manusia
pembangun
atau
manusia
yang
melaksanakan
pembangunan.
Arif, Budiman (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan Sosiologi,
Jakarta: Pustaka Pulsar. Hlm. 2-3
2
inspirasi
terhadap
sarjana-sarjana
sosial
Amerika,
yang
kemudian
dikelompokkan dalam satu teori besar, dan dikenal sebagai Teori Modernisasi.3
Satu hal yang menonjol dari teori modernisasi ini adalah, modernisasi seolah-olah
tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber
kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Asumsi ini ternyata banyak menimbulkan komentar dari berbagai pihak, terutama dari
kelompok pendukung Teori Dependensi, sehingga timbul paradigma baru yang dikenal
sebagai teori Modernisasi Baru.4
Pada saat melangsungkan pembangunan dengan mengacu pada teori Rostow,
mungkin terlupakan bahwa teori ini bisa berlaku apabila keadaan masyarakat yang dibangun
itu bersifat homogen. Upaya untuk melakukan homogenisasi telah ditempuh melalui berbagai
wujud pembangunan ekonomi, termasuk usaha meningkatkan pendapatan masyarakat,
dengan demikian peningkatan ekonomi selalu dianggap akan mendorong peningkatan
kualitas kehidupan pada umumnya. Homogenitas melalui pengembangan sektor ekonomi itu
terkesan dipaksakan dari kondisi yang heterogen, hal itu kemudian menjadikan pula
ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sektor. Modernisasi dilihat sebagai
pertumbuhan ekonomi belaka, yang melupakan pokok penting dalam kehidupan, yaitu
pembinaan budaya membangun dalam memenuhi kehendak dari gerak kehidupan tersebut.
Opcit . Hlm.9
Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, Teori-Teori Modernisasi,
Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES. Hlm. 58-61
4
Garna, Yudistira K. (1999). Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian Melalui Diskusi.
Bandung: Primaco Academika. Hlm.15
tidak disiplin, kurang bertanggung jawab, dan mentalitas menerabas sebagai produk setelah
revolusi, adalah sebagai mentalitas yang menghambat proses pembangunan.6
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Hlm.
43-53.
7
So, Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, Teori-Teori Modernisasi,
Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES. Hlm. 131.
8
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Hlm.
69
tidak berjalan efektif. Bagaimanapun negara tetap menjadi aktor penting dalam proses
pembangunan. Elit Politik lah sebagai pelaku otoritatif yang dapat dipercaya untuk menjamin
berlakunya pasar secara efektif. Elit Politik merupakan satu-satunya institusi yang dapat
berfungsi untuk menangkal krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara dengan membatasi
distorsi pasar dana meniadakan ketidakstabilan yang melekat dalam sistem ekonomi pasar.
Peran Elit Politik dapat dikatakan sebagai capitalist development state yang berperan dalam
menjaga agar kebebasan pasar dan tingkat integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi
internasional bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi, kondisi dan tempat tertentu.
Menurut Kamal Mathur peranan Elit Politik dalam pembangunan dapat dirinci dalam
tiga perkara. Pertama dalam hal investasi. Elit Politik mengeluarkan bermacam kebijakan
agar dapat menarik sebanyak mungkin investor supaya masuk ke dalam negeri. Misalnya,
jaminan investasi asing akan aman, bebas pembayaran bagi keuntungan investor, dan
infrastuktur yang memadai. Kedua, bidang perdagangan. Misalnya kebijakan bea ekspor
murah, bea impor yang tinggi, dan perlindungan terhadap produk dalam negeri. Dan terakhir
dalam hal keuangan, seperti penangan masalah inflasi.
Ada tiga alasan untuk mendukung peranan Elit Politik dalam hal pembangunan. Pertama
sebagai media penanganan kegagalan pasar. Pasar bisa saja gagal dalam menentukan hargaharga faktor produksi, sehingga Elit Politik harus turut campur dalam hal ini. Kedua,
memobilisasi sumber dan dalam rangka alokasi sumber-sumber daya tersebut. Negara
berkembang memiliki masalah kelangkaan sumber daya, dan untuk menyelesaikannya, Elit
Politik harus dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas.
Kemudian Elit Politik dapat berperan sebagai capital development state yang menjaga
agar kebebasan pasar dan tingkat integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi internasional
bersifat relatif, sesuai situasi dan kondisi di negara tersebut. Hal ini membutuhkan prisnsip
entrepreneurial bureaucracy, yaitu suatu sistem yang berorientasi mencari keuntungan,
mengekploitasi perubahan dan menjadikannya peluang. Dalam bahasa sederhana ini berarti
penggantian sistem birokrasi dengan sistem wirausaha, yaitu menciptakan organisaiorganisasi dan sistem yang terbiasa dalam memperbaharui, secara berkala memperbaiki
kualitasnya tanpa ada dorongan dari luar.
mengingat sebelumnya istilah civil society diterjemahkan sebagai masyarakat warga, ada
juga yang menterjemahkan atau memahaminya sebagai masyarakat sipil. Memang, dari
sudut kata-kata ini merupakan terjemahan leterlijk atau verbatim yang dapat dibenarkan.
Akan tetapi, penerjemahan ini dianggap salah kaprah karena penerjemahan tersebut
dianggap muncul dari pemahaman yang dikembangkan oleh sementara orang bahwa civil
society atau masyarakat sipil itu lawan dari segala sesuatu yang berbau tentara atau militer.
Ada kemungkinan, kesalahkaprahan itu juga didukung oleh pandangan bipolar yang
selama ini muncul
Berdasarkan alasan itulah evolusi perkembangan konsep civil society baik dari isi maupun
peristilahan yang kemudian dicarikan padanan dalam penerjemahannya dengan masyarakat
madani merupakan sesuatu yang sangat menarik.
Sebab dengan itu, apa yang disebut masyarakat madani mendekati konsep asal dari
apa yang disebut civil society. Istilah peradaban dengan segala variasinya merupakan salah
satu komponen penting dari seluruh bangunan konsep
civil society
merujuk pada hal-hal yang secara khusus bersifat politik, tetapi kehidupan kemasyarakatan
secara lebih luas di situ terdapat dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum dan lain
sebagainya.9
Konsep dan Pemikiran mengenai Civil Society10
Nama
Cicero
Civilis
Pemikiran
societs merupakan masyarakat politik yang memiliki
Jhon Locke
Jean-Jaques
9
Ahmad, Baso. 1999. Civil society versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam
Indonesia. Penerbit Pustaka Hidayah. Bandung. hal. 249
10
Raharjo (1999); Suhelmi (1999); Hikam (1996), Culla (1999), M Alfan Alfian M (2005).
Rousseau
Hegel
Civil society
society).
Memisahkan civil society di satu sisi dan Negara di sisi lain.
Civil society melawan hegemoni Negara. Ia mendefinisikan civil
society
(self
supporting),
kemandirian
yang
tinggi
spirit
kekuatan militer.
Civil society dimulai dari merebaknya tradisi individualisme di
yang
otonom
dan
cukup
kuat
untuk
mengimbangi negara.
Daftar Pustaka
Baso, Ahmad. 1999. Civil society versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil
Society dalam Islam Indonesia. Penerbit Pustaka Hidayah. Bandung.
Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan
Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar.
Budiman, Arif. (1995) Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Garna, Yudistira K. (1999). Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian
Melalui Diskusi. Bandung: Primaco Academika.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
So, Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, TeoriTeori Modernisasi, Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES.