Anda di halaman 1dari 26

“KOMUNIKASI PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL

Perspektif Dominan, Kaji Ulang, dan Teori Kritis”

Ringkasan BAB VII : Teori dan Peran Baru Komunikasi Pembangunan

Disusun Oleh :

Kelompok 2

EVRI YANI BR PINEM (2001112172)

AMMALIA RETNO SARI (2001112217)

ADINDA PERMATA SARI (2001112229)

AMELIA ARIYANTI (2001112989)

SIGIT MUAMAR YUSUF (2001113009)

MELIA HENDRA (2001113064)

HARIS KHARISMA FIKRI (2001114157)


A. Pendahuluan

Tak ada program apa pun yang dapat membantu para petani kecil jika program
tersebut dirancang oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang
permasalahan mereka serta dioperasikan oleh orang-orang yang tidak memiliki
ketertarikan akan masa depan mereka (Robert McNamara, Presiden Bank Dunia
1973, dalam Melkote, 1991).

Fakta telah jelas menunjukkan bahwa dewasa ini semakin sedikit individu, keluarga,
maupun sekelompok orang di sebuah negeri yang mampu mengkonsumsi barang
maupun jasa dalam jumlah yang lebih banyak maupun kualitas yang lebih baik.

Jadi singkatnya: Saat pembangunan berusaha menciptakan kemakmuran bagi seluruh


bangsa, pada saat yang sama pembangunan pun menciptakan kemelaratan bagi
sebagian orang. Di negara-negara sedang berkembang, jumlah dari yang disebut
terakhir ini amatlah besar, dimana jumlah ini terbatas jika dibandingkan dengan
jumlah di bagian-bagian wilayah tertentu yang sudah berkembang.

B. Membangun Siapa? Sebuah Perspektif Kritis

Premis pada tahun 50-an, 60-an dan 70-an adalah ketika bangsa-bangsa melakukan
pembangunan, mereka dapat menyingkirkan kemiskinan. Hal ini tidak bisa dikatakan
sepenuhnya benar. Di sisi lain, secara karakter alami dan metode, pembangunan
memang dihubungkan dengan pendekatan tingkat kemiskinan (sebagaimana konsep
yang sering digunakan dalam tiga dekade sebelumnya).

Maka dapat disimpulkan bahwa anggapan bahwa bila pembangunan meningkat maka
kemiskinan akan menurun sama sekali tidak benar.
1. Dinamika Pembangunan

Di tahun 70-an, muncul kesadaran bahwa pembangunan tidak dapat lagi dipandang
dari sisi ekonominya saja (economic growth). Saat seseorang membicarakan
pembangunan, Seers (dalam Melkote,1991) mengatakan bahwa indikator yang
sebenarnya adalah penurunan dalam hal tingkat kemiskinan, ketidakseimbangan
pendapatan, dan pengangguran. Indikator lainnya adalah berkurangnya penderitaan
umat manusia, sebagaimana yang tampak dari kekerasan fisik dan pemusnahan kaum
papa.

2. Pembangunan untuk siapa?

Brazil menetapkan dirinya sendiri pada jalur kapitalistik melalui “Model


Pembangunan Brazil” setelah pihak militer mengambil alih (kekuasaan) pada 1964.
Keuntungan dari model ini tidaklah signifikan.

Pertanyaan siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan fenomenal ini, atau, yang
senada dengan ini, siapa yang dirugikan dengan pertumbuhan ini? Berger mencatat
bahwa terdapat peningkatan jumlah pengangguran, bukannya penurunan. Oleh karena
itu, antara sensus tahun 1960 dan 1970, persentase tenaga kerja buruh menurun dari
32,3% menjadi 31,7% ini bukanlah penurunan yang tajam, tetapi lebih tepatnya agak
berbeda dari apa yang diharapkan selama masa-masa terbentangnya keajaiban
ekonomi” (Berger, 1976:156).juga, bagian dari pendapatan nasional yang mencapai
top 5% dari masyarakat telah ,meningkat dari 20% menjadi 38% (Berger, 1976).
Weaver dan Jameson mencatat bahwa top 5 juta orang telah menerima sama
banyaknya dengan pendapatan nasional sebanyak 90 juta. Kenyataannya, Berger
menegaskan bahwa kondisi ekonomi kaum papa telah menurun tidak hanya secara
relatif, tetapi juga secara mutlak. Oleh karena itu, bagi sejumlah besar masyarakat
Brazil, proses pembangunan telah membuat mereka jauh tertinggal.
3. Kasus Cina: Membangun atau Apa?

Metode pembangunan Cina telah disambut secara gembira secara luas sebagai sebuah
model yang ‘dapat dilaksanakan’. Dari adanya informasi yang terbatas,secara general
disimpulkan bahwa di Cina, pada saat ini tidak terdapat derita kelaparan. Dengan kata
lain, indeks kualitas fisik kehidupan telah meningkat secara signifikan.

Berger (dalam Melkote, 1991) mencatat: Siapapun yang melihat catatan rezim
komunis sejak 1949 bahkan dengan maksud objektivitas sederhana apa pun akan
terkesan dengan adanya kuantitas luar biasa dari derita manusia yang secara langsung
dapat dilacak hubungan dengan aksi-aksi rezim tersebut.

Bukan hanya di negara Brazil dan Cina saja yang mayoritas masyarakat miskinnya
mengalami penderitaan yang luar biasa. Hampir di seluruh negara di dunia sekarang
(terutama negara Dunia Ketiga) masalah pengangguran, ketidaksetaraan pendapatan,
dan kemiskinan jumlahnya semakin meningkat. Muncul kesadaran masa kini bahwa
bersamaan dengan pembangunan yang terjadi hal-hal negatif juga turut bermunculan;
pembagian kesejahteraan bangsa yang tidak seimbang dan hanya dikuasai oleh
sebagian kecil elit, tingginya tingkat pengangguran, dan ketidakmampuan masyarakat
kecil dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Hal ini sesuai dengan ungkapan
klise; Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.”

C. Sebuah Kerja Sama Raksasa Pembuat Kebijakan dan Pembuat Teori

Bagaimana proses “pembangunan” dapat memunculkan pelecahan dan penderitaan


pada masyarakat, terutama di negara dunia ketiga? Apakah para policy-maker
mempunyai alasan yang mengakar adalah teori sosial-ekonomi, politis dan
pembangunan kebudayaan, ataukah mereka sekadar memanfaatkan kevakuman teori?
Pada kenyataannya para policy-maker ini bertindak sendirian. Mereka tampaknya
mendapatkan dukungan penuh dari para theory maker.
1. Menyalahgunakan Si Korban

Menyalahkan korban adalah sebuah proses ideologis, sebuah pengelakan yang


hamper tanpa rasa sakit dianta para policy-maker dan kaum intelektual di seluruh
dunia. Formula umum Blaming the Victim adalah sikap pembenaran terjadinya
ketidakadilan di masyarakat, dengan cara mencari cacat atau kesalahan-kesalahan
pada korban ketidakadilan tersebut. Sebagai sebuah ideology, Blamming the Victim -
tidak seperti teori-teori konservatif sebelumnya, tidak menyoroti kealamian inferior
genetis daripada sang korban. Kelemahannya, walau bagaimanapun, masih terletak di
seputar korban itu sendiri. “Ini merupakan sebuah ideologi brillian guna
membenarkan sebuah bentuk penentangan dari aksi sosial yang dirancang untuk
mengubah, bukannya masyarakat, seperti yang orang mungkin harapkan, tetapi lebih
kepada korban masyarakat” (Ryan, dalam Melkote, 1991).

2. Darwinisme Sosial

Karya Darwin mengenai evolusi memberikan materi yang menarik bagi para ahli
teori sosial seperti Herbert Spencer dan William Sumner. Mereka
menginterpretasikan, atau lebih jauhnya –mengubah, bahwa pekerjaan Darwin dapat
menjelaskan kelangsungan hidup dari yang paling cocok hidup di arena sosial.
Mereka berpendapat dengan amat sungguh-sungguh, Reich (1982) mengungkapkan,
bahwa negara tidak seharusnya turut campur tangan dengan mengatasnamakan kaum
miskin. Para pengikut sosial Darwin meyakini bahwa campur tangan pemerintah itu
akan mengganggu hukum seleksi alam. “Spencer dan para pengikutnya secara umum
menyesal akan hukum (ketentuan) kaum miskin, pendidikan yang didukung-
pemerintah, regulasi kondisi-kondisi perumahan, dan proteksi konsumen dari bahaya
dan penipuan. Mereka pun menemukan “keharaman” akan apa pun upaya yang
dijalankan pemerintah guna mencapai keadilan, bahkan keadilan akan peluang,
dikarenakan evolusi sendiri justru bergantung pada kekuatannya akan ketidakadilan”
(Reich, dalam Melkote, 1991). Darwinisme Sosial, meskipun merupakan produk dari
tiga dekade terakhir abad ke-19, belum secara total dihilangkan atau dibuang meski
bahkan seratus tahun sesudahnya. Para penyalah-korban, saat ini, tengah berbicara
tentang isu yang sama, namun menggunakan terminologi yang berbeda. Ryan
berkomentar bahwa para penyalah-korban masa kini membicarakan perampasan
budaya sebagai ganti dari pembicaraan isu gagasan perbedaan ras dan kelas dalam hal
kemampuan intelektual, dan kemalasan yang kini telah digantikan dengan sebuah
istilah baru: budaya kemiskinan (culture of poverty).

3. Budaya Kemiskinan yang Dibuang

Dari gagasan budaya kemiskinan (Lewis, dalam Melkote, 1991) yang mana termasuk,
di antara hal lainnya, orientasi kedaerahan, partisipasi formal rendahan, ketiadaan
integrase pada institusi nasional, orientasi masa-kini yang kuat, dan ketidakmampuan
membedakan gratifikasi dan fatalisme, terdapat lompatan teoretis kecil menuju
“cabang kebudayaan kaum tani.” Rogers (dalam Molkote, 1991) mengatakan
bahwasanya para petani di Dunia ketiga, “mereka memiliki sifat-sifat tertentu yang
menjadikan mereka anggota sebuah ‘budaya petani’ yang sifatnya melebihi batas-
batas nasional.” Ia menggambarkan aspek-aspek utama dari budaya petani ini: (1)
saling tidak percaya dalam hubungan interpersonal; (2) merasakan keterbatasan
persediaan barang; (3) ketergantungan akan dan permusuhan pada kewenangan
pemerintah; (4) paham kekeluargaan; (5) kurangnya keinovatifan; (6) fatalism; (7)
terbatasnya aspirasi; (8) kurangnya gratifikasi yang ditangguhkan; (9) terbatasnya
pandangan akan dunia; (10) empati yang rendah.

Perhatian berlebihan pada hipotesis sebab penyalahan-korban ini, sebagaimana


diajukan lebih awal oleh Lerner, McClelland, Inkeles, Smith, dan Hoselitz, di antara
yang lainnya, tampak mengandung tanggung jawab individual bagi seluruh
permasalah pembangunan yang ada. Paradigma dominan dari pembangunan tampak
menyediakan suatu perencanaan atas “pembangunan” yang cepat untuk men-stagnan-
kan seluruh bangsa Dunia Ketiga dalam bendungan ketertinggalan. Sebagai suatu
paradigma, bagaimanapun, hal tersebut secara paten terbentuk top-down. Paradigma
ini mencerminkan kepentingan-kepentingan badan hukum dan politis yang kuat.
Pendekatan ini tidak mempertimbangkan pertanyaan tentang keadilan dalam hal
distribusi keuntungan pembangunan. Perhatian hanya sedikit diberikan pada
kontradiksi fundamental masyarakat dalam membangun bangsa-bangsa dimana
kekuatan politis dan ekonomisnya dikonsentrasikan pada segelintir elit serta dimana
sektor-sektor luas populasi tidak memiliki partisipasi signifikan dalam bagian sumber
daya-sumber daya politis maupun ekonomis. Begitu pula, paradigma dominan
memfokuskan perhatiannya pada batasan-batasan pembangunan di area negara
bangsa. Tak terkecuali alasan-alasan ketertinggalan pun dipandang sebagai
pembentukan psikologis sosial atas individu-individu atau budaya “tradisional” para
petani di Dunia Ketiga (Melkote, 1991).

4. Mempertahankan Status Quo

Banyak sekali pekerjaan dalam hal perencanaan kebijakan sosial, aksi sosial dan teori
sosial, dengan demikian, telah berupaya mempertahankan ketidakadilan masa kini di
masyarakat. Para ahli ideology salahkan-sang-korban, para pengikut Sosial Darwin,
dan para ahli pembangunan top-down, diantara yang lainnya, berusaha keras untuk
mengubah setiap individu, namun meninggalkan struktur ketergantungan dalam
keutuhan masyarakat. Kemiskinan terutama dapat dipandang sebagai kurangnya
ketersediaan uang. Menurut Ryan , “kemiskinan adalah sebuah status ekonomi yang
secara etimologis berhubungan dengan baik ketiadaan input maupun akses moneter
pada upaya mendapatkan atau menghasilkan sumber daya.” Oleh karena itu,
dibuatlah konsep strategi menanggulangi kemiskinan yang akan mengeluarkan setiap
orang miskin dari garis kemiskinan melalui transfer sumber daya. Hal tersebut jelas
merupakan hasil budaya kelas yang lebih rendah dari kaum miskin atau budaya
tradisional dari para petani. Solusinya dengan demikian, bukanlah distribusi sumber
daya. Melainkan sorotannya adalah pada bagaimana mengubah ‘jalan hidup’ kaum
miskin.

5. Mitos Cabang-cabang Kebudayaan


Berbagai studi telah dilaksanakan guna secara empiris menguji hipotesis yang
berkenaan dengan perbedaan nilai, perilaku dan prioritas diantara kelompok-
kelompok kelas yang berbeda-berbeda. Survei-survei ini telah menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan signifikan diantara karakteristik ragam kelompok ekonomi
manapun (Morgan et al., dalam Melkote, 1991). Sama halnya, berbagai studi di Dunia
Ketiga pun telah menunjukkan bahwa para petani tidak kekurangan empati atau
keinovatifan atau membutuhkan pencapaian atau variable psikologis lain apa pun
yang melambangkan “cabang budaya kaum tani.”

6. Sebuah Realitas yang Salah

Gunnar Myrdal (dalam Melkote,1991) mengingatkan kita bahwa konsepsi-konsepsi


kita tentang realitas, meskipun kita menganggap objektif dan ilmiah, tetaplah hamper
tidak bebas-nilai. Sebaiknya konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya oportunistik
dan secara sadar, memalsukan realitas. Sistem komunikasi dimanipulasi di seluruh
system politico-economic: totalitarian, komunis, dictatorial, militer, religious dan
kapitalis guna menggambarkan realitas politis sentral dan/atau kepentingan-
kepentingan badan hukum yang kuat. Sistem kapitalis adalah satu-satunya yang
secara terbuka menyatakan bahwa system ini (system kapitalis) menegakkan
kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak, serta menyediakan akses yang sama
terhadap berbagai saluran komunikasi pada seluruh warga negaranya.

7. Media Massa: Alat Eksploitasi

Penghambat-penghambat utama yang menghalangi bangsa-bangsa yang sedang


berkembang dari pencapaian tingkat modernisasi yang dicapai di Barat, telah
dianggap berasal dari budaya kaum tani dan kebiasaan-kebiasaan tradisional mereka.
Konsep-konsep neo-Weberian tentang modernisasi mencakup komponen-komponen
empiricism, rasionalisme, materialism, individualism, dan universalisme. Dunia
Ketiga perlu meninggalkan budaya-budaya tradisional dan institusi-institusi
pendukungnya jika ingin merasakan keuntungan-keuntungan pembangunan. Jenis
pembuatan teori ini menyediakan peran "buatan-tukang jahit" bagi media komunikasi
modern. Jaringan-jaringan kerja dari komunikasi dianggap suportif bagi struktur dan
otoritas tradisional dan karenanya bersifat anti-pembangunan. Media massa,
bagaimanapun juga, terbebas dari control semacam itu. Pertanyaan mengenai apakah
media massa merupakan instrumen eksploitasi, alat dari segelintir tamu-tamu elit,
tidaklah dianggap penting. ‘Ubiquity, standardisasi, dan omnipresence media massa
di dunia Barat yang sering kali bersifat oppressive, merupakan hal yang sebenarnya
yang membuat mereka tercatat sejarah misi pembangunan Dunia Ketiga.

8. Berlalunya Struktur Pendukung Tradisional

Media massa, dengan demikian, dianggap sebagai pertanda perubahan utama di


negara-negara Dunia Ketiga tradisional. Melalui reduksi, media massa diharapkan
dapat membantu para petani di negara-negara ini dalam membersihkan diri mereka
sendiri dari nilai-nilai, perilaku dan kebiasaan-kebiasaan budaya tradisional sehingga
mereka dapat diberi upacara perminyakan suci di atas altar modernitas.

Proses ini secara lebih jauh mengakibatkan massa jatuh miskin. Struktur-struktur
pendukung sosial tradisional yang telah memberikan keamanan selama ribuan tahun
di masa lalu pun dihancurkan, dan sebagaimana yang Dasgupta perdebatkan, struktur-
struktur modern yang menggantikannya memproteksi proses sebenarnya yang
menghancurkan jaringan-jaringan kerja dan memusnahkan aset-aset sosial:

Masyarakat desa, sistem kekeluargaan terpadu, kasta, keluarga besar, gereja, masjid,
dan lain sebagainya mungkin masih memberikan dukungan tertentu kepada wong
cilik yang hanya dapat ditawarkan dalam masyarakat industri maju oleh institusi
besar yang profesional. Sebagai contoh, fungsi seorang nenek dalam sebuah rumah
tangga pada masyarakat industri masa kini telah digantikan oleh baby sitter bayaran,
sementara institusi bagi the handicapped mengambil alih dukungan yang mungkin
ditawarkan oleh hubungan jaringan kerja yang meluas

D. Perspektif Etis Pembangunan


Dalam kamus, etika diartikan sebagai cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-
nilai yang berhubungan dengan tingkah laku manusia yang menghargai penilaian
benar dan salahnya dari tindakan-tindakan tertentu dan sisi baik buruknya motivasi-
motivasi dan hasil-hasil dari tindakan-tindakan tersebut. Dalam menganalisis isu-isu
pembangunan, mencatat underpinnings moral dari tindakan-tindakan manusia dalam
dunia pembuatan kebijakan dan teori. Ada lima daftar pertanyaan untuk menganalisis
hal tersebut.

Pertama, apa itu pembangunan?

Istilah ini sebagaimana dipahami dalam paradigm umum adalah sebuah konsep
etnosentris dari tujuan kemajuan. Hal ini menggambarkan tipe modernisasi yang telah
dicapai di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Hal ini juga memandang
pembangunan dari sudut level makro. Kebanyakan dari model-model terdahulu
mendefinisikan pembangunan secara sempit. Mereka hanya memandang
pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang dicapai melalui industrialisasi dan
urbanisasi yang besar. Pembangunan hanya diukur berdasarkan GNP dan tingkat
pendapat per kapita. Kajian apa pun tentang pembangunan haruslah menyerahkan
pembangunan fisik, mental, sosial, budaya, dan spiritual dari seorang individu dalam
sebuah keadaan yang bebas dari tekanan dan paksaan. Juga, penting untuk
melestarikan dan mendukung budaya tradisional lokal dan peninggalan-peninggalan
lainnya sebagaimana yang biasa tersorot dalam media-media dari kenyataan struktur
sosial masyarakat kelas bawah. Sebagai sebuah alat pembangunan, budaya-budaya
lokal ini dapat memberikan solusi bagi banyak masalah pada masyarakat arus bawah
berdasarkan pengetahuan mereka dapat dikatakan usaha menumbangkan budaya
lokal, bukan saja naif, namun juga secara etis dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, pembangunan dalam tingkat apa?

Kebanyakan dari pekerjaan tersebut telah mencapai tingkat negara bangsa. Bahkan
penelitian pada tingkat makro telah diupayakan untuk membawa bangsa atau
beberapa wilayah sebagai sebuah kesatuan dalam modernitas. Yang dilupakan dalam
konsep ini adalah bahwa individu-individu dan kelompok-kelompok yang berbeda
memerlukan strategi berbeda dalam pembangunan. Bila tujuan pembangunan
bukanlah untuk menciptakan kesengsaraan yang lebih besar bagi umat manusia, maka
kita dari bangsa, namun masyarakat yang kurang beruntung juga perlu dibantu untuk
mengatasi kekurangan mereka.

Ketiga, siapa yang menetapkan apakah dan kapan definisi pembangunan-tidak


termasuk atau termasuk definisi-definisi masalah tertentu diterima atau tidak
diterima?

Kaum elit di setiap negara telah memiliki hak prerogatif dalam memutuskan apa yang
negaranya butuhkan. Dalam beberapa keadaan semacam ini, definisi apapun
mengenai pembangunan yang dibuat oleh kaum elit akan selalu sejalan dengan
peluang kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Yang dilupakan dalam pendekatan
ini adalah partisipasi masyarakat grass root atau arus bawah . Orang-orang yang
menjadi sasaran kebijakan perlu diikutsertakan dalam definisi, desain, dan
pelaksanaan dan proses pembangunan itu sendiri.

Satu metode yang berguna akan mempertimbangkan kreasi struktur institusional aktif
di interface antara para agen pemerintah dan massa-massa “tanpa nama” dalam mana
mereka dapat terlihat secara aktif di seluruh isu yang memperlihatkan kesejahteraan
mereka. Partisipasi yang sesungguhnya, bagaimanapun, sebagaimana yang telah
didiskusikan, akan jauh melebihi tujuan-tujuan semacam mencapai produktivitas
yang lebih tinggi ataupun mewujudkan kebiasaan-kebiasaan kesehatan yang lebih
baik, tetapi yakni berupaya mewujudkan kesadaran massa akan struktur-struktur
ruang maupun sosial mereka yang memang dianggap secara ekstrem tidaklah
seimbang.

Keempat, siapa yang memungut keuntungan-keuntungan pembangunan dan


siapa yang memikul resiko-resikonya?
Kebijakan apapun yang berlanjut pada pengeksploitasian secara moral. Mungkin
model Barat yang sebagaimana yang diucapkan dalam paradigma dominan adalah
model yang tidak tepat untuk diterapkan di bangsa-bangsa Dunia ketiga. Sebuah
model alternatif yang menekankan pendekatan-pendekatan intensif tenaga buruh dan
perencanaan pembangunan desentralisasi dengan partisipasi masyarakat lokal yang
efektif akan lebih tepat diterapkan pada kondisi-kondisi yang terjadi di Dunia Ketiga.

Kelima, apa saja yang menjadi implikasi-implikasi moral pada tingkat


pembuatan kebijakan?

Para policy-maker, pada tataran tindakan-tindakan mereka sendiri, selayaknya


berupaya menahan diri agar jangan sampai kesengsaraan umat manusia malah
semakin meningkat. Fokus perhatian haruslah diarahkan pada pengembangan jiwa
penyayang pada umat manusia, dengan kata lain demi mengurangi penderitaan umat
manusia, bukan justru menambah-menambahkannya. Berger (dalam Melkote, 1991)
secara ringkas menggambarkan beberapa implikasi pada tingkat pembuatan-kebijakan
pembangunan: keputusan-keputusan yang bersifat politis harus dibuat pada tataran
pengetahuan yang tidak cukup. Untuk memahami hal ini adalah dengan bersikap
sangat tanggap terhadap pilihan-pilihan kebijakan yang sifatnya menguras biaya
tinggi dari sisi kemanusiaan. Yang paling menguras biaya-biaya kemanusiaan adalah
biaya-biaya dalam bentuk penderitaan dan pernapasan fisik. Yang paling menguras
imperatif moral dalam hal pembuatan kebijakan adalah sebuah kalkulus penderitaan.
Apa yang benar-benar dibutuhkan saat ini adalah semacam self-examination yang
dilaksanakan oleh setiap policy-maker dan cendekiawan yang memang memiliki
perhatian terhadap pembangunan.

E. Konsepsi-konsepsi Pembangunan Alternatif Tahun 70-an

Konsep-konsep pembangunan berubah cukup drastis pada tahun 70-an. Terdapat


semacam perpindahan dari definisi-definisi terpusat- GNP dan penetapan secara
teknologis sebelumnya pada konsepsi- konsepsi alternatif yang lebih bersifat
kualitatif.

proses partisipatori yang lebih luas tentang perubahan sosial di suatu masyarakat,
dimaksudkan untuk mewujudkan kemajuan materiil dan sosial (termasuk persamaan,
kebebasan, dan kualitas-kualitas bernilai lain yang lebih besar) bagi mayoritas orang
melalui pemerolehan kontrol yang lebih besar atas lingkungan mereka (Rogers, dalam
Melkote, 1991).

1. Pengalaman sosialistis

Setelah mengikuti model pembangunannya sendiri, Rakyat Republik Cina telah


membuat keuntungan-keuntungan nyata di bidang-bidang kesehatan, perencanaan
keluarga, dan agrikultur, serta memperoleh persamaan di antara masyarakatnya dalam
hal distribusi keuntungan-keuntungan pembangunan.

Argumen yang sama tentang filosofi politik dan organisasi sosial yang sangat berbeda
dapat diperluas pada wilayah pembangunan yang lain di mana Cina relatif lebih
berhasil dibandingkan India. Namun demikian, dengan mengesampingkan model
Cina atau Tanzania yang tidak dapat diserap, pelajaran yang dapat diambil dari
pengalaman tahun 70-an adalah bahwa selalu ada kemungkinan bagi sebuah negara
untuk melakukan pembangunan secara berhasil dengan menggunakan sudut pandang
khas mereka masing-masing.

2. Teknologi Menengah

Pada awal tahun 70-an, ada reaksi kuat terhadap teknologi tinggi (terutama varian
intensif-kapital),industrialisasi besar-besaran, dan gambaran-gambaran perencanaan
ekonomi tersentralisasi yang terhimpun dalam paradigma dominan tentang
pembangunan.

Ide teknologi yang tepat memiliki beberapa keuntungan. Hal ini ditujukan untuk:
● menciptakan pekerjaan di wilayah pedesaan di mana kebanyakan masyarakat
tinggal
● menggunakan kemampuan, bahan baku, dan sumber daya keuangan lokal,
sehingga mengurangi ketergantungan pada sumber daya luar
● memaksimalkan penggunaan sumber daya yang dapat diperbarui
● Mampu beradaptasi dengan budaya dan praktik-praktik lokal
● Memuaskan kebutuhan dan harapan lokal

3. Pendekatan Kebutuhan Pokok

Konsekuensi lain dari kekecewaan akan ide trickle-down tentang pembangunan


adalah adanya fokus perhatian pada kebutuhan-kebutuhan pokok: keperluan-
keperluan tersebut memanglah penting secara mutlak untuk meningkatkan kualitas
hidup yang layak. Indikator-indikator biasa dari pembangunan seperti pendapatan
bersih per kapita (GNP) dan ukuran-ukuran per kapita tidak memberikan informasi
yang cukup tentang kualitas hidup individu pada dasar jenjang economic-socio &
bangsa-bangsa yang sedang berkembang.

Paul Streeten (dalam Melkote, 1991) merangkum tujuan-tujuan pokok dari


pendekatan ini:

● menyediakan makanan dan air minum bersih yang cukup


● menyediakan tempat naungan yang layak
● menyediakan pendidikan
● menyediakan keamanan mata pencaharian
● menyediakan transportasi yang cukup.
● membantu orang-orang berpartisipasi dalam pembuatan-keputusan
● memelihara martabat dan kehormatan diri seseorang

Dengan begitu, pendekatan kebutuhan pokok lebih merupakan wah analisis mikro
yang berusaha menghapuskan hal terburuk dari kemiskinan di antara kaum termiskin
di bangsa-bangsa yang sedang werkembang. Semua tujuan dalam paradigma
kebutuhan-kebutuhan pokok adalah sama pentingnya, juga membutuhkan
implementasi yang broad fronted (bersektor-luas) (Melkote, 1991).

4. Pembangunan Pedesaan Terpadu

Pada 1973, Robert McNamara, Presiden Bank Dunia, menyam pakan pidato bell-
wether yang meminta New Directions in Development Arah Baru Pembangunan)
untuk dapat menanggulangi sesuatu yang ia sebut sebagai jalan buntu dalam
pendekatan-pendekatan pembangunan (World Bank, 1973). Hiasan dari arah baru ini
adalah sebuah proposal yang ia istilahkan sebagai pembangunan pedesaan terpadu.
Orientasi baru ini menekankan bahwa seluruh pembatas yang ada terhadap jalannya
pembangunan sosial-ekonomi akan dihilangkan secara serempak. Gerakan-gerakan
yang ada pada tahun 70-an, karenanya, dimaksudkan agar menjadi pendekatan broad-
fonted terhadap perencanaan pembangunan. Agen-agen multilateral dan bilateral
seperti FAO, IBRD, USAID dan beberapa pemerintah nasional bersama-sama
menerapkan program- program multipaket guna menanggulangi ragam batasan
eksternal Melkote, 1991).

5. Organisasi Lokal Bagi Pembangunan

Paradigma dominan, nilai komunikasi yang bersifat informasional bagi setiap


individu diberikan dengan lebih menekankan bahwa nilai organisasional sendiri
sebenarnya diabaikan. Bagaimanapun, beberapa pelajar menyatakan bahwa informasi
yang eksogen tidak akan mempengaruhi sebuah komunitas kecuali informasi eksogen
itu sendiri dapat mengatur orang-orang dan memulai sebuah proses pembangunan
yang bersifat otonomi (Hornik, dalam Melkote, 1991).

Uphoff dan Esman mendapati adanya basis empiris yang kuat dalam menyimpulkan
bahwa organisasi-organisasi lokal memang dibutuhkan bagi percepatan pembangunan
desa, terutama bagi yang mampu mengarahkan mayoritas masyarakat pedesaan pada
produktivitas yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang meningkat. Mereka mencatat
bahwa kasus-kasus di mana terdapat lebih banyak organisasi yang mencapai pada
level lokal, dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat lokal dan terlibat dalam
pembangunan pedesaan telah menyelesaikan tujuan pembangunan pedesaan dengan
lebih berhasil dan lebih dihargai dibandingkan yang lebih sedikit organisasi
pedesaannya (Uphoff and Esman, dalam Melkote, 1991).

6. Terbukanya Jalan Bagi Ketidakseimbangan

Sementara organisasi-organisasi lokal dapat memperluas sumber daya yang lebih


besar dari pusat dan menciptakan keseimbangan yang lebih besar di wilayah
pedesaan, mereka pun membuka jalan bagi munculnya ketidakseimbangan yang lebih
besar pula.

7. Kemunculan Kembali Budaya dalam Pembangunan

Sejak tahun 70-an, perhatian dalam pengkajian dan pengenalan peran positif budaya
lokal dalam perubahan sosial diperbarui. Paradigma lama telah dikritisi atas caranya
dalam mengonsep peran budaya. Para ahli teori, dalam perspektif dominan,
memandang secara umum akan perlunya perbenturan antara budaya dengan
modernisasi. Pandangan ini tampak begitu abstrak dan tidak riil (Gusfield, Wang dan
Dissanayake, dalam Melkote, 1991). Sebaliknya, beberapa contoh mengenai
hubungan simbiotik antara budaya dan perubahan tersedia sebagaimana berikut :

Di Jepang misalnya, industrialisme dan struktur sosial feodal bersatu dalam rangka
menghasilkan sebuah pola yang unik dan pembangunan ekonomi. Ketaatan pada
keluarga dan Kaisar, kurangnya mobilitas vertikal, subordinasi individu terhadap
komunitas yang biasanya terhimpun dengan tradisi, telah memainkan peranan penting
dalam mendorong ekonomi Jepang. Kesuksesannya menyamai kesuksesan
masyarakat modern konvensional (Wang and Dissanayake, dalam Melkote, 1991).

F. Peran-Peran Baru Komunikasi Pembangunan


1. Komunikasi dalam upaya-upaya pembangunan diri

Ide pembangunan diri menjadi populasi pada tahun 70-an, aktivitas terinisiasi
pengguna pada level lokal dianggap penting secara mutlak untuk pembangunan
sukses di level desa, penekanannya tidak lebih dititikberatkan pada aliran informasi
dan pesan yang bersifat top-top-bottom dari pejabat pemerintah pada masyarakat
massa, namun yang terpenting dari aliran-aliran bottom-up atau komunikasi di antara
masyarakat. Pembangunan-diri secara tidak langsung menyatakan peranan yang
berbeda bagi komunikasi dari apa yang telah dikonsep dan dioperasionalkan dalam
paradigma dominan. Agen-agen pembangunan masih harus menampilkan fungsi
pelayanan dalam arti mengumpulkan informasi teknis, tetapi yang tidak lagi bersifat
memberikan petunjuk.

Rogers (dalam Melkote, 1991) merangkum peran-peran utama komunikasi dalam


berbagai upaya pembangunan-diri:

a. Menyediakan informasi teknis tentang berbagai masalah dan kemungkinan


pembangunan, serta tentang berbagai inovasi yang tepat, dalam menjawab
berbagai permintaan lokal, dan

b. Mengedarkan informasi tentang pencapaian-pencapaian pembangunan-diri


dari kelompok-kelompok lokal sehingga kelompok lain semacamnya dapat pula
memperoleh keuntungan dari pengalaman kelompok lainnya dan mungkin pola
dapat merasa tertantang untuk meraih pencapaian serupa.

Peran media massa dalam upaya-upaya pembangunan-diri merupakan peran


katalisator dalam perubahan ketimbang sebagai penyebab tunggal. Dan yang
terpenting, saluran-saluran komunikasi tersebut dapat memprakarsai suatu dialog
antara para pengguna dan sumber, membantu mereka untuk “bicara bersama,”
Schrann (dalam Melkote, 1991)

2. Peranan media rakyat dalam pembangunan


Konsep-konsep pembangunan terbaru yang didiskusikan pada bagian awal
menekankan pada pemunculan-kembali kebudayaan sebagai fasilitator pembangunan,
penyatu sistem tradisional dan modern, dan mengikutsertakan masyarakat di tingkat
akar rumput secara aktif dalam program-program pembangunan. Muncul kesadaran
bahwa unsur-unsur tradisional dari masyarakat zaman sekarang memasuk saluran-
saluran komunikasi yang dapat menjadi sarana untuk merangsang pembangunan
pedesaan dan yang ini merupakan media rakyat yang menggunakan idiom-idiom
lokal dan berbasis rakyat.

a. Media rakyat

Konsep pembangunan terbaru seperti self-help, partisipasi tingkat akar rumput, dan
komunikasi dua-arah, mengarah pada sebuah ujian-ulang akan keuntungan-
keuntungan media tradisional sebagai motor informasi, persuasi dan hiburan
masyarakat pedesaan, media rakyat memiliki beberapa keuntungan: media rakyat
merupakan bagian dari lingkungan sosial pedesaan dan karenanya juga merupakan
sumber-sumber informasi yang dipercaya bagi masyarakat.

b. Isu-isu kritis penggunaan media internasional

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan media rakyat pada
pembangunan

1). Isu krusial yang ada adalah menyisipkan pesan-pesan berorientasi


pembangunan pada isi dari sebuah bentyk rakyat. Dalam buku basik
data, Ranganath menyarankan bahwa karakter-karakter yang
mengikuti setiap bentuk rakyat harus didasarkan pada kategori
berikut:

- Bentuk (audio, visual, audiovisual)

- Isi tematis
- Fleksibilitas dalam mengakomodir pesan-pesan
pembangunan

- Konteks kebudayaan

2). Isu penting lainnya berkaitan dengan integrasi antara rakyat


dengan media massa. Ini bisa berhasil bagi keuntungan bersama
atas keduanya: hal ini memberikan media rakyat akan sebuah
penyebaran geografis yang luas di samping memberikan informasi
dan tema-tema hiburan yang banyak kepada media massa.
Pengguna metode-metode integrasi secara tidak tepat dapat
membahayakan kedua media tersebut. Adaptasi tidak perlu
mengubah, menghancurkan atau mengurangi popularitas asli dari
sebuah bentuk rakyat (chander dan chiranjit, dalam Melkote,
1991).

G. Menjembatani Jurang Pemisah Melalui Strategi Komunikasi Pembangunan

Sedari mula realisasi menunjukkan bahwa ada lebih banyak pembangunan ketimbang
sekedar komunikas dan informasi, semuanya menunjukkan pada fakta bahwa
penghalang-penghalang utama terhadap atas pembangunan di banyak bagian dunia
ketiga, khususnya Amerika latin, mungkin lebih bersifat struktural bukan informatif
primer, serta bahwa suatu penstrukturan ulang dasar atas masyarakat mungkin
dibutuhkan dalam rangka membuat difusi inovasi menjadi lebih berguna dalam
proses pembangunan (Beltern, Diaz-Bordenave, Rogers and Adhikarya, McAnany,
dalam Melkote, 1991). Perubahan struktural-sosial diperlukan sebagaimana adanya
amatlah sulit dicapai. Sejenis perubahan dasar di masyarakat membutuhkan
komitmen ideologis dan politis serta partisipasi populasi dari mayoritas masyarakat
H . Menyempitkan Jurang Pemisah melalui Redundansi

Eksperimen komunikasi yang dilakukan oleh Shingi media meningkatkan


ketidakseimbangan sosial-ekonomi di antara para audiensnya. Dalam studi mereka,
mereka menemukan bahwa media (dalam hal ini, televisi) dapat menyempitkan
jurang pemisah keuntungan sosio-ekonomi, namun ini akan membutuhkan
penggunaan strategi komunikasi yang tepat.

Penemuan utama dari studi tersebut mengindikasikan bahwa bagian-bagian dari


audiens itu (mis. kelompok-kelompok berstatus sosio-ekonomi rendah) para peneliti
menyebut hal ini sebagai ceiling effect (efek atap), Dengan menyeleksi pesan-pesan
yang berlebihan atau bernilai potensia kecil pada pertanian luas, media dapat
mempersempit bahkan menu. tup-ketimbang memperluas jurang pemisah efek
komunikasi. Signifikansi dari studi ini adalah bahwa jurang pemisah efek komunikasi
atau pengetahuan tersebut terbukti tidaklah dapat terelakan.

Pada faktanya, jurang pemisah tersebut dapat dipersempit jika strategi-strategi


komunikasi yang tepat digunakan dalam aktivitas-aktivitas difusi (Shingi and Mody,
dalam Meikote, 1991):pesan selayaknya sederhana dan dapat dengan mudah
dimengerti oleh para audiens non-elit. Daya tarik, penyajian, dan salience daripada
informasi komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial. Bagaimanapun, strategi-
strategi ini perlu dibangun agar menjadi proyek Pendukung pembangunan on-going
yang Mokbel, pendekatan satu bidikan terhadap komunikasi pembangunan, misalnya
the Indian Satellite Instructional Television Experiment, mungkin tidak menghasilkan
perubahan behavior yang signifikan diantara para penerimanya. Usaha-usaha berisiko
yang menyediakan pendukung informasi intensif Untuk jangka pendek dan akhirnya
tidak dilanjutkan tersebut, dapat dipersamakan.

I. Menanggulangi Bias Proliteracy


Mayoritas masyarakat berstatus sosio-ekonomi rendah (SES) di Dunia Ketiga adalah
orang-orang yang literater. Namun begitu, terdapat beberapa strategi efektif adalah
dalam penelitian komunikasi pembangunan tentang mengkomunikasikan ragam
inovasi pada para audiens illiterate (Rogers and Adhikarya, dalam Melkote, 1991).
Semua strategi dan inovasi memisalkan buta huruf dan beberapa level pengetahuan
dan pendidikan formal (Melkote, dalam Melkote, 1991), yang mana merupakan
inovasi mereka sendiri-untuk diterapkan pada kaum miskin pedesaan dan perkotaan.

Kebanyakan keuntungan pembangunan telah ditambahkan kepada para petani dan


kelompok-kelompok elit lainnya dikarenakan mereka memiliki persyaratan-
persyaratan penting seperti cukupnya kemampuan membaca (tidak buta huruf),
pendidikan, dan pengetahuan sebelumnya tentang inovasi guna menggali informasi,
metode-metode, dan teknik teknik baru Bias proliteracy ini telah berlaku sebagai
pembatas utama difusi informasi pada para khalayak preliterate. Hal ini telah
mencegah strategi-strategi penyaringan informasi, pengetahuan, dan berbagai
keahlian pada para audiens Uhterate yang secara kebetulan membentuk bagian besar
dari populasi di daerah pedesaan. Sementara itu, hal tersebut telah mengarahkan pada
akses informasi yang lebih mudah bagi kelompok-kelompok elit di daerah-daerah
pinggiran. bias proliteracy dapat didefinisikan sebagai tendensi dari Sebuah sumber
komunikasi dalam menyandikan pesan dalam bentuk simbol baik secara tertulis,
dicetak, maupun verbal, yang mana secara tidak langsung menyatakan adanya
keahlian-keahlian literacy dan numer, pada diri para penerima bahkan saat mereka
diketahui tidak/kurang pada diri para penerima bahkan saat mereka diketahui
tidak/kurang Memiliki kedua keahlian tersebut, jika tujuannya adalah untuk
mengurangi status sosial-ekonomi dan jurang-jurang pemisah pengetahuan di antara
masyarakat di negara negara yang sedang berkembang, tentunya penting sekali jika
bias profreracy diidentifikasi dan dijauhkan dari seluruh strategi komunikasi yang
berorientasi pembangunan.
J. Pesan-pesan yang Dibuat

Akses ke media telah menjadi batasan krusial di antara para audiens berstatus sosial-
ekonomi lebih rendah (SES) di daerah daerah pedesaan Dunia Ketiga. Saat agen
pembangunan memutuskan untuk mengarahkan tujuannya pada audiens ini, maka
sebuah tugas penting pun dibuat untuk meningkatkan terbukanya peluang mereka
melalui akses yang lebih baik terhadap media. Perlakuan akan pesan,
bagaimanapun,sama persis dengan perlakuan pesan bagi para audiens SES yang lebih
tinggi (Melkote, dalam Melkote, 1991).

Oleh karena itu, saat isi pesan utama masih tetap sama (keadaannya), kualitas pesan-
yakni relevansi, desain, dan perlakuan-selayaknya dibuat bagi kelompok-kelompok
SES yang lebih rendah. Strategi komunikasi ini akan membutuhkan evaluasi formatif
atas para audiens seperti dalam hal persiapan profil audiens dan studi-studi penilaian-
kebutuhan, persiapan materi-materi prototipe dan mengujinya terlebih dahulu
sebelum materi-materi tersebut diproduksi secara massal.

Rogers dan Adhikarya (dalam Melkote, 1991) menambahkan bahwa kelompok-


kelompok SES yang lebih rendah berbeda keadaannya dalam hal pendidikan jika
dibandingkan dengan rekan-pengimbang SES yang lebih tinggi mercka.
Bagaimanapun, fakta aktual menunjukkan bahwa di kebanyakan Dunia Ketiga, para
audiens media pedesaan dengan SES yang lebih rendah tidak mengalami pendidikan
formal sama kali. Mereka (Rogers and Adhikarya) membuat sebuah contoh yang
keseluruhannya berbeda dan membuat pesan apa pun yang didesain agar tidak
terlebih dulu membuat asumsi apa pun tentang literacy,

Memang bukanlah hal yang praktis atau dapat dikerjakan dengan mudah bagi orang-
orang ini untuk mempelajari segala hal tentang inovasi satu atau dua program radio
atau televisi instruksional atau melalui dua kali kunjungan agen perluasan lapangan.
Difusi dari sebuah inovasi, karenanya khususnya bagi kelompok-kelompok SES yang
lebih rendah-akan perlu mengadopsi sebuah pendekatan sequential dengan isi pesan
yang dibangun berdasarkan tingkat kerumitan inovasi dan pemahaman para penerima.
K. Menilai Kebutuhan Para Khalayak

Difusi klasik dari perspektif inovasi berpengaruh sebagaimana sebelumnya oleh


paradigma dominan pembangunan, memiliki perhatian agar proses komunikasi
menjadi bersifat linear, one-dimensional, dan one-way. Dalam proses ini, porsi lebih
ditekankan pada sumber komunikası

ketimbang penerima, yang biasanya mengarah pada ketidakseimbangan.

Banyak penelitian komunikasi pembangunan, tidak memiliki ide yang jelas terhadap
macetnya program pembangunan bagi kaum petani miskin, dan sedikit sekali dapat
diterapkan komunikan dua arah partisipatori yang dapat dipahami oleh kaum petani
miskin untuk arah mengadopsi berbagai inovasi.

Oleh karena itu, ada kebutuhan yang besar akan studi-studi penilaian-kebutuhan yang
efektif dan reliabel tentang para audiens yang dimaksud. Jika informasi feed-forward
didorong melalui proses komunikasi partisipatori dua-arah, maka proses komunikasi
dapat mengarah pada tindakan penyempitan jurang pemisah keuntungan sosial-
ekonomi.

Pada saat ini, komitmen ideologis dan politis serta partisipasi populis dari mayoritas
masyarakat tidaklah mudah dalam menghadapi perubahan mendasar semacam itu di
masyarakat. Meski begitu, masih ada kemungkinan bagi para pekerja pembangunan
dan para praktisi komunikasi untuk tetap bekerja meski ada ragám batasan yang
melingkupinya dan membantu mengurangi meluasnya jurang pemisah status dan
sosial-ekonomi di antara masyarakat. Dengan menilai kebutuhan dari kelompok-
kelompok SES yang lebih rendah, merumuskan pesan dan strategi komunikasi
terhadap kebutuhan dan kapasitas kelompok-kelompok ini, menanggulangi bias pro-
literacy, dan mengurangi jurang-jurang pemisah pengetahuan, maka upaya meraih
pendapatan sosial yang menguntungkan mungkin saja berhasil. Sehingga bila
produktivitas petani-petani miskin meningkat dan jurang pemisah kelas ekonomi-
sosial berkurang melalui strategi-strategi efektif sebagaimana outline di atas, besar
kemungkinan untuk dapat mencapai pembangunan yang selayaknya, bahkan dengan
ketiadaan perubahan-perubahan sosial-struktural pada tingkat makro.

L. Pembangunan Melalui Program Hiburan Televisi

Pada tahun 70-an, pemikiran untuk menggunakan televisi sebagai media


pembangunan instruksional muncul dari para administrator maupun pakar
pembangunan karena besarnya potensi yang ada dalam penyebaran pemikiran-
pemikiran dan praktik-praktik yang berguna Satellite Instructional Television
Experiment (SITE) yang diluncurkan đi India pada pertengahan 70-an untuk
menyiarkan program televisi instruksional di desa-desa pinggiran di India. Namun
demikian, penelitian ada akhirnya menunjukkan bahwa sebagian besar audiens lebih
menyukai acara-acara hiburan dibandingkan program-program pendidikan.

contoh berikut menggambarkan tren yang berlaku dalam peningkatan isi hiburan pada
program-program televisi (Rogers, dalam Melkote1991).

1. Di American Samoa, sebuah sistem televisi pendidikan yang diperkenalkan pada


1967 kini beralih menyiarkan acara-acara hiburan dari Amerika.

2. Sebuah stasiun pemancar di distrik Khaeda Gujarat India, yang memproduksi


program-program pembangunan lokal telah tutup pada pertengahan 80-an ketika para
audiens beralih tontonan kepada sistem televisi Ahmedabad ketika stasiun ini mulai
menyiarkan program-program nasional (kebanyakan hiburan) pada distrik Di banyak
negara-negara berkembang pada masa kini, muncul tren umum sejalan dengan
komersialisasi saluran-saluran televisi. Hal ini berarti bahwa program hiburan televisi
akan menjadi lebih ditekankan.Secercah harapan dari awan gelap ini mungkin adalah
marketing dari program-program yang sarat dengan pesan-pesan pembangunan dapat
berperan penting dalam komunikasi pembangunan (Rogers, dalam Melkote, 1991).
Di Meksiko dan India opera sabun jenis ini sukses menjadi media informasi
pembangunan, sehingga akhirnya pemikiran ini diadaptasi di banyak negara-negara
berkembang (seperti Kenya, Nigeria, Mesit, Brazil, Pakistan, Bangladesh, Turki,
Thailand, Indonesia, dan Zaire) dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
(Singhal dan RogerS,1988). Pemikiran ini patut dikaji dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.

M. Teknologi Baru Komunikasi untuk Pembangunan

Sebuah fenomena menarik dari pertengahan 70-an adalah perkembangan Teknologi


komunikasi dan penerapannya pada kegiatan-kegiatan pembangunan. Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa Barat telah berhasil menjadi negara komunitas
informasi; sebuah negara dimana hardware dan software produksi kegiatan utamanya
(Rogers, dalam Melkote, 1991).

Di antara yang termasuk teknologi-teknologi komunikasi adalah: siaran televisi,


perekam video-kaset, komputer, komunikasi satelit,telepon, telekonferensi, dan
audio-konferensi. Perkembangan tiap software produksi. Proses dan distribusi
informasi merupakan penyiaran teknologi tersebut cukup pesat di negara-negara
berkembang dalam lima belas tahun terakhir ini. SITE di India, eksperimen Palapa
Indonesia, penggunaan video di beberapa negara berkembang, dan eksperimen
dengan telepon berbasis satelit di Peru dan India hanyalah beberapa contoh luasnya
penyebaran teknologi-teknologi baru di negara-negara Dunia Ketiga. Para ilmuwan
secara berempati berpendapat dalam dukungannya pada teknologi-teknologi baru
tersebut visa-visa dengan pembangunan pada negara Dunia Ketiga: telekomunikasi
telah menjadi jalan bagi pembangunan (Maitland Commission dan Jussawalla, dalam
Melkote, 1991), telepon pedesaan telah disarankan untuk menghilangkan
keterasingan desa-desa (Hudson, dalam Melkote, 1991), teknologi komputer dan
satelit telah disarankan untuk menjembatani industri dengan pasar dan penyedia
bahan baku, organisasi gerakan sosio-politis,dan pembuat keputusan yang
berorientasi demokratik (Stover, dalam Melkote, 1991). Selain para pendukung,
terdapat pula para skeptis yang tidak mempercayai gambaran yang menjanjikan
tersebut. Skeptisme mereka bukan ditujukan pada kemampuan teknologi tersebut
dalam mewujudkan semua harapan yang ada, namun lebih pada konteks Sosial-
budaya. Ekonomi dan politik di negara-negara berkembang yang bila tidak kondusif
akan menghambat hasil positif yang mungkin dapat dicapai dari penggunaan
teknologi tersebut (Jayaweera, dalam Melkote,1991).

Dapatkah teknologi komunikasi mengarahkan kepada pembangunan Nasional yang


sehat? Ya, di negara-negara maju banyak hal positif yang Penuhi; affluent, ekonomi
mandiri, kaya dengan kemampuan teknobasan yang dengan institusi sosial politis
yang kuat, yang menjaga kebebasan warganya untuk berekspresi, berpartisipasi dalam
urusan umum,nasional yang terpenuhi.

Anda mungkin juga menyukai