Anda di halaman 1dari 25

JURNAL TESIS

PENGATURAN PERPAJAKAN E-COMMERCE DAN


PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
SURIYADI, S.H
031324153043

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
Lembar Pengesahan Jurnal

Mengetahui
Dosen Pembimbing :

Dr. Hj.Sarwirini, S.H.,M.S


NIP. 196009291985022001
ABSTRAK

Potensi penerimaan negara dari sektor e-commerce sangatlah besar salah


satunya dari pemungutan pajak atas transaksi e-commerce, bahwa e-commerce
mempunyai ciri dan karakteristik yang khas yang membedakannya dengan
perdagangan pada umumnya seperti konten yang digital (software, video, gambar,
antivirus dll), sehingga perlakuan perpajakan atas transaksi e-commerce perlu diatur
secara khusus. Pemerintah lewat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
62/PJ/2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce
menegaskan bahwa terhadap transaksi e-commerce tidak ada pajak baru dan
perlakuannya sama dengan pajak perdagangan pada umumnya, akan tetapi perlu
diketahui bahwa sifat dari sebuah Surat Edaran hanya mengikat ke dalam (bersifat
internal saja).
Tesis ini fokus terhadap pemungutan pajak atas transaksi e-commerce
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yang
dikaitkan dengan sengketa hak pemajakan yang berimplikasi terhadap munculnya
pajak berganda, sehingga pengenaan sanksi terhadap subjek pajak yang tidak
melakukan kewajiban perpajakan tidak dapat diterapkan.
Indonesia yang menganut asas sumber dan asas domisili dalam pemungutan
pajak penghasilan seharusnya dapat memungut pajak atas subjek pajak luar negeri
yang mendapatkan penghasilan dari indonesia yang melakukan usaha lewat bentuk
usaha tetap (BUT), akan tetapi transaksi e-commerce yang dalam transaksinya
menggunakan website atau situs berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku seputar pajak bahwa website tidak memenuhi syarat untuk
dikatakan membentuk suatu BUT begitupun dengan ketentuan yang terdapat dalam
tax treaty (P3B) antara indonesia dengan negara partner. Berdasarkan hal tersebut
perusahaan e-commerce asing yang seharusnya menjadi subjek pajak luar negeri
karena mendapatkan penghasilan dari indonesia tidak dapat untuk dipungut PPh
begitupun dengan PPN akibat tidak diaturnya secara spesifik mengenai kriteria BUT
dalam peraturan perpajakan yang berlaku sekarang. Apabila dipaksakan secara
sepihak untuk memungut PPh dan PPN terhadap perusahaan e-commerce asing, hal
tersebut dapat menimbulkan pajak berganda.

Kata Kunci: e-commerce, Bentuk Usaha Tetap, Pajak Berganda


ABSTRACT

Potential revenues from e-commerce sector is a big one from the collection of
taxes on e-commerce transactions, that e-commerce has distinctive features and
characteristics that distinguish it from trading in general, such as digital content
(software, video, images, antivirus, etc). So the tax treatment of the transaction e-
commerce need to be specifically regulated. The government, through Circular of the
Director General of Taxation No. SE-62 / PJ / 2013 on the assertion of tax provisions
on e-commerce transactions confirms that for e-commerce transactions there isn’t
new taxes and their treatment are the same as the trade tax in general, but it should be
known that the properties of a Circular Letter is only binding to the inside (internal
only).
This thesis focus on the collection of tax on e-commerce transactions based on
the provisions of the tax legislation in force associated with rights disputes taxation
implications for the emergence of double taxation, so that the imposition of sanctions
against tax subject who does not perform tax obligations can not be applied.
Indonesia, which adheres to the principle of the source and principle of
domicile in the collection of income tax should be able to levy a tax on the subject of
foreign tax earning from Indonesia that carries on business through a permanent
establishment (PE), but e-commerce transactions that the transaction using the
website or websites under the provisions of the legislation in force regarding the tax
that the website is not qualified to say forming a permanent as well as with the
provision contained in a tax treaty between Indonesia with partner countries. Based
on the foreign e-commerce company that should be subject to foreign taxes due to
earn income from Indonesia can’t be charged to income tax as well as VAT as a
result of the regulation does not specifically about PE criteria in the current tax laws.
If forced unilaterally to levy income tax and VAT to foreign e-commerce companies,
it can lead to double taxation.

Key word: e-commerce, Permanent Establishment, Double Taxation


JURNAL ILMIAH
PENGATURAN PERPAJAKAN E-COMMERCE DAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA
Oleh :
SURIYADI, S.H
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang sangat besar,
penerimaan yang berasal dari sektor Pajaklah yang digunakan untuk membiayai
sebagian besar operasional pemerintah. Pajak dipungut harus berdasarkan
undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh perintah Pasal 23A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis
UUDRI 1945) yang berbunyi” pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sejalan dengan ketentuan
tersebut pemahaman Pajak dari perspektif hukum, menurut Rochmat Soemitro
mengatakan bahwa suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang
yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga Negara untuk menyetorkan
sejumlah penghasilan tertentu kepada Negara, negara mempunyai kekuatan untuk
memaksa, dan uang pajak tersebut harus digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan.1 Hal tersebut adalah untuk memberikan kepastian akan adanya
payung hukum atas suatu pungutan/iuran yang berupa pajak yang sah. Di inggris
terkenal dalil No taxation without representation dan di Amerika Taxation
without representation is robbery yang bermakna pungutan (pajak) yang tidak
berdasarkan undang-undang adalah perampokan/pemaksaan. Landasan konstitusi.
e-commerce (electronik commerce) merupakan sistem perdagangan tanpa
bertemu secara langsung dimana hanya dengan menggunakkan jaringan internet
maka seketika kita akan terhubung dengan pasar global dunia lewat dunia maya.
Dengan sistem perdagangan secara elektronik akan tercipta pasar yang universal

1
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 1.
yang mampu untuk menembus batas negara yang transaksinya dapat dilakukan
dalam waktu yang relatif lebih cepat. Transaksi e-commerce yang mulai
menggeser transaksi perdgangan offline ternyata juga berimbas kepada pengenaan
pajak terhadap pengusaha e-commerce yang berupa pajak penghasilan dan juga
pengenaan terhadap Pajak pertambahan Nilai dan penjualan atas barang mewah.
Pemerintah melalui surat edaram dirjen pajak SE nomor 62/PJ/2013 tentang
penegasan kembali tentang pengenaan pajak terhadap transaksi e-commerce
ditekankan bahwa pengenaan pajak terhadap transaksi e-commerce tetap mengacu
kepada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku seperti Undang-
Undang tentang nomor 16 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerntah
pengganti undang-undang nomor 5 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas
undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan Dan
Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (undang-undang KUP), undang-
undang nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan (undang-undang PPh)
dan undang-undang nomor 42 tahun 2009 tentang pajak pertambahan nilai dan
barang mewah (undang-undang PPN) yang terakhir.
Sistem perdagangan e-commerce yang meliputi pasar yang universal
melewati lintas Negara, tidak memerlukan kantor cabang, menyebabkan tidak
jarang terjadi ketersinggungan hak pemajakan antar negara yang menganut asas
yang berbeda. implikasi dari dianutnya asas pemungutan pajak yang berbeda dan
tidak adanya perjanian penghidaran pajak berganda (P3B) akan menimbulkan
pajak berganda .

B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas muncul beberapa isu hukum yang
kemudian diuraikan dalam bentuk rumusan masalah dibawah ini :
1. Apakah pengaturan tentang PPN dan PPh yang berlaku saat ini dapat
dipergunakan juga terhadap transaksi e-commerce berdasarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 ?
2. Apakah Status Perusahaan e-commerce asing berdasarkan peraturan
perpajakan di indonesia dan P3B, sanksi terhadap tidak dilakukannya
kewajiban perpajakan, serta penyelesaian sengketa hak pemajakan antar
negara dalam transaksi e-commerce ?
C. Pembahasan
1. Pemungutan PPN dan PPh Terhadap Transaksi E-commerce Dan Upaya
Penghindaran Pajak Berganda
Di dalam lampiran surat edaran Dirjen Pajak tentang Penegasan perpajakan
atas transaksi e-commerce dibedakan empat jenis model bisnis E-commerce yang
diadopsi dari transaksi e-commerce berdasrkan OECD antara lain :
1) Online marketplace, Jenis model bisni ini menyediakan tempat kegiatan usaha
seperti mall online sebagai tempat menjual barang dan jasa artinya penyedia
online marketplace hanya menyediakan tempat berjualan dan bukan
merupakan pemilik dari barang dan jasa yang dijajakan secara online, Contoh
dari online marketplace diantaranya : Lazada.co.id, Bhinneka.co.id,
Tokopedia.com.
2) Classified Ads, Classified Ads atau yang kita kenal sebagai iklan baris adalah
model bisnis e-commerce yang paling sederhana yang banyak digunakan di
negara-negara berkembang. Classified Ads menyediakan tempat bagi
pengiklan untuk memasang iklan..
3) Daily Deals, Daily deals merupakan kegiatan usaha berupa situs daily deals
sebagai tempat daily deals merchant menjual barang dan/atau jasa kepada
pembeli dengan menggunakan Voucher sebagai sarana pembayaran.
4) Online Retail, Online Retail adalah kegiatan menjual barang dan atau jasa
yang dilakukan oleh penyelenggara Online retail kepada pembeli di situs
Online Retail.
Electronic commerce (e-commerce) mempunyai karakter khas yang
membedakannya dengan pergadangan secara konvensional sebagai berikut :
1) Transaksi secara universal tanpa batas
2) Transaksi anonim
3) Produk yang dipasarkan hampir sama dengan perdagangan konvensional
4) Transaksi menggunakan media elektronik seperti adanya kuitasi elektronik
(invoice)
5) Penyerahan barang, beberapa barang di lakukan dengan cara download
(unduh)
6) Barang tidak berwujud
Perbandingan perdagangan secara online (e-commerce) dengan perdagangan
secara konvensional2
No Komponen Perdagangan online Perdagangan konvensional
1 Tempat usaha Website/situs, (virtual), Pasar, toko, banguna ruko
portal,blog
2 Gudang Berbentuk virtual dan tidak Bebentuk fisik (bangunan)
memerlukan gudang
3 Produk Berwujud tidak berwujud Berwujud
4 Tempat transaksi Virtual Lokasi geografis
5 Pembayaran Credit card, online banking, Cash, transfer bank, dan
e-money, paypal credit card
6 Penyerahan barang Diantar( offline), secara Diantar dan bisa diambil
online (download untuk langsung
software)
7 Pemasaran Online marketing Pemasaran langsung
8 Customer service Offline/online technical Kunjungan
support

Asas-asas untuk penentuan status badan hukum dalam hukum perdata


internasional :3

2
Nufransa Wira Sakti, Buku Pintar Pajak E-commerce (dari mendaftar sampai membayar),
Visimedia, Jakarta, 2014. h. 28
3
Ibid, h. 271-274
1) Asas kewarganegaraan/ domisili pemegang saham, asas ini beranggapan
bahwa suatu status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat
di mana mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex patriae)
atau berdomisili (lex domicilii), asas atau doktrin ini dianggap sudah
ketinggalan zaman.
2) Asas centre of administration/business, asas ini beranggapan bahwa status dan
kewenangan yuridik suatu badan hukum harus tunduk pada kaidah-kaidah
hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi badan hukum
tersebut. Tempat yang dianggap sebagai centre of business biasanya adalah
kantor pusat dari perusahaan tersebut, akibatnya adalah hukum dimana
perusahaan induk tersebut diberlakukan sehingga tidak memberikan keadilan
kepada negara dimana anak-anak perusahaan beroperasi.
3) Asas place of incorporation, asas ini beranggapan bahwa status dari
kewenangan badan hukum seyogyanya ditetapkan berdasrkan hukum dari
tempat badan hukum itu secara resmi didirikan/dibentuk.
4) Asas centre of exploitation, asas ini beranggapan bahwa status atau
kedudukan badan hukum harus diatur berdasarkan hukum dari tempat
perusahaan itu memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi, atau kegiatan
produksi barang/jasanya. Teori ini tampak akan mengalami kesulitan jika
orang dihadapkan pada suatu perusahaan (multinasional) yang memiliki
berbagai bidang usaha/ bidang eksploitasi dan/atau memiliki berbeagai anak
perusahaan/cabang yang tersebar di berbagai tempat di dunia.
Pemungutan pajak penghasilan berdasarkan undang-undang pajak penghasilan
yang berlaku di indonesia mengadopsi asas sumber dan asas domisili dalam
pemungutan pajak penghasilan. kembali terhadap pengenaan pajak atas transaksi e-
commerce, jika ingin diterapkan terhadap transaksi e-commerce yang mencakup
lintas negara maka akan memberatkan pihak yang dikenai pajak, terlebih lagi apabila
atara negara kedua belah pihak tidak terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda
(P3B).
secara garis besar ada 2 prinsip dalam pemungutan pajak pertambahan nilai
atas transaksi yang mecakup lintas batas negara ( Cross border) yaitu , prinsip tujuan
(destination principle) dan prinsip tempat asal (origin principle)
1) Prinsip Tujuan (destination principle), prinsip ini didasarkan atas dimana
suatu barang dikomsumsi, artinya pengenaan PPn terhadap prinsip ini
dikenakan terhadap di tempat mana suatu barang atau jasa dikomsumsi, dalam
hal ini PPN akan dibebankan dalam hal ada komsumsi barang atau jasa di
dalam negeri termasuk impor sedangkan dalam hal ekspor maka tidak akan
akan dikenakan pajak atau 0%.
2) Prinsip tempat asal (origin principle), prinsip ini mendasarkan pengenaan
PPN atas dimana suatu barang atau jasa berasal, artinya PPN akan dikenakan
dimana suatu barang atau jasa diproduksi atau berasal tanpa memperhatikan
apakah barang atau jasa tersebut akan di impor ataukah di ekspor, dalam hal
ini ekspor akan dikenaka PPN sedangakn Impor tidak akan dikenakan PPN.

a. Pengusaha dan Perusahaan E-commerce asing Sebagai Subjek pajak PPh


Apakah perusahaan e-commerce asing dapat dikatakan subjek pajak sebagai
bentuk usaha tetap ? untuk menjawab hal ini perlu untuk ditelaah mengenai
persyaratan bentuk usaha tetap yang terdapat dalam ketentuan pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang PPh bahwa “ bentuk usaha tetap yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia atau berada di indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha di indonesia” dikaitkan dengan perusahaan e-
commerce asing kemudian dijabarkan singkat sebagai berikut :
1) Tempat kedudukan manjemen, perusahaan e-commerce asing dalam hal ini
terkadang perusahaan yang skalanya masih kecil hanya berdomisili di
negara dimana perusahaan tersebut didirikan atau dalam hal ini server
negara perusahaan tersebut berdomisili
2) Cabang perusahaan, pada umumnya perusahaan e-commerce seerti
diketahui tidak perlu untuk mendirikan kantor cabang untuk melakukan
kegiatan perdangangan lintas negara.
3) Kantor perwakilan, sama halnya dengan kantor cabang secara umum
perusahaan e-commerce tidak terpaku dengan adanya kantor perwakilan
untuk melakukan kegiatan perdagangan karena sistemnya secara online
yakni virtual.
4) Gedung kantor, perusahaan e-commerce mungkin mempunyai gedung
kantor akan tetapi terkait dengan perusahaan e-commerce asing bahwa
gedung kantor tersebut tidak berada di indonesia.
5) Pabrik, tidak memenuhi perusahaan e-commerce asing karena tidak adanya
pendirian pabrik di indonesia
6) Bengkel, tidak terkait,
7) Gudang, terkait dengan gudang bahwa pada umumnya penggunaan gudang
oleh perusahaan e-commerce hanya di negara domisili
8) Ruang untuk promosi dan penjualan, dalam transkasi perdagangan secara
elektronik, hampir semua transaksi dilakukan melalui internet yakni secara
elektronik, sehingga untuk ruang promosi dan penjualan semuanya
dilakukan di website perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha.
9) Pertambangan dan penggalian sumber alam, tidak terkait
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, tidak terkait
11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunnan, atau kehutanan, tidak
terkait
12) Proyek, konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, tidak terkait
13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dallam jangka waktu 12 bulan,
tidak terkait
14) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas, tidak terkait
15) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung resiko di indonesia, tidak terkait
16) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet, poin ini yang mengkin agak
mendekati atas perusahaan e-commerce menjadi subjek pajak.
Dari penjabaran diatas bahwa tidak diaturnya secara jelas mengenai e-
commerce sebagai bentuk usaha tetap mengakibatkan perusahaan e-commerce
asing sulit untuk dipungut PPh berdasarkan peraturan perpajakan nasional. Di
dalam article 5 tax treaty model OECD bentuk usaha tetap didefinisikan sebagai
“permanent establihsment means a fixed of business trhough which teh business
of an enterprise is wholly or partly carried on” bahwa Bentuk usaha tetap
merupakan suatu bentuk usaha tetap dimana seluruh atau sebagai usaha suatu
perusahaan dijalankan atau dapat diartikan sebagai bentuk usaha wajib luar
negeri untuk mewakili kegiatan atau kepentingannya di suatu negara. Menurut
OECD Model, ada beberapa syarat agar sebuah server dikatakan menjadi suatu
Bentuk usaha tetap antara lain :
1) Server dimana situs web dijalankan dan lokasinya harus berada dan
merupakan milik perusahaan luar negeri/disewa dan dioperasikan oleh
perusahaan dan bukan merupakan sebuah web hosting;
2) Server harus berada di taxing state;
3) Core kegiatan usaha harus dilakukan melalui server, bukan berfungsi
sebagai persiapan atau penunjang, tanpa membutuhkan intervensi manusia.
Kehadiran bentuk usaha tetap merupakan syarat dapat tidaknya Negara
sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh atatu diterima dari
Negara itu oleh perusahaan yang merupakan penduduk dari Negara mitranya
(sebagai Negara domisili). Karena itu, penegrtian BUT sangat penting artinya
karena pengertian tersebut dipakai sebagai ukuran untuk menentukan ada
tidaknya BUT di suatu Negara.pengertian BUT (permanent establishment) di
dalam perjanjian perpajakan tergantung kepada kepentingan yang bersangkutan.4
Secara umum BUT didefinisikan sebagai suatu tempat tertentu dimana seluruh
atau sebagian usaha perusahaan (luar negeri) dijalankan.

b. Pengusaha E-commerce Asing Sebagai Pengusaha Kena pajak Berdasarkan


Undang-Undang PPN
Dalam kaitan pembahasan mengenai kegiatan perdagangan online bahwa
dalam pemungutan PPN penting dahulu digolongkan pengusaha e-commerce
tersebut apakah merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut Undang-
Undang PPN yang berlaku di indonesia ataukah tidak termasuk ke dalam
golongan pengusaha kena pajak. istilah umum yang digunakan dalam literatur
berbahasa inggris untuk menjelaskan pengusaha kena pajak dalam cakupan
yang dikenakan PPN adalah “taxable person”. Terminologi ini digunakan di

4
Laporan Hasil Kajian, Tax Treaty dan Pengaruhnya Terhaap Arus Investasi antara
Indonesia dengan Negara-Negara Mitra, Pusat Kebijakan Regipnal dan Bilateral Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan, 2012. H. 10
beberapa negara, termasuk teh sixth directive yang digunakan oleh central and
eastern european countries, mengunakan istilah taxable person, yaitu : the
person who has to account for and remit VAT. Taxable person are liable to tax
on alll amounts recieved or receivable by them for taxable supplies made in the
course of business, trade, or similiar activity.5 Terminologi ini digunakan untuk
membedakan person dalam artian tax payer (wajib pajak), sedangkan Person
disini diartikan adalah yang meneima taxable supply (penyerahan kena pajak).6
Klasifikasi pengusaha kena pajak berdasarkan ketentuan Undang-Undang
PPN dalam Pasal 1 angka 15 undang-undang PPN disebutkan bahwa pengusaha
kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak
dan atau jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini.
pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) undang-undang
PPn adalah :
1) Penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak di
dalam daerah pabean;dan/atau
2) Ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor jasa kena pajak, dan/atau
ekspor barang kena pajak tidak berwujud.
Setelah diauraikan diatas apakah kemudian pengusaha e-commerce asing
yang berdomisili di luar negeri dapat dikukuhkan menajadi pengusaha ken
pajak berdasarkan undang-undang PPN yang berlaku di indonesia apabila
melakukan kegiatan usaha di dalam yurisdiksi indonesia ?. apabila seperti yang
telah dielaskan di atas perusahaan e-commerce asing sebagai subjek pajak
berdasarkan BUT, apakah kemudian pengusaha e-commerce asing juga
otomatsi menjadi pengusaha kena pajak! berdasarkan undang-undang PPN
bahwa pengusaha e-commerce asing yang melakuka penyerahan barang
dan/atau jasa kena pajak wajib untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena

5
Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A comparative Survey and
Evaluation: EC. OECD, 1998, h. 33
6
Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Titi Puswati Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai,
(kebijakan dan implementasnya di indonesia), Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 205
pajak. jika mengambil sample seperti bukalapak.com bahwa pengusaha e-
commerce dalam melakukan usahanya di indonesia memberikan jasa untuk
melakukan penjualan barang lewat situs bukalapak.com, dengan omzet yang
besar dari bukalapak.com maka jasa yang ditawarkan oleh bukalapak.com
merupakan jasa kena pajak sehingga dikenakan PPN berdasarkan undang-
undang PPN. Contoh yang serupa juga dapat dilihat dalam katering online
dimana dewasa menu yang ditawarkan sudah include dengan PPN hal ini
menandakan bahwa pengenaan PPN terhadap pengusaha e-commerce tidak
terdapat banyak masalah seperti pengenaan PPh atas transaksi online terlebih
dalam pengenaan PPN secara universal berlaku asas destination principle atau
prinsip tujuan sebagaiman PPN atau VAT pengenaannya didasarkan atas
Comsumption Based Taxation.

a. Status Perusahaan E-commerce Asing Menurut P3B


Di dalam P3B pada umumnya kriteria BUT hampir sama dengan
kriteria BUT menurut Pasal 2 ayat (5) undang-undang PPh, bahwa terdapat
BUT secara fisik, BUT agen, BUT jasaa (aktivitas), dan BUT asuransi. Diatas
telah dibahas mengenai status perusahaan e-commerce asing sebagai subjek
pajak Luar Negeri karena perusahaan e-commerce asing membentuk badan
usaha tetap (BUT) menurut ketentuan yang terdapat dalam undang-undang PPh,
akan tetapi Peusahaan e-commerce asing jika melihat ketentuan yang tercantum
dalam beberapa P3B antara indonesia dengan negara partner seperti Amerika
serikat, singapura malaysia, Perusahaan e-commerce asing tidak memenuhi
syarat sebagai BUT, sebagai contoh Pengaturan menegenai BUT dalam P3B
antara indonesia dengan amerika serikat dalam ketentuan Pasal 5 disebutkan
“untuk kepentingan perjanjian ini, istilah BUT berarti suatu tempat usaha tetap
di mana seluruh atau sebagian usaha penduduk salah satu negara pihak pada
perjanjian dijalankan.7

7
Lihat Persetujuan antara pemeintahh Republik indoneesia dengan pemerintah amerika
serikat untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang berkenaan dengan
pajak atas penghasilan
Jika merujuk pada persayaratan BUT dalam Pasal 5 P3B indonesia dan
amerika serikat, bahwa perusahaan e-commerce asing tidak dikatakan
membentuk suatu BUT. Implikasi tidak terbentuknya suatu BUT bahwa
berdasarkan pasal 8 P3B indonesia – AS mengenai laba usaha” laba usaha
penduduk salah satu negara pihak pada perjanjian akan dikecualikan dari
pengenaan pajak oleh negara pihak lainnya pada perjanjian kecuali jika
penduduk tersebut menjalankan usaha di negara pihak lainnya pada perjanjian
tersebut melalui suatu bentuk usaha tetap”

b. Implikasi Belum Diaturnya Secara Khusus Mengenai E-commerce


Di awal telah diiuraikan bahwa status perusahaan e-commerce asing yang
melakukan kegiatan usaha dan yang mendapatkan penghasilan dari indonesia
dapat menjadi subjek pajak hal ini dikarenakan bahwa perusahaan e-commerce
asing apabila melakukan kegiatan usaha di wilayah indonesia akan akan tetapi
tidak jelasanya status perusahaan e-commerce asing untuk dikatakan memenuhi
unsur sebagai Bentuk usaha tetap sebagaimana yang tercantum dalam undang-
undang PPh menyebabkan tidak bisa dilakukan pengenaan sanksi terhadap
perusahaan e-commerce asing.
Dari hasil analisa singkat bahwa di dalam transaksi perdagangan online
penulis mengungkapkan bahwa ada dua kemungkinan mengapa kemudian
pengusaha/perusahaan e-commerce tidak membayar pajak penghasilan maupun
pajak pertambahan nilai yaitu :
1) Perusahaan/Pengusaha e-commerce asing telah menjadi wajib pajak di negara
ia berdomisili sehingga apabila atas usahanya masih dikenakan pajak di
negara tempat dimana ia melakukan transaksi jual beli maka akan terjadi
doble taxation (pajak ganda);
2) Pengusaha/perusahaan e-commerce asing tidak mempunyai itikad baik
sehingga memanfaatkan kekosongan hukum ataupun ketidakjelasan aturan
sebagai celah untuk menghindari kewajiban perpajakan;
Berdasarkan penggolongan Bentuk usaha tetap terhadap perusahaan e-
commerce asing yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Bentuk usaha tetap
atau permanent estblishment juga termasuk sebagai subjek pajak pemotong atas
PPh berdasarkan Pasal 23 karena BUT mendapatkan perlakuan dipersamakan
dengan wajib pajak badan dalam negeri akibatnya BUT juga mempunyai
kewajiban perpajakan yang sama dengan wajib pajak dalam negeri meskipun
misalnya BUT tersebut milik orang Pribadi luar negeri. Akan tetapi dalam
kenyataannya pengusaha e-commerce asing sampai saat ini masih banyak yang
tidak melakukan kawajiban pemotongan pajak apakah dikarenakan
ketidaktahuan ataupun memang untuk menghindari pajak. lepasnya potensi
pajak sebenarnya dapat kita lihat contoh dari masyarakat indonesia yang
melakukan pembelian di situs belanja online yang berdomisili di luar negeri dan
tidak menggunakan domain lokal .id akan tetapi menggunakan domain
comersian .com, seperti pembelian software (perangkat lunak) ataupun e-book
di amazon.com atau ebay, dimana dalam pembelian barang oleh orang
indonesia di situs tersebut tidak ada pajak yang didapat oleh indonesia
sebagaimana prinsip negara sumber yang dianut oleh indonesia, padahal
sebenarnya indonesia dan amerika serikat mempunyai persetujuam
penghindaran pajak berganda. Lemahnya supremasi hukum kita di mata
internasional juga banyak dikarenakan karean aturan kita sendiri terkadang
tidak jelas dan saling tumpng tindih.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 undang-undang KUP apakah kemudian
pengusaha e-commerce asing yang dapat dikenakan sanksi berdasarkan
ketentuan undang-undang PPN ? hal demikian sampai saat ini bisa dibilang
belum menemukan titik terang dengan dalih bahwa di negara domisili
pengusaha e-commerce barang atau jasa kena pajak yang kemudian diperjual
belikan telah melalui penambahan nilai value added tax sehingga apabila
negara yang masyarakatnya melakukan komsumsi atas barang atau jasa kena
pajak yang diperjual belikan oleh pengusaha e-commerce merasa tidak mungkin
untuk mengenakan pajak tambahan lagi. Permasalahan tersebut sangat erat
kaitannya dengan sengketa hak pemajakan seperti yang telah dikemukakan.

2. Sengketa Pemajakan Terhadap Perusahaan e-commerce Asing

a. Kedaulatan Negara Dalam Ranah Pajak


Di dalam lingkup internasional terdapat asas-asas yang dijadikan sebagai
pedoman dengan tujuan untuk menghindari persinggungan hak dari negara-
negara seperti diantaranya asas territorial tentang penetuan batas wilayah,
kedaulatan seperti dikemukakan juga meliputi bidang pajak dimana pemerintah
mempunyai hak untuk mengatur, mengenakan pajak terhadap apa yang menjadi
haknya dalam lingkup batasan tertentu.
Dalam lapangan hukum pajak (juga hukum pajak internasional) suatu negara
tidak boleh memungut pajak atas ssesuatu bilamana hal ini sama sekali tidak ada
titik hubungannya dengan negara pemungut pajak itu. Titik hubungan ini dapat
bersifat perorangan (seperti kebangsaan atau tempat tinggal wajib pajak) atau
bersifat kebendaan (seperti sumber suatu penghasilan atau leatknya suatu benda).
Titik hubungan ini harus merupakan hubungan ekonomi dan dapat dimasukkan
ke dalam empat golongan yang berbeda sifatnya, yaitu hubungan ekonomi :8
1) Karena dalam wilayah suatu negara terdapat sumber pendapatan sesorang
(yang berdomisili di negara lain);
2) Karena dalam wilayah suatu negara terdapa suatu ( bagian dari) kekayaan
seseorang (yang berdomisili di negara lain);
3) Karena hak-hak atas suatu bagian dari kekayaan di suatu negara (milik
seseorang yang berdomisili di negara lain) hanya dapat dipergunakan di
negara letaknya kekayaan itu saja;
4) Karena kekayaan dikomsumsi (atau dipergunakan lain) dalam suatu negara
(tempat seseorang bertempat tinggal), yaitu negara domisili.

8
R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika aditama, Bandung, 1998, h.
219-220
Kenyataan yang terjadi dalam poin-poin diatas bahwa apabila terjadi titik
pertautan taatbestand pada suatu negara, maka akan selalu ada kemungkinan
untuk setiap negara untuk melakukan klaim atas hak pemajakan yang kemudian
menimbulkan sengketa dan terkadang menjadi persaingan. Maka persinggungan
hak itu harus kemudian diatur dalam suatu perjanjian yang berisikan pembatasan
hak dalam bidang perpajakan.

b. Pajak berganda internasional


Secara umum pajak berganda diartikan sebagai pemungutan pajak yang
dilakukan dua kali terhadap hal yang sama. Sehubungan dengan pengertian pajak
berganda knechtle dalam bukunya yang berjudul “ basic problems in
internasional fiscal law” tahun (1979) membedakan pengertian pajak berganda,
yaitu :9
1) secara luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta
fiscal.
2) secara sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus
pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam
satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan
pajak oleh pemerintah daerah.
Beberapa unsur pajak berganda intenasional, apabila pemajakan berganda
(multiple) dilakukan oleh bebrapa administrasi pajak (berdasarkan yurisdiksi
pemajakan domestic tiap negara) maka, terdapat pajak berganda internasional.
Secara teoritis dan normative, istilah pajak berganda internasional meliputi
beberapa unsur, antara lain :10
1) pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap kriteria
identitas;
2) identitas subjek pajak (wajib pajak yang sama);
3) identitas objek pajak (objek pajak yang sama)

9
Pengertian pajak berganda internasional, www.bukuilmu.weebly.com/pajak-
internasional.html diakses tanggal 12 agustus 2015
10
Ibid
4) identitas masa pajak;
5) identitas (atau kesamaan pajak).

Dari penjabaran singkat mengenai pengertian dan unsur dari pajak


berganda internasional, maka pajak berganda internasional kemudian
dikategorikan menjadi beberapa tipe antara lain : factual dan potensial, yuridis
dan ekonomis, serta langsung dan tidak langsung. Pajak berganda sangat
memberatkan secara ekonomis bagi subjek pajak yang berupa orang atau badan
hal ini tentu bertentangan dengan prinsip perpajakan .

a. Opsi Terhadap Sengketa Hak Pemajakan


Dalam mengatasi permasalahan mengenai sengketa hak pemajakan yang
terjadi opsi yang paling sesuai atas persinggungan hak pemajakan karena
masalah transnasional atau lintas batas adalah dengan memanfaatkan yang
namanya tax treaty dalam hal ini persetujuan penghindaran pajak berganda
antara negara indonesia dengan negara yang dianggap mempunyai berpotensi
untuk meningkatkan penerimaan negara seperti negara-negara yang banyak
mempunyai perusahaan e-commerce. Dewasa ini P3B yang telah dilakukan oleh
indonesia dengan negara partner sudah dapat dikatakan mampu untuk
mengurangi potensi kehilangan penerimaan pajak akan tetapu berkaitan dengan
transaksi e-commerce sekiranya pada dasarnya persetujuan penghindaran pajak
berganda yang ada sekarang perlu untuk disesuiakan karena permasalah
persinggungan hak pemajakan lebih banyak terjadi dalam sektor transaksi e-
commerce dimana perkembangan bisnis online semakin meningkat sehingga
membutuhkan perangkat aturan yang mampu untuk mengakomodir kepentingan
para pihak.
Rochmat Soemitro11 dalam bukunya asas dan dasar perpajakan
mengemukakan Objek pajak yang dijadikan masalah dalam traktat pajak
(perjanjian penghindaran pajak berganda) adalah antara lain :
1) fiscal domicile (tempat tinggal) wajib pajak;

11
Rochmat Soemitro, Dewi kania Sugiharti, Op.cit. h. 107
2) business income, penghasilan perusahaan;
3) penghasilan dari harta tak gerak;
4) penghasilan berupa bunga, deviden, dan royalti;
5) penghasilan dari permanent establishment;
6) penghasilan dari personal service, direktur, dan sebagainya;
7) penghasilan para mahasiswa;
8) penghasilan para olahragawan;dan sebagainya.

Dalam penentuan hak pemajakan suatu negara dalam hal persinggungan


hak pemajakan tentunya dalam hal ini harus mengacu kepada prinsip yang
berlaku dan diterima secara universal. Penganutan prinsip pengenaan pajak yang
berbeda tentu akan berpotensi untuk menimbulkan pemungutan pajak yang
berganda terhadap orang/badan yang saling diklaim oleh dua negara untuk
dipunguti pajak.

b. Pembagian Hak Pemajakan Berdasarkan OECD model tax treaty


Pembagian hak pemajakan pada dasarnya kita jumpai dalam Perjanjian
penghindaran Pajak Berganda, pembagian hak pemajakan biasanya dilakukan
dengan melakukan pengolongan terhadap hal-hal tertentu kemudian menentukan
negara mana yang berhak untuk mengenakan pajak. penggolongan yang
dimaksud dalam P3B terdiri atas penggolongan jenis-jenis penghasilan.Pasal-
Pasal yang terdapat dalam P3B yang mengatur tentang hak pemajakan suatu
negara atas jenis-jenis penghasilan tersebut disebut sebagai “distributive rules
atau assigment rules atau disebut juga “allocation rules”.12 Distributive rules
memberikan hak pemajakan berdasarkan dua tipe yaitu dengan memberikan hak
pemajakan secara penuh kepada salah satu negara dan melakukan pembagaian
hak pamajakan antara negara domisili dengan negara sumber. Tipe yang pertama
dalam praktek biasanya diberikan kepada negara dimana orang atau badan
menjadi subjek pajak dalam negeri. Dalam OECD model tax treaty pemberian
12
Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, Principles and Practice of
Double Taxation Agreements: A Quetions and Answer Approach, BNA International, 2008. H. 14
hak pemajakan memiliki kecenderungan lebih kepada negara domisili sehingga
dirasa oleh banyak negara tidak memberikan keadilan kepada negara sumber.
OECD dalam Model Tax Treaty menggolongkan jenis-jenis penghasilan
yang diberikan hak pemajakannya terhadap negara domisili diantaranya : yaitu
article 7 mengenai laba usaha, article 8 mengenai transportasi laut, sungai dan
udara dalam lalu lintas internasional, article 12 mengenai royalti,, article 13
mengenai capital gain, article 14 mengenai penghasilan profesi, article 15 gaji
pegawai, article 18 pensiun, article 19 gaji pegwai negeri sipil, article 21
mengatur tentang penghasilan lainnya. Sedangkan jenis jenis penghasilan yang
dapat dikenakan pajak di negara sumber berdasarkan OECD model tax treaty hak
pemajakannya berdasarkan ketentuan article 6 (penghasilan harta tidak
bergerak), article 7 (laba usaha), article (dividen), article 11 (bunga), article 13
(capital gain), article 14 (penghasilan profesi), article 15 (gaji pegawai), article
16 (gaji direktur), article 17 (artis dan olahragawan).

c. Kedudukan Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) dalam aturan


Hukum yang berlaku di indonesia
Undang-undang PPh yang memberikan kedudukan P3B sebagai lex
Specialist (lihat penjelasan ketentuan Pasal 32 A) sehingga apabila terjadi
persinggungan terhadap peraturan yang ada yang berlaku dalam hukum positif di
indonesia maka ketentuan P3B akan berlaku dan mengesampingkan aturan
hukum domestik yang mengatur hal serupa. Perlakuan khusus terhadap ketentuan
P3B sebenarnya telah sejak lama diatur, hal ini dapat kita jumpai dalam
ketentuan mengenai lex specialis dapat juga ditemui dalam ketentuan article 26
dan 27 Vienna Convention on The Law of Treaties 1969.
Article 26 “ Pacta Sun Servanda” : every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith.
Bahwa setiap perjanjian yang disepakati oleh para pihak adalah mengikat dan
harus dilaksanakan dengan itikad baik
Article 27 : Internal Law and Observance of Treaties “ a party may not invoke
the provisions of its internal law as justification to perform a treaty.

Meskipun pada dasarnya indonesia tidak melakukan ratifikasi terhadap


Vienna Convention on The Law of Treaties tahun 1969 akan tetapi kemudian
dalam kenyataannya indonesia menerapkan konvensi tersebut sebagai
international customery law yang kemudian dijadikan sebagai dasar dan acuan
dalam pembentukan Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Dalam proses pembentukan P3B seperti pendekatan, perundingan,
dan ratifikasi serta pemberlakuan P3B kita dapat merujuk kepada ketentuan
dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan
nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Pasal 1 ayat (2)
memuat mengenai pengesahan dimana dalam pasal ini penegesahan disebutkan
sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession),
penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Penganutan Article 26 dari
Convensi vienna dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) undang-undang
tentang perjanjian internasional, bahwa pemerintah republik Indonesia membuat
perjanjian inetrnasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional,
subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjnajian tersebut dengan itikad baik.
Pengenaan pajak terhadap pengusaha/perusahaan e-commerce asing
menjadi suatu permasalahan yang belum bisa dipecahkan sampai sekarang ini
sebab belum ada kejelasan dalam aturan baik berupa undang-undang maupun
regulasi dan juga perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

D. Kesimpulan Dan Saran


1. Kesimpulan
a. Transaksi e-commerce mempunyai perbedaan mencolok dengan perdagangan
pada umumnya baik dari cara transaksinya dan objek yang diperjual belikan
sehingga pemungutan pajak atas transaksi e-commerce tidak bisa
dipersamakan dengan pemungutan pajak atas perdagangan konvensional.
Pemungutan PPN dan PPh terhadap transaksi e-commerce dalam lingkup
lokal mungkin tidak akan terlalu bermasalah, akan tetapi apabila dalam
transaksinya melibatkan dua negara yang menganut asas pemungutan pajak
yang berbeda maka akan menimbulkan sengketa.
b. Status perusahaan e-commerce asing dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku di indonesia belum mengatur mengenai perusahaan
e-commerce asing untuk memenuhi syarat membentuk suatu bentuk usaha
tetap untuk diklasifikasikan sebagai subjek pajak luar negeri, hal demikian
juga berlaku dalam ketentuan P3B indonesia dengan negara partner belum
mengatur mengenai e-commerce sebagai suatu BUT. Implikasi dari tidak
diaturnya mengenai perusahaan e-commerce asing sebagai suatu BUT
mengakibatkan perusahaan e-commerce asing yang mendapatkan penghasilan
dari indonesia yang seharusnya dikenakan PPh tidak dapat untuk dikenakan
sanksi. Keberlakuan undang-undang PPh dan undang-undang PPN
dikesampingkan apabila terdapat tax treaty antara indonesia dengan negara
partner. Apabila dipaksakan untuk perusahaan e-commerce asing pada saat ini
untuk dikenakan PPh dan PPN maka dapat menimbulkan pejak berganda bagi
perusahaan e-commerce asing.

2. SARAN
a. Pajak atas atas transaksi e-commerce perlu untuk diatur lebih khusus dalam
peraturan perpajakan terlebih ketentuan mengenai klasifikasi perusahaan e-
commerce sebagai subjek pajak dalam negeri atau luar negeri, karena
berdasarkan klasifikasi tersebut akan memberikan kejelasan dan akan
memudahkan pemerintah untuk mengenakan sanksi atas tidak dilakukannya
kewajiban perpajakan.
b. Revisi terhadap perjanjian penghindaran pajak berganda antara indonesia
dengan negara partner perlu untuk dipertimbangkan mengingat transaksi e-
commerce yang semakin berkembang sehingga potensi pajaknya dapat
dimaksimalkan oleh pemerintah.

Daftar Pustaka

Brotodihardjo, R Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,


Bandung, 2008.

Deutsch, Robert, M Arkwright, Roisin, Chiew, Daniela, Principle and Practice of


Double Taxation Agreements: A Questions and Answer Approach, BNA
Internasional, 2008.
Rosdiana, Haula, Irianto, Edi Slamet, dan Putranti, Titi Muswari, Teori Pajak
Pertambahan Nilai (kebijakan dan implementasinya di Indonesia), Ghalia
Indonesia, Bogor, 2011.

Sakti, Nufransa Wira, Buku Pintar Pajak E-Commerce dari mendaftar sampai
membayar, Visimedia, Jakarta, 2014.

Soemitro, Rochmat, Kania Sugiharti, Dewi, Asas dan Dasar Perpajakan 1 (edisi
revisi), Refika Aditama, Bandung, 2004.

Sutedi, Adrian, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Convention Between The Government Of The Republik Of Indonesia and The


Government Of The United States Of America (As Amended By 1995 Protocol) For
The Avoidance Of Double Taxation And The Prevention Of Fiscal Evasion To Taxes
On Income

Jurnal
Laporan Hasil Kajian, Tax Treaty dan Pengaruhnya Terhaap Arus Investasi antara
Indonesia dengan Negara-Negara Mitra, Pusat Kebijakan Regipnal dan Bilateral
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 2012.
Website
www.bukuilmu.weebly.com/pajak-internasional.html

Anda mungkin juga menyukai