Anda di halaman 1dari 8

PERAN ELIT DALAM MEMBANGUN NEGARA

Pembangunan sepertinya menjadi suatu fenomena yang tidak habis-habisnya dibahas


dalam kerangka kajian keberlangsungan hidup manusia. Fenomena ini melekat sebagai salah
satu ciri kehidupan manusia yang kerap mengalami perubahan menurut berbagai dimensi
yang ada. Konsep pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan,
pembangunan disini diartikan sebagai bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, suatu proses pembangunan dapat dijadikan sebagai
suatu ukuran untuk menilai sejauh mana nilai-nilai dasar masyarakat yang terlibat dalam
proses ini bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dari
dinamika masyarakatnya. Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi
segala hal. Secara umum, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan
masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksudkan terutama adalah
kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai
oleh satu masyarakat di bidang ekonomi, bahkan dalam beberapa situasi yang sangat umum
pembangunan diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang kurang diharapkan bagi
sebagian orang tersingkir dan sebagai ideologi politik yang memberikan keabsahan bagi
pemerintah yang berkuasa untuk membatasi orang-orang yang mengkritiknya.1
Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah materi yang
ingin dihasilkan dan dibagi, dan kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif
menjadi

manusia

pembangun

atau

manusia

yang

melaksanakan

pembangunan.

Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan


manusia dalam artian peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kreativitasnya.
Pembangunan tidak hanya berkaitan dengan produksi dan distribusi barang-barang
material. Pembangunan harus menciptakan kondisi-kondisi manusia bisa mengembangkan
kreativitasnya.2 Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat
dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang
dicita-citakan, dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu
keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan
dinamika dalam perkembangan masyarakat.
Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga, dalam pembangunannya selalu terkait
dengan teori Modernisasi dan Teori Dependensi. Berikut ini saya akan memaparkan
mengenai kaitan tersebut.
1

Arif, Budiman (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan Sosiologi,
Jakarta: Pustaka Pulsar. Hlm. 2-3
2

Ibid. Hlm. 13-14

1. Teori Modernisasi dan Pembangunan


Teori Modernisasi muncul pada pasca perang dunia kedua, yaitu pada saat Amerika
terancam kehilangan lawan dagang sehingga terjadi kejenuhan pasar dalam negeri, dari
keterlibatan Amerika inilah negara-negara Eropa yang porak poranda seusai perang mulai
bangkit dari keterpurukannya, keterlibatan ini bukan saja banyak menolong negara-negara
Eropa, tetapi di balik itu justru banyak memberikan keuntungan yang lebih bagi Amerika itu
sendiri. Pada perkembangannya kemudian, keberhasilan pembangunan yang diterapkan pada
negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke
negara-negara Dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya.
Dalam kenyataannya, keberhasilan yang pernah diterapkan di Eropa, ternyata banyak
mengalami kegagalan di negara-negara dunia Ketiga. Penjelasan tentang kegagalan ini
memberikan

inspirasi

terhadap

sarjana-sarjana

sosial

Amerika,

yang

kemudian

dikelompokkan dalam satu teori besar, dan dikenal sebagai Teori Modernisasi.3
Satu hal yang menonjol dari teori modernisasi ini adalah, modernisasi seolah-olah
tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber
kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Asumsi ini ternyata banyak menimbulkan komentar dari berbagai pihak, terutama dari
kelompok pendukung Teori Dependensi, sehingga timbul paradigma baru yang dikenal
sebagai teori Modernisasi Baru.4
Pada saat melangsungkan pembangunan dengan mengacu pada teori Rostow,
mungkin terlupakan bahwa teori ini bisa berlaku apabila keadaan masyarakat yang dibangun
itu bersifat homogen. Upaya untuk melakukan homogenisasi telah ditempuh melalui berbagai
wujud pembangunan ekonomi, termasuk usaha meningkatkan pendapatan masyarakat,
dengan demikian peningkatan ekonomi selalu dianggap akan mendorong peningkatan
kualitas kehidupan pada umumnya. Homogenitas melalui pengembangan sektor ekonomi itu
terkesan dipaksakan dari kondisi yang heterogen, hal itu kemudian menjadikan pula
ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sektor. Modernisasi dilihat sebagai
pertumbuhan ekonomi belaka, yang melupakan pokok penting dalam kehidupan, yaitu
pembinaan budaya membangun dalam memenuhi kehendak dari gerak kehidupan tersebut.

Opcit . Hlm.9
Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, Teori-Teori Modernisasi,
Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES. Hlm. 58-61
4

Kekeliruan lainnya adalah kurangnya diperhitungkan kondisi obyektif masyarakat


dalam menerima modernisasi, salah satu akibat yang terjadi adalah anomi. Masyarakat sudah
menerima perubahan, namun di sisi lain masih banyak bentuk-bentuk tradisi lama yang
belum atau sukar untuk ditinggalkan sehingga kehidupan berlangsung diantara dua titik yang
membuat kebingungan para pelakunya. 5 Apabila mengacu pada teori David McClelland
tentang the need for achievement (n-Ach), maka tingkat perkembangan masyarakat
sebenarnya bisa diukur dari besarnya dorongan untuk berprestasi dalam masyarakat itu
sendiri. Bentuknya bisa dari perbandingan antara tingkat produksi dengan tingkat konsumsi,
masyarakat yang tidak membangun adalah suatu bentuk kehidupan yang tingkat
konsumsinya lebih besar dari tingkat produksi. Keberanian untuk mengambil resiko
sepertinya tidak begitu dianggap bernilai tinggi pada masyarakat Indonesia, bentuk yang
paling umum dari keadaan ini yaitu mentalitas sebagai pegawai (pegawai negeri) masih
mendominasi bursa tata kepegawaian dibandingkan bentuk-bentuk kemandirian lainnya.
Bentuk dari rendahnya n-Ach ini adalah belum berkembangnya kesadaran atau arti
pentingnya tentang suatu tanggung jawab atau disiplin sebagai suatu bentuk kesadaran dari
keterlibatan pihak-pihak lain diluar kesadaran tentang dirinya sendiri.
Koentjaraningrat pernah memberikan satu solusi dari polemik sikap mental orang
Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan pada satu acara seminar (1970),
pendapat inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya Koentjaraningrat melakukan
pendekatan melalui teori Modernisasi untuk menganalisa proses pembangunan di atas. Pada
karangan yang lain, Koentjaraningrat (1979) melakukan pendekatan yaitu dengan
menekankan pada analisanya tentang sistem nilai yang hidup dalam masyarakat yang tidak
cocok dengan pembangunan atau ciri modern dari konsep modernisasi. Masalah tentang
sistem nilai dan pembangunan yang ada di Indonesia mengacu pada orientasi sistem nilai
budaya yang sebelumnya dikembangkan oleh F. Kluckhohn dan F.L.Stroodbeck (1961).
Dalam tulisannya ini Koentajraningrat membagi orientasi nilai budaya dalam dua belahan
waktu, sebelum dan sesudah revolusi. Dikatakannya bahwa nilai budaya yang tidak
mementingkan mutu atau prestasi, orientasi waktu yang cederung ke masa lalu sehingga
melemahkan motivasi orang untuk menabung dan hidup hemat, menganggap hidup selaras
dengan alam sehingga timbul konsep tentang nasib, menjunjung tinggi nilai konformisme,
orientasi hubungan manusia yang vertikal sehingga menghambat hasrat untuk berdiri sendiri,

Garna, Yudistira K. (1999). Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian Melalui Diskusi.
Bandung: Primaco Academika. Hlm.15

tidak disiplin, kurang bertanggung jawab, dan mentalitas menerabas sebagai produk setelah
revolusi, adalah sebagai mentalitas yang menghambat proses pembangunan.6

2. Teori Dependensi dan Pembangunan


Dua orang pemerhati masalah pembangunan di Indonesia, Sritua Arief dan Adi
Sasono (1984) berusaha melihat masalah pembangunan ini dari sisi yang berbeda dengan apa
yang dikembangkan Koentjaraningrat sebelumnya; mereka menggunakan teori Dependensi
untuk menjelaskan persoalan pembangunan politik eonomi Indonesia. Kajiannya dimulai
dengan menguji kembali warisan kolonial Belanda yang ditinggalkan, seperti kebanyakan
analisa sejarah yang lain tentang Indonesia, rentang waktu kajian dimulai sejak
diberlakukannya sistem tanam paksa. Bagi mereka, pelaksanaan tanam paksa dijadikan
sebagai pangkal tolak untuk melihat banguan struktural yang diwarisi Indonesia pada waktu
negara ini merdeka.7
Teori Modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga
termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi
negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan
kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9); justru disinilah letak
permasalahannya, karena teori pembnagunan menurut persepsi Dunia Ketiga menghendaki
bahwa tradisi dan nilai-nilainya harus memberikan nuansa kepada keadaan modern yang
hendak dicapai.8
Elit Politik yang sedang melaksanakan pembangunan pasti memiliki tujuan utama
yang ingin dicapai, salah satunya adalah tujuan-tujuan nasional yang ambisius seperti
peningkatan pendapatan perkapita, mempermudah pertumbuhan ekonomi mandiri secara
berkesinambungan, dan memajukan kemakmuran rakyat secara bersama-sama. Berbagai
macam cara dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing negara.
Ada tiga alasan yang mendasari campur tangan Elit Politik dalam pembangunan, yakni:
kegagalan pasar, memobilisasi sumber dan dalam rangka alokasi sumber-sumber tersebut dan
argumentasi atittude atau sikap atau psikologis. Elit Politik lah s yang mempunyai kekuasaan
otoritatif untuk mengalokasikan sumber-sumber bantuan langka yang berguna untuk
pembangunan. Tanpa campur tangan Elit Politik, besar kemunkinan akan mendorong
terjadinya misalokasi sumber-sumber tersebut, dan ini akan membuat program pembangunan
6

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Hlm.
43-53.
7
So, Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, Teori-Teori Modernisasi,
Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES. Hlm. 131.
8

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Hlm.
69

tidak berjalan efektif. Bagaimanapun negara tetap menjadi aktor penting dalam proses
pembangunan. Elit Politik lah sebagai pelaku otoritatif yang dapat dipercaya untuk menjamin
berlakunya pasar secara efektif. Elit Politik merupakan satu-satunya institusi yang dapat
berfungsi untuk menangkal krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara dengan membatasi
distorsi pasar dana meniadakan ketidakstabilan yang melekat dalam sistem ekonomi pasar.
Peran Elit Politik dapat dikatakan sebagai capitalist development state yang berperan dalam
menjaga agar kebebasan pasar dan tingkat integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi
internasional bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi, kondisi dan tempat tertentu.
Menurut Kamal Mathur peranan Elit Politik dalam pembangunan dapat dirinci dalam
tiga perkara. Pertama dalam hal investasi. Elit Politik mengeluarkan bermacam kebijakan
agar dapat menarik sebanyak mungkin investor supaya masuk ke dalam negeri. Misalnya,
jaminan investasi asing akan aman, bebas pembayaran bagi keuntungan investor, dan
infrastuktur yang memadai. Kedua, bidang perdagangan. Misalnya kebijakan bea ekspor
murah, bea impor yang tinggi, dan perlindungan terhadap produk dalam negeri. Dan terakhir
dalam hal keuangan, seperti penangan masalah inflasi.
Ada tiga alasan untuk mendukung peranan Elit Politik dalam hal pembangunan. Pertama
sebagai media penanganan kegagalan pasar. Pasar bisa saja gagal dalam menentukan hargaharga faktor produksi, sehingga Elit Politik harus turut campur dalam hal ini. Kedua,
memobilisasi sumber dan dalam rangka alokasi sumber-sumber daya tersebut. Negara
berkembang memiliki masalah kelangkaan sumber daya, dan untuk menyelesaikannya, Elit
Politik harus dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas.
Kemudian Elit Politik dapat berperan sebagai capital development state yang menjaga
agar kebebasan pasar dan tingkat integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi internasional
bersifat relatif, sesuai situasi dan kondisi di negara tersebut. Hal ini membutuhkan prisnsip
entrepreneurial bureaucracy, yaitu suatu sistem yang berorientasi mencari keuntungan,
mengekploitasi perubahan dan menjadikannya peluang. Dalam bahasa sederhana ini berarti
penggantian sistem birokrasi dengan sistem wirausaha, yaitu menciptakan organisaiorganisasi dan sistem yang terbiasa dalam memperbaharui, secara berkala memperbaiki
kualitasnya tanpa ada dorongan dari luar.

Definisi Masyarakat Sosial


Dipandang dari sudut peristilahan, kata civil society mempunyai kedekatan makna
dengan istilah

masyarakat madani. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang menarik,

mengingat sebelumnya istilah civil society diterjemahkan sebagai masyarakat warga, ada
juga yang menterjemahkan atau memahaminya sebagai masyarakat sipil. Memang, dari
sudut kata-kata ini merupakan terjemahan leterlijk atau verbatim yang dapat dibenarkan.
Akan tetapi, penerjemahan ini dianggap salah kaprah karena penerjemahan tersebut
dianggap muncul dari pemahaman yang dikembangkan oleh sementara orang bahwa civil
society atau masyarakat sipil itu lawan dari segala sesuatu yang berbau tentara atau militer.
Ada kemungkinan, kesalahkaprahan itu juga didukung oleh pandangan bipolar yang
selama ini muncul

yaitu penghadapan yang tidak pas

antara sipil dan militer.

Berdasarkan alasan itulah evolusi perkembangan konsep civil society baik dari isi maupun
peristilahan yang kemudian dicarikan padanan dalam penerjemahannya dengan masyarakat
madani merupakan sesuatu yang sangat menarik.
Sebab dengan itu, apa yang disebut masyarakat madani mendekati konsep asal dari
apa yang disebut civil society. Istilah peradaban dengan segala variasinya merupakan salah
satu komponen penting dari seluruh bangunan konsep

civil society

yang tidak hanya

merujuk pada hal-hal yang secara khusus bersifat politik, tetapi kehidupan kemasyarakatan
secara lebih luas di situ terdapat dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum dan lain
sebagainya.9
Konsep dan Pemikiran mengenai Civil Society10
Nama
Cicero

Civilis

Pemikiran
societs merupakan masyarakat politik yang memiliki

kode hukum sebagai dasar pengaturan hukum. Pengertian ini erat


kaitannya dengan konsep warga Romawi yang hidup di kota-kota
yang memiliki kode hukum (ius civile), sebagai ciri masyarakat

Jhon Locke

beradab dibanding dengan warga di luar Romawi yang dianggap


belum beradab.
Mendefinisikan civil society sebagai masyarakat politik. Ia
dihadapkan dengan otoritas paternal atau keadaan alami (state of
nature) masyarakat yang damai, penuh kebajikan, saling
melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa takut dan penuh
kesetaraan. Keadaan itu berubah setelah manusia menemukan

Jean-Jaques
9

system moneter dan uang.


Sumbangnya atas konsep

civil society, adalah karena

Ahmad, Baso. 1999. Civil society versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam
Indonesia. Penerbit Pustaka Hidayah. Bandung. hal. 249
10
Raharjo (1999); Suhelmi (1999); Hikam (1996), Culla (1999), M Alfan Alfian M (2005).

Rousseau

pendapatnya tentang kontrak sosial (social contract)-masyarkat


terwujud akibat kontrak sosial. Ia juga punya konsep keadaan
alamiah-manusia didorong untuk cinta pada diri sendiri yang
membuatnya selalu berusaha menjaga keselamatan dirinya dan
naluri untuk memuaskan keinginan-keinginan manusiawinya.
Manusia pada dasarnya memiliki kebaikan-kebaikan alamiah
(natural goodness), maka bila terjadi perang, itu bukan fenomena

Hegel

alamiah, melainkan fenomena sosial.


Civil society
adalah bagian dari tatanan politik secara
keseluruhan. Bagian dari tatanan politik lain adalah negara
(state).

Civil society

yang dimaksud adalah perkumpulan

merdeka antara seseorang yang membentuk burgerlische


gesellchaft

(bourgeois society). Bagi Hegel, negara adalah

perwujudan jiwa mutlak (absolute idea) yang bersifat unik


karena memiliki logika, system berpikir dan berperilaku
tersendiri yang berbeda dengan lembaga politik lain (civil
Antonio
Gramsci

society).
Memisahkan civil society di satu sisi dan Negara di sisi lain.
Civil society melawan hegemoni Negara. Ia mendefinisikan civil
society

sebagai kumpulan organisme yang disebut privat

dengan masyarkat politik yang disebut Negara. Wilayah-wilayah


institusi privat itu, antara lain gereja, serikat-serikat pekerja dan
Alexis deTocqueville

dagang, serta lembaga pendidikan.


Civil society
dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain,
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan

(self

supporting),

kemandirian

yang

tinggi

berhadapan dengan Negara, dan keterikatan dengan normaAdam Ferguson

norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.


Civil society dipandang sebagai negara, digambarkan sebagai
bentuk tatanan politik yang melindungi dan mengadabkan
pekerjaan-pekerjaan manusia, seperti seni, budaya dan

spirit

publiknya, peraturan-peraturan pemerintah, rule of law , dan


Thomas Paine

kekuatan militer.
Civil society dimulai dari merebaknya tradisi individualisme di

Amerika Serikat, di mana saat itu muncul pemikiran bahwa


Ernest Gellner

negara merupakan lembaga impersonal


Civil society adalah .....masyarakat yang terdiri atas institusi
non-pemerintah

yang

otonom

dan

cukup

kuat

untuk

mengimbangi negara.

Daftar Pustaka
Baso, Ahmad. 1999. Civil society versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil
Society dalam Islam Indonesia. Penerbit Pustaka Hidayah. Bandung.
Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan
Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar.
Budiman, Arif. (1995) Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Garna, Yudistira K. (1999). Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian
Melalui Diskusi. Bandung: Primaco Academika.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
So, Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, TeoriTeori Modernisasi, Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai