Anda di halaman 1dari 10

1.

Ungkapkan mengapa kepedulian konservasi SDA terhadap lingkungan hidup,


transgender masuk di Indonesia diawali dari civil society, bukan dari kalangan
akademisi?
Jawab:
Suatu masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antar
individu yang sangat kompleks. Jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk
menjadi penting bagi masyarakat tersebut. Adanya keterbatasan manusia
berhubungan dengan semua manusia yang ada, maka individu belajar melalui
pengalamannya untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial
yang tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang
ada pada individu yang bersangkutan. Manusia tidak selalu menggunakan semua
hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuan nya, tetapi
disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya (Agusyanto, 2007:30).
Civil society merupakan bagian dari masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi
kemasyarakatan , Lembaga swadaya masyarakat, dan individu yang tidak terafiliasi
dengan pemerintar atau sektor bisnis. Civil society bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil, meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan kebijakan, dan memperkuar demokrasi . civil society juga
dapat berperan dalam pengetasan kemiskinan, pengembangan ekonomi dan
perlindungan lingkungan hidup.
Perkembangan sosial legal dan sosial kultural civil society sesungguhnya
bermula dari tradisi pemikiran Barat. Civil society yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan masyarakat sipil, merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki
kaitan dengan ‘pemerintah militer’ seperti yang sering diperbincangkan masyarakat
secara umum. Konsep ini, sebenarnya merupakan lawan dari konsep ‘masyarakat
negara’ (state society) atau masyarakat politik (political society), konsep ini mula-
mula dimunculkan di Eropa sebagai produk sejarah masyarakat Barat, karena civil
society tidak lahir dari suasana vakum. Sebaliknya, civil society merupakan produk
dari suatu masyarakat tertentu yaitu sosial budaya dan politik di Barat. Seorang
pemikir alumni Universitas Gadjah Mada, M. Dawam Rahardjo, menyatakan
bahwa secara harfiah, civil society merupakan terjemahan dari istilah Latin (civilis
societas) yang sudah ada Sebelum Masehi. Istilah ini mula-mula dicetuskan oleh
Cicero (106-43 SM), seorang orator dan pujangga Roma, yang pengertiannya
mengacu kepada gejala budaya perorangan masyarakat. Masyarakat sipil
disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang beradab dan
memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.
Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari civil society secara ideal
merupakan sebuah komunitas masyarakat yang tidak hanya sekedar terwujudnya
kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan terwujudnya nilai-
nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan,
kebebasan dan pluralisme. Pemikiran ini berlanjut hingga abad pertengahan yang
dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Hobbes memahami civil atau political
society sebagai ide normatif mengenai kebebasan dan persamaan warga negara
sebagai kesatuan politik. Tetapi dalam pandangannya, bukan masyarakat yang
menciptakan negara, melainkan melalui kontrak sosial kehadiran masyarakat
disatukan dibawah kekuasaan negara. Hobbes memunculkan teori “social contrac”
atau perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekusaan pemerintah adalah
perjanjian masyarakat. Pemerintah sebagai mandataris perjanjian masyarakat
dalam konteks pemahaman ini, memiliki kekuatan kuasa yang tidak terbatas,
artinya pemerintah dapat melakukan segala cara guna menjamin ketentraman dan
stabilitas masyarakat.
Jika ditanya mengapa kepedulian Konservasi SDA terhadap lingkungan hidup,
transgender masuk di Indonesia diawali dengan civil society , bukan dari kalangan
akademisi maka jawabannya karena civil society ini merupakan sebuah ide
normative mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagai kesatuan
politik. Dengan kata lain kalangan akademik di beberapa tempat di dunia, ada
kultur atau norma-norma yang masih meng-stigmatisasi atau menolak LGBT,
sehingga individu-individu yang memiliki orientasi seksual atau identitas gender
yang berbeda mungkin merasa tidak nyaman atau tidak aman untuk
mengekspresikan diri mereka secara terbuka di lingkungan akademis. Selain itu,
ada juga beberapa faktor lain yang mungkin mempengaruhi partisipasi dan
pengakuan individu LGBT di kalangan akademis, seperti masalah akses terhadap
pendidikan, diskriminasi atau kekerasan terhadap individu LGBT, atau kurangnya
dukungan dari lingkungan akademis terhadap individu-individu tersebut.
Sedangkan dalam civil society yang lebih di populerkan dikalangan bangsa barat
ini memiliki beberapa kebebasan bahkan memiliki asosiasi yang menaungi.
Bahkan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon (2010) mengatakan bahwa :
“Sebagai laki-laki dan perempuan yang mempunyai hati nurani, kita menolak
diskriminasi secara umum, dan khususnya diskriminasi berdasarkan orientasi
seksual dan identitas gender. Apabila seseorang diserang, diperla kukan dengan
kejam, atau dipenjara kan karena orientasi seksual mereka, kita harus bersuara ....
Hari ini, banyak bangsa mempunyai konstitusi modern yang menjamin hak-hak
dasar dan kebebasan. Akan tetapi, homoseksual masih dianggap kriminal di lebih
dari 70 negara. Hal ini tidak benar. Benar, kita mengakui bahwa sikap sosial
masih berperan kuat. Benar, perubahan sosial terjadi seiring dengan berjalannya
waktu. Namun, janganlah ada kebingu ngan ketika terjadi ketegangan antara
sikap sosial dan hak asasi manusia universal, maka haklah yang harus
dimenangkan. Penolakan secara priba di, bahkan penolakan masyarakat bukan
merupakan alasan untuk menan gkap, menahan, memenjarakan, mele cehkan,
ataupun menyiksa seseorang, tidak pernah” Dari pernyataan Sekjen PBB di atas
memperlihatkan secara kelembagaan inter nasional PBB juga menyikapi perlakuan
di beberapa negara terhadap kaum LGBT. Diskriminasi yang berdasarkan orientasi
eksual dan identitas gender tidak dibenarkan karena menyangkut hak asasi manusia
secara universal. Reaksi senada juga diberikan oleh Hillary Clinton akan isu LGBT
pada sebuah pertemuan tingkat internasional. berkaitan dengan itu, jaringan sosial
bagi organisasi Ardhanary Institute sangatlah penting, mewujudkan program
kegiatan yang telah direncanakan khususnya advokasi terhadap LBT perempuan
dan upaya-upaya untuk menghilang kan stigma masyarakat tentang LBT/LGBT.
Berbagai program kegiatan dilakukan organisasi ini melibatkan atau kerjasama
dengan pihak lain. Sebagaimana menurut Mitchell (1969), pentingnya melihat
jaringan-jaringan hubungan personal untuk memahami perilaku masyarakat.
Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial adalah
pencerminan dirinya sebagai makhluk sosial, sebagai upaya untuk
mempertahankan keberadaannya. Memba ngun jaringan melalui individu dan
komunitas LBT/LGBT, organisasi yang bergerak dalam isu-isu perempuan, hak
asasi manusia termasuk media dan agama (organisasi/kelembagaan maupun
individu).
Dari beberapa pernyataan diatas sudah bisa disimpulkan bahwa Civil society
merupakan bagian dari masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan individu yang tidak terafiliasi
dengan pemerintah atau sektor bisnis. Civil society bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil, meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan kebijakan, dan memperkuat demokrasi. Civil society juga
dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi, dan
perlindungan lingkungan hidup. Selain itu Civil society juga merupakan bagian
dari masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, dan individu yang tidak terafiliasi dengan pemerintah atau
sektor bisnis. Mereka mungkin lebih terlibat dalam isu-isu sosial dan lingkungan
hidup karena memang merupakan kepentingan mereka. Akademisi seringkali lebih
terfokus pada penelitian dan pengajaran, sehingga mungkin tidak memiliki waktu
yang cukup untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu sosial dan lingkungan hidup.
Dibandingkan dengan civil society, Civil society mungkin memiliki lebih banyak
akses dan kekuatan untuk memengaruhi kebijakan publik dan memperjuangkan
hak-hak masyarakat sipil, sementara akademisi mungkin lebih terfokus pada
penelitian dan pengajaran. Dapat kita ketahui Bersama bahwa Civil society dan
kalangan akademisi merupakan dua bagian yang berbeda dari masyarakat. Berikut
ini adalah beberapa perbedaan antara civil society dan kalangan akademisi:
a. Afiliasi: Civil society terdiri dari organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, dan individu yang tidak terafiliasi dengan pemerintah atau sektor
bisnis. Sementara itu, kalangan akademisi terdiri dari para akademisi, ilmuwan,
dan peneliti yang terafiliasi dengan lembaga pendidikan tinggi atau institusi
penelitian.
b. Fokus utama: Civil society lebih terfokus pada memperjuangkan hak-hak
masyarakat sipil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
kebijakan, dan memperkuat demokrasi. Sementara itu, kalangan akademisi
lebih terfokus pada penelitian dan pengajaran di bidang ilmu pengetahuan
tertentu.
c. Kekuatan: Civil society mungkin memiliki lebih banyak akses dan kekuatan
untuk memengaruhi kebijakan publik dan memperjuangkan hak-hak
masyarakat sipil, sementara kalangan akademisi mungkin lebih terfokus pada
penelitian dan pengajaran.
d. Kontribusi: Civil society dapat memberikan kontribusi dalam pengentasan
kemiskinan, pengembangan ekonomi, dan perlindungan lingkungan hidup.
Sementara itu, kalangan akademisi dapat memberikan kontribusi melalui
penelitian dan pengajaran yang memperluas pengetahuan di bidang ilmu
pengetahuan tertentu.
Daftar Referensi no 1
Agusyanto, Ruddy. 2007 Jaringan Sosial dalam Organisasi. Penerbit PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Moh. Mahfud MD, “Supremasi Hukum dan Masyarakat Madani” Makalah, Latihan
Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Menengah: (BEM IKIP Yogyakarta, 19 Mei
1999), hlm. 3.
Bachtiar Effendy, “Masa depan civil society di Indonesia: memeriksa akar sosio religius”
dalam Jurnal Refleksi Pemikiran dan Kubudayaan, Tashwirul Afkar, Edisi No. 7 Tahun 2000
– ISSN: 1410-9166, 2000, Jakarta, hlm. 23.
Moh. Mahfud MD, Supremasi Hukum…hlm. 4. Lihat juga Deliar Noer, Pemikiran Politik di
Negara Barat, Ibid,,hlm. 105
Women Research Institute. 2013 Afirmasi: Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis.Vol.02.
Januari.Penerbit : WRI, Jakarta

2. Hjhjk
3. kelemahan pembelajaran daring di perguruan tinggi dilihat dari prespektif teori sosial.
Jawab:
Belajar merupakan suatu proses yang dilalui setiap individu untuk pembentukan
pribadi yang lebih baik. Belajar adalah proses mengambil informasi baru atau
mengembangkan keterampilan yang sudah ada melalui pengalaman, pembelajaran,
atau latihan. Belajar dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti melalui pengalaman
langsung, pembelajaran tatap muka dengan guru atau instruktur, atau melalui
pembelajaran daring atau otodidak. Belajar merupakan proses yang terus-menerus
dan merupakan bagian dari kehidupan setiap orang, karena kita akan terus-menerus
memperoleh pengetahuan baru dan mengembangkan keterampilan yang sudah ada
sepanjang hidup kita. Menurut Slameto (2010: 2) belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Burton (1984) dalam Siregar (2014: 4),
“belajar adalah proses perubahan tingkah laku pada diri individu karena adanya
interaksi antara individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu
berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan pendapat ini, dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil
interaksi individu dengan lingkungannya. Konsep lain mengatakan bahwa belajar
merupakan proses pengembangan potensi yang ada pada individu. Potensi tersebut
dapat dikembangkan dengan bantuan lingkungan yang membentuknya. Dalam dunia
pendidikan, banyak sekali teori belajar yang sudah ditemukan oleh para ahli. Teori-
teori ini dipakai untuk mengantarkan individu belajar sesuai dengan tahap
perkembangannya. Selain itu juga bertujuan membentuk individu yang diinginkan
oleh lingkungan. Salah satunya adalah teori belajar behavioristik.
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami individu dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah laku.
Penulis mencoba melihat dari satu sudut pandang teori belajar yang diusung
oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949). Menurut Thorndike, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut
stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan
eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau
berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang (Burhanuddin, 2008) Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Belajar dalam Thorndike adalah peristiwa terbentuknya sebuah asosiasiasosiasi
antara stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus itu sendiri merupakan suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadikan suatu tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang
tingkah laku yang tiba-tiba muncul karena adanya suatu rangsangan.
Thorndike melakukan suatu percobaan terhadap seekor kucing. Dimana kucing
tersebut dibiarkan kelaparan dan kemudian dimasukkan ke dalam sangkar yang
tertutup. Sangkar tersebut pintunya dapat terbuka secara otomatis jika kenop di
dalam sangkar tersebut disentuh. Dalam percobaan ini jika di luar sangkar diletakkan
suatu makanan, maka kucing tersebut berusaha untuk mencapainya dengan
melompat-melompat. Percobaan ini diulang hingga belasan kali, dan setelah
percobaan ke-12, secara tidak sengaja kucing tersebut menyentuh kenopnya hingga
pintupun terbuka dan kucing tersebut langsung berlari ke tempat makanan tersebut.
Dalam melaksanakan percobaan tersebut dapat dikatakan bahwa setiap respon
akan menimbulkan stimulus baru. Karena adanya percobaan ini, teori belajar
Thorndike dikenal sebagai teori “Trial and Error” atau “Selecting and Conecting”
yaitu menyatakan bahwa belajar terjadi karena adanya proses mencoba-coba dan
membuat suatu kesalahan. Selain teori pembelajaran tersebut, dalam Suryabrata
(2004;250) yang menyatakan bahwa Thorndike juga menemukan hukum-hukum
pokok dalam belajar, diantaranya adalah sebagi berikut :
1) Hukum Kesiapan Hukum ini menyatakan bahwa keadaan-keadaan dimana
pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan,
menerima ataupun menolak sesuatu.
2) Hukum Latihan Dalam hukum ini,mengandung dua hal penting, diantaranya
adalah :
a. Law of use. Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi
tambah kuat jikalau ada latihan.
b. Law of disuse. Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi
lemah jikalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
3). Hukum Akibat Hukum akibat ini menyatakan bahwa hubungan stimulus
respon akan semakin kuat jika akibat yang ditimbulkan menyenangkan, akan
tetapi jika tidak maka berlaku sebaliknya, yaitu akibatnya tidak akan
memuaskan. Ketiga hukum-hukum tersebut merupakan hukum-hukum primer
(pokok). Selain lima hokum tersebut, \Thorndike juga mengemukakan lima
hukum-hukum yang lainnya, yang biasa disebut dengan hukum minor
(subsider), lima hokum tersebut adalah :
a. Hukum reaksi Bervariasi Agar suatu respons itu berhasil ditangkap,
maka respon itu harus benar-benar terjadi. Misalnya, jika suatu siswa
dihadapkan pada suatu contoh soal, maka dia akan mencobanya dengan
berbagai cara. Jika dalam proses mengerjakannya tersebut ada yang
sukses, maka dapat dikatakan bahwa proses belajar siswa tersebut
berhasil atau respon siswa berhasil. \
b. Hukum Sikap Keadaan kognitif, emosi, social serta psikomotornya juga
menentukan perilaku siswa dan bukan hanya pengaruh stimulus dan
responnya saja.
c. Hukum aktivitas sebagian Pelajar atau organisme dapat bereaksi secara
selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi
tertentu.
d. Hukum persamaan jawaban Semua respon-respon selalu dapat
diterangkan jika pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli untuk
segera merespon.
e. Hukum perpindahan asosiasi Yaitu proses peralihan suatu situasi yang
telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit unsur-unsur (elemen) baru dan
membuang unsur-unsur lama sedikit demi sedikit sekali sehingga unsur
baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu..
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian
teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain : 1) Hukum
latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan
stimulus respon belum tentu diperlemah. 2) Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh
Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah,
sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa. 3) Syarat utama terjadinya hubungan
stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan
respon. 4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada
individu lain. Teori Trial and error disebut juga dengan teori koneksionisme yang
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh
dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Dalam teori ini sudah menunjukkan Kelemahan, kelemahan Teori Thorndike
ini dilihat dalam Pembelajaran Matematika.beberapa kelemahan ini ditunjukkan
dengan 1) Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab
banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang
tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon 2). Teori ini tidak
mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan
respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya .

Adapun penerapan Teori Belajar Thorndike dalam pembelajaran adalah


sebagai berikut :
a. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan,
respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan
respon. Oleh karena itu tujuan pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
b. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik.
Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan
menurut bermacaam-macam situasi.
c. Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap
dari yang sederhana sampai yang kompleks.
d. Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah
adanya respon yang benar terhadap stimulus.
e. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila
belum baik harus segera diperbaiki.
f. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam
masyarakat. g. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk
kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
g. Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan
meningkatkan kemampuan penalarannya.
Berdasarkan penerapan teori belajar thordike hal ini tidak bisa kita dapatkan
jika melaksanakan pembelajaran dalam jaringan (daring). Bisa diterjemahkan pada
point “guru harus menjelaskan secara jelas tujuan pembelajaran, hal ini mungkin
secara teoritis dapat terjadi dengan mudah namun jika di implementasikan dalam
pembelajaran dalam jaringan hal ini bisa saja terjadi miss komunikasi atau gagal
paham oleh responden sehingga respon yang diharapkan tidak sesuai denga napa yang
diharapkan oleh mentor atau tutor. Pada point b yang menyatakan bahwa “Tujuan
pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi
dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacaam-macam situasi.” Dalam point ini juga bisa terdapat banyak miss konsepsi
ataupun banyak mengalami “pemaksaan” pemaksaan yang dimaksud adalah
pemaksaan untuk menyamaratakan kemampuan setiap individu, bahkan tidak bisa kita
pungkiri kemampuan setiap individu ini sangatlah berbeda-beda, banyak sekali factor-
faktor pendukung lain yang mungkin tidak semua mahasiswa bisa untuk
mendapatkannya, seperti lokasi rumah yang menunjang sinyal internet, dst. Hal ini
akan berimbas kepada “respon” yang mempengaruhi hasil dari belajar siswa. Jika
diulas Kembali dengan memperhatikan segala aspek dari pembelajaran dalam
jaringan banyak hal yang tidak menguntungkan bagi perguruan tinggi, dikarenakan
banyaknya serta lamanya proses adaptasi yang akan dilakukan untuk memenuhi
standard pembelajaran daring. Transisi dari PTM menjadi PJJ itu bukan hal yang
mudah.
Kita mengacu pada teori sosial Thordike. Thordike disini menjelaskan
mengenai perubahan belajar melalui tingkah laku, stiumulus dan respon. Artinya,
perubahan tingkah laku dibentuk sesuai dengan keinginan lingkungan karena individu
merespon sesuai dengan stimulus yang diberikan. Selain itu, respon yang diberikan
akan baik, jika seseorang tersebut sudah siap dalam menerima stimulus, sehingga
menimbulkan kepuasan bagi diri individu itu sendiri. Untuk mendapatkan hasil
belajar yang baik berupa perubahan tingkah laku, maka seyogyanya pemberian
stimulus sering dilakukan berulang kali, agar respon yang diberikan juga semakin
baik. Teori ini sangat tepat jika diaplikasikan pada pembelajaran dengan tatap muka.
Akan berbeda hasilnya jika diterapkan dalam pembelajaran daring (dalam jaringan).
Tentunya masih perlu banyak kesiapan yang dilaksanakan demi menunjang
pembelajaran dalam jaringan ini. Sesuai dengan teori thorndike bahwa pembelajaran
dalam teori nya melalui stimulus dan respon. Akan baik hasil pembelajaran tersebut
jika responden sudah siap dalam menghadapi atau menerima sebuah materi, dan yang
mana kita ketahui Bersama dalam pembelajaran daring ini tidak seefektif dalam
pembelajaran tatap muka pada umumnya dikarenakan banyak factor seperti factor
internal dan factor ejksternal yang dialami oleh individu. etiap individu harus
mempunyai kesiapan dalam melakukan sesuatu.
Kesiapan merupakan potensi seseorang untuk menghadapi sesuatu dilihat dari
respon yang ia berikan. Ketika seseorang mempunyai kesiapan maka akan mudah
baginya dalam merespon sesuatu. Seperti yang dikatakan Syarif (2015) mengatakan
bahwa kesiapan merupakan suatu keadaan untuk siap melakukan sesuatu. Pada
kesempatan lain Sinta (2017) bahwa kesiapan adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam memberikan respon terhadap apa yang sedang dihadapi. Kemudian
pengertian kesiapan juga diungkapkan oleh Wahyudi dan Nurhasan Syah (2019)
menyatakan bahwa kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi.
Setiap individu mempunyai kesiapan dasar dalam dirinya untuk memulai suatu
aktivitas. Kesiapan dalam pembelajaran online merupakan upaya yang dilakukan
seseorang dalam menghadapi pembelajaran tersebut. Hal ini disampaikan oleh Siti &
Mauldy (2019) bahwa kesiapan dalam pembelajaran online diartikan sebagai
kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran online. Dengan adanya kesiapan
dalam pembelajaran akan mendorong peserta didik untuk memberikan tanggapan
terhadap pembelajaran. Kesiapan siswa akan mendorong siswa untuk memberikan
respon terhadap stimulus dengan caranya sendiri (Randhyas, 2017). Kesiapan dalam
pembelajaran merupakan keadaan awal bagi peserta didik baik secara fisik, psikis
maupun materi dalam memberikan respon terhadap pembelajaran sehingga
tercapainya tujuan. Seperti yang dikemukakan oleh Djamarah (2015) bahwa faktor-
faktor kesiapan terdiri dari : (1) Kesiapan fisik. Kesiapan fisik yang dimaksud
meliputi tubuh yang sehat, tidak lelah, tidak mengantuk panca indra yang berfungsi
dengan baik, dan sebagainya. (2) Kesiapan psikis. Kesiapan psikis dalam belajar
meliputi kesiapan untuk memberikan respon, mampu fokus untuk konsentrasi, punya
keinginan kuat untuk belajar, motivasi diri dan lain-lain. (3) Kesiapan materi.
Kesiapan materi merupakan adanya bahan atau media yang mendukung untuk
kelancaran proses pembelajaran seperti Perangkat komputer, jaringan internet,
kekuatan sinyal, dan aplikasi yang digunakan. Dalam pembelajaran daring , pendidik
dengan peserta didik dapat melalui aplikasi zoom, google meet, tugas via email, dan
sejenisnya. Pembelajaran daring ini sangat efektif jika sudah memeiliki sarana dan
prasarana yang memadai namun akan menjadi buruk terhadap mahasiswa yang belum
memiliki kesiapan tersebut. Hal ini sejalan denga napa yang disampaikan oleh
Miftahul Jannah dalam kesiapan diri mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan
daring; bahwa “Secara umum mahasiswa aktif Bimbingan dan Konseling Universitas
Syiah Kuala sudah siap 75% secara fisik. Namun jika dilihat lebih jauh secara
kualitatif sebagian besar mahasiswa aktif Bimbingan dan Konseling Universitas Syiah
kuala tetap mengalami kendala secara fisik, seperti kelelahan berhadapan terlalu lama
dengan laptop/gawai dan membutuhkan waktu untuk adaptasi dengan metode daring.
Secara kuantitatif mahasiswa aktif Bimbingan dan Konseling Universitas Syiah Kuala
sudah siap 56,25% secara psikis. Mahasiswa merasa kesulitan untuk berkonsentrasi,
kesulitan memahami pelajaran karena terbiasa dengan metode tatap muka dan belum
menyukai metode daring namun tetap megikuti perkuliahan sesuai jadwal yang
dipilih. Secara kuantitatif mahasiswa aktif Bimbingan dan Konseling Universitas
Syiah Kuala sudah siap 75% secara materil. Namun sebagian mahasiswa aktif
Bimbingan dan Konseling Universitas Syiah Kuala tetap kesulitan mendapatkan
signal yang kuat untuk proses perkuliahan daring karena sebagian besar mahasiswa
tinggal di daerah pedalaman sehingga meengganggu kelangsungan proses
perkuliahan.” Hal ini menurut penulis sangat relevan dengan teori yang disampaikan
oleh thorndike bahwa kesiapan seorang individu dalam menerima stimulus dapat
mempengaruhi hasil belajar mereka. Dengan kata lain dapat disimpulkan beberapa
kelemahan yang dapat dianalisis melaui teori-teori sosial mengenai pembelajaran
daring di perguruan tinggi dilihat dari perspektif teori sosial:
Ketidakseimbangan akses terhadap teknologi dan infrastruktur: Sebagian besar
mahasiswa mungkin memiliki akses yang baik terhadap teknologi dan infrastruktur
yang diperlukan untuk pembelajaran daring, namun ada juga mahasiswa yang
mungkin tidak memiliki akses yang sama. Ini dapat menyebabkan ketidakadilan
dalam hal pembelajaran dan memperparah kesenjangan sosial yang ada. Isolasi sosial:
Pembelajaran daring dapat menyebabkan mahasiswa merasa terisolasi dari lingkungan
belajar yang sosial, terutama jika mereka tidak memiliki kesempatan untuk bertemu
dan berinteraksi secara langsung dengan rekan sekelas atau dosen. Ini dapat
menurunkan motivasi dan kinerja mahasiswa. 1). Kurangnya dukungan: Pembelajaran
daring mungkin tidak memberikan dukungan yang sama seperti pembelajaran tatap
muka, seperti bimbingan dan konseling yang tersedia di kelas. Ini dapat membuat
mahasiswa merasa kesulitan dalam menyelesaikan tugas dan mengelola waktu belajar
mereka. 2). Kurangnya fleksibilitas: Pembelajaran daring mungkin tidak seflexible
seperti pembelajaran tatap muka, terutama jika ada jadwal yang harus dipatuhi dan
tidak ada kesempatan untuk bertanya atau diskusi langsung dengan dosen. Ini dapat
menyulitkan mahasiswa dalam memahami materi yang diajarkan. 3). Kurangnya
interaksi dosen-mahasiswa: Pembelajaran daring mungkin tidak menyediakan
interaksi yang sama seperti pembelajaran tatap muka, seperti diskusi kelas, tanya
jawab, dan presentasi. Ini dapat mengurangi kesempatan mahasiswa untuk belajar dan
bertanya secara langsung pada dosen.
Daftar Pustaka no 3
Randhyas P. A. (2017). Analisis Kesiapan Belajar Siswa dalam Mengikuti Proses
Pembelajaran Biologi pada Materi Sel Kelas XI SMA Negeri 5 Tanjungpinang.
Djamarah, S. B. (2015). Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta
Siti F. F. & Maulidy R.R. (2019). Analisis kesiapan diri mahasiswa Pendidikan Pembelajaran
Berbasis O nline (E-Learning & Mobile Learning). JPKS (Jurnal Pendidikan dan Kajian
Seni). 4(1). 152.
Sinta, V. (2017). Pengaruh Kesiapan Belajar Terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi
Kelas X di SMA Bina Jaya Palembang. Utility : Jurnal Ilmiah Pendidikan Ekonomi. 4(1). 13
Wahyudi, R., & Nurhasan Syah, M. P. (2019). Hubungan Minat Menjadi Guru Dengan
Kesiapan Mengajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Teknik Bangunan. CIVED (Journal of Civil
Engineering and Vocational Education), 6(1)
Moreno, Roxane. 2010. Educational Psychology. University of New Mexico
Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Siregar, Eveline dan Hartini Nara. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Burhanuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta An-Ruzz Media

Anda mungkin juga menyukai