1. Latar Belakang
Paradigma merupakan cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif) dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat
asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam
sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual. Sedangkan
pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana. (Kartasasmita, 1997).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, paradigma pembangunan dapat
didefinisikan sebagai cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan baik pembangunan dalam arti
sebagai proses maupun sebagai metode yang bertujuan untuk mencapai
peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesejahteraan rakyat. Teori
pembangunan pun dalam perkembangannya semakin kompleks yang tidak terikat
pada satu disiplin ilmu. (Bjorn, 1982).
Adapun yang menjadi tujuan dari pembangunan antara lain : a). Peningkatan
standar hidup (levels of living); b). Penciptaan berbagai kondisi yang memungkinkan
tumbuhnya rasa percaya diri (self-esteem) seseorang dan c). Peningkatan
kebebasan (freedom/democracy) setiap orang. (Todaro, 2000)
Paradigma pembangunan selalu dan harus berubah dari waktu ke waktu,
sesuai dengan tuntutan jaman dan permasalahan. Terjadinya krisis yang besar
sering dan memaksakan munculnya paradigma baru. Tanpa paradigma baru, krisis
yang sama dan lebih besar akan terjadi lagi.
Dalam sejarahnya Indonesia telah mengimplementasikan beberapa
paradigma pembangunan yang ada di dunia dengan ciri khasnya masing-masing,
mulai dari paradigma liberal yang erat kaitannya dengan modernisasi dan paradigma
Marxis dengan konsep pemberdayaannya.
Paradigma pembangunan yang dijalankan tersebut merupakan proses
adaptasi terhadap spirit zaman yang berkembang. Di era yang serba terbuka ini, di
mana masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah maka paradigma pembangunan yang paling sesuai
adalah sebuah paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai salah satu pelaku
dalam setiap proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi hanya dipandang sebagai
objek, pandangan kuno bahwa masyarakat tidak mengerti apa-apa terkait dengan
pembangunan merupakan pandangan yang sudah usang. Masyarakat memiliki ciri
khasnya masing-masing dan kemampuan dalam beradaptasi terhadap
lingkungannya (swatata) yang merupakan sebuah potensi besar atau modal dalam
proses pelaksanaan pembangunan ke depan.
PEMBAHASAN
A. Paradigma Modernisasi : Alat Ukur Keberhasilan Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu perubahan yang direncanakan secara
sistematis terhadap suatu negara atau bangsa. Istilah pembangunan ini dicetuskan
pertama kali oleh Presiden Amerika Serikat saat itu Hendry Truman pada tahun
1950-an saat mengumpulkan para ilmuwan sosial setelah terjadinya Perang Dunia
ke II. Saat itu Amerika Serikat merasa berperan dalam hal perbaikan dan akselerasi
negara berkembang dan juga negara-negara korban perang. Semenjak itulah istilah
pembangunan terus berkembang. Pada tahun 1946/1947 pemerintah Amerika
Serikat membuat kebijakan program ekonomi yang dikenal dengan Rencana
Marshall atau Marshall Plan. Program ekonomi skala besar ini memiliki tujuan untuk
membantu negara-negara Eropa pasca perang dan juga negara berkembang untuk
memperbaiki keadaan ekonomi negaranya. Saat itu pemerintah AS membentuk 2
(dua) lembaga yang bertugas dalam membantu negara-negara Eropa dan negara
berkembang yaitu World Bank dan International Monetary Funds (IMF).
Masalah yang mendasar dalam pembangunan adalah adanya ketertinggalan
dan keterbelakangan suatu masyarakat. Ketertinggalan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain tatanan yang ada dan berkembang selama ini di dalam
suatu masyarakat, juga nilai-nilai atau norma yang dianut yang biasanya disebut
dengan tradisionalisme. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan dan
keterbelakangan itu adalah dengan melakukan modernisasi.
Modernisasi mengandung 3 makna, yang pertama makna yang sangat umum
meliputi seluruh perubahan sosial yang progresif dimana masyarakat bergerak maju.
Sedangkan yang kedua bermakna historis menyangkut transformasi sosial, politik,
ekonomi, kultural dan mental yang dialami Barat sejak abad ke-16 dan mencapai
puncaknya di abad 19 dan 20. Makna yang kedua ini sering disebut dengan
modernitas yang meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi,
birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, individualisme dan motivasi untuk
berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan sains. Makna modernisasi yang ketiga
paling khusus dan hanya mengacu pada masyarakat terbelakang atau tertinggal dan
berupaya untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat yang lebih maju terlebih
dahulu (Sztompka, 1993: 149).
Salah satu tokoh penganut paham modernisasi adalah Walt Rostow. Peneliti
kelahiran Rusia ini telah melakukan penelitian tentang tahapan perkembangan
ekonomi negara maju yang disampaikannya dalam sebuah buku The Stage of
Economic Development dengan subjudul A Non-Communist Manifesto.
Penerapan teori Rostow baru dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada
masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1970an. Pada saat itu dikenal
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun yang dibagi
menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Penerapan paradigma modernisasi sempat berhasil diterapkan di Indonesia
yaitu dengan keberhasilan swasembada beras sekitar tahun 1984. Selain
swasembada beras, perekonomian Indonesia juga sempat meningkat saat itu
Pendapatan nasional
Pertumbuhan ekonomi
Pendapatan perkapita
Distribusi pendapatan nasional
Kemiskinan
Kesehatan masyarakat
Pendidikan masyarakat
Produktivitas masyarakat
Pertumbuhan penduduk
Pengangguran dan setengah pengangguran.
sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
Contoh kasus pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada kasus
pengelolaan hutan di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Konawe Selatan
memiliki potensi hutan jati seluas 38.959 ha yang tersebar pada empat kecamatan
dan 46 desa. Masalah utama pengelolaan hutan pada tahun 1990-an adalah illegal
logging yang mengancam kelestarian hutan. Sehingga pada tahun 2002
diperkenalkanlah program Social Forestry (SF) yang intinya adalah melibatkan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan. Social Forestry merupakan suatu alat
pendekatan dalam mengatasi konflik yang terkait dengan pengelolaan hutan yang
ada di daerah.
Pelibatan masyarakat ini antara lain dalam hal pembuatan peta partisipatif
menggantikan peta kawasan sebelumnya yang bertujuan untuk mengatasi konflik
dalam hal penentuan batas area kelola. Pemetaan partisipatif ini didukung oleh
JICA-Dephut yang kemudian melahirkan peta kelola kawasan untuk setiap kelompok
dan dikompilasi oleh BPDAS Sampara.
Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat maka terjadi keberlanjutan
(sustainability) yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek sektoral karena adanya
ownership masyarakat. Selain itu pemberdayaan masyarakat mendorong terjadinya
internalisasi pembangunan untuk masyarakat miskin dan marjinal dalam penciptaan
lapangan kerja. Partisipasi penduduk miskin dalam kegiatan pembangunan pun
akan dapat diperoleh sehingga mendorong pembentukan modal sosial serta tata
pengelolaan yang baik (good governance).
C. Kemandirian Lokal: Menuju Indonesia yang Mandiri dan Berswatata
Melihat beberapa hal tersebut di atas, pembangunan di Indonesia sejatinya
merupakan penerapan multiparadigma. Pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari paradigma
modernisasi perlu diterapkan di Indonesia karena isu lingkungan telah menjadi isu di
berbagai negara. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam pembangunan mutlak
dilakukan sebagai bentuk dari pemberdayaan masyarakat. Masyarakat bukan hanya
sebagai objek, tapi juga pelaku pembangunan yang perannya sangat dibutuhkan
dalam setiap proses pembangunan.
Selain melalui modernisasi dan pemberdayaan, pendekatan pembangunan itu
seyogyanya memposisikan kemandirian sebagai kata kuncinya. Dalam hal ini,
kemandirian dimaksud berupa kompetensi dan otonomi setiap entitas pembangunan
dalam membangun dirinya sendiri. Konsepsi ini dinamakan konsep kemandirian
lokal.
Senyatanya, pembangunan bukanlah upaya sistematis yang berbasis pada
perencanaan yang lengkap dan solid, yang disusun dan dilaksanakan oleh
sekelompok orang secara terpusat (grand scenario), tetapi lebih menyerupai proses
alamiah yang melibatkan semua pihak.
Kemandirian terutama diperlukan untuk menjaga identitas setiap entitas
pembangunan, agar diversitas keseluruhan yang merupakan syarat untuk
mempertahankan kesinambungan keberadaan semesta dapat dijaga. Konsepsi
pembangunan menurut kemandirian lokal merekomendasikan agar pembangunan
KESIMPULAN
1. Paradigma pembangunan a la modernisasi yang sempat membawa Indonesia
mencapai keberhasilan ekonomi dapat tetap dilanjutkan dengan menjadikan
indikator seperti pendapatan nasional, pendapatan perkapita dan pertumbuhan
ekonomi sebagai tools atau alat dalam mengukur keberhasilan pembangunan.
2. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara
bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik
untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang
3. Pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan mutlak untuk dilakukan.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan akan mendorong pada
pembentukan modal sosial serta tata pengelolaan yang baik (good governance).
4. Paradigma pembangunan yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia
adalah dengan multiparadigma. Indikator keberhasilan pembangunan
berkelanjutan yang terdapat pada paradigma modernisasi dapat dijadikan sebuah
tools. Paradigma pemberdayaan sangat diperlukan dalam upaya pembentukan
modal sosial untuk tercapainya tata kelola yang baik. Selain kedua paradigma
tersebut, yang menjadi penting dalam proses pembangunan adalah menyiapkan
kualitas entitas pembangunan dalam beradptasi dengan lingkungannya. konsepsi
ini dinamakan dengan Konsep Kemandirian Lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal, Konsepsi Pembangunan,
Organisasi dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Campbell, David., 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith
(eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.
Kartasasmita. 1997. Kemiskinan. Jakarta : Balai Pustaka.
Salman, D., 1995. Arah Perubahan Sosial di Pedesaan Pasca Revolusi Hijau,
Analisis, Januari-Februari. Jakarta : CSIS
Salman, D., 2012. Sosiologi Desa, Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas.
Makassar: Inninawa.
Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change. New York : Wiley.
Todaro, Michael P. 2000. Economic Development. Seventh Edition, New York
University : Addison Mesley.