Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TEORI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Pembangunan Masyarakat
Secara alami, manusia terus mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan tersebut adakalanya menuju pada kemunduran, namun
adakalanya perubahan menuju pada kemajuan. Agar perubahan
menghasilkan kemajuan, maka diperlukan adanya pembangunan.
Menurut Siagian (1987:2) suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan pembangunan adalah terencana yang
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah,
menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa/ nation
building. Sementara Riyono Pratikno (1979:119) mendefinisikan
pembangunan sebagai suatu jenis perubahan sosial dimana
diperkenalkan berbagai gagasan baru ke dalam sistem sosial untuk
meningkatkan penghasilan perkapita serta standard hidup. Lebih lanjut
Bintarto (l983:59) menyebutkan bahwa pembangunan merupakan
proses tanpa ada akhir, suatu kontinuitas perjuangan untuk
mewujudkan ide dan realitas yang akan terus berlangsung sepanjang
kurun sejarah. Sedangkan rumusan PBB tentang Pembangunan
Masyarakat/Pembangunan Komunitas yaitu: suatu proses melalui usaha
dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan dalam
rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa pembangunan masyarakat merupakan suatu proses, baik ikhtiar
masyarakat yang bersangkutan yang diambil berdasarkan prakarsa
sendiri, maupun kegiatan pemerintah, dalam rangka untuk
memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan kebudayaan masyarakat
(komunitas). Proses tersebut meliputi elemen dasar: pertama,
partisipasi masyarakat itu sendiri dalam rangka usaha mereka untuk
memperbaiki tarap hidup mereka, sedapat-dapatnya berdasarkan
35
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

kekuatan dan prakarsa sendiri. Kedua, bantuan dan pelayanan teknik


yang bermaksud membangkitkan prakarsa, tekad untuk menolong diri
sendiri dan kesediaan untuk menolong orang lain, dari pemerintah.
Proses tersebut dinyatakan dalam berbagai program yang dirancang
untuk perbaikan proyek khusus terhadap proyek khusus (Ndraha,1990:
34).
Tujuan pembangunan masyarakat adalah untuk menciptakan
kondisi-kondisi bagi tumbuhnya suatu masyarakat yang berkembang
secara berswadaya, dalam hal ini khususnya masyarakat miskin,
sehingga masyarakat mampu menetralisir belenggu-belenggu sosial
yang dapat menahan laju perkembangan masyarakat (adat, tradisi,
kebiasaan, cara dan sikap hidup yang dapat menjadi hambatan
pembangunan). Sementara itu, Malcolm Brownlee (2004: 128)
menyebutkan bahwa tujuan pembangunan masyarakat adalah
menjadikan manusia dan masyarakat lebih manusiawi. Mengutip
pernyataan Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio, Brownlee
menulis bahwa pembangunan tidak terbatas pada pertumbuhan
ekonomi saja, tapi pembangunan sejati harus menyeluruh. Artinya
harus memajukan manusia seutuhnya dan umat manusia seluruhnya.
Pengembangan SDM umumnya dikaitkan dengan
pembangunan ekonomi. Pengertiannya: semakin berkualitas SDM,
semakin tinggi sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
semakin besar pula pendapatan masyarakat. Namun demikian,
pengembangan SDM bisa juga dikaitkan dengan pembangunan sosial
yang menawarkan respon terhadap masalah pembangunan yang
terdistorsi (distorted development), yaitu suatu fenomena dimana
“economic development has not been accompanied by an attendant
degree of social progress” (Midgley, 1995: 3). Pembangunan terdistorsi
ini terjadi pada masyarakat dimana pembangunan ekonomi belum
diiringi dengan hadirnya kemajuan sosial atau pembangunan ekonomi
tidak sejalan dengan pembangunan sosial. Pembangunan terdistorsi ini
tidak hanya terjadi dalam bentuk kemiskinan, rendahnya tingkat
kesehatan dan pemukiman yang tidak layak, tetapi juga pada
ketidakterlibatan masyarakat dalam pembangunan, termasuk ketidak-
36
Teori Pembangunan Pendidikan

pedulian masyarakat terhadap masalah-masalah yang mengancam


kehidupan mereka seperti dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kerangka itu, UNDP mengajukan konsep pembangunan
manusia yang mencakup jangkauan yang lebih luas mulai dari produksi
dan distribusi komoditi, dan perluasan pemanfaatan kemampuan
manusia. Selain itu pembangunan ini mencakup berbagai aspek dalam
masyarakat baik pertumbuhan ekonomi, perdagangan, kesempatan
kerja, kebebasan berpolitik sampai dengan nilai-nilai kultural.
Pembangunan manusia juga mencakup unsur gender dan
pembangunan. Empat unsur utama dari pembangunan manusia adalah
produktivitas, pemerataan, kesinambungan (sustainability) dan
pemberdayaan (empowerment). Pengertian produktivitas adalah
masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitasnya untuk
berandil sepenuhnya dalam proses peningkatan pendapatan dan
kesempatan kerja produktif. Karena itu pertumbuhan ekonomi
merupakan bagian dari pembangunan manusia. Pemerataan
mempunyai pengertian seluruh masyarakat mempunyai kesempatan
yang sama. Seluruh hambatan terhadap kesempatan ekonomi dan
politik harus dihapuskan sehingga masyarakat dapat berperan serta dan
mendapatkan keuntungan. Kesinambungan mempunyai pengertian
bahwa akses pada kesempatan haruslah dijamin tidak saja bagi generasi
sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Seluruh bentuk
modal, fisik, manusia dan lingkungan, harus dijaga kesinambungannya.
Sedangkan pemberdayaan mempunyai pengertian bahwa
pembangunan haruslah dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Rakyat harus berperan serta sepenuhnya dalam keputusan dan proses
yang menentukan kehidupannya. Pengembangan SDM terutama
dilakukan melalui pendidikan (Juoro, 1995: 8).

Pendidikan dalam Perspektif Teori Pembangunan


Istilah pembangunan umumnya digunakan untuk menjelaskan
proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik,
budaya, infrastruktur masyarakat dan sebagainya (Fakih, 2001). Dari
37
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

definisi tersebut, pengertian pembangunan disejajarkan dengan kata


„perubahan sosial‟, suatu usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi,
politik, serta sarana dan prasarana untuk mempermudah kehidupan
bermasyarakat. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial
adalah fenomena yang luar biasa, karena gagasan dan teori ini begitu
mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global,
terutama di bagian dunia yang disebut sebagai „dunia ke tiga‟.
Menurut Galtung (2007), pembangunan merupakan upaya
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual
maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan
kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam.
Di sini pembangunan disadari sebagai sebuah upaya pemenuhan
kebutuhan manusia. Pembangunan disediakan oleh pemerintah untuk
menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam melaksanakan proses
pembangunan pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi
yang akan didapat, sehingga proses pembangunan tersebut tidak
menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan
alam.
Pembangunan nasional di negara baru berkembang merupakan
suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi berbagai
dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi,
modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan
peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya
(Joseph, 1986). Jadi, pembangunan merupakan perubahan yang
terencana yang dibuat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada
di masyarakat seperti ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa,
lingkungan, dan peningkatan kualitas hidup manusia. Adanya
pembangunan yang direncanakan ini, akan dapat diselesaikan
permasalahan-permasalahan di atas.
Berdasarkan teori Dependensia (ketergantungan),
pembangunan tidak cocok dengan ketergantungan (Fakih, 2001:135).
Menurut teori ini, pembangunan itu dikatakan berhasil, jika sudah bisa
terlepas dari sifat ketergantungan dengan negara lain, seperti

38
Teori Pembangunan Pendidikan

ketergantungan negara berkembang dengan negara maju. Hal ini bisa


dilihat dari segi teknologi dan industri. Negara-negara berkembang
seperti Indonesia masih mendatangkan barang-barang canggih yang
diimpor langsung dari negara-negara Eropa, Jepang, dan Amerika
Serikat. Dari segi industri, negara-negara berkembang memang
dianggap cukup sumber daya manusia (SDM), tapi masih kekurangan
pada sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu masih
dibutuhkan tenaga-tenaga ahli dari luar untuk mengola sumber daya
alam yang dimiliki.
Pembangunan sejatinya merupakan sebuah alat, suatu
pendirian, atau paham bahkan merupakan suatu ideologi dan teori
tertentu tentang perubahan sosial (Fakih, 2001). Dengan demikian,
pembangunan bukanlah teori yang netral karena pembangunan lebih
merupakan sebuah “aliran” dan keyakinan ideologis dan teoristis serta
praktek mengenai perubahan sosial. Bersamaan dengan teori
pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya, seperti
Sosialisme, Dependensi, ataupun teori lain. Oleh sebab itu banyak
orang menamakan pembangunan sebagai pembangunanisme
(developmentalism).
Gagasan dan teori pembangunan bagi banyak orang bahkan
mirip „agama baru‟ yakni menjanjikan harapan baru untuk
memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi
berjuta-juta rakyat di „dunia ketiga‟ (Fakih, 2001). Sebagai suatu
keyakinan, hal tersebut misalnya telah teradaptasi dengan baik di
dunia ke tiga, dimana pembangunan menjadi semacam penyelamat;
seperti Indonesia yang sedang dilanda berbagai permasalahan yang
kompleks. Pembangunan hadir dengan membawa harapan baru untuk
menyelesaikan masalah yang ada, dan masalah yang paling mendesak
untuk segera diselesaikan berupa kemiskinan dan keterbelakangan.
Pembangunan juga diartikan sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan hanya dalam bidang
ekonomi, melainkan juga dalam bidang politik dan budaya. Pada
bidang ekonomi, rakyat dimungkinkan untuk terlepas dari kemiskinan,

39
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

dan perekonomian mereka meningkat secara riil. Pada bidang politik,


pemerintah harus menjamin kebebasan rakyatnya untuk melakukan
kegiatan politik, tanpa adanya tekanan ataupun intimidasi. Pada bidang
pendidikan, pembangunan diupayakan menjadi solusi atas
ketidakberdayaan seseorang dalam mengakses sumber daya.
Dalam tujuan pembangunan, pendidikan merupakan sesuatu
yang mendasar terutama pada pembentukan kualitas sumber daya
manusia. Menurut Herbison dan Myers (dalam Fadjri, 2000: 36)
“pembangunan sumber daya manusia berarti perlunya peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan semua orang dalam suatu
masyarakat”. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai
yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Melalui
pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan,
kemampuan dan sikap, juga dapat dikembangkan berbagai kemampuan
yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga dapat
berpartisipasi dalam pembangunan.
Tilaar (2002: 435) menyatakan bahwa “hakikat pendidikan
adalah memanusiakan manusia, yaitu suatu proses yang melihat
manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya”.
Mencermati pernyataan dari Tilaar tersebut dapat diperoleh gambaran
bahwa dalam proses pendidikan, ada proses belajar dan pembelajaran,
sehingga dalam pendidikan jelas terjadi proses pembentukan manusia
yang lebih manusiawi. Proses mendidik dan dididik merupakan
perbuatan yang bersifat mendasar (fundamental), karena di dalamnya
terjadi proses dan perbuatan yang mengubah serta menentukan jalan
hidup manusia.
Di Indonesia, pembangunan pendidikan tercermin dalam UUD
1945, yang mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap
warga negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini
kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yang menyebutkan
bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

40
Teori Pembangunan Pendidikan

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk


berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia,
berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
Mencermati tujuan pendidikan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dikemukakan bahwa
pendidikan merupakan wahana terbentuknya masyarakat madani yang
dapat membangun dan meningkatkan martabat bangsa. Pendidikan
juga merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang dapat
meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Kyridis, et al. (2011:
3) mengungkapkan bahwa “for many years the belief that education
can increase social equality and promote social justice, has been
predominant”. Hal senada dikemukakan oleh Herera (Muhadjir, 2010:
271) bahwa “melalui pendidikan, transformasi kehidupan sosial dan
ekonomi akan membaik, dengan asumsi bahwa melalui pendidikan,
maka pekerjaan yang layak lebih mudah didapatkan”. Dalam
pandangan ini tersirat bahwa pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan dasar yang sangat penting dalam mencapai kesejahteraan
hidup.
Todaro & Smith (2003: 404) menyatakan bahwa “pendidikan
memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan manusia
untuk menyerap teknologi modern, dan untuk mengembangkan
kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang
berkelanjutan.” Jadi, pendidikan dapat digunakan untuk menggapai
kehidupan yang memuaskan dan berharga. Dengan pendidikan akan
terbentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti
makna pembangunan. Hal senada juga diungkapkan oleh Burns (2003:
1) bahwa:

Education is fundamental for the construction of globally


competitive economies and democratic societies. Education
is key to creating, applying, and spreading new ideas and
technologies which in turn are critical for sustained growth;

41
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

it augments cognitive and other skills, which in turn increase


labor productivity.

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa pendidikan


menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi dan masyarakat.
Pendidikan merupakan kunci untuk menciptakan ide-ide baru dan
teknologi yang sangat penting dalam keberlanjutan pembangunan,
bahkan berkat pendidikan pula produktivitas tenaga kerja dapat
meningkat. Dari berbagai tujuan pendidikan yang telah dikemukakan
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pendidikan adalah
membentuk sumber daya manusia yang handal dan memiliki
kemampuan mengembangkan diri untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik. Hal ini berarti, pendidikan anak memberi bekal
kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi,
anggota masyarakat, warga negara ataupun sebagai bagian dari anggota
masyarakat dunia. Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki
kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi
lebih baik dan sejahtera.
Pendidikan merupakan salah satu indikator utama
pembangunan dan kualitas sumber daya manusia, sehingga kualitas
sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan.
Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting dan strategis dalam
pembangunan nasional, karena merupakan salah satu penentu
kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bahkan merupakan sarana paling
efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan
masyarakat, serta yang dapat mengantarkan bangsa mencapai
kemakmuran.

Modal Sosial
Modal sosial adalah sebagai serangkaian nilai dan norma
informal yang dimilki bersama di antara para anggota suatu kelompok
masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara
mereka (Fukuyama, 2002: xii). Secara sederhana modal sosial

42
Teori Pembangunan Pendidikan

merupakan kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti


etika dan moral sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum
dan kejujuran. Umumnya, istilah modal sosial merujuk pada aspek
struktur sosial yang memudahkan anggotanya memperoleh barang
kebutuhannya (Randy & Nugroho, 2007: 112).
Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah trust
(kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Trust
(kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan
orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama
yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial
kooperasi yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal
sosial.
Menurut Fukuyama (2002), trust sebagai harapan-harapan
terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari
dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang
dianut bersama anggota komunitas-komunitas itu. Trust bermanfaat
bagi pencipta ekonomi tunggal karena bisa diandalkan untuk
mengurangi biaya (cost); dengan adanya trust tercipta kesediaan
seseorang untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas
kepentingan individu. Adanya high-trust akan melahirkan solidaritas
kuat yang mampu membuat masing-masing individu bersedia
mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Bagi
masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi
kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka
campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan.
Unsur selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi yang
semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial yang lebih
memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup
hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal
sosial. Jaringan sosial yakni sekelompok orang yang dihubungkan oleh
perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic
engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang
sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis,

43
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah


institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang
dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan
tersebut. Melalui pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa modal sosial
dapat bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga
dalam peningkatan kemampuan siswa (Pratikno, 1979: 88).
Ketiga unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual
dalam berbagai bentuk kehidupan bersama. Dalam pandangan Uphoff
(Soetomo, 2006: 90), modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori,
fenomena struktural dan kognitif. Kategori struktural merupakan
modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial
khususnya peranan, aturan, precedent dan prosedur yang dapat
membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan
bersama yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori
kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang
diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sikap,
kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama
khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling
menguntungkan. Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam
fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari
dalam kehidupan masyarakat untuk selanjutnya dikembangkan dalam
usaha peningkatan taraf kemampuan siswa dalam proses pendidikan
maupun pembinaan yang diterapkan di dalam kehidupan asrama.
Pada level mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk
kerjasama. Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan
koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik
ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi
hambatan oleh seseorang atau kelompok lain. Akhirnya tingkah laku
mereka menjadi cocok satu sama lain. Perlu ditegaskan bahwa ciri
penting modal sosial sebagai sebuah capital dibandingkan dengan
bentuk capital lainnya adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi
sosial bisa berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan
modal sosial, tergantung apakah relasi sosial itu dianggap sinergis atau
kompetitif dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicapai di atas
44
Teori Pembangunan Pendidikan

kekalahan orang lain (zero-sum game). Komponen modal sosial dapat


digambarkan secara ringkas sebagai berikut:

Nilai, Kultur, Persepsi

Institusi Mekanisme

Gambar 2.1. Komponen Modal Sosial

Gambar 2.1. di atas menjelaskan bahwa pada level nilai, kultur,


kepercayaan, dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa
berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan timbal balik.
Pada level institusi bisa terbentuk keterlibatan umum sebagai warga
negara (civil engagement), asosiasi, jaringan. Pada level mekanisme,
modal sosial berbentuk kerjasama, tingkah laku, dan sinergi antar
kelompok.

Ruang Sosial
George Simmel (1858-1918) adalah salah satu tokoh pertama
yang memberikan buah pikir berupa penawaran pengertian yang
penting pada konstruksi tentang “ruang sosial”. Banyak tulisan Simmel
tentang ruang sosial, akan tetapi yang paling terkenal hanya dua
artikel, lebih dulu diterbitkan pada tahun 1903, yaitu 'The Sociology of
Space' and 'On the Spatial Projections of Social Forms'. Selanjutnya ia
meninjau kembali dan memperluas artikel tersebut pada buku,
Soziologie, yang diterbitkan pada tahun 1908, kemudian
menambahkan tiga esei penting yakni "The Social Boundary', 'The
Sociology of the Senses' dan 'The Stranger' (Fearon, 2007). Simmel
mencoba memberikan gambaran tentang ruang sosial tersebut dengan

45
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

mengatakan bahwa, sesungguhnya tidak ada dua badan dapat


menduduki ruang yang sama. Ruang sosial dikonstruksi oleh wujud
dan eksklusivitas, dimana kelompok itu menempatinya. Ruang
merupakan subbagian (subdivided) untuk maksud sosial dan yang
dibingkai dalam batasan-batasan atau sekat-sekat (boundaries). Ruang
sosial adalah bukan ruang dalam arti fisik dengan konsekuensi
sosiologis, melainkan sebuah fakta sosiologis yang membentuk ruang.
Artinya batas yang dimaksud adalah tersedianya bentuk khusus untuk
pengalaman dan interaksi. Pemusatan atau pencampuran interaksi
sosial dalam ruang juga mempengaruhi formasi sosial dan karena itu
semua interaksi sosial bisa ditandai oleh tingkat jauh dekatnya antar
individu dan kelompok.
Melalui pandangan Simmel di atas, dapat dilakukan pendekatan
konsep ruang sosial melalui dua kategori. Pertama; ruang sosial
dikembangkan dari asumsi dasar interaksi non fisik dalam arti interaksi
menggunakan simbol-simbol tertentu dalam dominasi kepentingan
untuk mencapai tujuan. Kepentingan menjadi salah satu elemen
penting yang berfungsi sebagai sekat yang membatasi ruang satu
dengan lainnya. Tentunya meskipun dibatasi oleh sekat, interaksi dapat
berlangsung karena adanya kesamaan unsur-unsur yang dipergunakan
sebagai pengait untuk mengatakan sebagai suatu kepentingan yang
sama. Kedua; model interaksi tersebut merupakan bentuk interaksi
“alternatif” dari bentuk normatifnya karena adanya perilaku
konformitas atas sebuah situasi tertentu, yang terpaksa masyarakat
harus meresponsnya ke dalam bentuk-bentuk konformitas. Ketiga;
sebagaimana kelanjutan poin pertama dan kedua maka dimensi ruang
membentuk pengelompokan berdasarkan pada atribut-atribut tertentu
berskala horizontal maupun vertikal.
Sosiologi spasial dibahas juga dalam artikel “The Sociology of
Space: A Use-Centered View”, oleh Herbert J. Gans (dalam Gieryn,
2000: 329-339) yang membenarkan eksplorasi baru dari berbagai
koneksi antara "ruang" dan "masyarakat." Perhatian diberikan pada
hubungan kausal antara ruang dan masyarakat: di mana cara ruang
alam mempengaruhi kehidupan sosial dan kolektivitas; dan tentang
46
Teori Pembangunan Pendidikan

cara-cara di mana kolektivitas ini mengubah ruang alam menjadi ruang


sosial dan bentuk penggunaannya. Ruang alam menjadi fenomena
sosial atau ruang sosial, begitu orang mulai menggunakannya, dan
batas-batas serta pemaknaan diletakkan di atasnya. Maka dalam
Sosiologi spasial ini dapat dipelajari bagaimana masyarakat, yaitu,
individu dan kolektivitas, mengubah alam menjadi ruang sosial,
bagaimana mereka menggunakan dan apa yang disebut pertukaran,
sosial, ekonomi, dan lainnya dan bagaimana kedua jenis ruang
mempengaruhi individu, kolektivitas, dan proses sosial dan
kekuatannya. Demikian juga dapat digambarkan penerapan Sosiologi
spasial (ruang sosial) dalam beberapa konsep dan isu yang relevan di
lapangan, termasuk penggunaan lahan, lokasi, kepadatan, kedekatan,
ruang publik, lingkungan, masyarakat, dan ekonomi politik.
Memperhatikan pandangan di atas tentang ruang sosial, maka
asrama SM Petrus van Diepen dapat dipandang sebagai suatu ruang
sosial yang unik, karena terdapat batasan ruang dimana para siswa
berinteraksi satu sama lain dalam konteks hidup harian. Dan apa yang
terjadi di dalam keberasramaan di Asrama Petrus van Diepen dengan
sendirinya mempunyai arti secara sosial. Keberasramaan yang terjadi
dalam ruang sosial ini menghadirkan konformitas lewat adanya
peraturan hidup bersama, adanya pendamping-pembina-formator yang
menata hidup bersama dan inilah yang menjadi kekuatan dalam
kehidupan berasrama. Perubahan dan penyesuaian yang terjadi
menghasilkan nilai unggul dan ini dapat terjadi dalam keberasramaan
yang dapat bersifat ”asosiatif” dan ”disosiatif” dalam proses dialektis
yang mempertemukan antara individu-individu yang berlatarbelakang
sifat dan budaya yang berbeda-beda dengan struktur pengikat, yaitu
peraturan hidup bersama harian tanpa menimbulkan kesenjangan
kultural karena konformitas; bahkan interaksi social inilah yang justeru
menciptakan nilai unggul dalam keberasramaan bagi berlangsungnya
kehidupan sosial di asrama Petrus van Diepen. Hal ini tidak akan
terjadi tanpa pembinaan hidup dalam asrama. Justru dalam kehidupan
keberasramaan terjadilah pertemuan-pertemuan berbagai elemen yang
membangun dan memberikan nilai unggulnya.
47
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

Fenomenologi
Untuk menelusuri modal sosial dan ruang sosial ini dipakai
pendekatan fenomenologis dengan sederet asumsi subyektivis tentang
hakikat pengalaman nyata dan tatanan sosial, sebagaimana upaya
Alfred Schulz dalam membangun fenomenologi sosial yang
mengaitkan sosiologi dengan fenomenologi filsafati Edmund Husserl.
Yang utama dari pemikiran Husserl adalah bahwa ilmu pengetahuan
selalu berpijak pada „yang eksperiensial‟. Selanjutnya Schulz
melanjutkan pendapat ini, yakni mengkaji cara-cara anggota
masyarakat menyusun dan membentuk ulang alam kehidupan sehari-
hari, dan kumpulan pengetahuan ini menciptakan dunia yang familiar;
dunia yang terlihat „akrab‟ di mata setiap anggota; ribuan fenomena
dalam kehidupan sehari-hari dirangkum ke dalam konstruk dan
kategori yang terbatas; yaitu panduan yang umum dan fleksibel untuk
memahami atau menginterpretasi pengalaman. Tipifikasi (atau
pemolaan) memudahkan setiap individu untuk mengkaji pengalaman,
mengenali dan menentukan apakah benda dan peristiwa dapat
dipandang sebagai bagian atau masuk jenis realita khusus atau tidak
(Bdk. Holstein & Gubrium, 2009: 336).
Pendekatan fenomenologis Schulz ini dikembangkan oleh
Peter L. Berger & Thomas Luckmann (1990) dengan penjelasan tentang
paham habitus (kebiasaan) dan proses habitualisasi (pembiasaan), yaitu
pemikiran, perasaan, dan tindakan yang selalu terjadi berulang-ulang
dalam pengalaman harian yang dialihkan dan dipelajari oleh masing-
masing anggota masyarakat secara berulang kali sehingga terbentuklah
pola cita, pola rasa dan pola tindak yang di-share oleh setiap anggota
kelompok/masyarakat. Justru pendidikan di sekolah dan asrama
menjadi sarana proses pembiasaan (habitualisasi) tiap anggota untuk
memasuki universum pengetahuan dari masyarakatnya; inilah proses
sosialisasi sekunder, menurut Berger & Luckmann (1990: 194, 210,
216), sesudah pengalaman sosialisasi primer di tengah keluarga, yang
dikenal sebagai pendidikan informal/non-formal bagi anak.

48
Teori Pembangunan Pendidikan

Pendidikan Sebagai Modal Sosial Masyarakat


Salah satu bidang yang diharapkan memberikan kontribusi bagi
penguatan modal sosial adalah bidang pendidikan. Pendidikan tidak
hanya mencakup pendidikan formal atau sekolah saja, tetapi juga
mencakup arti pendidikan secara luas. Sekolah dan/ataupun perguruan
tinggi hanya merupakan salah satu agen sosialisasi bagi tumbuh-
kembangnya modal sosial, di samping agen-agen penting lainnya
seperti keluarga dan media massa. Dukungan secara luas dari semua
agen ini akan memberikan efek yang lebih luas dalam menumbuh-
kembangkan sekaligus menguatkan modal sosial bangsa.
Pembangunan di dalam masyarakat harus diawali dari
perubahan cara berpikir di dalam keluarga, para pendidik, dan elemen
pendukung lainnya tentang pentingnya menguatkan modal sosial.
Perubahan cara berpikir yang nantinya berakibat pada perubahan sikap
mental merupakan tahapan yang paling kritis dan paling sulit dalam
proses transformasi sosial, karena hal tersebut menyangkut perubahan
nilai, kebiasaan, bahkan keyakinan. Kesediaan untuk mengubah diri
secara individual harus dibarengi pula dengan merekonstruksi sistem
pendidikan agar lebih kondusif, seperti pengenalan muatan konsep
maupun praktek modal sosial di dalam kurikulum sekolah mulai dari
tingkat pendidikan sekolah dasar.
Penguatan modal sosial melalui pendidikan dilakukan melalui
tiga komponen: jaringan kerja sosial, norma sosial, dan sanksi. Dalam
jaringan kerja sosial, akses peserta didik terhadap informasi dikuatkan.
Dalam norma sosial, aturan-aturan yang berlaku dikuatkan agar meng-
hasilkan hubungan timbal balik yang positif, munculnya harapan bagi
kerjasama, kepercayaan, dan perilaku positif. Adapun dalam sanksi,
anak didik mentaati hukuman bagi pelanggaran dan penghargaan bagi
kepatuhan.
Tumbuhkembangnya modal sosial di dalam keluarga, sekolah
maupun masyarakat akan menentukan seberapa besar kepercayaan
masyarakat pada aktor-aktor atau lembaga-lembaga yang menyandang
atribut kekuasaan, pada proses sosial-politik, dan pada kebijakan yang
49
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

dihasilkan negara. Modal kepercayaan yang tinggi akan mendorong


terjadinya aksi sosial (social action) untuk mengatasi berbagai
permasalahan bangsa (Rohman, 2009: 85, Safaruddin, 2008: 1-5).
Jika melihat kondisi pendidikan di Indonesia, sepertinya tujuan
pendidikan nasional masih belum dapat menjadi solusi dalam persoalan
kemanusiaan (Freire, 2007:82-84). Sistem pendidikan yang ada demi
memanusiakan manusia ini, kenyataannya masih belum terwujud,
karena ketimpangan dalam proses akibat kesalahan sistem yang dite-
rapkan. Akhirnya pendidikan ini menghasilkan proses sosialisasi yang
tidak sempurna. Darmaningtyas (2004:5) dalam kata pengantarnya,
mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mendukung
terwujudnya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Sistem
pendidikan nasional tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan
politik baik birokrasi, partai politik, maupun kelompok masyarakat
lainnya. Kebijakan pendidikan yang dipraktekkan sampai kini lebih
mengakomodir kepentingan-kepentingan penguasa ketimbang
kepentingan manusia itu sendiri. Akibatnya negara gagal menciptakan
pendidikan yang dapat menjadi modal sosial (Sirozi, 2005).
Selain itu, model evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
kita masih menggunakan penilaian kuantitatif, seperti diungkapkan
oleh H.A.R Tilaar dan Nugroho (2009:182). Proses pendidikan yang
sukses tidak saja hanya diukur dengan ukuran-ukuran kuantitatif,
tetapi proses pendidikan ditentukan oleh kualitas. Tilaar dan Nugroho
menyebutkan bahwa rambu-rambu pendidikan berkualitas ditandai
dengan sejauh mana kurikulum pendidikan dapat menjawab kebu-
tuhan masyarakat serta sejauh mana sumbangsih pendidikan terhadap
pemenuhan keterampilan peserta didiknya sehingga dapat meningka-
tkan taraf hidupnya kelak di tengah masyarakat (modal sosial).

Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Indonesia


Pendidikan telah lama menjadi agenda di dalam setiap fase
pembangunan Indonesia. Hal tersebut terjadi sebelum memasuki abad

50
Teori Pembangunan Pendidikan

21 seperti diuraikan oleh Djojonegoro (1998:11). Pemerintah


memberikan perhatian cukup besar di bidang peningkatan kualitas
SDM. Dalam GBHN 1993 dijelaskan tentang perhatian pemerintah di
bidang pendidikan ini yaitu sebagai berikut:

“Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua diletakkan


pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama
pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia;
dan didorong saling memperkuat, saling terkait dan terpadu
dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang
dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan
pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mancapai
tujuan dan sasaran pembangunan nasional”.

Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat


berkesinambungan (suistainable), dan untuk mencapai masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kiranya perlu
mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif ekonomi politik.
Dalam pembangunan, ekonomi dan pendidikan merupakan dua
komponen yang saling memberikan pengaruh timbal balik. Menurut
Kartono (1992 : 309), pendidikan merupakan komponen ekonomi yang
penting, karena dapat memproduksi tenaga kerja terampil yang dapat
memasuki pasaran kerja, di samping membentuk manusia-manusia
ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup
bangsa.
Laju pertumbuhan ekonomi ternyata baru dapat memberikan
keuntungan minimal kepada manusia yang berada pada strata sosial
paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di daerah-
daerah kumuh di pinggiran kota. Keuntungan di sektor industri,
pertambangan, perkebunan belum didistribusikan secara merata
sampai ke lapisan bawah. Akibatnya, strata sosial marginal dan paling
miskin (kurang mampu) tadi juga mendapatkan porsi pendidikan
formal (sekolah) paling sedikit atau minimal.
Sektor primer modern belum mampu menampung serta
memanfaatkan sumber-sumber daya manusia desa, yang merupakan
bagian terbesar penduduk di Indonesia. Padahal pengelolaan tenaga
51
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

manusia melalui pendidikan (edukasi) sehingga menjadi produktif


merupakan tujuan ekonomis dan tujuan sosial dengan laju
pertumbuhan dari domestik bruto di atas rata-rata. Kemudian Baswir
(1999: 23) menambahkan, struktur perekonomian Indonesia masih
ditandai dengan terjadinya dualisme ekonomi, yaitu ekonomi modern
yang berorientasi kepada pengakumulasian kapital, dan perekonomian
yang masih tradisional dan bersifat subsisten. Tenaga kerja Indonesia
sekitar 70 % tamatan Sekolah Dasar, dan hanya 3 % yang memperoleh
kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu perlu
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Strategi pembangunan nasional harus dapat berorientasi kepada
pengembangan sektor pertanian tradisional untuk digeser menjadi
pertanian modern mengarah pada agro–bisnis dan agro-industri
dengan difokuskan kepada usaha memberantas kemiskinan, juga
peningkatan penghasilan untuk bisa hidup layak.
b. Mengaplikasikan kebijakan pendidikan tinggi yang bertolak dari
realitas nyata, yaitu upaya peningkatan ekonomi mayoritas
masyarakat pada umumnya, dari keterbelakangan untuk
dikembangkan kepada produktivitas, efektivitas, serta mobilitas
ekonominya.
c. Khususnya bagi suatu daerah di pedesaan atau periferi, kedua
macam usaha tersebut harus memperoleh dukungan dari kebijakan
pendidikan dan aktivitas pendidikan yang berorientasi kepada
kemiskinan atau ketidakmampuan; jadi harus ada “a poverty
oriented policy”, sebab di sini terdapat keterbelakangan di berbagai
sektor kehidupan dalam masyarakat. Maka wajar jika pendidikan
ingin memberikan kontribusi positif kepada pengembangan negara
dan bangsa; pendidikan harus dapat mengadaptasi diri pada
kebutuhan masyarakat dimana mayoritas rakyat Indonesia dalam
kondisi ekonomi yang masih sangat lemah dan pada kondisi
wilayah tanah air yang pasca-agraris.

52
Teori Pembangunan Pendidikan

Dalam keadaan dan situasi perekonomian sebagaimana saat ini,


kiranya perlu untuk mengimplementasikan suatu kebijakan pendidikan
yang berpihak pada kemiskinan dan keterbelakangan yang terdiri dari:
a. Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu, yang jumlahnya
masih cukup besar; ini dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat
digunakan untuk membangun angkatan kerja yang terdidik atau
terlatih secara teknis;
b. Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika serta
pengembangan, yang sesuai dengan sila “Kemanusiaan yang adil
dan beradab”; juga asas demokrasi Pancasila.
Selanjutnya, pembangunan dan modernisasi di suatu negara
hanya bisa dilakukan melalui perbaikan dan perluasan bidang
pendidikan dengan tujuan untuk membangkitkan serta
mengembangkan individualitas–sosialitas-moralitas manusianya serta
kemampuan ekonominya (Kartono, 1997:98). Sebab itu pendidikan
menjadi kebutuhan mutlak suatu negara yang berkeinginan dan
berupaya untuk maju, serta berkemauan besar mencapai kemakmuran
masyarakatnya. Agar tercapai tujuan hidup yang lebih baik, maka
faktor politis, ekonomis, sosial, kultural dan keamanan sangat
diperlukan oleh para tenaga terdidik.
Lewat beberapa argumentasi tersebut, maka pendidikan dalam
perspektif ekonomi, kiranya dapat dijelaskan dengan mengutip
pendapat dari Kartono (1997: l0l) antara lain:
a. Mampu menyiapkan tenaga kerja yang handal, baik (bermutu);
b. ikut mempersiapkan dibukanya lahan-lahan kerja baru;
c. bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya,
serta untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan pada
khususnya.
Sedangkan pada perspektif politik, pendidikan merupakan
proses sosial dan proses sosialisasi manusia. Proses sosial menjadi
dimensi utama dari filsafat pendidikan. Maka relasi sosial yang berbeda
53
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

dalam wadah suatu negara, yang bergantung pada renggang-dekatnya


relasi sosial antara individu dengan individu lain, menyebabkan
munculnya praktek pendidikan yang berbeda. Di negara demokrasi,
orang menghargai perbedaan, karena itu sistem pendidikan biasanya
disusun atas dasar dari pendapat orang banyak. Tetapi pendidikan
terasa dipaksakan bilamana dilaksanakan di negara totaliter; negara
membatasi kebebasan individu, dengan cara memberikan pendidikan
dengan pola yang uniform, ketat dan keras. Sistem pendidikannya
hanya satu, berdasarkan satu macam filsafat pendidikan. Guru-guru,
termasuk juga dosen bersikap otokratis dan mutlak, bila berkuasa atau
memerintah (mengajar) memakai tangan besi, karena para guru dengan
ketat akan melakukan dan meneruskan semua perintah dari kekuasaan
politik (pendidikan) yang juga otoriter sifatnya. Bagi negara totaliter,
edukasi dipandang sebagai kekuatan (force), minimal paling tidak
dijadikan kekuatan politik. Sebab itu pendidikan harus menjadi
tanggung jawab negara, dan negara secara mutlak (absolut) mengatur
pendidikan dengan cermat.

Manajemen Pendidikan Sebagai Suatu Sistem


Manajemen kerapkali dipandang sebagai ilmu, dan sebagai
strategi. Manajemen dikatakan sebagai ilmu oleh karena dipandang
sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha
memahami mengapa dan bagaimana mencapai sasaran melalui cara-
cara dengan mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Sedangkan
sebagai strategi, karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus
untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional yang
dituntun oleh suatu kode etik.
Manajemen memiliki empat fungsi yaitu fungsi: Perencanaan
(Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pemimpinan (Leading), dan
Pengawasan (Controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan
sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengen-
dalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi
tercapai secara efektif dan efisien. Aspek perencanaan berfungsi untuk
54
Teori Pembangunan Pendidikan

menentukan tujuan atau kerangka tindakan yang diperlukan untuk


pencapaian tujuan tertentu. Ini dilakukan dengan mengkaji kekuatan
dan kelemahan organisasi, menentukan kesempatan dan ancaman,
menentukan strategi, kebijakan, taktik dan program.
Proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan secara
ilmiah. Aspek pengorganisasian meliputi penentuan fungsi, hubungan
dan struktur. Fungsi berupa tugas-tugas yang dibagi ke dalam fungsi
garis, staf, dan fungsional. Hubungan terdiri atas tanggung jawab dan
wewenang, dengan struktur horizontal dan vertikal. Aspek pemimpin
menggambarkan bagaimana manajer mengarahkan dan mempengaruhi
para bawahan, bagaimana orang lain melaksanakan tugas yang esensial
dengan menciptakan suasana yang menyenangkan untuk bekerja sama.
Sedangkan aspek pengawasan meliputi penentuan standar, supervisi
dan mengukur penampilan/pelaksanaan terhadap standar dan
memberikan keyakinan bahwa tujuan organisasi tercapai. Produk dari
aspek pengawasan ini sangat erat kaitannya dengan perencanaan, oleh
karena melalui pengawasan efektivitas manajemen dapat diukur.
Manajemen itu, seperti yang dikemukakan oleh Stoner
(2006:15), bagaikan seni untuk melaksanakan pekerjaan melalui orang-
orang, sebagai ”the art of getting things done through people”. Definisi
ini perlu mendapat perhatian karena berdasarkan kenyataan,
manajemen mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang
lain. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Botinger (2005:23);
manajemen sebagai suatu seni membutuhkan tiga unsur, yaitu:
pandangan, pengetahuan teknis, dan komunikasi. Ketiga unsur tersebut
terkandung dalam manajemen. Oleh karena itu, keterampilan perlu
dikembangkan melalui pelatihan manajemen, seperti halnya melatih
seniman. Pada masa yang akan datang ada kemungkinan bidang
manajemen akan lebih banyak menyerupai seni daripada ilmu.
Semakin banyak belajar tentang manajemen, dalam banyak hal dapat
memperoleh informasi tentang seperangkat tindakan.
Demikian pula hubungan antar manusia, struktur sosial, dan
organisasi menuntut seorang manajer untuk memahami ilmu perilaku

55
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

yang mendasari manajemen. Akan tetapi, sebelum pengetahuan


tersebut dikuasai, manajer harus bergantung pada intuisinya sendiri
(karena informasi tidak memadai) dan melakukan penilaian sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak aspek
manajemen telah menjadi ilmiah, tetapi masih banyak unsur-unsur
manajemen yang tetap merupakan kiat tersendiri seorang manajer.
Prinsip-prinsip umum dalam manajemen terdiri dari (1)
pembagian kerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian, (2)
wewenang dan tanggung jawab pekerjaan yang diikuti
pertanggungjawaban, (3) disiplin yang berupa ketaatan dan kepatuhan
terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab, (4) kesatuan
perintah dalam melaksanakan pekerjaan, (5) kesatuan pengarahan
menuju sasaran, (6) mengutamakan organisasi di atas kepentingan
sendiri, (7) penggajian pegawai yang menumbuhkan kedisiplinan dan
kegairahan kerja, (8) pemusatan wewenang menuju pemusatan
tanggung jawab, (9) hirarki puncak dan bawahan, (10) ketertiban
dalam melaksanakan tugas, (11) keadilan dan kejujuran moral
karyawan, (12) stabilitas kondisi karyawan, (13) prakarsa mewujudkan
suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan baik, dan (14)
semangat kesatuan.
Dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen tersebut
seorang manajer akan melakukan seluruh kegiatannya dengan berpijak
pada tahapan-tahapan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian (Terry dalam Handoko, 1998:78). Fungsi manajemen
yang meliputi tahap-tahap tersebut akan selalu dijadikan acuan oleh
manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.
Pencapaian suatu tujuan pada sebuah organisasi atau lembaga
memerlukan anasir manajemen, yang memerlukan pemberdayaannya
secara simultan. Anasir manajemen tersebut dikenal dengan 6M yaitu
men, money, materials, machines, methods, dan market.
Dari seluruh anasir manajemen, pada akhirnya unsur manusia
yang menjadi core dari proses-proses manajemen. Begitu juga dalam
konteks manajemen pendidikan, anasir manusia menjadi pusat dari

56
Teori Pembangunan Pendidikan

seluruh kegiatan manajemen pendidikan. Hal ini disebabkan karena


manusia adalah salah satu bidang garapan manajemen, dan sekaligus
juga menjadi sasaran bidang pendidikan. Oleh karena itu, di dalam
proses pendidikan manusialah yang menjadi fokus garapannya guna
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Menurut Mulyasa (2004:48) manajemen pendidikan adalah
suatu proses pengembangan kegiatan kerja sama sekelompok orang
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses
pengembangan kegiatan tersebut mencakup perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, pengawasan; sebagai suatu proses
untuk mewujudkan visi menjadi aksi. Oleh karena itu kerangka kerja
manajemen secara umum diterapkan juga dalam manajemen
pendidikan, baik anasir maupun fungsi-fungsinya.
Oleh karena manajemen merupakan serangkaian kegiatan
dalam merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengen-
dalikan, dan mengembangkan segala upaya untuk mengatur dan
mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana secara
efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan (Sugiyono, 2002; Sudjana, 2004), maka begitu juga halnya
dengan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan merupakan
penataan, pengelolaan, pengaturan, dan kegiatan-kegiatan lain
sejenisnya yang berkenaan dengan lembaga pendidikan beserta segala
komponennya dan dalam kaitannya dengan pranata dan lembaga lain
(Sudjana, 2004:137). Dengan demikian, manajemen pendidikan adalah
proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pemantauan, dan penilaian.
Menurut Hamalik (2007:80) secara umum tujuan manajemen
pendidikan dalam proses pembelajaran adalah untuk menyusun suatu
sistem pengelolaan yang meliputi: 1) Administrasi dan organisasi
kurikulum; 2) Pengelolaan dan ketenagaan; 3) Pengelolaan sarana dan
prasarana; 4) Pengelolaan pembiayaan; 5) Pengelolaan media
pendidikan; 6) Pengelolaan hubungan dengan masyarakat, yang

57
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

manajemen keterlaksanaan proses pembelajaran yang relevan, efektif


dan efisien yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Kemudian, jika dilihat secara lebih khusus, tujuan dari
pelaksanaan manajemen pendidikan adalah terciptanya sistem
pengelolaan yang relevan, efektif dan efisien yang dapat dilaksanakan
dengan mencapai sasaran dengan suatu pola struktur organisasi
pembagian tugas dan tanggungjawab yang jelas antara pemimpin
program, tenaga pelatih fasilitator, tenaga perpustakaan, tenaga teknis
lain, tenaga tata usaha dan tenaga pembina. Selain itu manajemen
pendidikan bertujuan untuk memperlancar pengelolaan program
pendidikan dan keterlaksanaan proses pembelajaran.
Manajemen pendidikan, lanjut Hamalik (2007:81), memiliki
fungsi terpadu dengan proses pendidikan khususnya dengan
pengelolaan proses pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat
beberapa fungsi manajemen pendidikan, yaitu:
1) Fungsi Perencanaan, mencakup berbagai kegiatan menentukan
kebutuhan, penentuan strategi pencapaian tujuan, menentukan isi
program pendidikan dan lain-lain. Dalam rangka pengelolaan perlu
dilakukan kegiatan penyusunan rencana, yang menjangkau ke
depan untuk memperbaiki keadaan dan memenuhi kebutuhan di
kemudian hari, menentukan tujuan yang hendak ditempuh,
menyusun program yang meliputi pendekatan, jenis dan urutan
kegiatan, menetapkan rencana biaya yang diperlukan, serta
menentukan jadwal dan proses kerja.
2) Fungsi Organisasi, meliputi pengelolaan ketenagaan, sarana dan
prasarana, distribusi tugas dan tanggung jawab, dalam pengelolaan
secara integral. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan, seperti:
mengidentifikasi jenis dan tugas tanggungjawab dan wewenang,
merumuskan aturan hubungan kerja.
3) Fungsi Koordinasi, yang berupaya menstabilisasi antara berbagai
tugas, tanggung jawab dan kewenangan untuk menjamin
pelaksanaan dan keberhasilan program pendidikan.

58
Teori Pembangunan Pendidikan

4) Fungi Motivasi, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi


proses dan keberhasilan program pelatihan. Hal ini diperlukan
sehubungan dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab
serta kewenangan, sehingga terjadi peningkatan kegiatan personal,
yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan keberhasilan
program.
5) Fungsi Kontrol, yang berupaya melakukan pengawasan, penilaian,
monitoring, perbaikan terhadap kelemahan dalam sistem
manajemen pendidikan tersebut.

Sekolah Asrama (Boarding School)


Sekolah Asrama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sejak tahun 2008 menggalakkan program sekolah berbasis-berpola
asrama sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan sekaligus
mencerahkan anak bangsa. Keseimbangan antara kecerdasan
intelektual dan kecerdasan spiritual anak bangsa mutlak dibutuhkan
demi keberlangsungan masa depan bangsa ini. Kecerdasan intelektual
tanpa disertai dengan kecerdasan spiritual akan membuat bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan karakter dan jati dirinya.
Sistem pendidikan yang dinilai tepat untuk mewujudkan cita-
cita tersebut adalah sistem pendidikan unggulan yang merupakan
perpaduan antara dua sistem pendidikan yang telah dimiliki oleh
Indonesia saat ini, yaitu sistem pendidikan formal dan sistem
pendidikan berpola asrama. Sistem pendidikan formal, dalam konteks
penelitian ini adalah SMP dan SMA, mewakili keunggulan akademik.
Sistem pendidikan berpola asrama merupakan cerminan dari
keunggulan spiritual. Apabila proses pembelajaran pada pendidikan
formal rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari, maka tidak
dengan berpola asrama, pendidikan berbasis lokal ini proses
pembelajarannya berlangsung hingga 24 jam (Kemdiknas, 2011: 1).

59
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

Selain sebagai media pengembangan kualitas sumber daya


manusia, lembaga pendidikan formal atau sekolah juga berfungsi
sebagai wadah transformasi sosial dan budaya. Di sekolah, siswa atau
peserta didik menjalani proses pembelajaran untuk memperoleh
wawasan, pengetahuan, sekaligus keterampilan yang akan dijadikan
bekal hidup di tengah-tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, di sekolah juga terjadi proses sosialisasi
(sekunder, menurut Berger & Luckmann 1990) antara peserta didik dan
warga sekolah lainnya, terutama dengan guru atau pendidik. Proses
sosialisasi tersebut dapat terjalin melalui pengajaran ilmu,
pengetahuan, dan penanaman nilai-nilai serta moralitas.
Dalam konteks ini, proses sosialisasi yang dilakukan oleh
sekolah setidaknya mencakup empat dimensi. Pertama, pendidikan,
yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kedua, peran
seleksi sosial, yang mencakup pemberian legalitas (misalnya berupa
ijazah atau sertifikat) dan seleksi terhadap peluang kerja. Ketiga,
pembinaan peserta didik. Keempat, aktivitas kemasyarakatan. Sistem
pendidikan formal atau sekolah formal mempunyai beberapa
keunggulan dalam upaya pengembangan peserta didik. Keunggulan
yang utama adalah pelaksanaan sistem pendidikan yang berjenjang
(misalnya dari SD, SMP, hingga SMA).
Selain itu, program pendidikan disusun secara hierarkis dan
sistematis, serta adanya standarisasi pencapaian keberhasilan
pendidikan. Sistem pendidikan formal juga memberikan peserta didik
berbagai materi yang terstruktur, faktual, dan dibutuhkan, terutama
yang diperlukan dalam dunia kerja. Dengan demikian, lembaga
pendidikan formal atau sekolah pada akhirnya dapat berperan sebagai
mitra pemerintah dalam memberikan kontribusi bagi pembentukan
dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Terlebih lagi, di kalangan masyarakat umum di Indonesia, pendidikan
formal masih menjadi tolak ukur bagi tingkat kecerdasan seseorang.
Pemerintah melalui kementerian terkait sesungguhnya sudah
berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan formal melalui
60
Teori Pembangunan Pendidikan

berbagai cara dan langkah yang terus disempurnakan. Upaya tersebut


misalnya dengan menyusun kurikulum yang dinamis dan fleksibel
dengan penyediaan bahan ajar yang disusun secara sisrematis sesuai
dengan kompetensi yang hendak dicapai.
Strategi dan model pembelajaran pun telah dirumuskan dengan
bentuk yang variatif dan berorientasi pada efektivitas dan efisiensi
proses pembelajaran. Selain itu, peningkatan kualitas juga ditujukan
untuk para pendidik yang harus memiliki kualifikasi dan kompetensi
yang memadai dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah juga
mengupayakan ketersediaan sarana dan prasarana sebagai penunjang
proses pendidikan, serta sistem pengelolaan sekolah yang lebih
profesional.
Salah satu sasaran utama sekolah formal yang akan dipadukan
dengan sistem pendidikan di asrama adalah sekolah menengah pertama
atau SMP. Tujuan dipilihnya tingkat ini adalah karena siswa sekolah
usia SMP, yaitu antara 13-15 tahun, merupakan tingkat usia yang
rentan. Tingkat usia ini merupakan usia peralihan dari masa anak-anak
ke usia remaja.
Usia anak SMP termasuk ke dalam fase genital di mana pada
masa ini, proses psikoseksual seseorang mencapai “titik akhir”. Fase ini
juga sering disebut dengan nama masa pubertas, yaitu masa terjadinya
perubahan-perubahan dalam tubuh yang mengiringi rangkaian
pendewasaan, baik fisik maupun psikis. Para psikolog menyebut masa
pubertas sebagai masa yang sarat akan badai dan tekanan (storm and
stress). Pada usia ini, seseorang sudah tidak lagi dipandang dan
diperlakukan sebagai anak-anak, namun juga belum sepenuhnya
mengadopsi, apalagi mempraktekkan pola perilaku usia dewasa
(Amriel, 2008:19).
Ketika mengalami masa pubertas, seseorang akan dihadapkan
pada berbagai kebutuhan akal. Hamid Zahran (Az-Zabalawi, 2007: 516)
menggolongkan berbagai kebutuhan akal pada fase pubertas menjadi
beberapa jenis kebutuhan, antara lain kebutuhan berpikir dan
memperluas dasar pemikiran serta perilaku, kebutuhan ingin
61
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

mengetahui berbagai hakikat, kebutuhan ingin mendapatkan


penjelasan tentang berbagai hakikat, dan kebutuhan akan kedisiplinan.
Selain itu, juga kebutuhan akan berbagai pengalaman baru,
kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri dengan cara bekerja, dan
kebutuhan untuk meraih kesuksesan studi, kebutuhan untuk
mengungkapkan jatidiri, kebutuhan akan kesesuaian, kebutuhan ingin
melakukan hal-hal yang menarik perhatian dan menantang, kebutuhan
akan berbagai maklumat dan perkembangan kemampuan, kebutuhan
mendapatkan pengarahan yang bersifat memperbaiki dan mendidik,
dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia remaja atau
usia siswa SMP adalah usia pencarian identitas dan sangat rentan
terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif. Oleh
karena itu, di samping dikawal melalui pendidikan formal di sekolah,
remaja pada usia ini juga perlu diberi asupan mengenai pemahaman
yang bersifat spiritual, dalam hal ini adalah sistem pendidikan berpola
asrama.
Seperti halnya di sekolah formal, sistem pendidikan di asrama
juga memiliki beberapa keunggulan yang tentunya memiliki kekhasan
tersendiri. Keunggulan yang dimiliki berpola asrama antara lain, misi
pendidikannya banyak ditekankan pada aspek moralitas dan pembi-
naan kepribadian, kultur kemandirian dan interaksi sosial dengan
masyarakat sekitar secara langsung dan berlangsung 24 jam sehari.
Selanjutnya, penguasaan literatur klasik yang sarat dengan
nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang berguna bagi pengem-bangan
peradaban yang beretika, kharisma kiai sebagai pimpinan dan pengasuh
lembaga asrama menjadikan panutan dan teladan dalam kehidupan
sehari-hari, serta hubungan kiai dan siswa yang bersifat kekeluargaan
dengan kepatuhan yang tinggi (Kemdiknas, 2011:3).
Perpaduan sistem pendidikan sekolah menengah pertama dan
atas dengan berpola asrama menuntut adanya harmonisasi antara dua
keunggulan model pendidikan dalam satu lingkungan yang dikelola

62
Teori Pembangunan Pendidikan

secara terpadu, saling mengisi, dan mengembangkan potensi sekolah


didik agar menjadi sumber daya manusia Indonesia yang handal.
Tujuan tersebut tentu saja baru bisa dicapai apabila ada tindakan-
tindakan kongkret yang dipelopori oleh pemerintah melalui
kementerian terkait bersama-sama dengan lembaga pendidikan dan
masyarakat.

Program Pendidikan Berpola Asrama


Asrama sebagai lingkungan pendidikan memiliki ciri-ciri
antara lain: Sewaktu-waktu atau dalam waktu tertentu hubungan anak
dengan keluarganya menjadi terputus atau dengan sengaja diputuskan
dan untuk waktu tertentu pula anak-anak itu hidup bersama anak-anak
sebayanya. Setiap asrama mempunyai suasana tersendiri yang amat
diwarnai oleh para pendidik atau pemimpinnya dan oleh sebagian
besar anggota kelompok dari mana mereka berasal. Demikian pula
tatanan dan cara hidup kebersamaan serta jenis kelamin dari
penghuninya turut membentuk suasana asrama yang bersangkutan.
Jenis dan bentuk asrama itu bermacam-macam sesuai dengan
kepentingan dan tujuan dari pengadaannya sebagai suatu bentuk
lingkungan pendidikan. Misalnya:
a. Asrama santunan yatim piatu sebagai tempat untuk
menampung anak-anak yang salah satu atau kedua orang
tuanya meninggal. Kadang-kadang rumah yatim piatu
merupakan tempat tinggal yang tetap sehingga hubungan
dengan keluarga terputus.
b. Asrama tampungan di mana anak-anak dididik oleh orang tua
angkat, karena orang tuanya sendiri tidak mampu atau karena
orang tuanya menitipkan pendidikan dan pemeliharaan anak
kepadanya.
c. Asrama untuk anak-anak nakal atau mempunyai kelainan fisik
atau mental, maupun kedua-duanya, sehingga membutuhkan
pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa.
63
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

d. Asrama yang didirikan untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak


mungkin dapat dilakukan dalam pendidikan rumah maupun
sekolah.
e. Asrama yang dibutuhkan untuk menunjang ketercapaian
tujuan pendidikan suatu jabatan, yang tanpa itu tidak mungkin
dihasilkan pejabat-pejabat yang dapat memikul tanggung jawab
dan melaksanakan tugas-tugas yang bersangkutan.
Setiap asrama tersebut, masing-masing merupakan lingkungan
pendidikan yang dibina sedemikian rupa sesuai dengan tujuan dalam
rangka membantu perkembangan kepribadian anak. Cara-cara
pendidikan dan alat-alat pendidikan yang digunakan dalam sarana itu
berlain-lainan sesuai dengan sifat, kepentingan dan tujuannya.
Meskipun demikian, sedapat mungkin senantiasa diusahakan untuk
mewujudkan suasana ”kehidupan keluarga” di mana rasa kasih sayang
dan kehidupan keagamaan dapat diwujudkan secara wajar. Hal ini
penting agar mereka bersuasana seperti berada di rumahnya sendiri
dan dalam lingkungan perlakuan yang wajar laksana perlakuan orang
tua mereka sendiri.

Tipologi Asrama
Ada beberapa jenis sistem asrama yang dapat dijumpai di kota
Sorong dan kabupaten Sorong, di Propinsi Papua Barat, dan yang
dijadikan sasaran observasi bandingan dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
a. Asrama sebagai tempat Kost
Tujuan utama asrama adalah sebagai tempat tinggal
bagi siswa yang datang dari luar daerah yang tidak mempunyai
penampungan di rumah keluarga. Siswa disini mengatur
sendiri dan kadang berkelompok. Kehidupan mereka masih
banyak tergantung pada perhatian orang tua yang sesekali
datang melihat mereka. Sistem asrama di sini lebih bebas; tidak

64
Teori Pembangunan Pendidikan

ada pedoman atau aturan khusus, juga tidak ada Pembina atau
pamongnya. Asrama seperti ini pada umumnya disediakan oleh
Pemerintah Daerah; misalnya asrama siswa suku Moskona di
kota Sorong.
b. Asrama sebagai Panti Asuhan
Asrama ini menawarkan kesempatan asrama untuk
siswa kelas 7 atau lebih tinggi (SMP/SMA). Asrama ini
umumnya dikelola oleh sebuah yayasan atau komunitas religius
yang memberikan seorang pamong asrama sebagai pengatur
hidup harian anak-anak di Asrama tersebut. Pendampingan
bagi anak-anak yang masuk di asrama ini diserahkan
sepenuhnya kepada seorang pendamping. Orang tua
mempercayakan anak mereka dan orang tua juga masih ikut
bertanggungjawab dengan biaya hidup dari anak-anak mereka.
Asrama seperti ini terpisah dari sekolah dan mempunyai
peraturannya sendiri. Anak-anak yang tinggal di asrama dapat
bersekolah di satu sekolah atau beberapa sekolah yang ada
dalam satu kota. Misalnya, asrama St.Agustinus untuk siswa
SMA-K, asrama St. Monika untuk siswi SMA-K, dan asrama St.
Fransiskus Xaverius untuk siswi SMP di kota Sorong; juga
beberapa panti asuhan yang dikelola oleh kelompok Islam dan
umumnya berdekatan dengan sebuah mesjid ataupun
digabungkan dengan pesantren, seperti yang banyak terdapat
di kabupaten Sorong.
c. Asrama sebagai boarding school
Asrama ini dibangun dengan tujuan khusus dan
menyatukan baik sekolah maupun asrama dalam satu kesatuan.
Ada peraturan dan pedoman dan ada pendampingan yang jelas
yang dikoordinir oleh seorang rektor. Sekolah dan asrama
saling terkait satu sama lain dan kehidupan berasrama menjadi
kekuatan kehidupan di sekolah maupun sebaliknya. Malahan
tenaga pendidik atau guru berperan serentak sebagai pamong
atau Pembina para siswa dan mereka sendiri tinggal di asrama
65
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

berdampingan dengan para siswa. Misalnya, kegiatan hidup di


sebuah pesantren; juga Seminari Petrus van Diepen, yang
menjadi obyek penelitian ini. Corak hidup yang
mengintegrasikan kegiatan pendidikan formal di sekolah dan
pembinaan kebiasaan serta kecakapan hidup di asrama inilah
yang disebut dalam penelitian ini: „sekolah berpola asrama‟
ataupun „keberasramaan‟.

Keunggulan Program Pendidikan Berpola Asrama


Sistem boarding lebih menekankan pendidikan kemandirian,
dan berusaha menghindari dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu
umum). Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan
ilmu umum diharapkan akan membentuk kepribadian yang utuh setiap
siswanya. Hal tersebut dimungkinkan karena sistem boarding
dilaksanakan dengan keunggulan-keunggulan tertentu antara lain:
a. Program Pendidikan Paripurna
Umumnya sekolah-sekolah regular terkonsentrasi pada
kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak
yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu
yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah
regular. Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program
pendidikan yang komprehensif holistik dari program pendidikan
keagamaan, academic development, life skill (soft skill dan hard
skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran
tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi
baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.
b. Pengawasan langsung oleh pamong
Sistem asrama memungkinkan pendidik melakukan
tuntunan dan pengawasan secara langsung kepada para siswa, yang
memang hal ini sangat dimungkinkan karena guru dan siswa
tinggal di dalam satu komunitas yang sama. Pengawasan langsung

66
Teori Pembangunan Pendidikan

ini menyebabkan prilaku siswa yang menyimpang dapat segera


diketahui dan dapat dilakukan tindakan yang segera mencegahnya.
c. Interaksi.
Intensitas interaksi antara pamong dan siswa sangat kondusif
bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup. Umumnya, sistem
boarding dipantau dan diawasi oleh pamong yang
bertanggungjawab terhadap sejumlah siswa. Intensitas interaksi
antara pamong dan siswa memberikan peluang bagi siswa untuk
mengikuti arahan serta tindakan yang dilakukan oleh pamong serta
memperoleh pengetahuan tentang hidup.
d. Pendidikan karakter (character building)
Penanaman nilai merupakan ruhnya penyelenggaraan
pendidikan.Oleh karenanya pola-pola pendidikan berasrama
mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai
kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai
nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga
berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara
spesifik sesuai keyakinan agama. Maka setiap pembelajaran yang
dilakukan selalu diintegrasikan dengan perihal nilai di atas,
sehingga menghasilkan anak didik yang berkepribadian utuh, yang
bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai
yang diyakini untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup dan
sistem kehidupan manusia. Pendidikan dengan Sistem Boarding
School (perpaduan/integrasi sistem pendidikan pesatren dan
madrasah) sebenarnya efektif untuk mendidik kecerdasan,
ketrampilan, pembangunan karakter dan penanaman nilai-nilai
moral peserta didik, sehingga anak didik lebih memiliki
kepribadian yang utuh dan khas.
e. Proses Modelling
Menurut Wakhudin (2010), salah satu keistimewaan
pendidikan pondok pesantren adalah sistem boarding school atau
sistem berpola asrama. Dengan sistem boarding school, siswa
67
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar.


Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para pamong mereka.
Para pamong dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku
siswa sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang
waktu, memungkinkan bagi siswa untuk mencontoh perilaku dan
cara hidup pamong. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara
belajar yang paling efektif daripada sekadar belajar secara kognitif.
f. Pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar
Asrama adalah lingkungan yang terdiri dari para penuntut
ilmu, sehingga dari segi ini lingkungannya dikatakan homogen.
Dengan lingkungan yang homogen dalam nuansa keilmuan ini
maka sangat kondusif untuk menerapkan bahasa asing sebagai
bahasa pengantar, yakni dengan menerapkan direct method
(metode langsung) yang salah satu cirinya adalah sejak permulaan
siswa dilatih untuk “berfikir dalam bahasa asing”.
g. Fasilitas/sarana dan prasarana lengkap
Sekolah asrama mempunyai fasilitas yang lebih lengkap;
mulai dari fasilitas sekolah yaitu kelas belajar, laboratorium, klinik,
sarana olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara
di asrama fasilitasnya adalah kamar, area belajar pribadi, lemari es,
detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rakrak
yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis.
h. Guru dan pamong yang berdedikasi dan berkualitas
Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan
persyaratan kualitas guru yang lebih jika dibandingkan dengan
sekolah konvensional. Kecerdasan intelektual, sosial, spiritual dan
kemampuan pedagogis metodologis serta adanya roh kemandirian
pada setiap guru di sekolah berasrama. Ditambah lagi kemampuan
bahasa asing seperti: Inggris, Latin, Jerman, Perancis, dll.

68
Teori Pembangunan Pendidikan

i. Lingkungan yang kondusif


Dalam sekolah berpola asrama semua elemen yang ada
dalam kompleks sekolah terlibat dalam proses pendidikan.
Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya
guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di boarding
school adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa
langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam
berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi
juga dalam kehidupan kesehariannya.
j. Siswa yang heterogen
Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai
latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal
dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial,
budaya, tingkat kecerdasan. Kemampuan akademik yang sangat
beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan
nasional dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya
yang berbeda sehingga sangat baik baik anak untuk melatih
wisdom anak dan menghargai pluralitas.
k. Jaminan Keamanan
Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga
keamanan siswa-siswinya. Banyak sekolah asrama yang
mengadopsi pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan
siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan
sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Jaminan keamanan diberikan
sekolah berasrama, mulai dari jaminan kesehatan (tidak terkena
penyakit menular), tidak narkoba, terhindar dari pergaulan bebas,
dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan perpeloncoan), serta
jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.
l. Jaminan Kualitas
Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-
holistic, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas, dan

69
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

lingkungan yang kondusif dan terkontrol, dapat memberikan


jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional.
Dalam sekolah berasrama, pintar-tidak pintarnya anak, baik-tidak
baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena 24 jam anak
bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variable lain
yang “mengintervensi” perkembangan dan progresivitas pendi-
dikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu
oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain.
Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual,
sehingga setiap siswa dapat melejitkan bakat dan potensi
individunya.

Penelitian Terdahulu
Kajian tentang praktik terbaik di dalam manajemen pendidikan
telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, antara lain kajian Sazali
Yusoff Abd Razak Manaf Rosnarizah Abdul Halim (2010) tentang Best
Practices in Educational Management and Leadership: Identifying
High Impact Competencies for Malaysian School Principally. Halim
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kompetensi seorang
pemimpin adalah penting dalam menentukan arah organisasi, terutama
organisasi sekolah. Menjadi pemimpin organisasi sekolah, dibutuhkan
kemampuan khusus dari seorang pemimpin sekolah dalam rangka
mencapai dan melanjutkan pencapaian-pencapaian yang sudah dicapai
sebelumnya.
Hasil penelitian Halim dalam memotret praktik terbaik Institut
Aminuddin Baki (IAB), Kementerian Pendidikan Malaysia
menunjukkan bahwa sekolah tersebut mengembangkan pelatihan yang
berorientasi pada pertumbuhan, seperti High Impact Training and
Development Initiatives (HITI), Leadership Competency Assessment
(LCA), High Inisiative Training Impact (HITI) dan Leadership
Competence Assessment (LCA), Growth Oriented Training and
Development (GOTD). Untuk mengoperasionalkan kerangka kerja ini,
IAB telah mengembangkan instrumen untuk mengevaluasi kepala
70
Teori Pembangunan Pendidikan

sekolah kompetensi berdasarkan enam domain yaitu: Kebijakan dan


Arah, Instruksional dan Prestasi, Perubahan dan Inovasi, Masyarakat
dan Hubungan dan Sumber Daya dan Operasi. Dalam studi ini, IAB
diberikan instrumen seluruh negeri untuk 315 kepala sekolah dan 140
Departemen Petugas Pendidikan. Instrumen yang digunakan dalam hal
ini memiliki nilai-Cronbach 0,96. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kompetensi dampak tinggi untuk kepala sekolah di Malaysia
adalah Kualitas Fokus, Fokus Kurikulum, Pemecahan Masalah,
Pengambilan Keputusan, Mengelola Perubahan, Manajemen
Keuangan, Manajemen TIK dan Manajemen Kinerja.
Selanjutnya, penelitian Debbie Vigar Ellis (2013), Boys‟
boarding school management: understanding the choice criteria of
parents, South African Journal of Education, mengidentifikasi bahwa
sekolah asrama menengah Afrika Selatan telah menjadi lebih
kompetitif sebagai sekolah yang mencoba untuk menarik dan
mempertahankan siswa. Manajemen sekolah tersebut tidak hanya
harus mengatasi kebutuhan pendidikan dan asrama murid, tetapi juga
menerapkan manajemen yang tepat, dengan menggunakan prinsip-
prinsip pemasaran untuk bersaing secara efektif dengan pesantren di
seluruh negeri dan luar. Pelanggan mendasarkan produk pilihan
mereka dan layanan pada persepsi mereka terhadap berbagai
penawaran yang tersedia, dievaluasi sesuai dengan kriteria seleksi yang
mereka anggap penting.
Sekolah di sektor ini, untuk memposisikan diri secara tepat,
harus terlebih dahulu menentukan kriteria yang orangtua gunakan
untuk mengevaluasi satu sekolah terhadap yang lain. Penelitian ini
berangkat untuk menentukan kriteria. Sebuah sampel dari 169 orang
tua dan anak laki-laki tua, dipilih dengan menggunakan database dari
anak laki-laki tertentu 'asrama di KwaZulu-Natal (KZN), Afrika
Selatan, dan dikirimkan kuesioner. Kuantitatif Analisis dilakukan
untuk menentukan kriteria yang paling penting. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pilihan orang tua dalam memilih pendidikan
asrama didasarkan pada lingkungan yang aman dan staf yang
kompeten.
71
Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama
Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong

Penelitian sekolah berpola asrama di Malaysia terarah pada observasi


terhadap pertumbuhan lewat kompetensi, sedangkan penelitian di
Afrika Selatan ini tertuju pada manajemen sekolah. Sedangkan
penelitian pada sekolah berpola asrama di SM PvD di Sorong ini
terarah pada kombinasi antara kegiatan pendidikan dan pola hidup
asrama.

72

Anda mungkin juga menyukai