Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan ekonomi dunia sampai saat ini cukup memberikan pengaruh


yang besar terhadap dinamika kehidupan Negara dan masyarakat secara
multidimensional. Perubahan tersebut di antaranya dipengaruhi oleh fokus
pembangunan yang berubah-ubah hingga pertumbuhan kesenjangan dan
ketimpangan sosial antar-negara, antar-daerah bahkan antar-masyarakat.
Perjalanan pembangunan di atas tidak terlepas dari perkembangan sejarah setelah
Perang Dunia II (World War II). Ada beberapa isu penting berkaitan dengan
hal setelah adanya PD II, yaitu isu pembangunan setelah PD II tersebut
kemudian melahirkan 3 produk sejarah diantaranya; (1) Munculnya kekuatan
baru di Eropa dan AS tampil sebagai kekuatan dominan akibat implikasi
“Marshal-Aid Plan”. (2) Kekuatan Blok Timur “komunisme”. (3) Lahirnya
Negara Dunia Ketiga (Negara Berkembang) (Yustika, 2013). NDK inilah yang
kemudian menjadi tempat perebutan pengaruh dan kekuasaan kedua belah pihak
baik Blok Barat maupun Blok Timur. NDK pada posisi tersebut mencari bentuk-
bentuk dan pola pembangunan untuk merancang pertumbuhan pembagunan di
negaranya.
Pengembangan komunitas (Community Development) didefinisikan sebagai
upaya membantu kelompok masyarakat agar memiliki suara dan pengaruh dalam
isu-isu yang menyangkut kehidupan mereka sehingga apa yang menjadi
kepentingan mereka lebih dapat terakomodir (Pitchford dan Henderson, 2008).
Batten (1974) beranggapan bahwa pengembangan komunitas mengupayakan dua
macam perubahan yang dapat memperbaiki keadaan komunitas: 1) memperbaiki
lingkungannya dengan menyediakan jasa-jasa penting di tingkat lokal, regional
maupun nasional seperti pembangunan klinik yang menyediakan jasa pelayanan
kesehatan dan sekolah-sekolah yang menyediakan jasa pendidikan, dan 2)
membuat perubahan dalam diri manusia sehingga kemampuan mereka
berkembang untuk memperbaiki keadaan sendiri misalnya dengan peningkatan
kapasitas untuk mengorganisir komunitasnya dalam memperjuangkan apa yang
menjadi kepentingannya.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 1


Partisipasi memiliki sejarah panjang dalam praktek pengembangan komunitas
namun itu dinamis baik dalam hal tujuannya maupun penerapannya (Hickey dan
Mohan, 2004; Cornwall, 2006). Misalnya pada tahun 1920-an partisipasi dalam
pengembangan komunitas diberikan kepada masyarakat lokal di wilayah jajahan
guna mempermudah Kerajaan Inggris dalam dalam memerintah wilayah tersebut
(Lugard, 1922, dalam Cornwall, 2006). Seiring perjalanan waktu, partisipasi
mengalami perubahan makna lagi. Oleh sebagian praktisi, pada tahun 1970-an
partisipasi dalam pengembangan komunitas dimaknai sebagai upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial dengan membebaskan masyarakat miskin dari
penindasannya para penguasa ekonomi (Hickey dan Mohan, 2004). Batten pada
tahun 1974 merumuskan bahwa tujuan pengembangan komunitas adalah
memperbaiki keadaan masyarakat dengan memprioritaskan pada pemberian
bantuan kepada mereka yang paling perlu, khususnya orang-orang miskin dan
underprivileged. Nampak kental nuansa filantropi pada pengembangan komunitas
di era ini. Kemudian pada tahun 1980an, partisipasi dalam pengembangan
komunitas sering diartikan sebagai partisipasi masyarakat dalam pembiayaan
proyek-proyek pembangunan (Cornwall, 2006).
Dalam sejarahnya, praktek-praktek partisipasi dalam pengembangan
komunitas sering mendapat kritikan karena berbagai masalah yang dimunculkan
atau karena pencapaiannya yang tidak sesuai dengan yang semula dijanjikan.
Praktek-praktek partisipasi pada tahun 1930an dituduh hanyalah selubung dari
upaya memperkuat posisi elit-elit lokal dan merugikan orang yang paling miskin
dan lemah (Cornwall, 2006) serta hanya menjadi strategi oleh administrasi
kolonial Inggris untuk memberi kepuasan sementara bagi masyarakat yang dijajah
tanpa memberi kekuasaan penuh (Cooke, 2004). Pengembangan komunitas secara
partisipatif juga kerap dituduh sebagai alat untuk menetralisir kritikan oleh
berbagai pihak terhadap berbagai proyek yang dijalankan lembaga-lembaga
keuangan global seperti Bank Dunia (Cooke, 2004). Kritikan lain terhadap
pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah bahwa pihak luar (outsiders)
memaknai perannya sebagai fasilitator secara dangkal, sehingga jika program
yang diinisiasi oleh outsiders itu gagal maka si outsiders menempatkan faktor
penyebab kegagalannya ada di pihak masyarakat lokal karena kurang menjalankan

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 2


partisipasi mereka, dan bukan kegagalan di pihak fasilitator (Henkel dan Stirrat,
2001, dalam Cornwall, 2006).
Kegagalan maupun penyalahgunaan pengembangan komunitas secara
partisipatif menjadi kerap terjadi karena memang partisipasi itu tidak mudah
untuk dijalankan (Batten, 1974; Williams, 2004). Ilustrasi sederhanya adalah
bahwa memberitahukan sebuah ide atau inovasi kepada kelompok masyarakat
akan jauh lebih mudah daripada mengajak kelompok masyarakat tersebut untuk
memikirkan, mendiskusikan, memutuskan, dan menindaklanjuti kebutuhan dan
kepentingan mereka (Batten, 1974). Dan ada terlalu banyak lembaga outsiders
yang menargetkan penyediaan jasa-jasa kepada masyarakat tanpa melihat apakah
jasa-jasa itu memang penting atau benar-benar membantu masyarakat (Batten
1974), dan tanpa dibarengi dengan proses mendasar untuk memberdayakan
masyarakat.
Implementasi dari penggunaan teori dan konsep pembangunan pada
waktu itu, justru menimbulkan berbagai hal di antaranya; (1) Kecenderungan
dunia internasional setelah PD II: munculnya Negara-negara Baru Merdeka). (2)
Pembangunan merupakan upaya yang sadar dan melembaga sehingga
pembangunan bermuatan nilai, yaitu keinginan untuk mewujudkan keadaan yang
lebih baik. (3) Pemahaman ini relatif dari waktu ke waktu, dan cenderung
subyektif atau berbedaantara satu bangsa dengan bangsa yang lain.Sebagai akibat
praktek pembangunan yang semula bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, ternyata kenyataan yang terjadi justru berbeda dengan kondisi yang
diharapkan, sehingga muncullah beberapa kritik terhadap hasil pembangunan,
di antaranya adalah:
Jobles Growth
 Pembangunan seringkali tidak memberikan ruang kesempatan
berusaha sehingga menghasilkan pertumbuhan lapangan
Ruthless Growth
kerja yang
Hasil Pembangunan
sedikit menguntungan
dan melahirkan sebagaian saja baru.
pengangguran-pengguran
 Praktek Kebijakan Trickle Down-Effect
Voicelless Growth
 Pertumbuhan tidak diikuti demokrasi dan empowerment
 (pemberdayaan)
Tekanan politik menutup voices (aspirasi)
 Mengganggu pertumbuhan ekonomi
Wanita diberi peran kecil dalam pembangunan ekonomi

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 3


Rootless Growth
 Pembangunan melenyapkan akar budaya minoritas karena
Futureless Growth
Kesewenangan mayoritas
 Generasi sekarang mengabaikan kebutuhan generasi mendatang
 Pengrusakan Hutan
 Polusi Sungai
 Pemborosan Sumber Daya Alam
(Sumber: Pezzy, 1992)

Keinginan untuk mewujudkan keadaan yang lebih baik merupakan suatu


pemahaman dimana keinginan ini cukup relatif dari waktu ke waktu, dan
cenderung subyektif atau kritik terhadap kondisi di atas, sangat dipengaruhi pada
proses pemaknaan ril pembangunan (the real meaning of development) yang
menurut Misra (2000), dan mengandung 3 hal lain meliputi; (1) Pembangunan
sebagai suatu proses bukan keadaan (2) Proses tersebut tidak bebas nilai (3) Nilai-
nilai tersebut mengacu kepada tempat di mana masyarakat berada, bukan pada
nilai-nilai dunia barat. (Di sinilah muncul pemikiran melakukan pembangunan
berbasis masyarakat). Kajian pembangunan bersifat “applied” and “multi-
approach”, dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Dalam pemanfaatannya berbagai
disiplin ilmu melampaui batas peralatan analisis murninya. Penalaran
terhadap masalah pembangunan akan menggunakan pendekatan kelembagaan
misalnya, atau pendekatan sosial lainnya. (2) Dalam menelaah masalah-masalah
pembangunan lebih banyak digunakan pendekatan multi-disiplin.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana paradigma pembangunan dan konsep pemberdayaan
masyarakat?
2. Apa saja nilai yang perlu dibangun dalam pengembangan masyarakat
(Community Development)?

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 4


BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Pembangunan dan Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Paradigma Pembangunan dan Konsep Pemberdayaan Masyarakat sepanjang


sejarah pembangunan di Dunia hingga kini terdapat 4 paradigma pembangunan,
meliputi:

1. Paradigma pertumbuhan ekonomi (bersifat top-down)


2. Paradigma pemenuhan kebutuhan hidup (bersifat top-down, kebijakan
trickle down effect).
3. Paradigma peningkatan kualitas manusia (bersifat bottom-up, konsep civil
society (masyarakat madani), pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan).
4. Paradigma peningkatan daya saing.

Pemberdayaan (empowerment) hadir sebagai proses panjang yang


disebabkan terjadinya “power disenfrenchiesement” atau “dispowerment” yaitu
peniadaan power pada sebagaian masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak
memiliki akses yang memadai terhadap asset produktif yang umumnya dikuasai
para pemilik “power”. Pada prinsipnya tujuan pemberdayaan adalah:

1) Melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan


2) Memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan
(Kartasasmita, 1999: 194)
Beberapa definisi tentang Pemberdayaan Masyarakat di antaranya sebagai
berikut:

(1) Upaya penyediaan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan


keterampilan bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilannya
mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam kegiatan yang berdampak
terhadap kehidupan masyarakat di rnasa yang akan datang (Ife, 1995 : 182)
(2) Suatu konsep alternatif pembangunan pada intinya memberi tekanan
pada otonomi pengambilan keputusan dair suatu kelompok masyarakat

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 5


yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui
partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman
langsung” (Friedmann, 1996: 145)
(3) Kartasasmita (1996: 141) mengatakan bahwa memberdayakan
masyarakat berarti meningkatkan kemampuan masyarakat dengan cara
mengembangkan potensi-potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan harkat dan martabat seluruh lapisan masyarakat atau
dengan kata lain memampukan dan memandirikan masyarakat dengan
menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
(4) Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, tanggung jawab
adalah bagian pokok dan upaya pemberdayaan.
Selama ini pemberdayaan masyarakat seringkali implementasinya
dilaksanakan dalam arti sempit, kadang hanya bersifat charity (sukarela) dan
bentuk bantuan. Akibatnya, pemberdayaan hanya terjadi sekali dan tidak
berkelanjutan serta memiliki ketergantungan yang tinggi. Oleh sebab itu, baik
bagi praktisi, penentu kebijakan maupun elemen masyarakat perlu memahami
prinsip dasar dalam pemberdayaan masyarakat.

Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat tersebut meliputi:

1) Prinsip kerakyatan, pembangunan diutamakan bagi sebesar-besarnya


kesejahteraan rakyat bukan orang-perorang,
2) Prinsip keswadayaan, bimbingan dan dukungan kemudahan yang
diberikan mampu menumbuhkan keswadayaan, kemandirian, bukan
ketergantungan,
3) Prinsip kemitraan, pelaku merupakan mitra kerja pembangunan yang
berperan aktif
4) dalam pengambilan keputusan dari seluruh proses kegiatan pembangunan,
5) Prinsip bertahap dan berkelanjutan, pembangunan dilaksanakan sesuai
potensi dan kemampuan masyarakat serta memperhatikan kelestarian
lingkungan.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 6


Implementasi pemberdayaan masyarakat secara praktis dapat dilhat dari
berbagai segi kepentingan, sehingga perlu ada semacam pembagian peran (role)
antar setiap elemen dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat,
sehingga akan tampak jelas prioritas pemberdayaan masyarakat di setiap elemen
tersebut sebagai mana tertuang dalam gambar di bawah ini.

Dengan demikian, prinsip dasar pemberdayaan masyarakat dapat


disimpulkan, sebagai berikut:

(a) Pemberdayaan masyarakat hendaknya bukan membuat masyarakat


menjadi tergantung pada program-program pemberian (charity).
(b) Akan tetapi, setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha
sendiri.
Hasil akhir: memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk
memajukan kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan (sustainable).

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 7


B. Pemahaman Tentang Pengembangan Komunitas.

Pengembangan Komunitas identik dengan kata berdaya dimana dalam kamus


bahasa ditafsirkan sebagai “berkontribusi waktu, tenaga, usaha melalui kegiatan-
kegiatan berkenaan dengan perlindungan hukum”, “memberikan seseorang atau
sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan sesuatu”, “menyediakan seseorang
dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu” atau
“membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak”. Definisi pemberdayaan sendiri
masih dalam perdebatan teoritik. Dalam pembangunan, konsep pemberdayaan
adalah konsep yang paling sering diplesetkan (disalah-artikan) karediri ke arah
menyangkut gangguan pada para pemegang kekuasaan saat ini (baik nasional
maupun internasional), para pihak yang tidak berdaya (powerlessness) serta
perubahan sosial. Pengembangan komunitas (Community Development)
didefinisikan sebagai upaya membantu kelompok masyarakat agar memiliki suara
dan pengaruh dalam isu-isu yang menyangkut kehidupan mereka sehingga apa
yang menjadi kepentingan mereka lebih dapat terakomodir (Pitchford dan
Henderson, 2008). Batten (1974) beranggapan bahwa pengembangan komunitas
mengupayakan dua macam perubahan yang dapat memperbaiki keadaan
komunitas: 1) memperbaiki lingkungannya dengan menyediakan jasa-jasa penting
di tingkat lokal, regional maupun nasional seperti pembangunan klinik yang
menyediakan jasa pelayanan kesehatan dan sekolah-sekolah yang menyediakan
jasa pendidikan, dan 2) membuat perubahan dalam diri manusia sehingga
kemampuan mereka berkembang untuk memperbaiki keadaan sendiri misalnya
dengan peningkatan kapasitas untuk mengorganisir komunitasnya dalam
memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya.
Dalam sejarahnya, praktek-praktek partisipasi dalam pengembangan
komunitas sering mendapat kritikan karena berbagai masalah yang dimunculkan
atau karena pencapaiannya yang tidak sesuai dengan yang semula dijanjikan.
Praktek-praktek partisipasi pada tahun 1930an dituduh hanyalah selubung dari
upaya memperkuat posisi elit-elit lokal dan merugikan orang yang paling miskin
dan lemah (Cornwall, 2006) serta hanya menjadi strategi oleh administrasi
kolonial Inggris untuk memberi kepuasan sementara bagi masyarakat yang dijajah
tanpa memberi kekuasaan penuh (Cooke, 2004). Konsep partisipasi semacam ini

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 8


lantas “dipinjam” dan dipraktekkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk
mengendalikan suku-suku Indian pada tahun 1940-an (Cooke, 2004). Pada tahun
1990-an, ketika isu kesetaraan gender semakin mengemuka, kritikan dialamatkan
pada posisi perempuan yang seringkali tetap tertindas dalam kegiatan
pengembangan komunitas secara partisipatif (Cornwall, 2006). Pengembangan
komunitas secara partisipatif juga kerap dituduh sebagai alat untuk menetralisir
kritikan oleh berbagai pihak terhadap berbagai proyek yang dijalankan lembaga-
lembaga keuangan global seperti Bank Dunia (Cooke, 2004). Kritikan lain
terhadap pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah bahwa pihak luar
(outsiders) memaknai perannya sebagai fasilitator secara dangkal, sehingga jika
program yang diinisiasi oleh outsiders itu gagal maka si outsiders menempatkan
faktor penyebab kegagalannya ada di pihak masyarakat lokal karena kurang
menjalankan partisipasi mereka, dan bukan kegagalan di pihak fasilitator (Henkel
dan Stirrat, 2001, dalam Cornwall, 2006).
Kegagalan maupun penyalahgunaan pengembangan komunitas secara
partisipatif menjadi kerap terjadi karena memang partisipasi itu tidak mudah
untuk dijalankan (Batten, 1974; Williams, 2004). Ilustrasi sederhanya adalah
bahwa memberitahukan sebuah ide atau inovasi kepada kelompok masyarakat
akan jauh lebih mudah daripada mengajak kelompok masyarakat tersebut untuk
memikirkan, mendiskusikan, memutuskan, dan menindaklanjuti kebutuhan dan
kepentingan mereka (Batten, 1974). Dan ada terlalu banyak lembaga outsiders
yang menargetkan penyediaan jasa-jasa kepada masyarakat tanpa melihat apakah
jasa-jasa itu memang penting atau benar-benar membantu masyarakat (Batten
1974), dan tanpa dibarengi dengan proses mendasar untuk memberdayakan
masyrakat agar mereka
Saat ini ada dua pemegang kekuasaan pada sistem kehidupan kita saat ini
yakni: (1) Kelompok yang menguasai kekayaaan alam atau keuangan dan (2)
Kelompok yang menguasai ilmu pengetahuan. Di negara-negara dunia ketiga
seperti Indonesia, kedua kekuasaan ini dipegang oleh segelintir orang. Pada
pandangan semacam ini, pemberdayaan adalah upaya membongkar
monopoli kekuasaan politik dan ekonomi yang dipegang oleh segelintir orang dan
dialihkan kepada rakyat kebanyakan. Dan, mendorong pemerintahan yang lebih

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 9


bertanggung jawab kepada rakyat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
terjadi distribusi aset dan kekayaan yang lebih adil. Kelompok kedua menyatakan
kapitalisme dan sosialisme telah gagal berkenaan dengan isu pengentasan
kemiskinan. Para pemimpin lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan
nasional tidak memiliki jawaban bagaimana mengentaskan kemiskinan.
Kelompok ini menyatakan harus ada perubahan kepemimpinan dengan
memanfaatkan kepemimpinan masyarakat sipil untuk menemukan jalan ketiga
(bukan kapitalisme ataupun sosialisme).
Kedua kelompok pemikir di muka tetap mendudukan pemberdayaan
sebagai sesuatu yang bersifat dari atas (top down). Karena mereka tetap percaya
yang memiliki sumberdaya adalah mereka. Untuk itu mendudukan orang-orang
baik di dalam lembaga-lembaga yang berkuasa (seperti Bank Dunia, Presiden,
DPR, DPRD, Bupati/Walikota) bisa mengubah keadaan. Kelompok ini sering
disebut kelompok ilmuwan liberal atau progresif.
Pemberdayaan dalam kacamata kelompok ini lebih cocok ditafsirkan
sebagai bagaimana mengelola kekuasaan (power). Kelompok ketiga yang
sering dikenal sebagai kelompok reformis. Kelompok ini percaya bahwa
kekuasaan tidak pernah diberikan tapi harus direbut. Ini adalah pelajaran dari
sejarah. Jadi,pemberdayaan adalah tindakan-tindak aktif untuk merebut kembali
kekuasaan atas politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekayaan alam. Karena itu
konsep empowerment atau pemberdayaan dianggap sebuah konsep yang
kontradiksi karena pemberdayaan han ya bisa terjadi bila rakyat melakukan
sendiri agar bebas dari penindasan self-empowerment).
Beberapa pokok dalam konsep mengenai pengembangan komunitas, antara lain :

1) Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat


mencukupi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan-
kebutuhan mereka sendiri.
2) Pembangunan berkelanjutan memerlukan perubahan kerangka
hukum dan kelembagaan.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 10


3) Hukum yang diperlukan adalah hukum yang didukung oleh
masyarakat sehingga menimbulkan partisipasi masyarakat yang lebih
besar.
4) Cara yang terbaik adalah melalui:
a. Desentralisasi pengelolaan sumber daya yang menjadi
penopang masyarakat setempat.
b. Pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai
penggunaan sumber daya tersebut.
5) Selain itu perlu juga didorong inisiatif-inisiatif masyarakat dan pemberian
wewenang pada organisasi-organisasi masyarakat serta m emperkokoh
demokrasi setempat.
Berbagai definsi tentang community development, cukup banyak
dikemukakan oleh para pakar. Secara universal badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), merumuskan pula tentang definisi “Community Development”
sebagai berikut; “Suatu proses yang merupakan usaha masyarakat sendiri yang
diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial,
ekonomi dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam
kehidupan nasional dan mendorong kontribusi komunitas yang lebih optimal bagi
kemajuan nasional. Berdasarkan definisi tersebut, juga diutarakan beberapa
prinsip-prinsip umum Community Development, meliputi:

1) Fokus perhatian ditujukan pada komunitas sebagai suatu kebulatan.


2) Berorientasi pada kebutuhan dan permasalahan komunitas.
3) Mengutamakan prakarsa, partisipasi, dan swadaya masyarakat.
4) Keberlanjutan (sustainable) dan kemandirian.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, ada beberapa prasyarat yang harus dilakukan
dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, di antaranya adalah:

1) Pemahaman karakteristik masyarakat.


2) Perumusan modal social (social capital).

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 11


3) Kemampuan membuka jaringan antar-masyarakat, pemerintah, dunia
usaha dan industri dalam melaksanakan Community Development.

Gambar 1. Identifikasi keadaan masyarakat dalam menentukan pengembangan komunitas (Veriasa


dan Waite, 2018)

Berdasarkan polarisasi prasyarat awal di atas diharapkan akan mendapatkan


informasi dari pemahaman karakteristik masyarakat di antaranya adalah:

1) Identifikasi masalah dan kebutuhan komunitas.

2) Kesepakatan sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.

Menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang disepakati.

3) Mampu bekerja sama secara rasional dalam mencapai sasaran.

Dengan demikian, terjadi sinergitas antara elemen pemerintah, masyarakat


dan dunia usaha/industri dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
(Community Development) sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 12


Sinergitas elemen dasar dalam Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah
sebagai Fasilitator

Gambar 2. sinergi antar komponen dalam pengembangan komunitas (Veriasa dan Waite, 2018).

Permasalahan dalam pemberdayaan masyarakat, meliputi:

1) Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program


pembangunan kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top-down).
Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat
pusat (atas) dan dilaksanakan oleh instansi propinsi dan kabupaten.
2) Masyarakat sering kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan
untuk memberi masukan. Hal ini biasanya disebabkan adanya anggapan
untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan bagi masyarakat,
masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan
merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya.
3) Dalam visi ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan
bantuan dari luar.
Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering tidak
berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat, karena masyarakat
kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap
program dan keberhasilannya. Oleh karena itu, pola pendekatan dalam
pemberdayaan masyarakat dalam konteks ini adalah:

4) Dari kondisi ini, pendekatan dikembangkan dengan menempatkan


masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 13


5) Pendekatan tersebut lebih bersifat memberdayakan masyarakat,
yaitu model Pemberdayaan Masyarakat.
6) Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan
pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan
berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik.
7) Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya
setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia.
8) Pemberdayaan masyarakat kerapkali dilakukan melalui pendekatan
kelompok di mana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman
dan pengetahuannya. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatan-
kegiatan khusus yang sedang dilaksanakan dan juga ada kegiatan lainnya.
Masalah penanggulangan kemiskinan dalam permerdayaan masyarakat arah
pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah:

1) Pengentasan kemiskinan struktural, keterpurukan, isolasi, ketidak


berdayaan, ketidakadilan dll.
2) Peningkatan kegiatan ekonomi produktif, kesetaraan jenis, Keluarga
berencana mandiri.
3) Peningkatan kualitas ke Daya Manusia, status kesehatan dan gizi serta etos
kerja.
4) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan sosial forestry
dan padat karya.
Isu strategis dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya di wilayah
perkotaan, di antaranya adalah:

1) Permasalahan Lingkup Eksternal Kota: (keterkaitan kota dengan kota-kota


lainnya atau dengan kawasan/wilayah yang lebih luas, termasuk
keterkaitannya dengan pedesaan, di antaranya meliputi:
a. Ketidakseimbangan pertumbuhan antara kawasan kota besar,
metropolitan dengan kota dan kabupaten menengah hingga kecil.
b. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 14


c. Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh
d. Banyaknya wilayah yang masih terpuruk dalam pembangunan yang
biasa disebut kawasan 3T.
2) Permasalahan Internal Kota: permasalahan-permasalahan yang terjadi
di dalam kota dan harus dihadapi oleh kota Itu.
a. Kemiskinan di Perkotaan ditandai banyaknya pengemis dan
gelandangan.
b. Kualitas lingkungan hidup perkotaan yang banyak teridentifikasi
buruk.
c. Keamanan dan ketertiban kota yang tidak pasti.
d. Kapasitas daerah dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan
yang berbeda.
Secara sederhana, kemiskinan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1) Kemiskinan yang parah (chronic poverty) yang terjadi secara terus
menerus disebut sebagai kemiskinan struktural (Structural Porverty),
kemiskinan ini membutuhkan penanganan yang penuh dari pemerintah serta
terpadu secara lintas sektoral dan berkelanjutan.
2) Kemiskinan Sementara (Temporary Poverty) ditandai dengan penurunan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara temporal sebagai akibat
dari adanya perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis, bencana alam
dan bencana sosial, seperti korban konflik sosial. Kemiskinan sementara ini
apabila tidak ditangani serius dapat menjadi kemiskinan yang parah.
Kedua bentuk kemiskinan tersebut, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik (1) faktor internal kulturtal yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat
ataupun (2) faktor eksternal struktural yang menjadi bagian dari sumber
kemiskinan. Faktor internal kultural dari sumber kemiskinan tersebut, meliputi:

a) Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (sandang, papan,


pangan, air bersih, kesehatan dasar, dan pendidikan dasar)
b) Ketidakmampuan dalam menampilkan peranan sosial (tidak mampu
melaksanakan tanggungjawab sebagai pencari nafkah, sebagai orangtua,
dan sebagai warga masyarakat, dalam suatu lingkungan komunitas)

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 15


c) Ketidakmampuan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang
dihadapinya (tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan
lapangan kerja/menganggur, kurang motivasi, kurang percaya diri,
kurang mempunyai informasi)
Sementara sumber kemiskinan sebagai akibat dari faktor eksternal struktural,
adalah:

1) Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin


2) Tidak tersedianya pelayanan sosial dasar
3) Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah
4) Terbatasnya lapangan pekerjaan
5) Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan
6) Kesenjangan dan ketidakadilan sosial
7) Dampak pembangunan yang berorientasi kapitalis
C. Nilai yang Perlu Dibangun dalam Pengembangan Komunitas.
Di dalam pengembangan komunitas, sejumlah nilai-nilai sosial yang
menjadi dasar bagi praktek-praktek pengembangan komunitas telah diidentifikasi.
Nilai-nilai ini penting untuk dipahami terutama bagi para pendamping agar
kegiatan pengembangan komunitas mencapai tujuan yang diharapkan.

1. Partisipasi.

Ketika memobilisasi komunitas di dalam kegiatan pengembangan


komunitas, para pelaku pengembangan komunitas semestinya sudah jelas
tentang partisipasi seperti apa yang seharusnya terjadi. Partisipasi tidak sama
dengan keikutsertaan (involve). Di dalam partisipasi terdapat kekuatan
mengambil keputusan. Para pelaku pengembangan komunitas seringkali
terjebak dengan ketokohan sebagai representasi komunitas, sehingga aspirasi
yang diharapkan muncul dari komunitas sasaran hampir tidak pernah tercapai.
Oleh sebab itu, partisipasi harus dibangun dan dikembangkan mulai dari
lapisan masyarakat terendah. Partisipasi di dalam demokrasi dapat membantu
perkembangan di dalam melawan sikap apatisme, frustasi dan kebencian yang
timbul akibat perasaan kehilangan kuasa (powerlessness) dan penindasan

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 16


(oppression) yang terjadi di hadapan struktur kekuasaan yang tidak responsif
(Campfens, 1997).

2. Pemberdayaan (empowerment)

Banyak orang sering memaknai pemberdayaan dalam pemahaman yang


sempit. Seringkali ketika mereka melakukan peningkatan kapasitas komunitas
seperti ketrampilan, mereka menyebutnya pemberdayaan. Ketika komunitas
terlibat dalam kegiatan atau program, mereka menganggapnya sebagai
pemberdayaan. Dan yang lebih parah lagi adalah ketika mereka memberi
bantuan (charity), itu pun mereka akui sebagai pemberdayaan.

Jika pemberdayaan adalah jantung dari praktek masyarakat yang kritis,


maka daya (kekuatan) dan pemanfaatannya adalah inti dari pemberdayaan.
Hanya melalui keterlibatan dengan struktur dan proses kekuatan sosial,
politik dan ekonomi maka masyarakat dapat secara efektif bekerja untuk
menghadapi kelemahan, pengabaian dan penindasan yang mereka alami.

3. Kepemilikan (Ownership)

Di banyak tempat, kegiatan pengembangan komunitas tidak berhasil


karena persoalan kepemilikan. Kegiatan pengembangan komunitas seringkali
melibatkan komunitas hanya sebatas keikutsertaan dan “keproyekan”
sehingga ketika proyek selesai, kegiatan pengembangan komunitas juga
selesai tanpa membuat komunitas merasa perlu untuk meneruskannya.

Kegiatan pengembangan komunitas seharusnya mampu menciptakan


kesadaran kritis akan sebuah perubahan pandangan bahwa kegiatan-kegiatan
pengembangan komunitas itu adalah milik komunitas sendiri dan untuk masa
depan mereka sehingga mereka bertanggung jawab penuh terhadap
keberhasilannya.

Upaya-upaya membangun kepemilikan dapat dibangun dengan


mengedepankan kapasitas dan inisiatif dari komunitas lokal untuk
mengidentifikasi kebutuhan, permasalahan dan perencanaan serta
mengeksekusi program aksi yang tepat; yaitu, tujuan program harus
membantu perkembangan kepercayaan diri dari kepemimpinan komunitas,

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 17


meningkatkan kompetensi, dan mengurangi dependensi pada intervensi
pemerintah, lembaga-lembaga non-profit dan profesional (Campfens, 1997).

4. Modal sosial (Social Capital)

Uphoff di dalam Yustika (2013:140) mendefinisikan modal sosial


sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya
kelembagaan dan aset tak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku
kerjasama. Modal sosial baru terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang
lain yang dipandu oleh struktur sosial (Yustika, 2013). Kepercayaan (trust)
adalah basis yang membentuk modal sosial. Kepercayaan akan berkembang
ketika individu-individu saling percaya dan berjaringan satu dengan yang lain
di dalam sebuah institusi (Svendsen, 2009). Modal sosial yang dibangun oleh
kepercayaan diantara individu di dalam komunitas akan berkontribusi besar
terhadap keberhasilan aksi kolektif. Integrasi komunitas seharusnya
dipromosikan di dalam dua rangkaian hubungan: “relasi sosial” diantara
keberagaman kelompok didalam komunitas dengan “relasi struktural”
diantara lembaga-lembaga yang terlibat didalam pengembangan komunitas
(Phillips dan Pittman, 2009).

D. Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat melalui Simpan Pinjam

Dalam program pemberdayaan masyarakat di Palembang usaha simpan


pinjam dapat memenuhi kebutuhan warga yang membutuhkan, pinjaman yang
dapat diberikan oleh UPK kepada warga berkisar dari Rp. 500.000,- sampai Rp.
3.000.000,- pinjaman tersebut sangat membantu selain dapat diangsur tiap
bulannya dengan jasa/bunga sebesar 1,5 %, apabila telah lewat 1 tahun, jika
mengalami keterlambatan dikenakan sangsi wilayah, berbeda dengan peminjaman
di renternir, dengan bunga sebesar 30%-50% dalam setahun, apabila tidak dapat
melunasi dalam jangka waktu setahun, maka dikenakan bunga sebesar 30%-50%
lagi. Masyarakat dapat turut berpereran berperan dalam pembagunan melalui
pemberdayaan masyarakat, relawan bersedia mengikuti pelatihan pelatihan
walaupun tanpa ada honor. Keberadaan Lembaga Keswadayaan Masyarakat dan
Unit Unit Pengelola diakui oleh masyarakat dapat bermitra dengan pelaku
pembangunan lokal. Hal tersebut terlihat dari keinginan warga untuk

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 18


berpartisipasi didalamnya. Terbentuk lembaga dengan salah satu gugus tugas Unit
Pengelola Keuangan yang terfokus kepada usaha simpan pinjam yang telah
memberikan bantuan kepada masyarakat, warga memanfaatkan usaha simpan
pinjam tersebut untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam
mengembangkan usaha masyarakat. Sehingga pengelolaan keuangan dan simpan
pinjam dapat berjalan. Terbentuknya lembaga yang aspiratif yang di pilih dan
dikelola oleh masyarakat setempat, dengan latar belakang pendidikan tidak terlalu
tinggi setelah di bekali dengan capacity building, dan ketrampilan warga mampu
mengelola kegiatan perekonomian simpan pinjam. Telah tersusunnya program
kegiatan dengan salah satu kegiatan pemberdayaan ekonomi simpan pinjam yang
diharapkan dapat terus berjalan yang di review dan dilaporkan pertanggung
jawabannya kepada masyarakat setiap tahun dalam dalam rembug masyarakat.
(Iskandar, 2014)

Belajar dari keberhasilan Grameen Bank yang kemudian diadaptasi oleh


Dana Kemitraan Depsos RI dan Pinbuk, ternyata dengan memanfaatkan lembaga-
lembaga mikro berhasil dalam menggulirkan modal usaha atau kredit kepada
keluarga miskin yang telah tersebar di 19 Propinsi (di Sumatra Utara saja,
misalnya dari dana kemitraan sebesar Rp 750 juta telah berkembang Rp
1,144milyar). Oleh karenanya, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga ekonomi
mikro yang ada yang lebih profesional menjadikan orang miskin menjadi sadar
bahwa mereka sendirilah yang mampu mengubah nasibnya. (Taufiq Dkk, 2011).

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 19


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Untuk melakukan penanganan dan penanggulangan kemiskinan


tersebut, ada dua indikator keberhasilan yang dapat dipergunakan
penganggulangan kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu:

1) Indikator Ekonomi dapat dilihat dari adanya peningkatan kualitas hidup


masyarakat secara berkelanjuta dan terjadinya kemandirian masyarakat
dalam kehidupannya serta adanya pertambahan secara progresif
keberadaan prasarana dan sarana fisik dan non-fisik.
2) Indikator Sosial dapat dilihat dari tidak munculnya problem sosial yang
signifikan sehingga tercipta hubungan yang baik antar masyarakat,
perusahaan dan Pemerintah Daerah; dan meningkatnya performa sektor
ekonomi dan sosial mata masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Upaya penangangan kemiskinan dalam paradigma pemberdayaan
masyarakat yaitu dengan mengembangan prisip dasar pengembangan komunitas
yang meliputi:

1) Demokratis, yaitu dimana dsetiap pilihan kegiatan berdasarkan


musyawarah yang disesuaikan dengan problem dan kebutuhan
masyarakat.
2) Transparan, berarti pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka
sehingga dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan informasi
asimetris penyelenggaraan dalam status minimal.
3) Akuntabilitas, dimana pengelolaan kegiatan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dan finansial.
4) Responsif, yaitu pemilihan kegiatan harus sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat.
Prinsip pengembangan komunitas tersebut akan terlihat tingkat
keberhasilannya apabila dalam prakteknya tetap mengedepankan aspek
”kemandirian masyarakat” dan aspek keberlanjutan. Oleh sebab itu, sangatlah
mudah untuk menilai apakah sebuah program penanganan kemiskinan itu

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 20


dikatakan berhasil atau tidak, minimal dapat dilihat apakah program tersebut
justru memberdayakan masyarakat atau tidak, menumbuhkan kemandirian
masyarakat atau tidak, dan apakah sebuah program masih tetap berlanjut dan
tidak bergantung pada bantuan atau sebuah program yang bersifat serimonial atau
temporer. Harapannya, problem-problem yang dipaparkan menjadi telaah untuk
menyelami makna pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan
kemiskinan melalui pengembangan komunitas.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 21


DAFTAR RUJUKAN

Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. Third Edition. London:


Prentice-Hall International.
Batten, T.R. 1974. The major issues and future direction of community
development. Community Development Journal, 9(2): 96–103.
Campfens, Hubert (Eds). 1997. Community Development Around The World:
Practice, Theory, Research, Training. University of Toronto Press. Toronto,
Canada
Conway, G.R. 1984. What is an ecosystem and why is it worthy
of study. In An Introduction to Human Ecology Research on
Agricultural Systems in Southeast Asia. Edited by A. Terry
Rambo and P.E Sajise. University of The Philippines at Los
Banos, Philippines. P: 25-38.
Cornwall, A. 2006. Hirtorical perspectives on participation in development.
Commonwealth & Comparative Politics 44(1): 62-83.
Haeruman, H. 1996. Pembangunan daerah dan peluang pemerataan
pembangunan antar daerah. Prisma Edisi Khusus. Tahun XXV. P: 41-48.
Hickey, S dan G Mohan. 2004. Towards participation as transformation: critical
themes and challenges. Dalam Hickey, S dan G Mohan (eds). 2004.
Participation: from tyranny to transformation? Exploring new approaches to
participation in development. London: Zed Books
Huisman, M.I.M. 1994. Sustainable land development in the Netherlands: the
search for concept. In Sustainable Land Use Planning. Proceeding of an
International Workshop, 2-4 September 1992, Wageningen, Netherlands.
Elsevier, Amsterdam. p:55-67.
Iskandar, Hatta. 2014. Analisis Penanggulangan Kemiskinan melalui
Pemberdayaan Masyarakat di Kota Palembang. Jurnal Kependudukan
Sriwijaya, Vol.2 (2014), terbit 2017. http://ejournal-
pps.unsri.ac.id/index.php/dejos/article/view/9.
Kartasasmita, Ginandjar. 2004. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta
Ledwith, Margaret. 2011. Community Development: A Critical Approach. Second
Edition. The policy Press. Bristol. UK

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 22


Pitchford, M dan P Henderson. 2008. Introduction. Making spaces for community
development. Bristol:The Policy Press.
Pezzey, J. 1992. Sustainable Development Concept, An Economic Analysis. The
World Bank, Washington DC.
Svendsen, Gert Tinggaard dan Gunnar Lind Haase Svendsen. 2009. Handbook of
Social Capital: The Troika of Sociology, Political Science and Economics. UK:
Edward Elgar Publishing Limited.
Taufiq, Ahmad Dkk. 2010. Upaya Penanggulangan Kemiskinan Berbasis
Penanggulangan Masyarakat. E-Jurnal Politika: Jurnal Ilmu Politik Universitas
Diponegoro Vol 1. No.1. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/
download/4881/4427
Veriasa, Thomas Oni dan Waite, Mashuri. 2018. Antara Pengembangan
Komunitas, Partisipasi, Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Modul.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan
Kebijakan. Jakarta: Erlangga.

PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN BERBASIS KOMUNITAS 23

Anda mungkin juga menyukai