Anda di halaman 1dari 18

KUIS AGAMA

ALUNG KUNTO ARYOSENO/202243502689

1.  
(dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam
membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Kata madani sendiri berasal dari bahasa
arab yang artinya civil atau civilized (beradab).] Istilah masyarakat madani adalah terjemahan
dari civil atau civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban.
Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan
wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem
sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa
pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau
keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang
mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat
madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup,
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam
suatu persaudaraan.
Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis,
menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi,
berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral,
mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang
demokratis.
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari
perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan.] Bahkan masyarakat madani dapat dikatakan
sebagai tiang utama kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja
melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan
menyuarakan aspirasi masyarakat.
Adapun pegertian masyarakat madani menurut para ahli saling mengemukakan pendapat dan
pandangannya yang tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya adalah sebagai
serikut :

 Gallner (Supriatna), menunjuk konsep civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas
berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi
Negara.
 Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa civil society lebih menekankan pada keadaan
masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, memiliki kebebasan,
mempunyai sistem ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang
mandiri serta satu sama lain saling menopang.
 Hikam (Supriatna) berpendapat bahwa civil society secara institusional diartikan sebagai
pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga Negara yang mandiri,
yang dapat dengan bebas bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala
hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan secara umum bahwa pengertian masyarakat madani atau civil
society merupakan suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat
kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.

SEJARAH

Filsuf Yunani Aristoteles(384-322 SM) yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan


atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil
society. Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah ‘’koinonia politike’’, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M ) dan John
Locke (1632-1704), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi natural society] Menurut
Hobbes, sebagai antitesa negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam
masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Berbeda
dengan John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap
warga Negara]
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan
konteks sosial dan politik di Skotlandia. Ferguson, menekankan visi etis pada civil society dalam
kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi
industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Fase ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society sebagai sesuatu
yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan dia dianggap sebagai antitesa negara. Menurut
pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah,
menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin
besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh Hegel (1770-1837 M), Karl
Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1937 M). Dalam pandangan ketiganya civil
society merupakan elemen ideologis kelas dominan.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan
oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai
kelompok penyeimbang kekuatan Negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang
kuat.
Adapun tokoh yang pertama kali menggagas istilah civil society ini adalah Adam Ferguson dalam
bukunya ”Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil’’ (An Essay on The History of Civil Society)
yang terbit tahun 1773 di Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada visi etis
kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial
yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan
antara individu.
Masyarakat madani merupakan konsep tentang masyarakat yang mampu memajukan dirinya
melalui aktifitas mandiri dalam suatu ruang gerak yang tidak mungkin Negara melakukan intervensi
terhadapnya. Hal ini terkait erat dengan konsep masyarakat madani dengan konsep demokrasi dan
demokratisasi, karena demokrasi hanya mungkin tumbuh pada masyarakat madani dan masyarakat
madani hanya berkembang pada lingkungan yang demokratis.
Secara historis kelembagaan civil society muncul ketika proses transformasi akibat modernisasi
yang terjadi dan menghasilkan pembentukan sosial baru yang berbeda dengan masyarakat
tradisional. Hal ini dapat ditelaah ulang ketika terjadi perubahan sosial pada masa colonial,
utamanya ketika kapitalisme mulai dikenalkn oleh Belanda. Hal itu telah mendorong terjadinya
pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Pada akhirnya
muncul kesadaran dikalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi
sosial modern diawal abad ke-XX, gejala ini menandai mulai berseminya masyarakat madani.
Pada awal ini gerakan-gerakan organisasi melibatkan pekerja dan intelektual yang masih muda dan
ditandai juga dengan timbulnya kesadaran para buruh tentang kebutuhan mereka untuk
berorganisasi dalam rangka menuju kearah yang lebih baik. Pada tahun 1980, terjadi perubahan
politik yang cukup signifikan yang dipandang sebagai proses demokratisasi dan pembangungan
masyarakat madani di Indonesia. Mei 1998 dan diikuti dengan perubahan-perubahan sosial dan
politik sangat penting dan potensial bagi terciptanya masyarakat madani.

Clean Government dan Masyarakat Madani


Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara
menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah
juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi
Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang
lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian
yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita bahas diartikan
sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-
pamong - baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga
pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk
setiap program bantuan mereka. Para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah
“good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan
pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP),
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang
mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government) dalam
(Effendi, 2005). Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak
pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam
pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang
lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance
mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola
sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep
governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan kemitraan.
Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat mengcapture makna tersebut
yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and
enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat
menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan
keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial (Effendi, 2005).
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau
institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan
menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara
bersama-sama (Din Syamsuddin, 1999: 12). Prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat
madani tercermin dalam karakteristik masyarakat madani. Komponen satu dengan yang lain
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar
serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas (Mawardi,
2008), antara lain :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan
pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mapu
melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan
masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah
satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas
dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman
kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan
umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana
masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan
penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya.
3. Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk
menunjukan sikap saling menghargai dan menghoramti aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan
pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan.
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan
(Mawardi, 2008). Masyarakat madani sebagai tiang utama kehidupan demokratis. Dengannya
masyarakat mampu menyuarakan aspirasinya dan terlindungi kepentingannya. Civil society salah
satunya diwakili oleh adanya partai politik. Tugas dan fungsi partai politik melalui pemilu yaitu
memperjuangkan kepentingan warga dalam tatanan kenegaraan, sistem kekuasaan dan
kebijaksanaan pemerintah. Dalam realitas sosial, masyarakat madani mewujudkan dirinya dalam
berbagai corak lembaga non pemerintah dan organisasi sosial yang sifatnya suka rela, lembaga
penelitian dan akademis, LSM, berbagai corak asosiasi bisnis dan sebagainya. Civil society
memiliki 3 fungsi diantaranya: 1. Mitra pemerintah dalam pembangunan (partner in
development), 2. Pemberdayaan (empowerment), dan 3. kekuatan pengimbang (countervailing
power). (Rahardjo, 1999: 56.) Peran masyarakat madani sebagai alat gerakan sosial diharapkan
mampu mempengaruhi kebijakan publik dan negara dalam upayanya memberantas KKN menuju
pemerintahan yang bersih (clean government). Gerakan sosial sebagai kekuatan penting dalam
merubah masyarakat. Gerakan sosial sebagai salah satu cara utama menata
Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean Government

Era reformasi di Indonesia yang mengusung semangat demokratisasi dalam penyelenggaraan


pemerintahannya, menyebabkan banyak perubahan pada pola dan praktik korupsi. Dengan
berubahnya struktur pemerintahan serta lingkungan sosial, secara tidak langsung akan merubah
pola-pola korupsi yang telah ada didalam administrasi publik. Perubahan pola praktik korupsi
sangat terlihat dari peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, dimana saat era orde baru, praktik
korupsi masih bersifat paternalistik dan tersentral di lingkaran kekuasaan pusat
pemerintahan,sementara saat reformasi bergulir, praktik korupsi menyebar dan tidak hanya
terjadi dalam lingkaran kekuasaan di pusat pemerintahan (Noak, Erviantono, 2012.). Masyarakat
madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan
semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat
madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu,
tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara.
Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif
antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku
sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal
right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama
(Mawardi, 2008: 4). Dalam pandangan penulis upaya pemberantasan KKN yang sistemik bisa
diminimalisir dengan meningkatkan peran masyarakat madani sebagai kekuatan penyeimbang
dalam mengawasi berjalannya penegakan hukum mengingat peran pemerintah dalam penegakan
hukum masih lemah dan belum tegas.

Tatanan ekonomi masyarakat madani

Salah satu karakteristik masyarakat madani yang diungkapkan Hidayat Syarief adalah
masyarakat yang memiliki semangat komfetitif dalam suasana kooplaratif, penuh persaudaraan
dengan bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal (pluralistik) sehingga monopoli
akan hilang dan tercipta kesejahteraan masyarakat yang relatif homogen ditakar dengan ukuran
distribusi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Karakteristik tersebut mencerminkan sosok
‘homo economicus’ yang jujur dan berani, yang muncul karena ditempa oleh sistem ekonomi
yang lurus dan tegas. Untuk sampai pada sistem ekonomi yang diidamkan ini memakan proses
yang mencakup dinamika waktu, sosial dan tradisi masyarakat. Kiranya sangatlah urgen dalam
rangka membangun tatanan perekonomian masyarakat madani, berkaca terlebih dahulu terhadap
performansi perekonomian Indonesia saat ini sebagai hasil konkrit dari strategi pembangunan
ekonomi sebelumnya.

Ekonomi Islam merupakan sarana dalam mewujudkan ekonomi masyarakat madani. Kegagalan
sistem konvensional membuat terjadi penyimpangan dari nilai sosial dan nilai normatif moral
masyarakat sehingga sistem itu dianggap gagal dalam membentuk sarana ekonomi masyarakat.
Untuk itu instrumen ekonomi syari’ah merupakan salah satu alternatif dalam pembentukan
ekonomi masyarakat madani melalaui instrumen baitul maal, lembaga zakat, lembaga wakaf,
sedekah dan sebagainya. Pandangan Islam Tentang Ekonomi Khurshid Ahmad pernah
melontarkan pertanyaan apakah masyarakat muslim bisa membangun perekonomian dengan
mengikuti sistem kapitalis, sosialis maupun derivasinya, dengan ketergantungan (depedency)
yang begitu kuat? atau haruskah dilakukan rekonstruksi sosial-ekonomi secara total dengan
asumsi, gagasan dan pola yang unik dan bernilai khusus untuk pembangunan dalam masyarakat
muslim?.6 Sebagai pemikir ekonomi muslim, Khursid Ahmad tentu berangkat dari realitas yang
terjadi di negeri-negeri muslim. Di mana hampir sebagian besarnya memiliki sumber daya yang
luar biasa tetapi keadaan ekonominya tetap tak berkembang, standar hidup rakyatnya masih
rendah, dan bahkan cenderung hidup dalam keadaan subsisten. Mengalami ketimpangan dalam
distribusi kekayaan, ketidakseimbangan dalam wilayah geografis, kesenjangan antara sektor
ekonomi dan sosial, juga terjadi ketimpangan antara pusat industri dan daerah pertanian. Selain
itu juga mengalami ketergantungan yang luar biasa sebagai pengaruh berkepanjangan dari
warisan hubungan ekonomi kolonial sebagai hubungan „pusat-pinggiran‟ (centre-periphery
relationship). Dunia Islam mengalami paradoks, ketika mengunakan prototipe pertumbuhan
sebagai pola pembangunan yang dirancang pakar dan praktisi barat yang kemudian „dijual‟
kepada perencana negara muslim melalui diplomasi internasional, tekanan ekonomi, infiltrasi
intelektual dan cara lainnya. Banyak kajian evaluasi kebijakan pembangunan dan kinerja
ekonomi negara-negara muslim menunjukkan bahwa strategi imitasi gagal untuk menghasilkan
kesejahteraan. Semua bukti menunjukkan bahwa usaha pembangunan selama ini masih lepas dari
nafas Islami. Untuk mengurai persoalan pelik yang dihadapi negeri-negeri muslim tersebut harus
dimulai dengan peletakan kerangka befikir. Kerangka berfikir menjadi basis untuk menjawab
persoalan-persoalan di atas. Dalam kerangka berfikir tersebut harus dicanangkan sebuah premis
baru bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka ajaran Islam dan ilmu ekonomi
pembangunan Islami berakar pada kerangka nilai yang ada dalam al-Qur‟an dan as-Sunah. Al-
Qur‟an dan As-Sunah merupakan titik rujukan kita yang paling mendasar. Premis kedua dalam
pendekatan ini menolak sikap imitatif. Model kapitalis maupun sosialis serta derivasinya bukan
merupakan ideal type, kendatipun juga dapat mengumpulkan sumber-sumber yang bermanfaat
untuk diadaptasikan atau diintegrasikan dalam kerangka Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai
normatif yang ada. Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat (negara-negara
kapitalis, sosialis dan penganut derivasinya) banyak dipengaruhi oleh karakteristik unik, masalah
spesifik, nilai eksplisit dan implisit serta infrastruktur sosial-politikekonomi yang khas dari
kazanah peradabannya.7 Sehingga akan terjadi kesulitan besar dan bahkan cenderung
kontraproduktif ketika dipaksakan untuk diadopsi secara penuh kedalam masyarakat muslim, hal
ini disebabkan adanya perbedaan mendasar yang membentuk bangunan kemasyarakatan dari
masing-masing peradaban. Pendekatan Islam haruslah jelas-jelas bersifat ideologis dan
berorientasi pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam itu sendiri. Konsep pembangunan
senantiasa terikat oleh kondisi budaya, sosial dan politik setempat. Pembangunan dalam Islam
mempunyai pengertian khusus dan unik. Beberapa aspek pembangunan seperti keadilan sosial
dan hak asasi (social justice and human rights), mempunyai persamaan dengan konsep barat,
meskipun banyak perbedaan dan memiliki dasar pokoknya yang berbeda. Berdasarkan
kronologis perbincangan di atas menjadi sangat relevan untuk mengkaji pandangan Islam dalam
memecahkan persoalan ekonomi. Hal ini bermuara pada pengkajian konsep-konsep dasar Ilmu
Ekonomi Islam untuk melakukan transformasi ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat
muslim. Harus diakui bahwa proyek ilmu ekonomi Islam dan Islamisasi ilmu ekonomi telah
menjadi obor terdepan bagi proyek Islamisasi ilmu. Bahkan para praktisi perbankan dan
keuangan Islam juga telah berhasil mengukuhkan terwujudnya sistem keuangan Islam secara
global dan diakui eksistensinya dalam percaturan ekonomi pada masa sekarang. Keberadaan
sistem ekonomi Islam merupakan konsekuensi dari pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Worldview Islam yang menjadi dasar ini oleh para Ulama dan Cendekiawan muslim disebut
dengan berbagai pendekatan istilah seperti; Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan
Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islami
(Islamic Vision), Mohammad Atif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle),
sedangkan Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic
Worldview).8 Meskipun secara istilah terjadi perbedaan penyebutan tetapi secara esensi terdapat
kesamaan keyakinan para Ulama‟ dan Cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup
(worldview) seorang muslim haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur
semua sisi kehidupan manusia, yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan dunia dan
akherat. Worldview ini lahir dari adanya konsep-konsep Islam yang mengkristal menjadi
kerangka berfikir (mental framework). Islam merupakan pedoman bagi manusia untuk hidup dan
kehidupannya, baik itu dalam aktifitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Islam
memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan beberapa aturan spesifik untuk mengatur
hidup dan kehidupan manusia. Islam mengatur hidup manusia dengan fitrahannya sebagai
individu (hamba Allah SWT) dan menjaga keharmonian dalam kehidupan sosial-
kemasyarakatan. Dalam aktifitas kehidupan manusia, beberapa aspek aktifitas tersebut memiliki
sistemnya tersendiri, misalnya aspek ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya. Islam yang
diyakini sebagai sistem yang terpadu dan menyeluruh tentu memiliki formulasinya sendiri dalam
aspek-aspek tersebut. Sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem politik Islam dan
sistem sosial-budaya Islam merupakan bentuk sistem yang spesifik dari konsep Islam sebagai
sistem kehidupan.9 Worldview Islam memberikan pijakan bahwa umat manusia adalah ciptaan
Tuhan Yang Maha Kuasa, dan seluruh sumber kehidupan (resources) yang tersedia adalah
amanahNya, maka secara otomatis umat manusia memiliki hubungan persaudaraan yang alamiah
dan mereka juga harus bertanggungjawab kepada-Nya. Oleh karena itu manusia tidak secara
mutlak bebas untuk melakukan apa saja, akan tetapi mereka diharapkan untuk menggunakan
sumber daya yang terbatas (limited resources) dan berinteraksi antara satu dengan lainnya serta
membangun lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mendukung usaha perwujudan
kesejahteraan bersama (mutual welfare) setiap individu, tanpa melihat apakah mereka kaya atau
miskin, hitam atau putih, lelaki atau perempuan serta anak-anak atau orang dewasa. Manusia
juga diharapkan untuk tidak saja menjamin pencapaian tujuan materi, akan tetapi juga tujuan
spiritual dan kemanusiaan, khususnya tentang keharmonisan sosial dan penghapusan anomie. 10
Islam menekankan pembanguan insan seutuhnya (human development) menuju puncak
kehidupan yang seindah-indahnya (fi ahsani taqwiin).11 Pembangunan mendasarkan diri pada
konsep tazkiyah an-nafs dengan titik tumpu pada penyempurnaan akhlak dan kepribadian.
Karena pribadi adalah bagian penting dalam pembentukan peradaban. Asas ketenangan (internal
harmony) merupakan hasil dari proses tazkiyah. Ibnu Khaldun pernah melukiskan betapa agama
dapat menghasilkan transformasi sosial (social transformation). Sebaliknya manakala sebuah
komunitas masyarakat terjebak pada kesenangan dan kemewahan maka akan lahir babak
kehancuran dari peradaban (the decay of civilization). Konsep tazkiah ini maka diharapkan
terbentuk: konsep pembangunan Islami yang memiliki sifat komprehensif dan mengandung
unsur spiritual, moral dan material; fokus usaha dengan jantung pembangunan itu sendiri adalah
manusia; pembangunan ekonomi adalah aktifitas yang multidimensional; pembangunan ekonomi
menimbulkan sejumlah perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif; dan adanya prinsip sosial
Islam yang dinamis untuk pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan ini dilaksanakan
dengan semangat keadilan. Kebijakan pembangunan Islami yang ideal harus berorientasi untuk:
meningkatkan tingkat spiritual masyarakat Islam dan meminimalisasi kerusakan moral dan
korupsi; memenuhi kewajibannya untuk kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas sumber daya
yang tersedia; dan menjamin keadilan distributif dan memberantas praktik eksploitasi. Islam
mengajarkan falsafah kesejahteraan yang unik, komprehensif dan konsisten dengan fitrah
manusia. Sebuah doktirn yang melekat dan menyatu dalam kepribadian masyarakat (built-in in-
doctrination). Kesejahteraan individu dalam masyarakat Islam dapat terealisasi bila ada iklim
yang cocok bagi: pelaksanaan nilai-nilai spiritual Islam secara keseluruhan untuk individu
maupun masyarakat; pemenuhan kebutuhan pokok material manusia dengan cukup; dan
menitikberatkan pada nilai-nilai moral.

2.
 Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Lokakarya   Pendidikan
Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) secara virtual pada Kamis (26/8/2021). Lokakarya
bertema “Praktikum Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum dan Transformasi Hukum
Islam dalam Pembangunan Hukum di Indonesia” ini diselenggarakan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Pertanyaan yang sering muncul, apakah dalam tatanan politik hukum nasional,
hukum Islam memiliki kedudukan dan peran dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan?” ujar Wahiduddin di awal pembicaraan.
Dikatakan Wahiduddin, Sila Pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa
adalah dasar utama dan landasan sebagai tempat berpijak bagi terpeliharanya,
terlaksananya dan berkembangnya ajaran serta aturan-aturan hukum agama Islam di
Indonesia. Sila Pertama dari Pancasila menegaskan bahwa negara mengakui keesaan
Tuhan. Pancasila mengakui dan menjamin penduduk Indonesia untuk melaksanakan
aturan-aturan dan hukum agama sebagai konsekuensi tunduk pada aturan-aturan
dan hukum-hukum agama yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
“Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakikatnya berisi amanat bahwa tidak
boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat
menolak atau bermusuhan dengan agama. Ini saya kutip dari ucapan Mochtar
Kusumaatmadja dalam Seminar Akbar 50 Tahun Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Mochtar Kusumaatmadja pernah menjadi menteri kehakiman dan menteri luar negeri.
Sementara Ismail Saleh yang pernah menjabat sebagai menteri kehakiman,
mengatakan bahwa tolak ukur upaya mengimplementasikan hukum Islam adalah
Pancasila, UUD 1945 dan kebutuhan masyarakat,” ungkap Wahiduddin.
Jaminan Konstitusi
Sedangkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, kata Wahiduddin, negara menjamin hak-hak dasar manusia untuk
melaksanakan ibadah agama masing-masing. Pengertian negara menjamin hak-hak
tersebut ialah negara mengakui eksistensi, melindungi dan memberikan pelayanan
kepada warga negara agar pelaksanaan ajaran dan hukum agama Islam dapat
berjalan, baik melalui hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan ataupun
melalui hukum tidak tertulis.
“Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tidak membatasi lingkup materi dan substansi hukum
agama Islam yang karena kebutuhan para pencari keadilan yang beragama Islam
perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Wahiduddin yang juga
mengatakan bahwa pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 merupakan unsur
religiusitas sekaligus dasar ontologi hukum di Indonesia yang mengakui eksistensi
Tuhan.
Lebih lanjut Wahiduddin menyampaikan, ada sejumlah peraturan perundang-
undangan yang secara tegas dalam konsiderans, baik menimbang maupun
mengingat. Dasar hukum mengingat dalam setiap peraturan perundang-undangan,
mulai dari undang-undang sampai ke peraturan desa, dicantumkan kalau dasar
hukum itu memberikan kewenangan dan memerintahkan untuk  membuat atau
membentuk peraturan perundang-undangan.
“Debat di DPR untuk masalah ini tidak sederhana. Apakah di undang-undang ini dasar
hukum mengingatnya Pasal 29 ayat (1) atau ayat (2) UUD 1945, atau hanya Pasal 29
saja dari UUD 1945,” ucap Wahiduddin.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Wahiduddin menguraikan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang mencantumkan dasar hukum mengingat, Pasal 29 UUD
1945. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kemudian  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Undang-Undang Perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019.
Berikutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
(sebelumnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999).  Juga Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal,  Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Haji, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umroh (sebelumnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 dan
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2008).
Selanjutnya ada berbagai undang-undang yang materi muatannya sangat terkait
dengan substansi hukum Islam, namun tidak mencantumkan Pasal 29 UUD 1945
sebagai dasar hukum mengingat. Misalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2006 juncto  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang dan
lain-lain. Termasuk juga berbagai peraturan lembaga, seperti dalam peraturan
otoritas jasa keuangan maupun berbagai peraturan daerah atau qanun.
Sumber Hukum
Wahiduddin melanjutkan, menurut para ahli sosiologi, sumber hukum ialah faktor-
faktor yang menentukan hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi,
pandangan agama, saat-saat psikologis. Penyelidikan tentang faktor-faktor tersebut
menuntut kerja sama dari pelbagai ilmu pengetahuan lebih-lebih antar sejarah,
hukum, agama, ekonomi, psikologi dan filsafat. Seperti dikatakan oleh L.J. van
Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht , diterjemahkan oleh
Soeharso, dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, 1985, hlm. 76).
Secara konkret, sambung Wahiduddin, L.J. van Apeldoorn mengakui bahwa Burgerlijk
Wetboek (BW) Belanda yang konkordan dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang sampai berlaku di Belanda berasal dari agama Kristen. Di samping itu,
terbuka ruang apresiatif yang cukup memadai bagi implementasi hukum Islam dalam
spektrum tata hukum nasional. Peran akademisi, perguruan tinggi dan organisasi
keagamaan untuk menggali, menginterpretasi, mengaktualisasi nilai, prinsip, muatan
hukum Islam masuk dalam arus atau terserap dalam hukum nasional. 
Jauh sebelum bangsa barat datang menjajah, penduduk nusantara sudah memeluk
agama Islam. Bahkan dalam beberapa abad sesudah awal mula kedatangan agama
Islam, sudah tercatat beberapa kesultanan Islam yang menerapkan hukum Islam
(jinayat) secara sah.
Hukum Islam pada masa kerajaan (pra-penjajahan) merupakan fase penting dalam
sejarah hukum Islam di Indonesia karena kerajaan Hindu, Budha untuk kemudian
digantikan oleh kesultanan (kerajaan) Islam.
Hukum Islam pastinya juga sudah eksis dan berlaku secara formal sebagai hukum
positif di wilayah kepulauan Nusantara.
Terlebih lagi adanya pemberian gelar “Sultan” sebagai “Adipati” ing alogo sayyidina
paNoto gomo (Panglima Perang dan Pembina Agama) yang mengindikasikan bahwa
agama dan pemerintahan saat itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Oleh karena itu, masa sebelum mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum
Islam merupakan hukum yang sudah berdiri sendiri dan bekembang disamping adat
atau kkebiasaan penduduk di wilayah kepulauan Nusantara.
Ibnu Bathutahah, seorang pengembara muslim abad ke-14 mencatat fakta historis
tersebut dalam karya monumentalnya “rihlah Ibnu Bhatuthah. Dia menyebutkan
kunjungannya di sebuah kerajaan Islam do pesisir Sumatera, menerapkan hukum fikih
mazhab Syafi’i, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat
tawadlu’ yang tinggi.
1. Samudera Pasai
Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 M, merupakan
kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam lainnya, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel (Surabaya), dan Banten.
Pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda mempunyai seorang mufti yang
terkenal bernama syekh Abdul Rouf Singkel. Selain itu, ada ulama besar Nuruddin
Arraniri dengan kitab karangannya yang berjudul Sirathal Mustaqim. Kitab tersebut
digunakan sebagai pedomanbagi guru-guru agama dan qadhi.
a. Potong Tangan
Sultan Iskandar Muda saat berkuasa dengan penuh keadilan menerapkan hukum
rajam bagi puteranya sendiri, Meurah Pupok, yang terbukti berzina dengan isteri
seorang perwira kerajaan. Hal ini sesuai dengan konstitusi kerajaan Aceh Darussalam
'Qanun Meukuta Alam' yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
Ketika ditanya mengapa Sultan Iskandar Muda begitu tega memberlakukan rajam
hingga mati kepada anaknya sendiri yang nota bene putera Mahkota, Sultan Iskandar
Muda dengan tegas berkata,"Mate aneuk nak jirat, mate adat ho tamita". Maksudnya
mati anak ada makamnya, tetapi jika hukum yang mati, hendak kemana akan dicari?.
b. Haramnya Riba
Tome Pires, dalam “Suma Oriental” menulis jika masyarakat Pasai telah
mempergunakan mata uang dari dinar dan dirham (deureuham), juga ada yang
terbuat dari timah. Dirham Aceh memiliki berat 0,57 gram kadar 18 karat dengan
diameter 1 cm dengan huruf Arab di kedua sisinya.
Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan mengharamkan riba dalam wilayah
kekuasaannya. Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Az Zahir (1297-
1326) Aceh telah mengeluarkan Dinar Emas yang ditilik dari bentuk dan isinya
menunjukan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.
2. Demak
Pada saat Raden Fatah diangkat sebagai Adipati di Bintoro (1476 M) laju
perkembangan Demak tidak lagi dapat dibendung oleh Majapahit yang sedang
menuju kehancurannya,. Sehingga walisongo yakin Raden fatah telah sampai kepada
waktu yang tepat untuk dinobatkan menjadi Sultan Demak (1477 M). Wali songo
adalah majlis syura yang berperan ssebagai ahlul hally wal'aqdi (legislatif) kesultanan
Demak, Sultan Fatah adalah pimpinan dewan tanfidznya (eksekutif) sekaligusqodlil
qudlotnya, sedang Sunan Jakfar Shodik Kudus adalah panglima perang dan qadlinya
bersama-sama dengan Sunan Kalijaga (Yudikatif).
Pada masa pemerintahan Sultan Fatah di Demak inilah awal berlakunya syariat islam
di tanah Jawa. Untuk pelaksanaannya di seluruh wilayah yuridiksi kerajaan Demak,
Sultan Fatah telah mengambil sumber fiqih mazhab Asu-Syafi'y antara lain :
 Kitab Tuhfah Al-Muhtaj (tuhfah) karya ibnu Hajar al-Haytami, yang merupakan
syarah kitab Minhajut thalibin karya Al-Imam al-Nawawi.
 Kitab Muharrar, karya Al-Imam Ar-Rafi'y (w.1226 M).
 Kitab Taqrib (Ghayatul Ikhtishar), karya Abu Syuja'
 Kitab Kifayatul Akhyar, karya Taqiyuddul al-Dimasqy
 Kitab Kanzu Ar-Raghibin, karya Al-Mahalli
 Kitab Bidayatul Hidayah, karya Al-Ghazali
 Kitab Raudlatul Ulama, karya Az-Zandawaisity
Sultan Fatah bahkan memulai pelaksanaan syariat islam di tanah jawa dengan
menyusun karya besar yang terkenal dengan kitab "Jugul Muda". Kitab ini merupakan
bentuk kodifikasi hukum syariat Islam yang diambil dari beberapa kitab fiqih
sebagaimana tersebut di atas terutama dari kitab Muharrar, Taqrib dan Tuhfah
sebagai kitab undang-undang kesultanan Demak. Dilengkapi "salokantara" yang berisi
1044 contoh kasus hukum. (lihat Serat Kuntara Rajaniti Suryangalam, hikayat Banjar
dan The History of Java).
Filosofi utama dalam Jugul Mudanya Sultan Fatah adalah; semua manusia mempunyai
derajat yang sama, Rakyat bukanlah kawulo atau abdi, akan tetapi sama-sama khalifah
Allah di muka bumi. Dengan dasar kiktab undang-undang ittulah rakyat Demak tidak
lagi hidup demi duli paduka ratu tetapi demi Allah dan syariatNya.
3. Mataram Islam
Pada pertengahan abad ke-16, kerajaan Mataram yang menguasai wilayah Jawa
Tengah, berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara Kerajaan Islam
Mataram sejak Sultan Agung juga telah memberlakukan hukum Qisas yang diambil
dari kitab Qisas.
Menurut kuncen Keraton Yogyakarta, alun-alun Yogya dimasa dahulu merupakan
lapangan tempat pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan bagi pezina atau
pencuri yang terbukti bersalah setelah melewati proses pengadilan yang adil.
4. Banjar Kalimantan Selatan
Kentalnya hukum Islam di kerajaan Banjar ini tercermin dari ba’iat yang berbunyi “
patih baraja’an Dika, Andika badayan Sara.” Artinya, saya tunduk pada perintah
Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’.
Selain itu tumbuh daan berkembangnya hukum Islam di kerajaan banjar dibuktikan
dengan terbentuknya para mufti atau qadli., yang pada waktu itu bertugas untuk
menangani masalah-masalah di bidang hukum perceraian, perkawinan, kewarisan
serta segala urusan yang berhubungan dengan hukum keluarga.
Selain itu Mufti yang terkenal pada saat itu ialah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kitab fikih karya Arsyad yang cukup terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi
Amr ad-Din, yang pada dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal Mustaqim karay
Nuruddin Arraniri.
Guna mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di
masyarakat, maka diperlukan adanya lembaga yang khusus mengurusi dan
menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh karena itu
Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk Mahkamah Syari’ah dan Jabatan
Mufti.
5. Banten
Pada 1651-1681 di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten telah
memberlakukan hukum potong tangan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya, bagi
pencurian senilai 1 gram emas dan kelipatannya.
6. Tidore
Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti Tidore dan Makassar.
Pemimpin dan rakyatnya menjalankan syariat Islam dengan baik.
Surutnya Kesultanan Islam Seiring Kedatangan Penjajah
Hukum Islam yang banyak diterapkan di berbagai kesultanan Islam nusantara itu
akhirnya surut sedikit demi sedikit, seiring dengan datangnya era penjajahan. Para
penjajah yang kemudian menjadi penguasa itu ternyata bukan cuma merampas
kekayaan alam nusantra, tetapi juga merampas kekayaan intelektualnya. Caranya
dengan membawa hukum Eropa untuk diajarkan dan diterapkan di nusantara.
Meski sempat berjalan berdampingan antara hukum syariat dengan hukum Eropa,
namun pada akhirnya hukum syariat tidak mampu bertahan. Penyebabnya bukan
hanya mulai tenggelamnya kesultan Islam, tetapi juga karena semakin dihilangkannya
pelajaran hukum syariat untuk generasi berikutnya.
Sehingga lahir lapis generasi yang masih shalat, puasa dan zakat, tetapi sekali tidak
mengenal syariat Islam. Persis sebagaimana Rasulullah SAW pernah gambarakan di
masa lalu :
‫ َوآ ِخ ُره َُّن‬، ‫َّث النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فََأ َّولُه َُّن نَ ْقضًا ْال ُح ْك ُم‬ َ ِ‫ فَ ُكلَّ َما ا ْنتُق‬، ٌ‫ض َّن ع َُرى اِِإل ْسالَ ِم عُرْ َوةٌ عُرْ َوة‬
ْ ‫ض‬
َ ‫ت عُرْ َوةٌ تَ َشب‬ َ َ‫لَتُ ْنق‬
ُ‫صالَة‬ َّ ‫ال‬
"Sungguh tali Islam akan akan lepas ikatan demi ikatan. Setiap lepas satu ikatan maka
manusia berpegang pada ikatan selanjutnya. Mula pertamanya adalah hukum
(pemerintahan) dan yang paling akhir adalah shalat” . (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan
Hakim) .

Indonesia adalah negara muslim terbesar di seluruh dunia. Namun di mata negara-negara Islam,
Indonesia sering diposisikan sebagai negara sekuler, sehingga hubungan Indonesia dengan negara-
negara Arab atau negara Islam lain tidak seakrab negaranegara lainnya, seperti Malaysia, Mesir, Pakistan
dan lain-lain. Bahkan di tingkat warga negarapun dirasakan pengaruhnya. Hal itu terlihat manakala
mereka berada di negara-negara Arab, mereka tidak dipandang sejajar dengan warga Muslim lainnya.
Bahkan, ketika ada yang berbicara tentang Islam dan dakwah, mereka sering dianggap seperti ‘mualaf’
yang baru mengenal Islam. Tetapi ketika dijelaskan kepada mereka bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sejak abad I Hijriyah, barulah mereka sadar dan memahami kedudukan kaum muslimin di
Indonesia. Memang harus diakui rendahnya citra Islam Indonesia di mata luar, salah satunya adalah
karena politik yang dijalankan oleh rezim-rezim masa lalu. Mereka dahulu memposisikan Islam sebagai
‘ancaman’ yang harus disingkirkan. Secara formal konstitusional, tak sepotong katapun yang menyebut
nama ‘Islam’ dalam UUD kita. Padahal para perumus UUD dahulu adalah orang-orang Muslim, namun
mereka seperti tidak berdaya menghadapi kekuatan non Islam dan sekuler yang menguasai panggung
politik pasca kemerdekaan. Lain halnya dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya, seperti Mesir,
Pakistan, Malaysia, Sudan, dan lain-lain. Yang secara tegas dalam konstitusi mereka menyebut: “Islam
adalah agama negara”.1 Demikian juga dalam pendekatan politik rezim masa lalu yang terlalu berkiblat
ke Barat dan kurang menjalin persahabatan dengan negara-negara Muslim. Sejak masuknya Islam ke
Nusantara pada abad I Hijriah dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, maka yang berlaku sebagai

hukum nasional pada waktu itu adalah hukum syariat. Sedang sistem peradilan yang dipakai adalah juga
sistem peradilan Islam. Hal ini tidak hanya sebatas kasus-kasus perdata, tetapi juga menyangkut
masalah-masalah pidana. Jadi hukum yang berlaku dalam wilayah kerajaan Pasai di Sumatera, kerajaan
Banten, Cirebon, Mataram, Kutai, Makassar, Ternate, Tidore adalah hukum syariah.2 Secara historis,
pemberlakuan syariat sebagai sistem hukum di Indonesia sudah mempunyai landasan sejarah yang kuat,
yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Tetapi sesudah penjajah Eropa masuk dan menguasai wilayah-
wilayah Indonesia, maka alur sejarah itu mereka potong dan hukum syariat mereka hapus. Sebagai
penggantinya, mereka paksakan hukum Eropa yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan
bukti-bukti historis tentang pelaksanaan syariat pun mereka lenyapkan. Namun pasca reformasi, isu
pelaksanaan syariat Islam semakin merebak di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini seiring semangat
otonomi daerah3 yang memberi peluang setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Didahului oleh
Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan syariat Islam di daerahnya, yang kemudian disetujui
oleh pemerintah pusat. Saat ini, dalam rentang waktu yang relatif singkat, beberapa daerah seperti
Sulawesi Selatan, Banten, Tasikmalaya, Pamengkasan, Riau, Ternate, Gorontalo, melakukan beberapa
penetapan peraturan daerah bernuansa syariat Islam.4 Fenomena ini tak pelak menimbulkan pro dan
kontra, bahkan dalam masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan, sudah sewajarnya
syariat Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara, karena umat Islam adalah
mayoritas penduduk Indonesia. Mereka menyerukan umat Islam untuk kembali pada Alquran dan al-
Sunah, agar berbagai problema sosial politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia dapat diatasi.
Tidak semua masyarakat Islam sepakat dengan kelompok pro, akan tetapi ada kelompok kontra yang
tentunya bukan tidak setuju dengan syariat Islam, tetapi hanya menolak pemahaman keagamaan
kelompok pertama. Menurut mereka, apa yang dipahami kelompok pertama sebagai syariat Islam tak
lain adalah fikih5 yang dikembangkan ulama Islam awal. Problemanya, dengan beragamnya sudut
pandang fikih yang terdapat di negeri ini. Pendapat kelompok manakah yang akan dijadikan rujukan.
Bukankan pemaksaan pandangan satu versi syariat Islam saja, justru bertentangan dengan semangat
Islam sendiri. Lagi pula, bukankah selama ini syariat Islam sudah terinternalisasi dalam sistem sosial
masyarakat Indonesia. Menurut kelompok kontra, ada atau tidaknya aturan bernuansa syariat Islam,
masyarakat pun sudah hidup dengan tuntunan syariat. Demikianlah, isu syariat Islam selalu menawarkan
perdebatan menarik, bak tabir misteri yang tak kunjung usai dibicarakan. Dalam konteks nation-building
kita, perdebatan di seputar isu syariat Islam bisa dikatakan setua umur republik ini. Hanya saja, kini
kalangan yang terlibat dalam perdebatan isu syariat Islam tidak lagi terpaku pada narasi-narasi besar.
Tak ada lagi oposisi biner antara kalangan Islam vis-à-vis nasionalis dalam menerima atau menolak
syariat Islam. Menariknya, baik yang mengusung maupun mementahkan penerapan syariat Islam oleh
negara, sama-sama berasal dari “rahim” Islam, sama-sama lahir dan besar dari tradisi Islam, dan sama-
sama fasih memakai justifikasi teologis dari kekayaan khazanah klasik Islam untuk membenarkan
argumennya. Syariat Islam merupakan bagian dari Problematika Umat Islam di Indonesia yang belum
tuntas penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis berinisiatif menarik beberapa permasalahan yang
sekiranya perlu dikaji, sehingga problematika yang dihadapi selama ini dapat terbahas dan mencapai
titik final. Permasalahanpermasalahan tersebut diantaranya; Penerapan Syariat Islam bagaimana yang
diinginkan? Adakah bukti kongkrit sejarah yang dapat dijadikan rujukan bahwa pada mulanya
masyarakat Indonesia menganut sistem hukum syariah? Apakah ada peluangpeluang yang dapat
dijadikan sebagai batu loncatan guna menerapkan syariat Islam di Negara Indonesia

PENGERTIAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM

Penerapan Syariah Islam adalah suatu upaya untuk menjadikan Syariah Islam sebagai Konstitusi (dustūr)
dan undang-undang negara (qānūn). Konstitusi Syariah adalah upaya untuk menjadikan Syariah Islam
sebagai Undang-undang negara, sedangkan undang–undang negara adalah seluruh aturan yang lahir
dari konstitusi negara. Konstitusi syariah hanya memuat pokok-pokok terpenting dari Syariah Islam yang
bisa menggambarkan Syariah Islam secara utuh dan menyeluruh (kāmil dan syāmil), meskipun dengan
redaksi yang sangat global dan ringkas disitulah sebenarnya manhaj penerapan Syariah Islam dalam
berbagai bidang dipaparkan. Sedang yang dimaksud dengan syariat Islam ialah apa yang telah
disyariatkan Allah kepada hamba-Nya, kaum muslimin tentang hukum.6 Sejatinya sebagai konsekuensi
keimanan kepada Allah, seorang muslim wajib mengkaitkan diri pada Syariah Islam. Oleh karena itu,
Syariah Islam harus diterapkan pada semua lini kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu,
kelompok, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semestinya hal ini tidak perlu
diperdebatkan dan diperumit lagi, mengingat semua itu merupakan perkara yang telah jelas
kewajibannya dalam Syariah Islam (baca: agama Islam), bahkan sebenarnya perwujudan utama dari misi
hidup seorang muslim adalah beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah: “wamā kholaqtul jinna waal-Insa illā liya᾽budūn”, serta sejatinya bahwa berdirinya sebuah
negara dengan segenap struktur dan kewenangannya dalam pandangan Islam agar tetap bertujuan
untuk mensukseskan penerapan syariah.7 Dalam pandangan Islam, persoalan hukum (syariah) bukan
masalah sederhana atau masalah sunnah, yang sekedar jika ditetapkan lebih baik dan jika tidak
ditetapkan tidak berdosa. Syariah bukan seperti itu adanya. Setiap orang yang mengaku dirinya ‘muslim’
wajib patuh dan tunduk kepada syariah. Kepatuhan kepada hukum Allah adalah bukti konkrit keimanan
seseorang kepada Allah SWT. Secara tegas Allah berfirman pada tiga tempat tentang penolakan orang-
orang yang tidak mau tunduk kepada hukum Allah: “Barangsiapa yang tidak menghukum dengan hukum
Allah, mereka adalah orang-orang yang kafir” (Q.S al-Maidah [5]: 44) dan dalam ayat lain “....orangorang
yang fasik” (Q.S al-Maidah [5]: 47) dan “....orang-orang zhalim” (Q.S al-Maidah [5]: 45). Dan di ayat lain
Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah kamu menghukum antara mereka dengan apa yang Allah
turunkan (kepadamu) dan jangan kamu mengikut hawa nafsu mereka (Q.S al-Maidah [5]: 49). Jadi,
kepatuhan pada hukum syariat bukan masalah sekunder dalam Islam, tetapi merupakan masalah
primer. Banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang kewajiban ini, demikian pula hadis-hadis Nabi
Saw. Pernah terjadi, ketika Nabi membaca ayat (mereka –ahlul kitab- menjadikan pemuka-pemuka
agama mereka sebagai tandingan-tandingan Tuhan selain Allah). Seorang dari ahlul kitab bertanya:
“Kami tidak menyembah pemuka-pemuka agama kami”. Lalu Nabi membantahnya dengan mengatakan:
“Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan
Allah, lalu kamu ikuti?” Ia menjawab: “Benar, ya Rasul”. “Itulah artinya menyembah pemuka-pemuka
agama itu”. Dari penjelasan Nabi tersebut diketahui bahwa memakai hukum yang bukan diturunkan
Allah, adalah perbuatan syirik terbesar, karena berarti menyembah tuhan selain Allah.8 Islam sebagai
agama rahmantan li al-‘Ālamīn sebenarnya telah memandu manusia untuk mencapai cita-cita itu. Tapi
sayang, sering manusia enggan untuk ikhlas dan sadar menerima hukum-hukum Allah untuk
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun umum, yang pada dasarnya
aturan-aturan Sang Pencipta manusia dan alam seisinya untuk kepentingan manusia itu sendiri, yakni
mendapatkan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan.

Anda mungkin juga menyukai