MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Model Pembangunan Ekonomi Daerah
Yang di bina oleh :
Muhammad Hasyim Ibnu Abbas, S.E, M.Sc
Disusun oleh :
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Pendekatan dan Model Pengembangan Ekonomi Berbasis Komunitas ” ini dengan baik
meskipun masih banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita dalam mengetahui tentang keseimbangan pasar tenaga kerja. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi semua orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan ................................................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Partisipasi memiliki sejarah panjang dalam praktek pengembangan komunitas
namun itu dinamis baik dalam hal tujuannya maupun penerapannya (Hickey dan
Mohan, 2004; Cornwall, 2006). Misalnya pada tahun 1920-an partisipasi dalam
pengembangan komunitas diberikan kepada masyarakat lokal di wilayah jajahan
guna mempermudah Kerajaan Inggris dalam dalam memerintah wilayah tersebut
(Lugard, 1922, dalam Cornwall, 2006). Seiring perjalanan waktu, partisipasi
mengalami perubahan makna lagi. Oleh sebagian praktisi, pada tahun 1970-an
partisipasi dalam pengembangan komunitas dimaknai sebagai upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial dengan membebaskan masyarakat miskin dari
penindasannya para penguasa ekonomi (Hickey dan Mohan, 2004). Batten pada
tahun 1974 merumuskan bahwa tujuan pengembangan komunitas adalah
memperbaiki keadaan masyarakat dengan memprioritaskan pada pemberian
bantuan kepada mereka yang paling perlu, khususnya orang-orang miskin dan
underprivileged. Nampak kental nuansa filantropi pada pengembangan komunitas
di era ini. Kemudian pada tahun 1980an, partisipasi dalam pengembangan
komunitas sering diartikan sebagai partisipasi masyarakat dalam pembiayaan
proyek-proyek pembangunan (Cornwall, 2006).
Dalam sejarahnya, praktek-praktek partisipasi dalam pengembangan
komunitas sering mendapat kritikan karena berbagai masalah yang dimunculkan
atau karena pencapaiannya yang tidak sesuai dengan yang semula dijanjikan.
Praktek-praktek partisipasi pada tahun 1930an dituduh hanyalah selubung dari
upaya memperkuat posisi elit-elit lokal dan merugikan orang yang paling miskin
dan lemah (Cornwall, 2006) serta hanya menjadi strategi oleh administrasi
kolonial Inggris untuk memberi kepuasan sementara bagi masyarakat yang dijajah
tanpa memberi kekuasaan penuh (Cooke, 2004). Pengembangan komunitas secara
partisipatif juga kerap dituduh sebagai alat untuk menetralisir kritikan oleh
berbagai pihak terhadap berbagai proyek yang dijalankan lembaga-lembaga
keuangan global seperti Bank Dunia (Cooke, 2004). Kritikan lain terhadap
pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah bahwa pihak luar (outsiders)
memaknai perannya sebagai fasilitator secara dangkal, sehingga jika program
yang diinisiasi oleh outsiders itu gagal maka si outsiders menempatkan faktor
penyebab kegagalannya ada di pihak masyarakat lokal karena kurang menjalankan
2
partisipasi mereka, dan bukan kegagalan di pihak fasilitator (Henkel dan Stirrat,
2001, dalam Cornwall, 2006).
Kegagalan maupun penyalahgunaan pengembangan komunitas secara
partisipatif menjadi kerap terjadi karena memang partisipasi itu tidak mudah
untuk dijalankan (Batten, 1974; Williams, 2004). Ilustrasi sederhanya adalah
bahwa memberitahukan sebuah ide atau inovasi kepada kelompok masyarakat
akan jauh lebih mudah daripada mengajak kelompok masyarakat tersebut untuk
memikirkan, mendiskusikan, memutuskan, dan menindaklanjuti kebutuhan dan
kepentingan mereka (Batten, 1974). Dan ada terlalu banyak lembaga outsiders
yang menargetkan penyediaan jasa-jasa kepada masyarakat tanpa melihat apakah
jasa-jasa itu memang penting atau benar-benar membantu masyarakat (Batten
1974), dan tanpa dibarengi dengan proses mendasar untuk memberdayakan
masyarakat.
Implementasi dari penggunaan teori dan konsep pembangunan pada waktu
itu, justru menimbulkan berbagai hal di antaranya; (1) Kecenderungan dunia
internasional setelah PD II: munculnya Negara-negara Baru Merdeka). (2)
Pembangunan merupakan upaya yang sadar dan melembaga sehingga
pembangunan bermuatan nilai, yaitu keinginan untuk mewujudkan keadaan yang
lebih baik. (3) Pemahaman ini relatif dari waktu ke waktu, dan cenderung
subyektif atau berbedaantara satu bangsa dengan bangsa yang lain.Sebagai akibat
praktek pembangunan yang semula bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, ternyata kenyataan yang terjadi justru berbeda dengan kondisi yang
diharapkan, sehingga muncullah beberapa kritik terhadap hasil pembangunan,
di antaranya adalah:
Jobles Growth
Ruthless Growth
3
Praktek Kebijakan Trickle Down-Effect
Voicelless Growth
Rootless Growth
Futureless Growth
Pengrusakan Hutan
Polusi Sungai
4
approach”, dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Dalam pemanfaatannya berbagai
disiplin ilmu melampaui batas peralatan analisis murninya. Penalaran
terhadap masalah pembangunan akan menggunakan pendekatan kelembagaan
misalnya, atau pendekatan sosial lainnya. (2) Dalam menelaah masalah-masalah
pembangunan lebih banyak digunakan pendekatan multi-disiplin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana paradigma pembangunan dan konsep pemberdayaan
masyarakat?
2. Apa saja nilai yang perlu dibangun dalam pengembangan masyarakat
(Community Development)?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi),
demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung”
(Friedmann, 1996: 145)
(3) Kartasasmita (1996: 141) mengatakan bahwa memberdayakan masyarakat
berarti meningkatkan kemampuan masyarakat dengan cara mengembangkan
potensi-potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan harkat dan
martabat seluruh lapisan masyarakat atau dengan kata lain memampukan
dan memandirikan masyarakat dengan menciptakan iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
(4) Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, tanggung jawab
adalah bagian pokok dan upaya pemberdayaan.
Selama ini pemberdayaan masyarakat seringkali implementasinya
dilaksanakan dalam arti sempit, kadang hanya bersifat charity (sukarela) dan
bentuk bantuan. Akibatnya, pemberdayaan hanya terjadi sekali dan tidak
berkelanjutan serta memiliki ketergantungan yang tinggi. Oleh sebab itu, baik
bagi praktisi, penentu kebijakan maupun elemen masyarakat perlu memahami
prinsip dasar dalam pemberdayaan masyarakat.
7
Implementasi pemberdayaan masyarakat secara praktis dapat dilhat dari
berbagai segi kepentingan, sehingga perlu ada semacam pembagian peran (role)
antar setiap elemen dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat,
sehingga akan tampak jelas prioritas pemberdayaan masyarakat di setiap elemen
tersebut sebagai mana tertuang dalam gambar di bawah ini.
8
B. Pemahaman Tentang Pengembangan Komunitas.
9
lantas “dipinjam” dan dipraktekkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk
mengendalikan suku-suku Indian pada tahun 1940-an (Cooke, 2004). Pada tahun
1990-an, ketika isu kesetaraan gender semakin mengemuka, kritikan dialamatkan
pada posisi perempuan yang seringkali tetap tertindas dalam kegiatan
pengembangan komunitas secara partisipatif (Cornwall, 2006). Pengembangan
komunitas secara partisipatif juga kerap dituduh sebagai alat untuk menetralisir
kritikan oleh berbagai pihak terhadap berbagai proyek yang dijalankan lembaga-
lembaga keuangan global seperti Bank Dunia (Cooke, 2004). Kritikan lain
terhadap pengembangan masyarakat secara partisipatif adalah bahwa pihak luar
(outsiders) memaknai perannya sebagai fasilitator secara dangkal, sehingga jika
program yang diinisiasi oleh outsiders itu gagal maka si outsiders menempatkan
faktor penyebab kegagalannya ada di pihak masyarakat lokal karena kurang
menjalankan partisipasi mereka, dan bukan kegagalan di pihak fasilitator (Henkel
dan Stirrat, 2001, dalam Cornwall, 2006).
Kegagalan maupun penyalahgunaan pengembangan komunitas secara
partisipatif menjadi kerap terjadi karena memang partisipasi itu tidak mudah
untuk dijalankan (Batten, 1974; Williams, 2004). Ilustrasi sederhanya adalah
bahwa memberitahukan sebuah ide atau inovasi kepada kelompok masyarakat
akan jauh lebih mudah daripada mengajak kelompok masyarakat tersebut untuk
memikirkan, mendiskusikan, memutuskan, dan menindaklanjuti kebutuhan dan
kepentingan mereka (Batten, 1974). Dan ada terlalu banyak lembaga outsiders
yang menargetkan penyediaan jasa-jasa kepada masyarakat tanpa melihat apakah
jasa-jasa itu memang penting atau benar-benar membantu masyarakat (Batten
1974), dan tanpa dibarengi dengan proses mendasar untuk memberdayakan
masyrakat agar mereka
Saat ini ada dua pemegang kekuasaan pada sistem kehidupan kita saat ini
yakni: (1) Kelompok yang menguasai kekayaaan alam atau keuangan dan (2)
Kelompok yang menguasai ilmu pengetahuan. Di negara-negara dunia ketiga
seperti Indonesia, kedua kekuasaan ini dipegang oleh segelintir orang. Pada
pandangan semacam ini, pemberdayaan adalah upaya membongkar
monopoli kekuasaan politik dan ekonomi yang dipegang oleh segelintir orang dan
dialihkan kepada rakyat kebanyakan. Dan, mendorong pemerintahan yang lebih
10
bertanggung jawab kepada rakyat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
terjadi distribusi aset dan kekayaan yang lebih adil. Kelompok kedua menyatakan
kapitalisme dan sosialisme telah gagal berkenaan dengan isu pengentasan
kemiskinan. Para pemimpin lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan
nasional tidak memiliki jawaban bagaimana mengentaskan kemiskinan.
Kelompok ini menyatakan harus ada perubahan kepemimpinan dengan
memanfaatkan kepemimpinan masyarakat sipil untuk menemukan jalan ketiga
(bukan kapitalisme ataupun sosialisme).
Kedua kelompok pemikir di muka tetap mendudukan pemberdayaan
sebagai sesuatu yang bersifat dari atas (top down). Karena mereka tetap percaya
yang memiliki sumberdaya adalah mereka. Untuk itu mendudukan orang-orang
baik di dalam lembaga-lembaga yang berkuasa (seperti Bank Dunia, Presiden,
DPR, DPRD, Bupati/Walikota) bisa mengubah keadaan. Kelompok ini sering
disebut kelompok ilmuwan liberal atau progresif.
Pemberdayaan dalam kacamata kelompok ini lebih cocok ditafsirkan
sebagai bagaimana mengelola kekuasaan (power). Kelompok ketiga yang
sering dikenal sebagai kelompok reformis. Kelompok ini percaya bahwa
kekuasaan tidak pernah diberikan tapi harus direbut. Ini adalah pelajaran dari
sejarah. Jadi,pemberdayaan adalah tindakan-tindak aktif untuk merebut kembali
kekuasaan atas politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekayaan alam. Karena itu
konsep empowerment atau pemberdayaan dianggap sebuah konsep yang
kontradiksi karena pemberdayaan han ya bisa terjadi bila rakyat melakukan
sendiri agar bebas dari penindasan self-empowerment).
Beberapa pokok dalam konsep mengenai pengembangan komunitas, antara lain :
11
3) Hukum yang diperlukan adalah hukum yang didukung oleh
masyarakat sehingga menimbulkan partisipasi masyarakat yang lebih
besar.
4) Cara yang terbaik adalah melalui:
a. Desentralisasi pengelolaan sumber daya yang menjadi
penopang masyarakat setempat.
b. Pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai
penggunaan sumber daya tersebut.
5) Selain itu perlu juga didorong inisiatif-inisiatif masyarakat dan pemberian
wewenang pada organisasi-organisasi masyarakat serta m emperkokoh
demokrasi setempat.
Berbagai definsi tentang community development, cukup banyak
dikemukakan oleh para pakar. Secara universal badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), merumuskan pula tentang definisi “Community Development”
sebagai berikut; “Suatu proses yang merupakan usaha masyarakat sendiri yang
diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial,
ekonomi dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam
kehidupan nasional dan mendorong kontribusi komunitas yang lebih optimal bagi
kemajuan nasional. Berdasarkan definisi tersebut, juga diutarakan beberapa
prinsip-prinsip umum Community Development, meliputi:
12
3) Kemampuan membuka jaringan antar-masyarakat, pemerintah, dunia
usaha dan industri dalam melaksanakan Community Development.
13
Sinergitas elemen dasar dalam Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah
sebagai Fasilitator
Gambar 2. sinergi antar komponen dalam pengembangan komunitas (Veriasa dan Waite, 2018).
14
6) Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan
pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan
berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik.
7) Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya
setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia.
8) Pemberdayaan masyarakat kerapkali dilakukan melalui pendekatan
kelompok di mana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman
dan pengetahuannya. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatan-
kegiatan khusus yang sedang dilaksanakan dan juga ada kegiatan lainnya.
Masalah penanggulangan kemiskinan dalam permerdayaan masyarakat arah
pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah:
15
2) Permasalahan Internal Kota: permasalahan-permasalahan yang terjadi
di dalam kota dan harus dihadapi oleh kota Itu.
a. Kemiskinan di Perkotaan ditandai banyaknya pengemis dan
gelandangan.
b. Kualitas lingkungan hidup perkotaan yang banyak teridentifikasi
buruk.
c. Keamanan dan ketertiban kota yang tidak pasti.
d. Kapasitas daerah dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan
yang berbeda.
Secara sederhana, kemiskinan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1) Kemiskinan yang parah (chronic poverty) yang terjadi secara terus
menerus disebut sebagai kemiskinan struktural (Structural Porverty),
kemiskinan ini membutuhkan penanganan yang penuh dari pemerintah serta
terpadu secara lintas sektoral dan berkelanjutan.
2) Kemiskinan Sementara (Temporary Poverty) ditandai dengan penurunan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara temporal sebagai akibat
dari adanya perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis, bencana alam
dan bencana sosial, seperti korban konflik sosial. Kemiskinan sementara ini
apabila tidak ditangani serius dapat menjadi kemiskinan yang parah.
Kedua bentuk kemiskinan tersebut, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik (1) faktor internal kulturtal yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat
ataupun (2) faktor eksternal struktural yang menjadi bagian dari sumber
kemiskinan. Faktor internal kultural dari sumber kemiskinan tersebut, meliputi:
16
Sementara sumber kemiskinan sebagai akibat dari faktor eksternal struktural,
adalah:
17
terlibat dalam kegiatan atau program, mereka menganggapnya sebagai
pemberdayaan. Dan yang lebih parah lagi adalah ketika mereka memberi
bantuan (charity), itu pun mereka akui sebagai pemberdayaan.
Jika pemberdayaan adalah jantung dari praktek masyarakat yang kritis,
maka daya (kekuatan) dan pemanfaatannya adalah inti dari pemberdayaan.
Hanya melalui keterlibatan dengan struktur dan proses kekuatan sosial,
politik dan ekonomi maka masyarakat dapat secara efektif bekerja untuk
menghadapi kelemahan, pengabaian dan penindasan yang mereka alami.
3. Kepemilikan (Ownership)
18
lain yang dipandu oleh struktur sosial (Yustika, 2013). Kepercayaan (trust)
adalah basis yang membentuk modal sosial. Kepercayaan akan berkembang
ketika individu-individu saling percaya dan berjaringan satu dengan yang lain
di dalam sebuah institusi (Svendsen, 2009). Modal sosial yang dibangun oleh
kepercayaan diantara individu di dalam komunitas akan berkontribusi besar
terhadap keberhasilan aksi kolektif. Integrasi komunitas seharusnya
dipromosikan di dalam dua rangkaian hubungan: “relasi sosial” diantara
keberagaman kelompok didalam komunitas dengan “relasi struktural”
diantara lembaga-lembaga yang terlibat didalam pengembangan komunitas
(Phillips dan Pittman, 2009).
D. Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat melalui Simpan Pinjam
19
mengelola kegiatan perekonomian simpan pinjam. Telah tersusunnya program
kegiatan dengan salah satu kegiatan pemberdayaan ekonomi simpan pinjam yang
diharapkan dapat terus berjalan yang di review dan dilaporkan pertanggung
jawabannya kepada masyarakat setiap tahun dalam dalam rembug masyarakat.
(Iskandar, 2014)
20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk melakukan penanganan dan penanggulangan kemiskinan
tersebut, ada dua indikator keberhasilan yang dapat dipergunakan
penganggulangan kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu:
21
itu dikatakan berhasil atau tidak, minimal dapat dilihat apakah program tersebut
justru memberdayakan masyarakat atau tidak, menumbuhkan kemandirian
masyarakat atau tidak, dan apakah sebuah program masih tetap berlanjut dan
tidak bergantung pada bantuan atau sebuah program yang bersifat serimonial atau
temporer. Harapannya, problem-problem yang dipaparkan menjadi telaah untuk
menyelami makna pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan
kemiskinan melalui pengembangan komunitas.
22
DAFTAR PUSTAKA
Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. Third Edition. London:
Prentice-Hall International.
Batten, T.R. 1974. The major issues and future direction of community
development. Community Development Journal, 9(2): 96–103.
Campfens, Hubert (Eds). 1997. Community Development Around The World:
Practice, Theory, Research, Training. University of Toronto Press. Toronto,
Canada
Conway, G.R. 1984. What is an ecosystem and why is it worthy
of study. In An Introduction to Human Ecology Research on
Agricultural Systems in Southeast Asia. Edited by A. Terry
Rambo and P.E Sajise. University of The Philippines at Los
Banos, Philippines. P: 25-38.
Cornwall, A. 2006. Hirtorical perspectives on participation in development.
Commonwealth & Comparative Politics 44(1): 62-83.
Haeruman, H. 1996. Pembangunan daerah dan peluang pemerataan
pembangunan antar daerah. Prisma Edisi Khusus. Tahun XXV. P: 41-48.
Hickey, S dan G Mohan. 2004. Towards participation as transformation: critical
themes and challenges. Dalam Hickey, S dan G Mohan (eds). 2004.
Participation: from tyranny to transformation? Exploring new approaches to
participation in development. London: Zed Books
Huisman, M.I.M. 1994. Sustainable land development in the Netherlands: the
search for concept. In Sustainable Land Use Planning. Proceeding of an
International Workshop, 2-4 September 1992, Wageningen, Netherlands.
Elsevier, Amsterdam. p:55-67.
Iskandar, Hatta. 2014. Analisis Penanggulangan Kemiskinan melalui
Pemberdayaan Masyarakat di Kota Palembang. Jurnal Kependudukan
Sriwijaya, Vol.2 (2014), terbit 2017. http://ejournal-
pps.unsri.ac.id/index.php/dejos/article/view/9.
Kartasasmita, Ginandjar. 2004. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta
Ledwith, Margaret. 2011. Community Development: A Critical Approach. Second
Edition. The policy Press. Bristol. UK
23
Pitchford, M dan P Henderson. 2008. Introduction. Making spaces for community
development. Bristol:The Policy Press.
Pezzey, J. 1992. Sustainable Development Concept, An Economic Analysis. The
World Bank, Washington DC.
Svendsen, Gert Tinggaard dan Gunnar Lind Haase Svendsen. 2009. Handbook of
Social Capital: The Troika of Sociology, Political Science and Economics. UK:
Edward Elgar Publishing Limited.
Taufiq, Ahmad Dkk. 2010. Upaya Penanggulangan Kemiskinan Berbasis
Penanggulangan Masyarakat. E-Jurnal Politika: Jurnal Ilmu Politik Universitas
Diponegoro Vol 1. No.1. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/
download/4881/4427
Veriasa, Thomas Oni dan Waite, Mashuri. 2018. Antara Pengembangan
Komunitas, Partisipasi, Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Modul.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan
Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
24