Disusun Oleh :
Kelompok 2
Tak ada program apa pun yang dapat membantu para petani kecil jika program
tersebut dirancang oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang
permasalahan mereka serta dioperasikan oleh orang-orang yang tidak memiliki
ketertarikan akan masa depan mereka (Robert McNamara, Presiden Bank Dunia
1973, dalam Melkote, 1991).
Fakta telah jelas menunjukkan bahwa dewasa ini semakin sedikit individu, keluarga,
maupun sekelompok orang di sebuah negeri yang mampu mengkonsumsi barang
maupun jasa dalam jumlah yang lebih banyak maupun kualitas yang lebih baik.
Premis pada tahun 50-an, 60-an dan 70-an adalah ketika bangsa-bangsa melakukan
pembangunan, mereka dapat menyingkirkan kemiskinan. Hal ini tidak bisa dikatakan
sepenuhnya benar. Di sisi lain, secara karakter alami dan metode, pembangunan
memang dihubungkan dengan pendekatan tingkat kemiskinan (sebagaimana konsep
yang sering digunakan dalam tiga dekade sebelumnya).
Maka dapat disimpulkan bahwa anggapan bahwa bila pembangunan meningkat maka
kemiskinan akan menurun sama sekali tidak benar.
1. Dinamika Pembangunan
Di tahun 70-an, muncul kesadaran bahwa pembangunan tidak dapat lagi dipandang
dari sisi ekonominya saja (economic growth). Saat seseorang membicarakan
pembangunan, Seers (dalam Melkote,1991) mengatakan bahwa indikator yang
sebenarnya adalah penurunan dalam hal tingkat kemiskinan, ketidakseimbangan
pendapatan, dan pengangguran. Indikator lainnya adalah berkurangnya penderitaan
umat manusia, sebagaimana yang tampak dari kekerasan fisik dan pemusnahan kaum
papa.
Pertanyaan siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan fenomenal ini, atau, yang
senada dengan ini, siapa yang dirugikan dengan pertumbuhan ini? Berger mencatat
bahwa terdapat peningkatan jumlah pengangguran, bukannya penurunan. Oleh karena
itu, antara sensus tahun 1960 dan 1970, persentase tenaga kerja buruh menurun dari
32,3% menjadi 31,7% ini bukanlah penurunan yang tajam, tetapi lebih tepatnya agak
berbeda dari apa yang diharapkan selama masa-masa terbentangnya keajaiban
ekonomi” (Berger, 1976:156).juga, bagian dari pendapatan nasional yang mencapai
top 5% dari masyarakat telah ,meningkat dari 20% menjadi 38% (Berger, 1976).
Weaver dan Jameson mencatat bahwa top 5 juta orang telah menerima sama
banyaknya dengan pendapatan nasional sebanyak 90 juta. Kenyataannya, Berger
menegaskan bahwa kondisi ekonomi kaum papa telah menurun tidak hanya secara
relatif, tetapi juga secara mutlak. Oleh karena itu, bagi sejumlah besar masyarakat
Brazil, proses pembangunan telah membuat mereka jauh tertinggal.
3. Kasus Cina: Membangun atau Apa?
Metode pembangunan Cina telah disambut secara gembira secara luas sebagai sebuah
model yang ‘dapat dilaksanakan’. Dari adanya informasi yang terbatas,secara general
disimpulkan bahwa di Cina, pada saat ini tidak terdapat derita kelaparan. Dengan kata
lain, indeks kualitas fisik kehidupan telah meningkat secara signifikan.
Berger (dalam Melkote, 1991) mencatat: Siapapun yang melihat catatan rezim
komunis sejak 1949 bahkan dengan maksud objektivitas sederhana apa pun akan
terkesan dengan adanya kuantitas luar biasa dari derita manusia yang secara langsung
dapat dilacak hubungan dengan aksi-aksi rezim tersebut.
Bukan hanya di negara Brazil dan Cina saja yang mayoritas masyarakat miskinnya
mengalami penderitaan yang luar biasa. Hampir di seluruh negara di dunia sekarang
(terutama negara Dunia Ketiga) masalah pengangguran, ketidaksetaraan pendapatan,
dan kemiskinan jumlahnya semakin meningkat. Muncul kesadaran masa kini bahwa
bersamaan dengan pembangunan yang terjadi hal-hal negatif juga turut bermunculan;
pembagian kesejahteraan bangsa yang tidak seimbang dan hanya dikuasai oleh
sebagian kecil elit, tingginya tingkat pengangguran, dan ketidakmampuan masyarakat
kecil dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Hal ini sesuai dengan ungkapan
klise; Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.”
2. Darwinisme Sosial
Karya Darwin mengenai evolusi memberikan materi yang menarik bagi para ahli
teori sosial seperti Herbert Spencer dan William Sumner. Mereka
menginterpretasikan, atau lebih jauhnya –mengubah, bahwa pekerjaan Darwin dapat
menjelaskan kelangsungan hidup dari yang paling cocok hidup di arena sosial.
Mereka berpendapat dengan amat sungguh-sungguh, Reich (1982) mengungkapkan,
bahwa negara tidak seharusnya turut campur tangan dengan mengatasnamakan kaum
miskin. Para pengikut sosial Darwin meyakini bahwa campur tangan pemerintah itu
akan mengganggu hukum seleksi alam. “Spencer dan para pengikutnya secara umum
menyesal akan hukum (ketentuan) kaum miskin, pendidikan yang didukung-
pemerintah, regulasi kondisi-kondisi perumahan, dan proteksi konsumen dari bahaya
dan penipuan. Mereka pun menemukan “keharaman” akan apa pun upaya yang
dijalankan pemerintah guna mencapai keadilan, bahkan keadilan akan peluang,
dikarenakan evolusi sendiri justru bergantung pada kekuatannya akan ketidakadilan”
(Reich, dalam Melkote, 1991). Darwinisme Sosial, meskipun merupakan produk dari
tiga dekade terakhir abad ke-19, belum secara total dihilangkan atau dibuang meski
bahkan seratus tahun sesudahnya. Para penyalah-korban, saat ini, tengah berbicara
tentang isu yang sama, namun menggunakan terminologi yang berbeda. Ryan
berkomentar bahwa para penyalah-korban masa kini membicarakan perampasan
budaya sebagai ganti dari pembicaraan isu gagasan perbedaan ras dan kelas dalam hal
kemampuan intelektual, dan kemalasan yang kini telah digantikan dengan sebuah
istilah baru: budaya kemiskinan (culture of poverty).
Dari gagasan budaya kemiskinan (Lewis, dalam Melkote, 1991) yang mana termasuk,
di antara hal lainnya, orientasi kedaerahan, partisipasi formal rendahan, ketiadaan
integrase pada institusi nasional, orientasi masa-kini yang kuat, dan ketidakmampuan
membedakan gratifikasi dan fatalisme, terdapat lompatan teoretis kecil menuju
“cabang kebudayaan kaum tani.” Rogers (dalam Molkote, 1991) mengatakan
bahwasanya para petani di Dunia ketiga, “mereka memiliki sifat-sifat tertentu yang
menjadikan mereka anggota sebuah ‘budaya petani’ yang sifatnya melebihi batas-
batas nasional.” Ia menggambarkan aspek-aspek utama dari budaya petani ini: (1)
saling tidak percaya dalam hubungan interpersonal; (2) merasakan keterbatasan
persediaan barang; (3) ketergantungan akan dan permusuhan pada kewenangan
pemerintah; (4) paham kekeluargaan; (5) kurangnya keinovatifan; (6) fatalism; (7)
terbatasnya aspirasi; (8) kurangnya gratifikasi yang ditangguhkan; (9) terbatasnya
pandangan akan dunia; (10) empati yang rendah.
Banyak sekali pekerjaan dalam hal perencanaan kebijakan sosial, aksi sosial dan teori
sosial, dengan demikian, telah berupaya mempertahankan ketidakadilan masa kini di
masyarakat. Para ahli ideology salahkan-sang-korban, para pengikut Sosial Darwin,
dan para ahli pembangunan top-down, diantara yang lainnya, berusaha keras untuk
mengubah setiap individu, namun meninggalkan struktur ketergantungan dalam
keutuhan masyarakat. Kemiskinan terutama dapat dipandang sebagai kurangnya
ketersediaan uang. Menurut Ryan , “kemiskinan adalah sebuah status ekonomi yang
secara etimologis berhubungan dengan baik ketiadaan input maupun akses moneter
pada upaya mendapatkan atau menghasilkan sumber daya.” Oleh karena itu,
dibuatlah konsep strategi menanggulangi kemiskinan yang akan mengeluarkan setiap
orang miskin dari garis kemiskinan melalui transfer sumber daya. Hal tersebut jelas
merupakan hasil budaya kelas yang lebih rendah dari kaum miskin atau budaya
tradisional dari para petani. Solusinya dengan demikian, bukanlah distribusi sumber
daya. Melainkan sorotannya adalah pada bagaimana mengubah ‘jalan hidup’ kaum
miskin.
Proses ini secara lebih jauh mengakibatkan massa jatuh miskin. Struktur-struktur
pendukung sosial tradisional yang telah memberikan keamanan selama ribuan tahun
di masa lalu pun dihancurkan, dan sebagaimana yang Dasgupta perdebatkan, struktur-
struktur modern yang menggantikannya memproteksi proses sebenarnya yang
menghancurkan jaringan-jaringan kerja dan memusnahkan aset-aset sosial:
Masyarakat desa, sistem kekeluargaan terpadu, kasta, keluarga besar, gereja, masjid,
dan lain sebagainya mungkin masih memberikan dukungan tertentu kepada wong
cilik yang hanya dapat ditawarkan dalam masyarakat industri maju oleh institusi
besar yang profesional. Sebagai contoh, fungsi seorang nenek dalam sebuah rumah
tangga pada masyarakat industri masa kini telah digantikan oleh baby sitter bayaran,
sementara institusi bagi the handicapped mengambil alih dukungan yang mungkin
ditawarkan oleh hubungan jaringan kerja yang meluas
Istilah ini sebagaimana dipahami dalam paradigm umum adalah sebuah konsep
etnosentris dari tujuan kemajuan. Hal ini menggambarkan tipe modernisasi yang telah
dicapai di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Hal ini juga memandang
pembangunan dari sudut level makro. Kebanyakan dari model-model terdahulu
mendefinisikan pembangunan secara sempit. Mereka hanya memandang
pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang dicapai melalui industrialisasi dan
urbanisasi yang besar. Pembangunan hanya diukur berdasarkan GNP dan tingkat
pendapat per kapita. Kajian apa pun tentang pembangunan haruslah menyerahkan
pembangunan fisik, mental, sosial, budaya, dan spiritual dari seorang individu dalam
sebuah keadaan yang bebas dari tekanan dan paksaan. Juga, penting untuk
melestarikan dan mendukung budaya tradisional lokal dan peninggalan-peninggalan
lainnya sebagaimana yang biasa tersorot dalam media-media dari kenyataan struktur
sosial masyarakat kelas bawah. Sebagai sebuah alat pembangunan, budaya-budaya
lokal ini dapat memberikan solusi bagi banyak masalah pada masyarakat arus bawah
berdasarkan pengetahuan mereka dapat dikatakan usaha menumbangkan budaya
lokal, bukan saja naif, namun juga secara etis dapat dipertanggungjawabkan.
Kebanyakan dari pekerjaan tersebut telah mencapai tingkat negara bangsa. Bahkan
penelitian pada tingkat makro telah diupayakan untuk membawa bangsa atau
beberapa wilayah sebagai sebuah kesatuan dalam modernitas. Yang dilupakan dalam
konsep ini adalah bahwa individu-individu dan kelompok-kelompok yang berbeda
memerlukan strategi berbeda dalam pembangunan. Bila tujuan pembangunan
bukanlah untuk menciptakan kesengsaraan yang lebih besar bagi umat manusia, maka
kita dari bangsa, namun masyarakat yang kurang beruntung juga perlu dibantu untuk
mengatasi kekurangan mereka.
Kaum elit di setiap negara telah memiliki hak prerogatif dalam memutuskan apa yang
negaranya butuhkan. Dalam beberapa keadaan semacam ini, definisi apapun
mengenai pembangunan yang dibuat oleh kaum elit akan selalu sejalan dengan
peluang kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Yang dilupakan dalam pendekatan
ini adalah partisipasi masyarakat grass root atau arus bawah . Orang-orang yang
menjadi sasaran kebijakan perlu diikutsertakan dalam definisi, desain, dan
pelaksanaan dan proses pembangunan itu sendiri.
Satu metode yang berguna akan mempertimbangkan kreasi struktur institusional aktif
di interface antara para agen pemerintah dan massa-massa “tanpa nama” dalam mana
mereka dapat terlihat secara aktif di seluruh isu yang memperlihatkan kesejahteraan
mereka. Partisipasi yang sesungguhnya, bagaimanapun, sebagaimana yang telah
didiskusikan, akan jauh melebihi tujuan-tujuan semacam mencapai produktivitas
yang lebih tinggi ataupun mewujudkan kebiasaan-kebiasaan kesehatan yang lebih
baik, tetapi yakni berupaya mewujudkan kesadaran massa akan struktur-struktur
ruang maupun sosial mereka yang memang dianggap secara ekstrem tidaklah
seimbang.
proses partisipatori yang lebih luas tentang perubahan sosial di suatu masyarakat,
dimaksudkan untuk mewujudkan kemajuan materiil dan sosial (termasuk persamaan,
kebebasan, dan kualitas-kualitas bernilai lain yang lebih besar) bagi mayoritas orang
melalui pemerolehan kontrol yang lebih besar atas lingkungan mereka (Rogers, dalam
Melkote, 1991).
1. Pengalaman sosialistis
Argumen yang sama tentang filosofi politik dan organisasi sosial yang sangat berbeda
dapat diperluas pada wilayah pembangunan yang lain di mana Cina relatif lebih
berhasil dibandingkan India. Namun demikian, dengan mengesampingkan model
Cina atau Tanzania yang tidak dapat diserap, pelajaran yang dapat diambil dari
pengalaman tahun 70-an adalah bahwa selalu ada kemungkinan bagi sebuah negara
untuk melakukan pembangunan secara berhasil dengan menggunakan sudut pandang
khas mereka masing-masing.
2. Teknologi Menengah
Pada awal tahun 70-an, ada reaksi kuat terhadap teknologi tinggi (terutama varian
intensif-kapital),industrialisasi besar-besaran, dan gambaran-gambaran perencanaan
ekonomi tersentralisasi yang terhimpun dalam paradigma dominan tentang
pembangunan.
Ide teknologi yang tepat memiliki beberapa keuntungan. Hal ini ditujukan untuk:
● menciptakan pekerjaan di wilayah pedesaan di mana kebanyakan masyarakat
tinggal
● menggunakan kemampuan, bahan baku, dan sumber daya keuangan lokal,
sehingga mengurangi ketergantungan pada sumber daya luar
● memaksimalkan penggunaan sumber daya yang dapat diperbarui
● Mampu beradaptasi dengan budaya dan praktik-praktik lokal
● Memuaskan kebutuhan dan harapan lokal
Dengan begitu, pendekatan kebutuhan pokok lebih merupakan wah analisis mikro
yang berusaha menghapuskan hal terburuk dari kemiskinan di antara kaum termiskin
di bangsa-bangsa yang sedang werkembang. Semua tujuan dalam paradigma
kebutuhan-kebutuhan pokok adalah sama pentingnya, juga membutuhkan
implementasi yang broad fronted (bersektor-luas) (Melkote, 1991).
Pada 1973, Robert McNamara, Presiden Bank Dunia, menyam pakan pidato bell-
wether yang meminta New Directions in Development Arah Baru Pembangunan)
untuk dapat menanggulangi sesuatu yang ia sebut sebagai jalan buntu dalam
pendekatan-pendekatan pembangunan (World Bank, 1973). Hiasan dari arah baru ini
adalah sebuah proposal yang ia istilahkan sebagai pembangunan pedesaan terpadu.
Orientasi baru ini menekankan bahwa seluruh pembatas yang ada terhadap jalannya
pembangunan sosial-ekonomi akan dihilangkan secara serempak. Gerakan-gerakan
yang ada pada tahun 70-an, karenanya, dimaksudkan agar menjadi pendekatan broad-
fonted terhadap perencanaan pembangunan. Agen-agen multilateral dan bilateral
seperti FAO, IBRD, USAID dan beberapa pemerintah nasional bersama-sama
menerapkan program- program multipaket guna menanggulangi ragam batasan
eksternal Melkote, 1991).
Uphoff dan Esman mendapati adanya basis empiris yang kuat dalam menyimpulkan
bahwa organisasi-organisasi lokal memang dibutuhkan bagi percepatan pembangunan
desa, terutama bagi yang mampu mengarahkan mayoritas masyarakat pedesaan pada
produktivitas yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang meningkat. Mereka mencatat
bahwa kasus-kasus di mana terdapat lebih banyak organisasi yang mencapai pada
level lokal, dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat lokal dan terlibat dalam
pembangunan pedesaan telah menyelesaikan tujuan pembangunan pedesaan dengan
lebih berhasil dan lebih dihargai dibandingkan yang lebih sedikit organisasi
pedesaannya (Uphoff and Esman, dalam Melkote, 1991).
Sejak tahun 70-an, perhatian dalam pengkajian dan pengenalan peran positif budaya
lokal dalam perubahan sosial diperbarui. Paradigma lama telah dikritisi atas caranya
dalam mengonsep peran budaya. Para ahli teori, dalam perspektif dominan,
memandang secara umum akan perlunya perbenturan antara budaya dengan
modernisasi. Pandangan ini tampak begitu abstrak dan tidak riil (Gusfield, Wang dan
Dissanayake, dalam Melkote, 1991). Sebaliknya, beberapa contoh mengenai
hubungan simbiotik antara budaya dan perubahan tersedia sebagaimana berikut :
Di Jepang misalnya, industrialisme dan struktur sosial feodal bersatu dalam rangka
menghasilkan sebuah pola yang unik dan pembangunan ekonomi. Ketaatan pada
keluarga dan Kaisar, kurangnya mobilitas vertikal, subordinasi individu terhadap
komunitas yang biasanya terhimpun dengan tradisi, telah memainkan peranan penting
dalam mendorong ekonomi Jepang. Kesuksesannya menyamai kesuksesan
masyarakat modern konvensional (Wang and Dissanayake, dalam Melkote, 1991).
Ide pembangunan diri menjadi populasi pada tahun 70-an, aktivitas terinisiasi
pengguna pada level lokal dianggap penting secara mutlak untuk pembangunan
sukses di level desa, penekanannya tidak lebih dititikberatkan pada aliran informasi
dan pesan yang bersifat top-top-bottom dari pejabat pemerintah pada masyarakat
massa, namun yang terpenting dari aliran-aliran bottom-up atau komunikasi di antara
masyarakat. Pembangunan-diri secara tidak langsung menyatakan peranan yang
berbeda bagi komunikasi dari apa yang telah dikonsep dan dioperasionalkan dalam
paradigma dominan. Agen-agen pembangunan masih harus menampilkan fungsi
pelayanan dalam arti mengumpulkan informasi teknis, tetapi yang tidak lagi bersifat
memberikan petunjuk.
a. Media rakyat
Konsep pembangunan terbaru seperti self-help, partisipasi tingkat akar rumput, dan
komunikasi dua-arah, mengarah pada sebuah ujian-ulang akan keuntungan-
keuntungan media tradisional sebagai motor informasi, persuasi dan hiburan
masyarakat pedesaan, media rakyat memiliki beberapa keuntungan: media rakyat
merupakan bagian dari lingkungan sosial pedesaan dan karenanya juga merupakan
sumber-sumber informasi yang dipercaya bagi masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan media rakyat pada
pembangunan
- Isi tematis
- Fleksibilitas dalam mengakomodir pesan-pesan
pembangunan
- Konteks kebudayaan
Sedari mula realisasi menunjukkan bahwa ada lebih banyak pembangunan ketimbang
sekedar komunikas dan informasi, semuanya menunjukkan pada fakta bahwa
penghalang-penghalang utama terhadap atas pembangunan di banyak bagian dunia
ketiga, khususnya Amerika latin, mungkin lebih bersifat struktural bukan informatif
primer, serta bahwa suatu penstrukturan ulang dasar atas masyarakat mungkin
dibutuhkan dalam rangka membuat difusi inovasi menjadi lebih berguna dalam
proses pembangunan (Beltern, Diaz-Bordenave, Rogers and Adhikarya, McAnany,
dalam Melkote, 1991). Perubahan struktural-sosial diperlukan sebagaimana adanya
amatlah sulit dicapai. Sejenis perubahan dasar di masyarakat membutuhkan
komitmen ideologis dan politis serta partisipasi populasi dari mayoritas masyarakat
H . Menyempitkan Jurang Pemisah melalui Redundansi
Akses ke media telah menjadi batasan krusial di antara para audiens berstatus sosial-
ekonomi lebih rendah (SES) di daerah daerah pedesaan Dunia Ketiga. Saat agen
pembangunan memutuskan untuk mengarahkan tujuannya pada audiens ini, maka
sebuah tugas penting pun dibuat untuk meningkatkan terbukanya peluang mereka
melalui akses yang lebih baik terhadap media. Perlakuan akan pesan,
bagaimanapun,sama persis dengan perlakuan pesan bagi para audiens SES yang lebih
tinggi (Melkote, dalam Melkote, 1991).
Oleh karena itu, saat isi pesan utama masih tetap sama (keadaannya), kualitas pesan-
yakni relevansi, desain, dan perlakuan-selayaknya dibuat bagi kelompok-kelompok
SES yang lebih rendah. Strategi komunikasi ini akan membutuhkan evaluasi formatif
atas para audiens seperti dalam hal persiapan profil audiens dan studi-studi penilaian-
kebutuhan, persiapan materi-materi prototipe dan mengujinya terlebih dahulu
sebelum materi-materi tersebut diproduksi secara massal.
Memang bukanlah hal yang praktis atau dapat dikerjakan dengan mudah bagi orang-
orang ini untuk mempelajari segala hal tentang inovasi satu atau dua program radio
atau televisi instruksional atau melalui dua kali kunjungan agen perluasan lapangan.
Difusi dari sebuah inovasi, karenanya khususnya bagi kelompok-kelompok SES yang
lebih rendah-akan perlu mengadopsi sebuah pendekatan sequential dengan isi pesan
yang dibangun berdasarkan tingkat kerumitan inovasi dan pemahaman para penerima.
K. Menilai Kebutuhan Para Khalayak
Banyak penelitian komunikasi pembangunan, tidak memiliki ide yang jelas terhadap
macetnya program pembangunan bagi kaum petani miskin, dan sedikit sekali dapat
diterapkan komunikan dua arah partisipatori yang dapat dipahami oleh kaum petani
miskin untuk arah mengadopsi berbagai inovasi.
Oleh karena itu, ada kebutuhan yang besar akan studi-studi penilaian-kebutuhan yang
efektif dan reliabel tentang para audiens yang dimaksud. Jika informasi feed-forward
didorong melalui proses komunikasi partisipatori dua-arah, maka proses komunikasi
dapat mengarah pada tindakan penyempitan jurang pemisah keuntungan sosial-
ekonomi.
Pada saat ini, komitmen ideologis dan politis serta partisipasi populis dari mayoritas
masyarakat tidaklah mudah dalam menghadapi perubahan mendasar semacam itu di
masyarakat. Meski begitu, masih ada kemungkinan bagi para pekerja pembangunan
dan para praktisi komunikasi untuk tetap bekerja meski ada ragám batasan yang
melingkupinya dan membantu mengurangi meluasnya jurang pemisah status dan
sosial-ekonomi di antara masyarakat. Dengan menilai kebutuhan dari kelompok-
kelompok SES yang lebih rendah, merumuskan pesan dan strategi komunikasi
terhadap kebutuhan dan kapasitas kelompok-kelompok ini, menanggulangi bias pro-
literacy, dan mengurangi jurang-jurang pemisah pengetahuan, maka upaya meraih
pendapatan sosial yang menguntungkan mungkin saja berhasil. Sehingga bila
produktivitas petani-petani miskin meningkat dan jurang pemisah kelas ekonomi-
sosial berkurang melalui strategi-strategi efektif sebagaimana outline di atas, besar
kemungkinan untuk dapat mencapai pembangunan yang selayaknya, bahkan dengan
ketiadaan perubahan-perubahan sosial-struktural pada tingkat makro.
contoh berikut menggambarkan tren yang berlaku dalam peningkatan isi hiburan pada
program-program televisi (Rogers, dalam Melkote1991).