Anda di halaman 1dari 17

Dampak Sosial dan Budaya dari Globalisasi

Globalisasi kebudayaan berkembang seiring dengan


perkembangan kapitalisme global dan transparansi
informasi. Sebagai proses homogenisasi dan
internasionalisasi, globalisasi bisa dilihat secara negatif.
Dalam bidang kebudayaan globalisasi dituduh gagal
dalam menciptakan dan mempertahankan
keanekaragaman budaya. Cita-citanya untuk
menghargai perbedaan dan tercapainya keadilan bagi
semua umat manusia ternyata tidak sesuai dengan
realitas yang sedang terjadi, karena justru
kecenderungan globalisasi adalah homogenisasi dan
penyeragaman. Karena itu, keanekaragaman budaya dan
masyarakat hanya tinggal konsep tanpa realitas (Sobrino
dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12).
Globalisasi tidak hanya mempengaruhi sisi luar
kebudayaan, yakni keanekaragaman budaya, akan tetapi
juga menyangkut hakikatnya, yakni cara pandang kita
tentang kenyataan dan kebenaran. Menurut Jean
Baudrillard, dalam globalisasi kebudayaan kebenaran
dan kenyataan menjadi tidak relevan dan bahkan lenyap.
Contohnya bisa dilihat dalam dunia hiburan di mana
kebudayaan direduksi menjadi sebatas iklan dan
tontonan media massa. Bagi Anthony Giddens,
globalisasi terjadi manakala berbagai tradisi keagamaan
dan relasi kekeluargaan yang tradisional berubah
mengikuti kecenderungan umum globalisasi, yakni
bercampuraduk dengan berbagai tradisi lain. (Giddens,
2000: 4).
Proyek homogenisasi dalam globalisasi tidak bisa
dibatasi pada keidentikan dengan hegemoni budaya
Barat terhadap budaya Timur. Logika globalisasi
memungkinkan munculnya situasi chaos, over-laping,
kesimpang-siuran mengenai asal budaya. Hak milik ataupun identitas kelompok bukanlah
masalah yang
krusial, karena yang diutamakan adalah bagaimana
identitas itu diangkat menjadi identitas global, milik
masyarakat global.
Globalisasi juga bisa dilihat sebagai suatu tatanan sosial
yang penuh dengan ilusi; menciptakan dunia di mana
manusia senang untuk tinggal di dalamnya. Kapitalisme
pun menjadi kapitalisme global yang mempengaruhi
masyarakat dunia lewat berbagai strategi ekonomi.
Bahkan hal yang sama bisa dimanfaatkan secara luar
biasa untuk mengubah realitas secara radikal (Sobrino
dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 11).
Benjamin R. Barber menyebut globalisasi yang
didukung oleh transparansi dan ekspansi informasi ini
sebagai “satu tema dunia”, di mana negara diikat secara
bersama dengan tali komunikasi, hiburan, dan yang
paling berpengaruh yakni perdagangan, baik
perdagangan barang dan jasa maupun perdagangan
saham dan uang atau valuta (Barber, 1996: 4). Analisa
lain menghubungkan globalisasi dengan istilah “Mc
World”. Sebagaimana fenomena McDonald’s,maka
sebagai McWorldglobalisasi identik dengan dunia yang
“serba-fast” Ada yang namanya fast foodatau
McDonald itu sendiri, ada “fast-music”yang diwakili
oleh MTV dan “fast-computer” seperti Macintosh, IBM,
dan seterusnya. (Barber, 1996: 4).
Konsumerisme di Era Globalisasi
Peter N. Stearns1 mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat
diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :

1
Peter N. Stearns. Consumerism in World History : the global Transformation of Desire. 2003. New York:
Routledge Hal: ix
.. consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we need
some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism describes a
society in which many people formulate their goals in life partly through acquiring
goods that they clearly do not need for subsistence or for traditional display. They
become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their
identity from a posessionof new things that they buy and exhibit. In this society , a
host of institutions both encourage and serve consumerism.. from eager
shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce
designer employed toput new twists on established models, to advertisers seeking ti
create new needs..”

Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru kita. Ideologi tersebut
secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi
tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang
dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang
membuat orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan
konsumsi.
Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi hampir pada segala
aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai ke sosial budaya. Menurut
Trevor Norris konsumerisme terkenal bersifat korosif dalam kehidupan politik dan bahkan
menjadi suatu perombak, pendeformasi, kesadaran manusia. Konsumerisme dalam hal ini
dipandang sebagai suatu proses dehumanisasi dan depolitisasi manusia--karena para warga
negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah menjadi konsumen yang sangat sibuk
dan kritikus atau peneliti pasif.

A. Asal mula konsumerisme.

Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat konsumen.


Topik ini bahkan menjadifokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an.
Terdapat perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen. Beberapa
ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan munculnya kapitalisme
modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses
industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi
material dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan
alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan
antar manusia, kesadaran, kebudayaan dan politik, dikatakan dikonstruksikan oleh relasi
ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan
oleh kepemilikan pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus dari pekerja. Tujuan
kapitalisme adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi
pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai
komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan
komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, diamana objek, kualitas
dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba
mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar
baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis.
Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai
sarana produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa
menguasai hak milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup.2
Horkheimer dan Adorno3 mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan
rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi.
Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi
tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar –exchange value--karena nilai budaya yang
mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi
produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi. Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu
bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut
Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic
value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau
nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Konsumsi pada era ini diangap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi
dari mekanisasi dan tehnologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya
ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita guinakan untuk mengkomunikasikan dan
menginterpretasi tanda-tanda budaya. Ilmuwan yang lain berargumen bahwa konsumersime
merupakan fenomena abad 20 yang dihubungkan dengan munculnya komunikasi massa,

2
Barker, Chris. Cultural Studies (edisi terjemahan Indonesia. 2004. Yogayakarta: Kreasi
Wacana.hal 14
3
Introduction to critical theory
bertumbuhnya kesejahteraan dan semakin banyaknya perusahaan modern. Konsumerisme
menjadi sarana utama pengekspresian diri, partisipasi dan kepemilikan pada suatu masa
dimana institusi komunal tradisional, seperti keluarga, agama dan negara telah terkikis.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan meningkatnya ketertarikan masyarakat
terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap pengulangan yang sangat cepat dari
hal-hal yang lama atau pencarian terhadaphal yang baru: produk baru, pengalaman baru dan
citra baru. Apa yang penting dari nalisa ini adalah adanya perubahan bertahap pada abad ke
20 dari sentralitas produksi barang-barang menjadi kepentingan politis dan budaya dari
produksi kebutuhan.
Pandangan semiotika Baudrillard memberikan analisis yang original tentang
masyarakat konsumen, dan juga dapat menjelaskan bagaimana struktur komunikasi dan
sistem tanda mampu mempertahankan eksistensi masyarakat konsumen tersebut. Analisa
Baudrillard tentang masyarakat konsumsi disarikan melalui analisa dari disiplin semiotika,
psikoanalisa dan ekonomi politik dalam produksi tanda. Menurut Baudrillard, sistem
komunikasi berperan sangat penting dalam masyarakat konsumen, terutama menyangkut
produksi tanda.
Sependapat dengan pemikir posmodernisme perancis lainnya, Baudrilard juga
mengemukakan kritik terhadap teori Marx. Kritisme paling utama dari Baudrillar terhadap
teori Marx mungkin berkenan dengan perubahan dari produksi objek menjadi produksi tanda,
dari alat-alat produksi menjadi lat-alat konsumsi atau “the simultaneous production of the
commodity as sign and the sign as commoditty”. Dominasi tidak lagi terjadi dalam bentuk
kontrol terhadap alat-alat produksi ,namun dominasi lebih banyak terjadi pada alat-alat
konsumsi. Terlebih lagi, dominasi tersebut terjadi pada tingkatan model signifikansi (dulunya
model produksi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi Baudrillard, yang menandai transisi konsumsi tradisional menjadi
konsumerisme adalah pengorganisasian konsumsi ke dalam suatu sistem tanda.
Traditional symbolic goods (tools, furniture, the house itself) were the
mediatorsof the real relationshipor a directly experienced situation, and their
subject and form bore the clear imprint of theconscious or unconscious dynamic
of that relationship. They thus were not arbitrary.
.. from the time immemorial people have bought, possesed, enjoyed and spent, but
his does not mean that they were consuming. … It is… the organizationof all
these things into a signifying fabric : consumption is the virtual totality of
allobjects and messages ready constitued as a more or less coherent discourse..
..to become an object of consumption an object must be a sign.
That is to say: it must become external,in a sense, object to the systematic
statusof asign implies the simultaneous transformation of the human relationship
of consumption….all desires, projects, and demands, all passions and
relationships, are now abstracted (or naterialized) as signs and as objects to be
bought and consumed.

B. PENGABURAN NILAI GUNA—USE VALUE

Dalam sistem masyarakat konsumen, rasionalitas konsumsi telah jauh berubah.


Karena saat ini, masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemeniuhan kebutuhan
(needs), namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi
dengan konsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Yasraf4
mengemukakan, satu-satunya objek yang dapat memnuhi hasrat adalah objek hasrat yang
muncuk secara bawah sadar secara imajiner. Dan objek hasrat ini telah menghilang dan hanya
mampu mencari substitusi-substitusinya dalam dunia objek dari simbol-simbol yang
dikonsumsi.
Dalam Yasraf, Gilles Deleuze dan Felix Guattari menyatakan bahwa hasrat atau hawa
nafsu tidak pernah terpenuhi, karena ia selalu direproduksi dalam bentyuk yang lebih tinggi.
Orang mempunyai hasrat akan sebuah objek tidak disebabkan kekuarangn alamiah dari objek
tersebut, akan tetapi perasaan kekurangan dan ketidak puasan yang diproduksi dan
direproduksi dalam diri masing-masing. Logika tersebut beroperasi dalam masyarakat
konsumen saat ini. Yang dikonsumsi adalah simbol-simbol yang melekat pada suatu objek.
Sehingga, objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai tukarnya. Nilai
simbolis menjadi komoditas. Untuk menjadi objek konsumsi, suatu objek harus menjadi
tanda. Karena hanya dengan cara demikian, objek tersebut bisa dipersonalisasi dan dapat
dikonsumsi. Itu pun bukan semata karena materialnya, melainkan karena objek tersebut
berbeda dari lainnya.
Dalam sistem masyarakat saat ini, simbol dan citra memang semakin mengalahkan
kenyataan. Penampakan lebih penting dari esensi. Citra mampu mengubah objek yang
fungsinya sama menjadi berbeda. Citra membedakan satu objek bisa bernilai tinggi dibanding
yang lainnya. Citra juga yang membuat orang rela berkorban lebih besar untuk konsumsi

4
Dalam “Dunia yang Dilipat”, hal 187
sebuah benda yang tidak signifikan fungsinya. Kebanyakan orang merasa bahwa membeli
barang berharga mahal lebih baik daripada yang murah, benda bermerek lebih baik dari yang
tidak bermerek, benda yang dijual di toko/counter atau outlet resmi lebih baik dari yang
dijual dipinggir jalan atau di pedagang kaki lima. Berbagai alasan mungkin bisa jadi
pembenaran untuk argumen tersebut, mulai dari pertimbangan kualitas sampai kenyamanan
dalam proses membeli. Namun, disamping semua alasan tersebut, pembedaan itu terjadi
dalam tataran rasionalitas kita yang terkonstruksikan demikian.
Seseorang yang membeli sepasang sepatu di pinggir jalan seharga nominal rendah.
Model sepatu tersebut sangat mirip sekali dengan sepatu lainnya yang bermerek ”tertentu”
dan dijual di counter khusus. Pemilik sepatu tersebut pasti memiliki perasaan bahwa sepatu
yang dibelinya palsu dan yang bermerek tersebutlah yang asli. Dan ketika pada suatu
kesempatan kedua sepatu yang mirip tersebut bertemu, mungkin akan timbul perasaan malu,
minder, tidak percaya diri dalam benak pemilik sepatu murah; sementara pemilik sepatu
bermerek seolah berhak mengeluarkan justifikasi terhadap sepatu murah sebagai tiruan dan
palsu.

C. PERIKLANAN DALAM BUDAYA KONSUMEN

Sistem komunikasi mempunyai peranan penting dalam masyarakat konsumen. Karena


sistem tersebut adalah perangkat vital dalam konstruksi realitas simbolis. Media massa
berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai simbolis—symbolic
value—pada masyarakat. Sistem komunikasi berkembang semakin canggih dengan
dukungan tehnologi komunikasi dan informasi. Inovasi tehnologi dalam bidang ini membuat
produksi image dan komodifikasi nilai simbolis dari suatu objek menjadi semakin mudah dan
cepat, bahkan instan. Tehnologi juga meningkatkan kapasitas media massa baik kualitas
maupun jangkauannya dalam menyebarkan image kepada publik.
Jane Kenway dalam tulisan Norris mengemukakan bahwa isi media massa saat ini
semakin mendukung budaya konsumerisme. Surat kabar atau TV sekarang ini banyak
membuat suatu bagian atau program yang khusus di desain untuk channel komersial. Kita
semakin mudah menemukan liputan-liputan khusus tentang barang-barang konsumsi, tempat-
tempat belanja, saran-saran atau tips belanja dan berbagai cerita mengesankan tentang
pengalaman berbelanja. Istilah populer untuk bentuk liputan semacam itu disebut jurnalisme
komersial.
Selain pada isi media massa, perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang
pemasaran dan periklanan produk-produk konsumsi, yang mana diungkapkan bahwa budget
belanja iklan dan penciptaan brand pada perusahaan-perusahaan juga semakin bertambah
besar. Biaya promosi justru seringkali lebih besar dari biaya produksi dari komoditas itu
sendiri. Karena bagaimanapun, iklan masih dianggap dan terbukti menjadi metode promosi
yang paling ampuh. Periklanan menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika
kita mengamati bentuk-bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visual iklan terkadang jauh
lebih baik dari realitasnya, atau disebut juga hiperrealitas. Iklan mampu menciptakan mimpi
dan ilusi5 karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk
menciptakan realitas fantasi karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap
cukup efektif untuk memperoleh apa yang diinginkan. Sebagai hasilnya kita banyak melihat
dalam iklan: anak yang tumbuh berukuran raksasa dalam waktu sekejap, produk yang bisa
terbang, tampilan tubuh yang lebih ramping, kulit yang lebih putih, dsb.

D. GAYA HIDUP DAN BUDAYA KONSUMEN

Perkembangan budaya konsumen telah mempengaruhi cara-cara masyarakat


mengekspresikan estetika dan gaya hidup. Dalam masyarakat konsumen, terjadi perubahan
mendasar berkaitan dengan cara-cara orang mengekspresikan diri dalam gaya hidupnya.
David Chaney mengemukakan bahwa gaya hidup telah menjadi ciri dalam dunia modern,
sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup untuk menggambarkan
tindakannya sendiri dan orang lain. Definisi lifestyle atau gaya hidup saat ini menjadi
semakin kabur. Namun dalam kaitannya dengan budaya konsumen, istilah tersebut
dikonotasikan dengan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stylistik. Tubuh,
busana, gaya pembicaraan, aktifitas rekreasi, dsb adalah beberapa indikator dari
individualitas selera konsumen.
Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena memang, gaya hidup
seseorang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa.
Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan
hasrat. Konsumsi tidak hanya mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari
televisi hingga mobil, tetapi juga mengkonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan
berbagai pengalaman sosial.

5
http://www.transparencynow.com/advertise.htm
Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. Hal tersebut karena
pola-pola konsumsi dalam gaya hidup seseorang melibatkan dimensi simbolik, tidak hanya
berkenaan dengan kebutuhan hidup yang mendasar secara biologis. Simbolisasi dalam
konsumsi masyarakat modern saat ini mengkonstruksi identitasnya, sehingga gaya hidup bisa
mencitrakan keberadaan seseorang pada suatu status sosial tertentu.
Konstruksi identitas diri melalui konsumsi banyak dilakukan oleh masyarakat
perkotaan. Max weber mengemukakan bahwa

masyarakat perkotaan meningkatkan ’awareness’ akan gaya, untuk berkonsumsi


dalam suatu kode yang berbeda dari kelompok sosial tertentu, dan yang
mengeskpresikan preferensi individu. Masyarakat perkotaan melakukan
mengkonsumsi dengan maksud mengartikulasikan identitasnya agar
diperhitungkan.

Jadi pilihan mobil, perhiasan, bacaan, rumah, makanan yang dikonsumsi, tempat
hiburan, berbagai merek pakaian, assesoris, dll sebenarnya hanyalah simbol dari status sosial
tertentu. Begitu juga dengan pola pergaulan. Bagaimana, dengan siapa dan dimana seseorang
bergaul juga menjadi simbol bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok sosial tertentu.

Civil Society di Era Globalisasi


Masyarakat yang hidup di zaman kapitalisme global
adalah masyarakat konsumen. Masyarakat seperti
demikian sebenarnya adalah masyarakat yang telah
menjadi hamba dari ciptaannya sendiri, yaitu
kapitalisme global. Kemajuan yang diusung dalam
globalisasi telah membawa masyarakat dalam situasi
terkungkung dalam jerat-jerat dan “rayuan” kapitalisme
global, tatanan yang menawarkan berbagai kemudahan,
keindahan, dan pemenuhan kebutuhan yang serba
instan. Dengan budaya konsumsi yang dipegangnya,
masyarakat konsumen sebenarnya merupakan hasil
kreasi kapitalisme global.
Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya
masyarakat konsumen (consumer society) yang akan
melahap semua produk kapitalisme tersebut.
Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang
eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi
yang dikonsumsi. Masyarakat konsumen dengan budaya
konsumsi yang dipegangnya melihat tujuan dan totalitas
hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi.
Eksistensinya dijalankan dan dipertahankan hanya
dengan semakin dan terus menerusnya mengkonsumsi
berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi.
Bukan hanya dirinya saja yang mengaktualisasikan diri
lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan dinilai
menurut standar yang dipakainya itu. Artinya eksistensi
orang lain pun akan dinilai dan diakui sesuai dengan
standar status sosial yang dipegangnya. Di sini peran
media massa dengan program advertising-nya sangat
menonjol. Gaya konsumsi yang dipandu oleh
advertisingatau iklan dalam kapitalisme global,
ternyata telah menciptakan suatu masyarakat konsumen
yang mengkonsumsi, yang seakan-akan menjadi “sapi
perahan” kaum kapitalis.
Paul du Gay, et al. dalam bukunya: Doing Cultural
Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997)
menelusuri sejarah munculnya kritik atas budaya
konsumtif dalam masyarakat konsumen. Mazhab
Frankfürt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse,
menempatkan kritik atas budaya konsumtif ini dalam
kritik mereka atas Enlightenment.Istilah budaya
industri sendiri diperkenalkan oleh Max Horkheimer
dan Theodore Adorno. Budaya industri sendiri lahir
dalam situasi di mana kegiatan industri difokuskan
untuk menciptakan produk-produk dalam jumlah massal
(Paul du Gay, et al, 1997: 81). Mereka melihat
konsumsi sebagai tindakan memanipulasi masyarakat
yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari
eksistensi sosial yang lebih otentik. Paul du Gay
mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan konsumen
melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan
identitas diri. Paul du Gay dkk. menelusuri kembali
konsep diferensiasi sosial yang pernah dikemukakan
oleh Throstein Veblen yang menyatakan bahwa
seberapapun miskinnya seseorang, tindakan
konsumsinya tidak hanya mengarah pada ‘nilai guna’,
tetapi selalu mengarah pada ‘nilai identitas’ (Paul du
Gay, et al, 1997: 96). Dalam hal ini yang menjadi
patokan tentu saja trend yang sedang berlangsung dalam
masyarakat. Selain itu seperti yang diungkapkan oleh
Bourdieu, konsumsi sekaligus berkaitan dengan benda-benda material dan aktivitas
simbolis. Objek konsumsi
mendatangi kita sekaligus sebagai benda material dan
bentuk simbolis. (Paul du Gay, et al, 1997: 97).
Penentuan ‘siapa aku’ atau status diri ditemukan
dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa
mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di
sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan
merek yang terkenal dan unik (Paul du Gay,et al, 1997:
99-102).
Searah dengan kritik terhadap masyarakat konsumen
dan budaya konsumsi yang diungkapkan Paul du Gay
dkk., Jean Baudrillard meradikalkan konsep tentang
konsumsi ini dengan menghubungkannya dengan
kapitalisme global dan media massa yang selalu
menciptakan dan menyebarkan tanda-tanda untuk
dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Bagi
Baudrillard, konsumsi diradikalkan menjadi konsumsi tanda. Menurutnya masyarakat
konsumen tidak lagi
terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama
ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu
kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat
eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang
dikonsumsi. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi
tidak lagi dilihat sebagai suatu kegiatan menghabiskan
obyek, tetapi merupakan relasi di antara obyek atau
sebagai suatu tindakan sistematis untuk memanipulasi
benda (Baudrillard, 1997: 200).
Dalam pemikiran Baudrillard, gaya hidup konsumsi
dalam masyarakat konsumen ini tercipta karena
perubahan fokus perhatian dalam kapitalisme itu
sendiri, di mana manajemen produksi dalam kapitalisme
klasik telah digantikan menjadi manajemen konsumsi
dalam kapitalisme global (perubahan dari “mode of
production” menuju “mode of consumption”). Gaya
hidup konsumtif ini dikendalikan sepenuhnya oleh
teknik pemasaran yang menguasai seluruh kesadaran
masyarakat konsumen. Khususnya yang menyangkut
diferensiasi diri. Dengan demikian, masyarakat
konsumen akan melihat identitas diri ataupun kebebasan
mereka sebagai kebebasan memproyeksikan keinginan
pada barang-barang industri (Baudrillard, 1997: 185-186). Konsumsi dipandang
sebagai usaha masyarakat
untuk merebut makna-makna sosial atau posisi sosial.
Relasi bukan lagi terjadi antara manusia, tetapi antara
manusia dengan benda-benda konsumsi.
Masyarakat yang telah menjadi masyarakat konsumen
akan melihat iklan (advertising) sebagai guru dan
teladan moral yang harus diikuti. Karena iklan yang
adalah ujung tombak kapitalisme sebagai guru dan
teladan moralitas, maka moralitas yang berkembang
dalam masyarakat adalah moralitas hedonis
(Baudrillard, 1997: 185). Oleh Baudrillard, moralitas
hedonis yang mengedepankan individualisme ini
dihubungkan dengan masyarakat konsumen, yang pasif
dan mendasarkan identitasnya pada tanda yang berada
di belakang barang komoditi yang dikonsumsinya. Hal
ini tentunya menjadi mungkin karena dalam kapitalisme
global kegiatan produksi sudah bergeser dari penciptaan
barang konsumsi, ke penciptaan tanda (Baudrillard,
1998: 72-75). Atau dengan kata lain kapitalisme global
memfokuskan diri pada “manajemen konsumsi”. Media
massa berada di belakang penyebaran kapitalisme
dengan menciptakan dan sekaligus menyebarluaskan
berbagai tanda yang referensi atau maknanya tidak ada
(Baudrillard, 1998: 78). Manajemen konsumsi
kapitalisme global memfokuskan diri pada usaha-usaha
mempengaruhi konsumen secara individual. Kepada
tiap individu, lewat produk yang ditawarkan melalui
media, produser menjanjikan berbagai hal yang
berhubungan langsung dengan kepribadian individu,
seperti pemenuhan diri, kesenangan, kelimpahan, dan
tentu saja prestise yang akan didapatnya kalau individu
itu mengkonsumsi komoditi yang mereka tawarkan
(Baudrillard, 1998: 82). Dapat dikatakan bahwa
masyarakat konsumen menemukan makna hidup dan
identitas dirinya melalui pembedaan kegiatan
konsumsinya dengan orang lain. Ironisnya, makna dari
tanda yang dikonsumsi masyarakat konsumen tidak
didapat dari nilai guna barang komoditi yang
dikonsumsinya, akan tetapi malah dicarinya melalui
sistem tanda itu sendiri (Piliang, 2004: 118).
Individualisme Baru dalam Masyarakat Konsumen
Masyarakat konsumen—yang hidup dari tanda-tanda
yang ditawarkan oleh globalisasi—pada gilirannya akan
menjadi masyarakat yang menganut individualisme
baru. Individualisme baru ini muncul sejalan dengan
berkembangnya neoliberalisme dalam kapitalisme
global. Dalam liberalisme awal muncul individualisme
klasik yang masih identik dengan kaum kapitalis.
Liberalisme awal menawarkan konsep tentang
kebebasan individu termasuk di dalamnya kebebasan
hak milik yang masih terbatas dalam sekat-sekat
kedaulatan suatu negara. Maksudnya, kebebasan yang
dimaksud masih berkaitan dengan posisi individu ketika
berhadapan dengan negara. John Locke, seorang
pemikir liberalisme, melihat kebebasan sebagai suatu
keadaan alamiah manusia. Dalam hal ini suatu benda
dikatakan sebagai milik satu orang ketika benda itu
didayagunakan atau diberi nilai tambah oleh orang
tersebut (Franz Magnis-Suseno, 1987: 123-124).
Sejarah kemudian mencatat bahwa pertarungan antara
liberalisme-individualisme klasik di satu pihak dengan
marxisme-sosialisme di pihak lain mengahasilkan suatu
kesadaran baru dalam dunia kapitalis yang terejawantah
dalam ideologi neoliberalisme. Ideologi neoliberalisme
pada gilirannya melahirkan kapitalisme global.
Gabungan antara neoliberalisme pada tataran teoritis
dan kapitalisme global pada tataran praksis
memunculkan individualisme baru. Individualisme baru yang diperjuangkan—dan
memang
berhasil direalisasikan oleh kaum neoliberalis—
mensyaratkan adanya pembatasan peran negara dalam
mengatur ekonomi dan kehidupan sosial-ekonomi tiap
warganya. Wewenang itu harus dikembalikan pada tiap-tiap individu. Hal ini, jika
dijalankan dalam kerangka
kapitalisme global, secara niscaya akan menghasilkan
masyarakat yang sejahtera (Giddens, 1999: 13).
Individualisme baru yang berada di bawah payung
kapitalisme global dan neoliberalisme secara
fundamental berbeda dengan individualisme klasik.
Dalam hal ini, individualisme baru menjadi lebih
kompleks, bukan hanya sekedar kebebasan warga ketika
berhadapan dengan negara, tetapi lebih merupakan
kebebasan individu ketika berhadapan dengan barang-barang konsumsi. Di sini
muncul kontradiksi dalam diri
individualisme baru, di mana kebebasan individu untuk
berkonsumsi sekaligus bisa dilihat sebagai keterikatan
dan ketergantungan individu terhadap nilai-nilai dan tanda-tanda yang diperkenalkan
oleh kaum kapitalis
global melalui media massa. Di satu pihak, individu-individu yang hidup di zaman
globalisasi sekarang ini
merasa sebagai manusia seutuhnya, karena ia diberi hak
untuk merealisasikan segala keinginannya, mempunyai
penghasilan yang layak. Namun di pihak lain, pilihan-pilihan yang ada pada dirinya,
mulai dari gaya hidup,
kebutuhan riil, sampai pada tanda-tanda yang melekat
dalam barang-barang dagangan tertentu, semuanya
dintrodusir oleh alat-alat kaum kapitalis global. Justru
dengan skema seperti inilah kapitalisme global bisa
hidup. Ia membutuhkan para pekerja untuk
menghasilkan barang dagangan, para pekerja tersebut
diberinya upah sehingga kehidupan mereka menjadi
sejahtera. Namun para pekerja ini pula yang kemudian
menjadi konsumen setia, yang menjadi konsumen tetap
dari kapitalisme global tersebut.
Individualisme baru merupakan ciri yang mendasar dari
masyarakat konsumen. Oleh Baudrillard, individualisme
baru dihubungkan dengan masyarakat konsumen yang
pasif dan mendasarkan identitasnya pada tanda yang
berada di belakang barang komoditi yang
dikonsumsinya. Hal ini tentunya menjadi mungkin
karena dalam kapitalisme global kegiatan produksi
sudah bergeser dari penciptaan barang konsumsi, ke
penciptaan tanda (Baudrillard, 1998: 72-75) Menurut
Baudrillard individualisme baru merupakan sifat yang
tercermin dalam tindakan-tindakan konsumsi secara
kontinyu dari masyarakat konsumen.
Relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat konsumen
sangat bergantung pada pola konsumsi ini. Nilai-nilai
yang diperkenalkan oleh kaum kapitalis menjadi nilai-nilai yang disharingkan dan
dianggap sebagai
“kewajaran yang seharusnya ditaati” oleh setiap anggota
masyarakat. Akibat dari pengingkaran terhadap nilai-nilai dan penolakan terhadap
tanda-tanda ini bukan lagi
rasa bersalah, sebagaimana dalam ilmu sosiologi klasik,
melainkan dikucilkan dan merasa terasing dari
kelompoknya.
Kajian seperti ini dapat saja dituduh sebaagi kajian yang
terlalu menggeneralisir dan menyederhanakan masalah.
Akan tetapi kenyataan yang ditunjukkan oleh kemajuan
dunia yang supercepat membuat penulis yakin bahwa
memang konfigurasi sosiologis masyarakat lambat-laun
berubah. Kita bisa mengambil contoh dari kemajuan
dunia komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan
telepon seluler (HP). Hampir setiap bulan muncul jenis
dan tipe HP baru dengan fitur-fituryang semakin
canggih dengan fungsionalisasi yang semakin luas.
Fitur-fitur yang muncul bersamaan dengan munculnya
tipe-tipe baru dari HP telah ikut membuat pola relasi
masyarakat berubah terus. Cara masing-masing
individu melihat dirinya dan melihat orang lain-pun
turut berubah seiring dengan perkembangan di dunia
komunikasi. Pola-pola relasi tradisional dan modern
yang masih mengandalkan kebutuhan untuk bertatap
muka secara langsung dan berdiskusi panjang lebar kini
telah mulai bergeser menjadi pola komunikasi singkat
melalui SMS. Akibat dari perkembangan ini adalah
munculnya kebutuhan setiap orang untuk selalu
menyesuaikan jenis alat komunikasi yang dimilikinya
dengan perkembangan yang ada agar ia tidak terlempar
dari sistem komunikasi, baik yang dalam batas relasi
kelompok pergaulannya sendiri maupun dalam sistem
komunikasi global.
Secara ringkas, dalam perkembangannya kapitalisme
global membutuhkan masyarakat konsumen.
Masyarakat konsumen diwajibi mengkonsumsi produk-
produk kapitalisme global yang disampaikan dengan
persuasif melalui periklanan. Maka budaya industri
yang semula merupakan mode of productionbergeser
dan berkembang menjadi budaya konsumsi yaitu mode
of consumption. Masyarakat termanipulasi dan lambat
laun terpisah dari eksistensi kesosialannya untuk
selanjutnya menciptakan bentuk- bentuk individualisme
baru sebagai masyarakat yang sangat tergantung pada
pola- pola konsumsi.

GERAKAN SOSIAL GLOBAL

Anda mungkin juga menyukai