan Naomi (Ed), Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2003

Piotr sztomka, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media, Jakarta, 2001

Rahmat Hidayat, Ilmu yang Seksis : Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin, Jendela, Yogyakarta, 2004

Rosemari Putnam Tong, Feminisme Thought (terjemahan Aquarini), Jalasutra,


Yogyakarta

Roger Simon, Gagasan–Gagasan Politik Gramsci, terjemahan Kamdani dan Imam


Baehaqi, Pustaka Pelajar-INSIST PRESS, Yogyakarta, 2004

Suharto dan Aris Munandar (Ed), Pokok – Pokok Pemikiran Mansour Fakih:
Refleksi Kawan Seperjuangan Peringatan 100 hari wafatnya Mansour Fakih,
OXFAM-SIGAB, Yogyakarta, 2004

Suwarsono & Alvin Y. SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta,
2001

W Gulo, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta, 2002

SKRIPSI:

Sigit Pamungkas, Sosialisme Islam HOS Tjokroaminoto, Skripsi, FISIPOL UGM,


Yoygakarta, 2001

111
ARTIKEL:
Mansour Fakih, Akses Ruang yang Adil Meletakkan Dasar Keadilan Sosial bagi
Kaum Difabel, diseminasi Nasional di Yogyakarta 27-28 september 1999
dengan judul Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua di
dokumentasikan dan dibukukan dalam peringatan 100 hari wafatnya Mansour
Fakih, OXFAM, Yogyakarta, 2004

Mansour Fakih, Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari analisa gender dalam
Risalah Gusti, Surabaya. 1996

112

Anda mungkin juga menyukai