Anda di halaman 1dari 34

TUGAS BESAR PL2104 ASPEK KEPENDUDUKAN DALAM PERENCANAAN

FENOMENA KEPENDUDUKAN PROVINSI MALUKU UTARA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Aspek Kependudukan Dalam Perencanaan Semester I Tahun Akademik 2021/2022

Disusun oleh :

Zahra Saffa Zafira - 15420071


Jasmin Anizah Latief - 15420077

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat tiga metode yang sering digunakan untuk mengumpulkan data
kependudukan yaitu sensus, survey, dan registrasi. Pengumpulan data dengan metode
sensus merupakan perhitungan penduduk secara menyeluruh yang ada pada suatu daerah
tertentu dan pada waktu tertentu. Pengumpulan data dengan metode survey merupakan
perhitungan penduduk yang dilakukan hanya oleh sebagian penduduk pada suatu daerah
dan waktu tertentu. Pengumpulan data dengan metode registrasi merupakan pengumpulan
data yang dilakukan secara berkelanjutan dari waktu ke waktu oleh penduduk yang ada.
Pengumpulan data dengan metode sensus (sensus penduduk, sensus pertanian, dan sensus
ekonomi/industri) sebaiknya dilakukan pada rentang waktu 10 tahun sekali (United
Nations, 1969). Sensus penduduk biasa dilakukan pada tahun dengan akhiran angka 0,
sensus pertanian biasanya dengan digit akhir 3, dan sensus ekonomi/industri dengan digit
akhir 6. Ketentuan perbedaan digit akhir angka tersebut dengan tujuan memudahkan
analisis perbandingan yang bersifat internasional. Indonesia memiliki pengecualian pada
sensus penduduk tahun 1961 dan 1971 yang dilakukan dengan digit akhir 1, yang
kemudian dilaksanakan kembali pada tahun dengan digit akhir 0 mulai dari sensus
penduduk 1980.
Tujuan sensus penduduk dilakukan untuk menyediakan data dasar kependudukan
dan perumahan, menyediakan data kependudukan untuk estimasi parameter
kependudukan, menyediakan potensi desa, dan menyusuk kerangka contoh induk (KCI)
yang akan berguna sebagai dasar perencanaan sensus maupun survey lain sebelum sensus
penduduk berikutnya (BPS, 1999). Pelaksanaan sensus penduduk di Indonesia dapat
dibagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1815-1945) dan setelah
kemerdekaan (1961-2020). Sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1815
dan pada rentang waktu sebelum kemerdekaan (1815-1930) telah dilakukan sepuluh kali
sensus penduduk. Dari sepuluh sensus penduduk tersebut, hanya tiga yang dinilai baik,
yaitu pada tahun 1905, 1920, dan 1930. Setelah Indonesia merdeka telah dilakukan
sensus penduduk selama tujuh kali pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, 2010, dan
2020.

II. DASAR TEORI


2.1 Teori Kependudukan
2.1.1 Teori Malthusian
Malthus merupakan orang pertama yang mengemukakan mengenai
penduduk. Malthus beranggapan bahwa bahan makanan sangat penting bagi
kehidupan manusia, tetapi pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari
persediaan bahan makanan. Teori ini menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk
mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti
deret hitung. Teori Malthus sudah mempertimbangkan mengenai data dukung
lingkungan dan daya tampung lingkungan. Tanah sebagai suatu komponen untuk
memproduksi bahan makanan jumlah terbatas dan tidak mampu memproduksi
hasil pertanian yang mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah
jumlahnya. Daya dukung tanah sebagai komponen lingkungan pun menurun
karena beban manusia yang semakin banyak. Jumlah manusia harus seimbang
dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan atau
mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dapat
mengakibatkan bencana seperti kekeringan, gagal panen, banjir, dan wabah
penyakit.
Menurut Malthus, faktor yang dapat mencegah ketidakseimbangan
penduduk antara lain dengan preventive checks (pengekangan diri) yang terdiri
dari moral restraint seperti penundaan perkawinan, pantangan kawin, dan
pengendalian hawa nafsu, juga vice atau kejahatan seperti pengguguran
kandungan dan homoseksual. Kemudian juga dapat dilakukan dengan positive
checks (melalui proses kelahiran) yang terdiri dari vice atau kejadian seperti
pembunuhan anak, pembunuhan orang cacat, pembunuhan orang tua, misery
(kemelaratan) seperti epidemi, bencana alam, kejahatan, dan peperangan.
Meskipun demikian teori ini mendapatkan berbagai kritik karena Malthus
tidak memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kemajuan di bidang transportasi yang mempermudah distribusi makanan
antar daerah
b. Kemajuan di bidang teknologi
c. Usaha pembatasan kelahiran bagi pasangan yang sudah menikah
d. Perbaikan ekonomi dan standar hidup akan menurunkan fertilitas

2.1.2 Teori Marxist


Teori Marxist berbeda pendapat dengan Malthus. Menurut Marxist, jumlah
penduduk di suatu wilayah tidak akan menjadi tekanan terhadap bahan makanan,
justru malah menjadi tekanan terhadap kesempatan kerja. Di sisi lain, dalam hal
kapitalisme, Marxist berpendapat bahwa semakin banyak jumlah penduduk maka
akan semakin banyak produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, jumlah penduduk
akan membawa banyak keuntungan dan tidak perlu diadakan pembatasan
penduduk.
Dasar yang menjadi pemikiran Marxist adalah pengalaman sepanjang
sejarah manusia bahwa manusia akan dapat selalu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman. Perbedaan antara pandangan Malthus dan Marxist pada
“Natural Resource” tidak dapat dikembangkan mengimbangi kecepatan
pertumbuhan penduduk. Berikut beberapa pendapat aliran Marxist:
a. Populasi manusia tidak menekan makanan, tetapi menekan kesempatan
kerja
b. Kemeralatan bukan karena pertumbuhan penduduk, tetapi karena kaum
kapitalis mengambil hak para buruh
c. Semakin tinggi tingkat populasi manusia maka akan semakin tinggi
produktifitasnya, jika teknologi tidak menggantikan tenaga manusia maka
tidak perlu menekan jumlah kelahiran

2.1.3 Teori Neo-Malthusian


Teori ini mulai diperdebatkan kembali pada abad ke-20. Teori ini
menyokong aliran Malthus, tetapi lebih radikal dengan menganjurkan
pengurangan jumlah penduduk melalui Preventive Checks yaitu penggunaan alat
kontrasepsi. Foto-foto yang diambil pada tahun 1960an melihat bumi seperti
sebuah kapal yang berlayar dengan persediaan bahan bakar dan bahan makanan
yang terbatas. Pada suatu waktu, persediaan ini akan habis sehingga terjadi
malapetaka pada kapal tersebut. Pada tahun 1871, Ehrlich menulis buku “The
Population Bomb” yang kemudian direvisi menjadi “The Population Explosion”
yang berisi:
a. Sudah terlalu banyak manusia di bumi
b. Bahan makanan jumlahnya sangat terbatas
c. Populasi manusia yang meningkat akan menyebabkan kerusakan
lingkungan
Pemikiran ini kemudian dilengkapi oleh Meadow (1972) dalam buku “The
Limit to Growth” yang menarik hubungan antara variabel lingkungan (penduduk,
produksi pertanian, produksi industri, sumber daya alam) dan polusi. Dalam buku
ini disebutkan bahwa malapetaka bukanlah hal yang dapat dihindari. Manusia
hanya dapat membatasi pertumbuhannya seiring mengelola alam dengan baik.

2.1.4 Teori Kontemporer


a. John Stuart Mill
Seorang ahli filsafat dan ekonomi berkebangsaan Inggris yang
sependapat dengan Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk dapat
melampaui laju pertumbuhan bahan makanan. Akan tetapi, dia
berpendapat bahwa manusia dapat mempengaruhi perilaku demografinya
pada situasi tertentu. Ia menyebutkan bahwa seseorang yang mempunyai
produktivitas yang tinggi akan mempunyai fertilitas yang rendah, sehingga
taraf hidup merupakan determinan fertilitas. Tidak benar bahwa
kemiskinan dapat dihindarkan seperti yang dikatakan Malthus, tetapi juga
tidak benar bahwa kemiskinan disebabkan oleh sistem kapitalis seperti
yang dikatakan oleh Marx. Ia berpendapat bahwa jika suatu waktu di suatu
wilayah terdapat kekurangan bahan makanan itu sifatnya hanyalah
sementara. Solusinya dapat diselesaikan dengan mengimpor bahan
makanan atau memindahkan sebagian penduduk ke wilayah lain.

b. Arsene Dumont
Seorang ahli demografi bangsa Perancis yang hidup pada akhir
abad ke-19. Pada tahun 1980 ia menulis sebuah artikel berjudul
“Depopulation et Civilization”. Ia menyebutkan teori kapilaritas sosial
(theory of social capillarity). Kapilaritas sosial mengacu kepada hasrat
seseorang untuk dapat mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat
seperti seorang ayah yang selalu mengharapkan anaknya memperoleh
kedudukan sosial yang lebih baik dari apa yang dia sudah capai. Untuk
dapat mencapai kedudukan yang lebih baik, keluarga merupakan sebuah
rintangan dan beban yang berat. Konsep ini dibuat atas dasar analogi
bahwa cair akan naik pada sebuah pipa kapiler. Teori kapilaritas sosial
dapat berkembang dengan baik pada negara demokrasi dimana setiap
individu mempunyai kebebasan untuk dapat mencapai kedudukan yang
tinggi di masyarakat. Di perancis pada abad ke-19 dimana sistem
demokrasi sangat baik, setiap individu akan bersaing untuk mencapai
kedudukan yang tinggi dan sebagai akibatnya angka kelahiran akan
menurun dengan cepat.

c. Emili Durkheim
Seorang ahli sosiologis Perancis yang hidup pada akhir abad ke-19.
Apabila Dumont menekankan perhatiannya pada faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan penduduk, maka Durkheim menekankan
perhatiannya pada keadaan setelah adanya pertumbuhan penduduk yang
tinggi. Ia mengatakan bahwa akibat dari tingginya pertumbuhan penduduk
maka akan timbul persaingan antar penduduk untuk survive
mempertahankan hidup. Dalam memenangkan persaingan, setiap individu
akan berusaha meningkatkan pendidikan, kemampuan, keterampilan, dan
situasi ini sangat terlihat pada kehidupan perkotaan. Apabila dibandingkan
antara kehidupan masyarakat tradisional dan masyarakat industri, maka
tidak ada persaingan di antara masyarakat tradisional dalam memperoleh
pekerjaan, tetapi terjadi sebaliknya pada masyarakat industri.

2.1.5 Teori Transisi Kependudukan


Empat tahap dalam proses transisi:
a. Tahap 1: Masyarakat pra-industri, angka kelahiran tinggi dan angka
kematian tinggi yang menghasilkan laju pertumbuhan penduduk rendah
b. Tahap 2: Tahap pembangunan awal, sudah mulai ada kemajuan dan
pelayanan kesehatan yang lebih baik menghasilkan penurunan angka
kelahiran
c. Tahap 3: Tahap pembangunan lanjut, sudah mulai terjadi penurunan angka
kematian balita, urbanisasi, dan kemajuan pendidikan yang mendorong
banyak pasangan muda berumah tangga menginginkan jumlah anak lebih
sedikit hingga menurunkan angka kelahiran
d. Tahap 4: Keadaan sudah stabil, di mana pasangan-pasangan berumah
tangga melaksanakan pembatasan kelahiran dan mereka cenderung
bekerja di luar rumah.

2.2 Kebijakan Kependudukan


Terdapat teori yang menjadi landasan pemikiran kebijakan kependudukan
diantaranya Teori Deontik dan Teori Lingkungan.
a. Teori Deontik
Teori ini memusatkan perhatian pada hak dan kewajiban generasi sekarang
kepada generasi yang akan datang. Menurut teori ini, generasi yang akan datang
mempunyai kesempatan hak hidup dan hak akan perlakuan yang adil dan
sederajat dengan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, generasi sekarang
mempunyai kewajiban moral untuk melangsungkan dan mempertahankan serta
meningkatkan kesejahteraan mereka dan generasi-generasi selanjutnya. Atas dasar
pandangan itulah generasi sekarang (melalui intervensi pemerintah) perlu
menentukan besarnya generasi berikutnya. Tentunya untuk menentukan jumlah
itu perlu dipertimbangkan sumber daya yang tersedia dalam suatu negara. Berarti
bila sumber daya yang ada hanya mampu menghidupi sejumlah orang, maka
generasi sekarang harus berusaha agar penduduk negara itu tidak lebih dari
jumlah tersebut.
Beberapa pengamat paham ini, bahkan menekankan bahwa kebijakan
kependudukan melalui intervensi pemerintah perlu dilakukan karena negara harus
dapat menjamin kualitas hidup minimal bagi tiap warga negara. Bila negara tidak
sanggup memberikan jaminan, maka negara perlu melakukan kebijakan
kependudukan dengan mengurangi jumlah penduduk yang akan dilahirkan.
Tindakan pembatasan, menurut pengamat paham deontik, tidak melanggar
hak-hak pribadi. Patut diakui bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menentukan jumlah anak yang akan dilahirkan. Secara tegas pandangan ini
berpendapat bahwa kita tidak wajib melahirkan manusia sebanyak kemampuan
kita, justru yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita adalah memberikan
dan mengusahakan agar manusia yang telah dilahirkan dapat hidup dengan taraf
hidup yang memadai.
b. Teori Lingkungan
Kebijakan kependudukan dari sudut pandangan teori lingkungan ini, pada
dasarnya, memusatkan perhatian pada akibat pertumbuhan penduduk terhadap
lingkungan hidup. Ada tiga tesis utama yang mendasari teori lingkungan ini.
Pertama, adalah "Tesis Titik Batas" (limit thesis). Tesis ini berangkat dari empat
asumsi dasar (Effendi dan Hasan, 1984) yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk mempunyai batas yang pasti
2. Batas itu (1) sudah hampir tercapai;
3. Apabila batas tersebut terlalu dekat akan terjadi peningkatan tingkat
kematian di dunia
4. Walaupun titik batas tersebut masih cukup jauh, pertumbuhan ekonomi
dan penduduk harus dibatasi.
Penganut teori ini berpendapat bahwa penyebab utama kelaparan,
pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, serta pemborosan sumber daya,
adalah pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Mereka menekankan bahwa
kehidupan ini amat tergantung pada kontrol yang ketat terhadap pertumbuhan
penduduk dan ekonomi. Tanpa mengontrol pertumbuhan penduduk sumber daya,
sumber daya di bumi yang amat terbatas ini akan habis kecuali dikelola secara
hati-hati. Menurut teori ini, cara yang baik untuk menjamin kecukupan sumber
daya dan kelestariannya adalah dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber
daya yang tersedia untuk mendukung subsistensi manusia diikuti dengan
kebijaksanaan kependudukan melalui pembatasan manusia yang dilahirkan.
Kedua, adalah tesis gemah ripah yang mempunyai pandangan lebih optimis
tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Asumsi dasar yang diajukan
tesis ini (Effendi dan Hasan1 1986: 4) bahwa:
1. Titik batas pertumbuhan hanya terdapat bila ilmu dan teknologi sudah
tidak dikembangkan lagi
2. Walaupun ilmu dan teknologi sudah berhenti berkembang, titik batas itu
masih jauh
3. Betapapun, pertumbuhan ekonomi itu bermanfaat bagi manusia dan
karena itu harus dilanjutkan
Penganut tesis ini berpendapat bahwa titik batas itu perlu diperhatikan
karena dunia dan kehidupannya secara perlahan-lahan berjalan menuju titik batas
itu. Meskipun secara teoritis manusia mempunyai daya dan kemampuan untuk
berupaya mengatasi kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan penduduk dan
ekonomi yang pesat,masalah-masalah lingkungan itu belum dapat teratasi secara
efektif sebab ada hambatan-hambatan teknis dan institusional yang masih belum
mampu untuk dibatasi manusia.
Secara tegas teori lingkungan ini menyarankan bahwa yang berkewajiban
memelihara keserasian hubungan antara penduduk dan lingkungan adalah umat
manusia, meskipun diikuti dengan mengurangi kebebasan individu.

Ketiga, adalah pandangan yang berusaha mengambil jalan tengah dari


kedua pandangan di atas. Pandangan ini beranggapan bahwa pada masa yang akan
datang dunia akan menghadapi serangkaian "masalah transisi" karena terpaksa
mencari bahan pengganti satu sumber dengan sumber lain. Dalam mencari bahan
pengganti ini akan terjadi kompetisi sehingga beberapa negara atau kelompok
negara akan dirugikan, sedang negara yang lain justru mendapatkan keuntungan.
Untuk menjaga kompetisi yang tidak sehat itu maka diperlukan usaha yang dapat
mengatasi hambatan-hambatan praktis, sosial, dan kelembagaan selama periode
transisi itu berlangsung. Pandangan ini juga menyarankan bahwa kegiatan
pertumbuhan ekonomi dan penduduk harus dikurangi karena keduanya dapat
mempengaruhi intensitas dan frekuensi masalah lingkungan.

III. TINJAUAN DATA


3.1 Jumlah Penduduk
Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Maluku Utara
tahun 2020 sebesar 1,2 juta jiwa, terdiri dari 657,4 ribu laki-laki dan 625,5 ribu
perempuan. Menurut kabupaten/kota, Halmahera Selatan memiliki jumlah penduduk
terbesar yaitu 248,4 ribu jiwa, kemudian Kota Ternate sebesar 205,0 ribu jiwa, sedangkan
jumlah penduduk terkecil berada di Pulau Taliabu yaitu 58,0 ribu jiwa. Namun, bila
dilihat dari kepadatan penduduk, Kota Ternate merupakan wilayah terpadat dengan
tingkat kepadatan 1.840 jiwa/ km2, meskipun hanya memiliki luas 111,39 km2. Angka
ini jauh di atas rata-rata kepadatan penduduk Maluku Utara yang hanya 40 jiwa/km2.
Sementara itu, Halmahera Timur merupakan wilayah yang terjarang penduduknya yaitu
hanya 14 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan distribusi penduduk di
Maluku Utara.
Gambar 1. Jumlah Penduduk Maluku Utara, 2020
Sumber: BPS

3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk


Pada tiga dekade terakhir, hasil Sensus Penduduk menunjukkan bahwa jumlah
Penduduk Maluku Utara terus mengalami peningkatan. Hasil SP2020 dibandingkan
dengan SP2010 memperlihatkan penambahan jumlah penduduk sebanyak 244,85 ribu
jiwa atau rata-rata sebanyak 24,49 ribu jiwa setiap tahun. Dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir (2010-2020), laju pertumbuhan penduduk Maluku Utara sebesar 2,07
persen per tahun. Terdapat perlambatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,4 persen
poin jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000-2010 yang
sebesar 2,47 persen.
Gambar 2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Maluku Utara, 2000-2020
Sumber: Sensus Penduduk

3.3 Komposisi Penduduk menurut Umur


Persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) terus meningkat sejak tahun
2000. Pada tahun 2000 proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 57,91 persen dari
populasi dan meningkat menjadi 69,83 persen di tahun 2020. Perbedaan yang tajam
antara persentase penduduk usia produktif dan non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke
atas) terlihat lebih tajam di tahun 2020. Hal ini mencerminkan bahwa Maluku Utara
mulai masuk ke dalam masa bonus demografi karena sebesar 69,83 persen penduduknya
berada di usia produktif.

Gambar 3. Komposisi Penduduk menurut Kelompok Umur, 2000-2020


Sumber: Sensus Penduduk 2020
3.4 Komposisi Penduduk menurut Generasi
Hasil SP2020 mencatat mayoritas penduduk Provinsi Maluku Utara didominasi
oleh generasi Z dan milenial serta generasi X tepat berada setelah dua generasi tersebut.
Proporsi generasi Z sebanyak 34,12 persen dari populasi dan generasi milenial sebanyak
26,95 persen dari populasi serta generasi X sebanyak 18,79 persen dari populasi
penduduk Provinsi Maluku Utara. Ketiga generasi ini termasuk dalam usia produktif
(seluruh Generasi Z sekitar 7 tahun lagi akan memasuki usia produktif) yang dapat
menjadi peluang untuk mempercepat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Gambar 4. Komposisi Penduduk menurut Generasi, 2020


Sumber: Sensus Penduduk

Gambar 5. Piramida Penduduk Maluku Utara, 2020


Sumber: BPS
3.5 Persentase Penduduk Lanjut Usia
Pembangunan yang telah dicapai oleh Maluku Utara memberikan dampak positif
terhadap kualitas hidup masyarakat salah satunya tercermin dari peningkatan usia harapan
hidup penduduk. Konsekuensi dari meningkatnya harapan hidup yaitu terjadi peningkatan
persentase pada penduduk lanjut usia (lansia). Persentase penduduk lansia (60 tahun ke
atas) di Provinsi Maluku Utara meningkat menjadi 6,94 persen di tahun 2020 dari 4,78
persen pada 2010. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2020 telah terjadi
peningkatan kualitas harapan hidup di Provinsi Maluku Utara dibandingkan dengan
Tahun 2010 ataupun 2000.

Gambar 6. Persentase Penduduk Lansia, 2000-2020


Sumbe: Sensus Penduduk

3.6 Rasio Jenis Kelamin


SP2020 mencatat jumlah penduduk laki-laki di Provinsi Maluku Utara sebanyak
657,41 ribu jiwa, atau 51,24 persen dari populasi penduduk Provinsi Maluku Utara.
Sementara, jumlah penduduk perempuan di Provinsi Maluku Utara sebanyak 625,53 ribu
jiwa, atau 48,76 persen dari populasi penduduk Provinsi Maluku Utara. Dari kedua
informasi tersebut, maka rasio jenis kelamin penduduk Provinsi Maluku Utara sebesar
105, yang artinya terdapat 105 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan
pada tahun 2020.
Rasio jenis kelamin bervariasi menurut kelompok umur. Pada kelompok usia
hingga 69 tahun, jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Bahkan pada
kelompok umur 65-69 tahun rasio jenis kelamin mencapai 114. Pada kelompok umur
70-74 tahun, rasio jenis kelamin berdasarkan hasil SP2020 yaitu sebesar 99 dan pada
penduduk berusia 75 tahun atau lebih memiliki rasio jenis kelamin tepat sebesar 100.
Gambar 7. Rasio Jenis Kelamin menurut Kelompok Umur, 2020
Sumber: Sensus Penduduk

Hasil SP2020 menunjukkan rasio jenis kelamin di tingkat Kabupaten/Kota secara


umum selaras dengan level nasional, yaitu penduduk laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan. Di Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2020 tidak ada Kabupaten/Kota yang
memiliki jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki.
Kabupaten/Kota dengan rasio jenis kelamin tertinggi adalah Kabupaten Halmahera
Tengah sebesar 113 dan yang terendah adalah Kota Ternate sebesar 101.

Gambar 8. Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota, 2020


Sumber: Sensus Penduduk
Perbandingan antara jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di
Maluku Utara tidak signifikan setiap tahunnya pada rentang tahun 2010-2020.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan, 2010-2020


Sumber: BPS Maluku Utara

3.7 Distribusi penduduk


Dengan luas wilayah sebesar 31.982,50 kilometer persegi, maka kepadatan
penduduk Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 yaitu sebanyak 40 jiwa per kilometer
persegi. Angka ini meningkat dari hasil SP 2000 yang mencatat kepadatan penduduk
Provinsi Maluku Utara sebanyak 24 jiwa per kilometer persegi dan hasil SP 2010 yang
mencapai 32 jiwa per kilometer persegi.
Kabupaten Halmahera Selatan dihuni oleh 19,36 persen dari populasi penduduk
Maluku Utara, sehingga merupakan Kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar.
Sebaliknya, Kota Ternate yang memiliki wilayah terkecil di Provinsi Maluku Utara dihuni
oleh 15,98 persen dari populasi penduduk Maluku Utara dan merupakan Kota dengan
penduduk terbesar kedua setelah Kabupaten Halmahera Selatan. Selanjutnya Kabupaten
Halmahera Utara berada pada urutan ketiga penduduk terbesar di Maluku Utara dengan
jumlah sebesar 15,41 persen. Sedangkan, Kabupaten Halmahera Tengah tercatat
merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terkecil yaitu sebesar 4,43 persen dari
populasi penduduk Maluku Utara.
Gambar 9. Sebaran Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota, 2020
Sumber: Sensus Penduduk

3.8 Etnisitas
Masyarakat di Maluku Utara sangat beragam. Total ada sekitar 28 suku dan
bahasa di Maluku Utara. Mereka dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan bahasa yang
digunakan, yaitu Austronesia and non-Austronesia. Kelompok Austronesia tinggal di
bagian tengah dan timur Halmahera. Mereka diantaranya adalah Suku Buli, Suku Maba,
Suku Patani, Suku Sawai dan Suku Weda.
Di Bagian Utara dan Barat Halmahera adalah kelompok bahasa non-Austronesia
terdiri dari Suku Galela, Suku Tobelo, Suku Loloda, Suku Tobaru, Suku Modole, Suku
Togutil, Suku Pagu, Suku Waioli, Suku Ibu, Suku Sahu, Suku Ternate, Suku Tidore, dan
Suku Makian. Di Kepulauan Sula ada beberapa kelompok etnis seperti Suku Sula, Suku
Kadai, Suku Mange, dan Suku Siboyo. Sebagian besar masyarakat di daerah ini mengerti
Bahasa Melayu Ternate, bahasa yang umum digunakan untuk berkomunikasi antar suku.
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi
etnis atau suku bangsa di provinsi Maluku Utara:

Tabel 2. Suku Bangsa Provinsi Maluku Utara, 2010


Sumber: Sensus Penduduk 2010

3.9 Fertilitas
Pada Proyeksi Penduduk tahun 2010-2035, angka fertilitas pada Provinsi Maluku
Utara mengalami tren penurunan. Angka fertilitas di Provinsi Maluku Utara
direpresentasikan dengan menggunakan indikator Total Fertility Rate (TFR) dan Crude
Birth Rate (CBR).
a. Total Fertility Rate (TFR)
Merupakan salah satu ukuran fertilitas secara kumulatif. Total Fertility
Rate (TFR) didefinisikan sebagai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita selama masa usia reproduksinya. Menurut Mantra (2006), tingkat
fertilitas total menggambarkan riwayat fertilitas dari sejumlah perempuan
hipotesis selama masa reproduksinya. Angka TFR ini yang kemudian juga akan
berpengaruh pada kuantitas penduduk. Total Fertility Rate (TFR) dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan kondisi fertilitas di suatu
daerah.
Total Fertility Rate (TFR) Provinsi Maluku Utara berada pada angka 3.19
pada tahun 2010. Angka tersebut berarti bahwa setiap wanita subur memiliki anak
dengan jumlah rata-rata 3 atau bahkan 4 selama masa reproduksinya. TFR ini
diproyeksikan akan selalu mengalami penurunan, hingga tahun 2035 yaitu pada
angka 2.49. Angka ini masih jauh untuk menjangkau TFR ideal yaitu sebesar 2,1
yang artinya setiap wanita memiliki jumlah rata-rata anak yaitu 2 orang, sehingga
bisa menggantikan posisi ibu dan bapaknya. Apabila hal tersebut dapat terjadi,
maka tidak ada perubahan kuantitas penduduk, yang artinya pertumbuhan
penduduk adalah nol. Pemerintah Indonesia juga mentargetkan perihal angka TFR
Indonesia melalui RPJMN 2015-2019 yaitu sebesar 2,3, yang pada kenyataannya
belum dapat diwujudkan. Berdasarkan data SDKI 2017, TFR Indonesia masih
berkisar pada angka 2,6 sejak tahun 2012.
Total Fertility Rate (TFR) merupakan indikator yang sering digunakan
untuk analisis fertilitas, khususnya secara kumulatif. Namun TFR juga memiliki
kelemahan dalam perhitungannya. Kelemahan indikator TFR dalam
penggambaran fertilitas adalah semua wanita selama masa subur dianggap tidak
ada yang meninggal, semuanya menikah, serta mempunyai anak dengan pola
seperti ASFR, padahal hal ini tidak sesuai dengan kenyataan (Mubarak, 2012).

Gambar 10. Grafik Proyeksi Total Fertility Rate (TFR) Provinsi Maluku Utara
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035

b. Crude Birth Rate (CBR)


Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate) di Provinsi Maluku Utara pada
tahun 2010 sampai dengan 2035 yang tertinggi terjadi pada tahun 2010.
Sementara pada tahun 2035, diproyeksikan Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth
Rate) akan menurun sebesar 30%. Adapun CBR di Provinsi Maluku Utara
ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Angka Kelahiran Kasar Provinsi Maluku Utara 2010 – 2035


Sumber: Badan Pusat Statistik
Kecenderungan penurunan Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate)
yang paling signifikan terjadi pada tahun 2010 ke 2015, di mana terjadi
penurunan sebesar 8,76%. Sementara kecenderungan penurunan yang paling
insignifikan terjadi pada tahun 2030 ke 2035, di mana terjadi penurunan sebesar
4,95%. Hal ini kemudian dikuatkan oleh Sukamdi (1992), bahwa ada hipotesis
yang mengatakan bahwa penurunan angka kelahiran pada periode tertentu akan
lebih lambat daripada periode sebelumnya. Angka kelahiran dan angka
penurunannya memiliki keterkaitan yang sifatnya positif, yaitu semakin rendah
angka kelahiran maka angka penurunannya akan semakin lambat. Hipotesis ini
didasarkan pada asumsi bahwa semakin rendah angka kelahiran, akan semakin
sulit pula usaha untuk menurunkannya. Atau, akan lebih mudah menurunkan
angka kelahiran yang tinggi dibandingkan dengan angka kelahiran yang rendah.

Gambar 11. Grafik Angka Kelahiran Kasar Provinsi Maluku Utara 2010 – 2035
Sumber: Badan Pusat Statistik

3.10 Mortalitas
Angka Kematian Bayi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan
tingkat kesehatan dan kualitas hidup penduduk dalam sebuah wilayah. Berdasarkan
estimasi Angka Kematian Bayi (IMR) Provinsi Maluku Utara Tahun 2000-2025, dapat
dilihat bahwa angka kematian tertinggi berada pada rentang tahun 2000-2005 kemudian
angka kematian terendah berada pada tahun 2020-2025. Hal ini menunjukkan adanya tren
penurunan angka kematian dari tahun ke tahun.
Jika dibandingkan AKB Provinsi Maluku Utara dengan AKB nasional, terdapat
15 provinsi yang memiliki AKB di atas angka nasional. Provinsi-provinsi tersebut adalah
Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, dan Aceh.
Tabel 4. Estimasi Angka Kematian Bayi (IMR) Provinsi Maluku Utara Tahun 2000-2025
Sumber: BPS

3.11 Ketenagakerjaan
Jumlah angkatan kerja di Maluku Utara tahun 2020 sebesar 582,4 ribu jiwa atau
hampir mencapai dua pertiga dari seluruh penduduk usia kerja (15 tahun ke atas). Hal ini
ditunjukkan dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 64,28 persen.
Angkatan kerja mencakup penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja dan menganggur,
sedangkan bukan angkatan kerja mencakup penduduk 15 tahun ke atas yang sekolah,
mengurus rumah tangga dan lainnya. Angkatan kerja ini merupakan penduduk yang
potensial sebagai modal penggerak perekonomian.
Tingkat pengangguran Maluku Utara tahun 2020 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Maluku Utara
tahun 2020 tercatat sebesar 5,15 persen lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2019 (4,81
persen) dan tahun 2018 (4,63 persen).
Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, TPAK laki-laki lebih besar dibandingkan
dengan TPAK perempuan. TPAK laki-laki tahun 2020 tercatat 81,30 persen sedangkan
perempuan hanya 46,57 persen. Demikian pula dengan tingkat pengangguran, TPT
laki-laki lebih besar (5,19 persen) dibandingkan dengan perempuan (5,08 persen). Hal ini
menunjukkan berkurangnya dominasi laki-laki dalam dunia kerja. Penyerapan tenaga
kerja di Maluku Utara pada tahun 2020 masih didominasi oleh sektor pertanian dengan
persentase sebesar 42,67 persen. Kemudian 21,12 persen oleh sektor jasa-jasa, sektor
perdagangan mencapai 14,39 persen serta 21,83 persen di sektor lainnya. Namun,
dominasi sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja di Maluku Utara menunjukkan
penurunan dari tahun ke tahun.

Gambar 12. Penduduk 15+ yang Bekerja menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2020
Sumber: Sensus Penduduk
Gambar 13. Pengangguran di Maluku Utara, 2009-2020
Sumber: BPS

3.12 Pendidikan
Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan salah satu indikator untuk menilai
tingkat partisipasi penduduk di bidang pendidikan. Di Maluku Utara, Angka Partisipasi
Sekolah penduduk usia 7-12 tahun (usia ideal di bangku SD) sudah mencapai 99,04
artinya dari 100 penduduk usia 7-12 tahun hanya ada sekitar 1 orang yang tidak sedang
bersekolah. Demikian pula, Angka Partisipasi Sekolah penduduk usia 13-15 tahun (usia
ideal di bangku SMP) sudah mencapai 97,15. Pada usia penduduk 16-18 tahun partisipasi
sekolah mencapai 76,26 persen.
Kualitas pembangunan di bidang pendidikan diantaranya dapat dilihat dari
rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Rata-rata lama sekolah penduduk
Maluku Utara tahun 2020 sebesar 9,04 tahun atau setara kelas 3 SMP. Bila dilihat
menurut Kabupaten/Kota, rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Ternate yaitu 11,71
tahun atau setara kelas 2 SMA. Sedangkan rata-rata lama sekolah terendah di Pulau
Morotai (7,39 tahun).
Untuk harapan lama sekolah penduduk Maluku Utara diperkirakan mencapai
13,67 tahun. Nilai harapan lama sekolah tertinggi di Kota Ternate (15,74), sedangkan
Pulau Taliabu memiliki harapan lama sekolah terendah (12,59 tahun).
Bila dilihat dari ijazah tertinggi yang ditamatkan, pada tahun 2020, jumlah
penduduk Maluku Utara yang tidak punya ijazah mencapai 13,77 persen, yang memiliki
ijazah SD 24,17 persen, SMP 22,66 persen, SMA 27,94 persen, sedangkan perguruan
tinggi hanya 11,46 persen.
Gambar 14. Persentase Penduduk 15+ menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Maluku Utara, 2020
Sumber: Sensus Penduduk

Gambar 15. Rata-Rata Lama Sekolah di Maluku Utara, 2016- 2020


Sumber: BPS

3.13 Pengeluaran Penduduk


Sulitnya mendapatkan data tingkat pendapatan masyarakat sebagai pendekatan
akan tingkat kesejahteraan masyarakat maka digunakanlah tingkat pengeluaran penduduk
sebagai pendekatan terhadap tingkat pendapatan. Masyarakat lebih terbuka ketika ditanya
tentang pengeluaran daripada pendapatan.
Rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Maluku Utara tahun 2020 tercatat
sebesar Rp 1.092.823,75 per bulan. Sebesar 49,19 persen atau sekitar Rp 537.605,49 dari
pengeluaran tersebut digunakan untuk makanan. Untuk kelompok makanan, makanan dan
minuman jadi merupakan komoditas terbesar yang dikonsumsi penduduk yaitu Rp
114.166,- per bulan sementara keperluan perumahan dan fasilitas rumah tangga
merupakan konsumsi terbesar pada kelompok bukan makanan yaitu sebesar Rp 323.804,-
per bulan
Berdasarkan kabupaten/kota, pengeluaran per kapita per bulan tertinggi terdapat
di Ternate yaitu mencapai Rp 1.684.660,28 sedangkan yang terendah terdapat di Pulau
Taliabu (Rp 821.038,67). Secara umum, pengeluaran rata-rata per kapita untuk makanan
lebih besar dibandingkan dengan bukan makanan. Kecuali di Kota Ternate, persentase
pengeluaran untuk bukan makanan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk
makanan. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka
porsi pengeluaran akan bergeser dari makanan ke bukan makanan.

Gambar 16. Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan di Maluku Utara, 2020
Sumber: Sensus Penduduk

Gambar 17. Persentase Rata-Rata Pengeluaran Per kapita untuk Makanan di Maluku Utara, 2020
Sumber: Sensus Penduduk
3.14 Kemiskinan
Persentase penduduk miskin di Maluku Utara sejak September 2014 hingga
September 2020 cenderung berfluktuatif. Tingkat kemiskinan Maluku Utara pada
September 2014 tercatat sebesar 7,41 persen menunjukkan pola menurun hingga
September 2016 (6,41 persen). Pola yang berbeda terjadi dari Maret 2017 hingga
September 2019 yang menunjukkan pola semakin meningkat. Persentase penduduk
miskin terendah terjadi pada September 2015 yaitu sebesar 6,22 persen. Menurut Jumlah,
penduduk miskin di Maluku Utara pada September 2014 mencapai 84,79 ribu orang yang
terdiri dari 11,17 ribu orang di daerah perkotaan dan 73,62 ribu orang di daerah pedesaan.
Sedangkan pada September 2020 jumlah orang miskin di Maluku Utara tercatat sebanyak
87,52 ribu orang yang terdiri dari 18,00 ribu orang di daerah perkotaan dan 69,52 ribu
orang di daerah pedesaan.

Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah di Maluku Utara, September 2014 – September 2020
Sumber: Diolah dari data Susenas
Secara khusus jika dilihat perkembangan tingkat kemiskinan Maluku Utara pada
periode Maret - September 2020, jumlah penduduk miskin di Maluku Utara mengalami
peningkatan sekitar 1,1 ribu orang dari 86,37 ribu orang (6,78 persen) menjadi 87,52 ribu
orang (6,97 persen) pada September 2020. Penduduk miskin di daerah pedesaan pada
September 2020 berkurang menjadi 69,52 ribu orang dibandingkan kondisi Maret 2020
yang sebanyak 69,79 ribu orang. Sementara itu jumlah penduduk miskin di daerah
perkotaan pada September 2020 bertambah menjadi 18,00 ribu orang dibandingkan Maret
2020 yang sebanyak 16,58 ribu orang.

Gambar 18. Perkembangan Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Maluku Utara, September 2014 – September 2020
Sumber: BPS Maluku Utara

3.15 Angka Harapan Hidup


Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir merupakan rata-rata perkiraan
banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Angka Harapan Hidup
di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 adalah 68,33 tahun sementara pada tahun
2015 adalah 67,44 tahun. Pada kedua tahun tersebut, angka harapan hidup terbesar
dipegang oleh wilayah Ternate yaitu 70,97 tahun di 2020 dan 70,07 tahun di 2015.

3.16 Indeks Pembangunan Manusia


Salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan manusia adala
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencerminkan capaian kemajuan di bidang
pendidikan (diwakili oleh indikator Harapan Lama Sekolah dan Rata-Rata Lama
Sekolah), kesehatan (diwakili oleh indikator Umur Harapan Hidup), dan ekonomi
(diwakili oleh indikator Pengeluaran Perkapita yang Disesuaikan). IPM Maluku Utara
tahun 2020 tercatat sebesar 68,49. Angka ini sedikit menurun dibandingkan IPM tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 68,70. Capaian pembangunan manusia di Maluku Utara
tergolong IPM sedang yaitu berada di antara 60 sampai di bawah 70. Pada level Nasional
IPM Maluku Utara berada pada peringkat 28.
Umur Harapan Hidup Maluku Utara tercatat sebesar 68,33 tahun, Rata-Rata Lama
Sekolah sebesar 9,04 tahun serta Harapan Lama Sekolah 13,67 tahun. Sementara
Pengeluaran Perkapita yang Disesuaikan sebesar 8,0 juta rupiah per tahun.
Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan merupakan wilayah di Maluku Utara
yang masuk dalam kategori tinggi (antara 70 sampai di bawah 80) yaitu 79,82 dan 70,53
sedangkan kabupaten/ kota lainnya tergolong IPM sedang (antara 60 sampai di bawah
70).

Gambar 19. IPM Kabupaten/Kota di Maluku Utara, 2020


Sumber: Sensus Penduduk

Gambar 20. IPM Maluku Utara, 2016-2020


Sumber: BPS
3.17 Rasio Gini
Salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai
Gini Ratio berkisar antara 0-1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan
ketimpangan yang semakin tinggi. Gini Ratio di Provinsi Maluku Utara berfluktuasi dari
waktu ke waktu, namun masih dibawah 0,400 yang termasuk dalam kategori ketimpangan
rendah. Peningkatan tertinggi gini ratio terjadi pada bulan September 2020 sebesar 0,336.
Tingginya gini ratio total dibandingkan gini ratio daerah pedesaan dan perkotaan
menunjukkan ketimpangan yang tinggi antara pedesaan dan perkotaan.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret – September 2020 Gini
Ratio di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 0,003 poin yaitu dari 0,297 pada
Maret 2020 menjadi 0,294 pada September 2020. Sebaliknya di daerah pedesaan nilai
Gini Ratio mengalami peningkatan sebesar 0,005 yaitu dari 0,266 pada Maret 2020
menjadi 0,271 pada September 2020.

Gambar 21. Perkembangan Gini Ratio Menurut Daerah di Provinsi Maluku Utara, September 2017 – September 2020
Sumber: Diolah dari data Susenas

3.18 Migrasi
Migran semasa hidup adalah mereka yang pindah dari tempat lahir ke tempat
tinggal sekarang tanpa melihat kapan pindahnya. Dalam teori ini migrasi diperoleh dari
keterangan tempat lahir dan tempat tinggal sekarang, jika kedua keterangan ini berbeda
maka termasuk migrasi semasa hidup. Sedangkan migran risen adalah mereka yang
pernah pindah dalam kurun 5 tahun terakhir (mulai dari 5 tahun sebelum pencacahan).
Keterangan ini diperoleh dari pertanyaan tempat tinggal tahun yang lalu dan tempat
tinggal sekarang. Jika kedua tempat berlainan maka dikategorikan sebagai migran risen
yang juga merupakan bagian dari migrasi total, hanya saja waktunya dalam kurun 5 tahun
terakhir (BPS).
Dapat dilihat dari tabel di bawah bahwa terdapat lebih banyak migrasi yang
masuk ke Provinsi Maluku Utara daripada yang keluar. Migrasi masuk terbanyak terdapat
di tahun 2010 dan migrasi keluar terbanyak terdapat pada tahun 2010 juga. Hal ini
menandakan bahwa migrasi terbesar terjadi pada tahun 2010. Akan tetapi, selisih terbesar
atau migrasi netto terbesar terjadi pada tahun 2015. Pada tabel 7, dapat dilihat bahwa
migrasi risen terbesar juga terjadi pada tahun 2010 dengan jumlah migran risen sejumlah
24.462 orang.

Tabel 6. Migrasi Seumur Hidup Maluku Utara, 2005-2015


Sumber: BPS

Tabel 7. Migrasi Risen Maluku Utara, 2005-2015


Sumber: BPS
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4. 1 Analisis Data Kependudukan
Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa
berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 dengan jumlah penduduk tertinggi berada pada
Halmahera Selatan dan Kota Ternate, serta paling rendah berada di Pulau Taliabu.
Menurut jenis kelamin, penduduk di Maluku Utara tidak memiliki signifikansi antara
rasio jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Kota Ternate yang merupakan Ibukota
Provinsi Provinsi Maluku Utara menjadi kota terpadat yang kepadatannya berkali-kali
lipat dibandingkan rata-rata kepadatan penduduk di Maluku Utara. Hal ini menunjukan
bahwa terdapat ketidakmerataan persebaran penduduk di Provinsi Maluku Utara,
kepadatan yang terjadi di Kota Ternate disebabkan oleh fasilitas dan pekerjaan yang pada
umumnya lebih memadai di ibukota provinsi.
Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Maluku Utara selama ini cenderung
progresif namun mengalami penurunan pada 10 tahun terakhir yaitu dari 2,47 persen
menjadi 2,07 namun jumlah penduduk sebenarnya tetap bertambah setiap tahunnya.
Berdasarkan komposisi penduknya, persentase usia produktif terus meningkat selama dua
dekade terakhir dengan proporsi penduduk usia produktif lebih dari 50 pesen dari total
penduduk di Maluku Utara. Masyarakat di Provinsi Maluku utara didominasi oleh
generasi Z yang lahir di antara tahun 1997-2012 sebanyak 34,12 persen, disusul oleh
generasi milenial yang lahir di antara tahun 1981-1996 dan generasi X yang lahir pada
tahun 1965-1980. Dengan fenomena kependudukan seperti ini, Provinsi Maluku Utara
diuntungkan pada beberapa dekade lagi karena bonus demografi. Masyarakat dengan usia
angkatan kerja akan sangat melimpah dan hal ini harus diselaraskan dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga kualitas ekonomi dapat terdorong dan
kesejahteraan masyarakat meningkat.
Jumlah penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh fertilitas, mortalitas, dan
migrasi. Ketiga aspek tersebut saling berhubungan dan memengaruhi aspek-aspek lain
dalam pendudukan di suatu wilayah, tidak terkecuali pada Provinsi Maluku Utara.
Fertilitas di Provinsi Maluku Utara dihitung menggunakan Total Fertility Rate (TFR)
yaoti rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada usia reproduksi dan Crude Birth Rate
(CBR) yang merupakan jumlah kelahiran per 1000 orang setiap tahunnya. Secara
kumulatif, Provinsi Maluku Utara menginjak angka 3,19 di tahun 2010 ditinjau dari Total
Feritility Rate, yang merepresentasikan bahwa setiap wanita di Maluku Utara melahirkan
sebanyak 3 hingga 4 anak selama masa reproduksinya. Jika angka idealnya adalah setiap
wanita melahirkan 2 anak saja, maka kondisi di Provinsi Maluku Utara masih belum ideal
namun hal ini tidak dapat menjadi indikator yang akurat karena dalam perhitungannya
TFR tidak mempertimbangkan penduduk wanita yang meninggal pada usia reproduksi.
Sementara jika ditinjau dari Crude Birth Rate (CBR), proyeksi CBR tertinggi dari tahun
2010 hingga 2035 berada pada tahun 2010 dengan persentase 27,4 persen. Angka
kelahiran kasar atau CBR pada tahun 2010-2035 terus mengalami penurunan.
Pertumbuhan penduduk secara alami dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian, adapun
hasil perhitungan yang dihasilkan dari Crude Birth Rate kemudian akan digabungkan
dengan angka tingkat kematian sehingga menghasilkan persentase tingkat pertumbuhan
alami. Jika terjadi penambahan jumlah penduduk karena faktor kelahiran, maka terjadi
pula fenomena mortalitas yaitu kematian yang berakibat pada penurunan jumlah
penduduk pada suatu wilayah.
Menurut estimasi Angka Kematian Bayi (IMR) di Provinsi Maluku Utara pada
tahun 2000-2025 semakin menurun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh fasilitas dan layanan
kesehatan di Provinsi Maluku utara yang mengalami peningkatan baik secara kualitas
maupun kuantitas, diketahui dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara
tentang Fasilitas Kesehatan menurut Kebupaten/Kota Unit Tahun yang terdiri atas Rumah
Sakit, Rumah Sakit Bersalin, Puskesmas, Posyandu, Klinik atau Balai Kesehatan, dan
Polindes yang rata-rata mengalami peningkatan secara kuantitas pada tahun 2010 hingga
2019.
Selain kelahiran dan kematian, jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh
perpindahan penduduk atau migrasi. Ditinjau dari data yang ada, rata-rata penduduk
melakukan migrasi masuk ke Provinsi Maluku Utara dibandingkan migran yang keluar
dengan angka migrasi terbesar pada tahun 2010, berarti sekitar satu per dua belas
penduduk Maluku Utara saat ini adalah migran dari kota atau provinsi lain.
Jumlah angkatan kerja di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 mencapai 582,4
ribu jiwa yang mencapai hampir dua pertiga jumlah penduduk usia kerja di Maluku Utara
dengan tingkat parsitipasi kerja (TPAK) sebesar 64,28. Angkatan kerja yang ada tidak
semuanya memiliki pekerjaan, jika ditinjau dari angka pengangguran di Provinsi Maluku
Utara, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di tahun 2020 mengalami peningkatan yaitu
5,15 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 dan 2018 yaitu sebesar 4,81 dan 4,63
persen. Saat ini parsitipasi kerja tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki namun juga
perempuan, dengan tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan yang hanya berselisih
0,11 persen menunjukan lahan pekerjaan di Provinsi Maluku Utara tidak hanya dikuasai
oleh laki-laki, namun memang pada dasarnya rasio jenis kelamin perempuan dan laki-laki
di Maluku Utara tidak jauh berbeda. Namun menurut data, tingkat parsitipasi kerja
(TPAK) di Maluku Utara masih didimonasi oleh laki laki. Angka pengangguran di
Maluku Utara pada satu dekade terakhir mengalami fluktuasi setiap tahunnya namnun
cenderung turun dari tahun 2010 hingga 2013. Tenaga kerja di Maluku Utara dikuasai
oleh sektor pertanian dengan angka 42,67 persen yang disusul oleh sektor jasa dan
perdagangan. Sayangnya, setiap tahunnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
menurun setiap tahunnya, hal ini kemungkinan disebabkan dengan lahan pertanian yang
semakin menyempit dari tahun ke tahun.
Menyinggung tentang pendidikan, Angka Parsitipasi Sekolah pada penduduk
berusia 7-12 tahun atau setara dengan jenjang sekolah dasar di Provinsi Maluku Utara
mencapai 99,04 persen, angka ini nyaris sempurna yang berarti penduduk Maluku Utara
sebagian besar telah menempuh Sekolah Dasar. Angka parsitipasi sekolah di usia 13-15
sebesar 97,15 persen dan usia 16-18 tahun mencapai 76,26 menunjukan penduduk
Maluku Utara lebih dari 50 persen telah menempuh pendidikan dengan rata-rata
bersekolah sebesar 9,04 tahun. Di Ibukota Provinsi Maluku Utara, rata-rata anak
menempuh pendidikan selama 11,71 tahun yang berarti mereka telah menempuh
pendidikan standar 12 tahun hingga lulus. Secara garis besar, jenjang pendidikan yang
berhasil dilewati penduduk Maluku Utara adalah dengan ijazah tertinggi pada jenjang
SMA yaitu sebesar 13,77 persen. Setiap tahunnya, terjadi peningkatan rata-rata lama
sekolah di Maluku Utara sejak tahun 2016-2020 yang berarti akses fasilitas pendidikan di
Maluku Utara semakin meningkat yang berbanding lurus dengan motivasi orangtua
menyekolahkan anak-anak mereka.
Untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga, tentunya masyrakat membutuhkan
lahan pekerjaan yang sesuai dengan kapabilitas dirinya. Menurut Gambar (Bagian 2.11)
yang menjelaskan tentang penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
tingkat pendidikannya pada tahun 2020 di Maluku Utara, masyarakat yang menempuh
jenjang pendidikan Sekolah Dasar memiliki jumlah paling tinggi penduduk yang bekerja,
disusul oleh jenja SMA dan SMP. Hal ini menunjukan jenjang pendidikan tinggi tidak
menentukan seseorang mendapatkan pekerjaan pada studi kasus Provinsi Maluku Utara.
Pekerjaan yang didominasi oleh sektor pertanian, jasa, dan perdagangan mencerminkan
bahwa masyarakat lebih membutuhkan pendidikan keahlian atau pelatihan dibandingkan
sekolah formal di Maluku Utara.
Masyarakat mencari nafkah dengan mencari pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan mengeluarkan biaya untuk hal tersebut, pengeluaran masing-masing
penduduk dapat menjadi indikator terhadap pendapatan masyarakat karena pencatatan
pendapatan masyarakat masih terbilang tabu dibandingkan pengeluaran. Rata-rata
pengeluaran per kapita penduduk di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 adalah
sekitar 1 juta rupiah per bulan yang setengahnya rata-rata digunakan untuk kebutuhan
makanan. Masyarakat cenderung mengeluarkan uang untuk mencukupi kebutuhan
perutnya sebagai prioritas uatam bertahan hidup setiap bulannya. Adapun pengeluaran
per kapita paling tinggi berdasarkan kabupaten/kota berada pada wilayah ibukota provinsi
yaitu Kota Tertante dan yang terendah berada pada Pulau Taliabu. Jika dikaitkan dengan
pendapatan masyarakat, masyarakat di ibukota provinsi memiliki pengeluaran yang lebih
tinggi dibandingkan kota lainnya yang menunjukan pendapatan di Kota Ternate juga
rata-rata lebih tinggi.
Pendapatan masyarakat berhubungan erat dengan kemiskinan, adapun
keimiskinan di Provinsi Maluku Utara cenderung fluktuatif. Pada 2014, angka
kemiskinan di Maluku Utara menyentuh angka 7,41 persen dan turun di 2016 menjadi
sebesar 6,41 persen. Namun di tahun 2017 hingga 2019 angka kemiskinan mengalami
peningkatan. Kemiskinan yang fluktuatif ini berbanding lurus dengan nilai rasio gini
yang fluktuatif pula. Rasio gini yang berada pada angka 0,336 di tahun 2020 menunjukan
adanya ketimpangan antara masyarakat di Maluku Utara.
Melalui indikator-indikator Harapan Lama Sekolah, Rata-Rata Lama Sekolah,
Angka Harapan Hidup, dan Pengeluaran Per Kapita dihasilkanlah Indeks Pembangunan
Manusia. Angka IPM di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 mencapai angka 68,49
dari 100, yang artinya IPM di Maluku Utara sudah tergolong sedang karena berada pada
angka di antara 60-70 tetapi masih berada pada urutan 28 di antara seluruh Provinsi di
Indonesia. Wilayah dengan IPM tertinggi dipegang oleh Kota Ternate dan Tidore dengan
kategori tinggi yaitu 79,82 dan 70,53, namun secara keseluruhan tidak ada
kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara dengan IPM rendah.

4.2 Faktor Pengaruh Perubahan


Dari data-data yang telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, berbagai
aspek kependudukan di Provinsi Maluku Utara mengalami perubahan mulai dari jumlah
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk, komposisi generasi, rasio
jenis kelamin, distribusi penduduk, etnisitas, fertilitas, mortalitas, migrasi, pendidikan,
kemiskinan, angka harapan hidup, indeks pembangunan manusia, dan rasio gini.
Penduduk Provinsi Maluku Utara banyak yang berasal dari daerah lain, yang
artinya pernah melalukan migrasi dari luar daerah menuju Maluku Utara. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor di antara lain adalah faktor asal daerah dan daerah
tujuan maupun faktor individu yang tidak bisa dielaborasikan satu per satu. Kepadatan
penduduk di kota-kota besar di provinsi lain mendorong masyarakat untuk melakukan
migrasi ke daerah lain, salah satunya adalah Maluku Utara. Berdasarkan data dari BPS
Maluku Utara mengenai Statistik Migrasi Maluku Utara Hasil Survei Penduduk Antar
Sensus 2015, alasan utama penduduk daerah luar bermigrasi ke Maluku Utara adalah
karena mengikuti anggota keluarga, alasan terkuat kedua adalah pendidikan. Hal ini
selaras dengan salah satu daya tarik seseorang melakukan migrasi yaitu karena ajakan
saudara atau keluarga. Berdasarkan data pendidikan di Maluku Utara, angka pendidikan
sudah tergolong sangat tinggi, bahkan rata-rata ijazah terakhir yang didapatkan adalah
ijazah SMA, fakta ini bisa menjadi salah satu faktor alasan migrasi seseorang untuk
pindah ke Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan tingkat pendidikan di Provinsi Maluku Utara, sebagian besar
penduduk telah mendapatkan akses pendidikan rata-rata selama 7 tahun, dengan dominasi
ijazah terakhir di jenjang SMA rasanya penduduk Maluku Utara bisa dibilang teredukasi.
Namun faktanya, hal ini tidak menjamin seseorang mendapatkan lapangan pekerjaan
karena sebagian besar tenaga kerja di Provinsi Maluku Utara merupakan lulusan sekolah
dasar. Lapangan pekerjaan yang didominasi oleh sektor pertanian menjadikan pendidikan
formal bukan menjadi indikator utama dalam mencari penghasilan. Selain pendidikan
formal, pemerintah dapat mengakomodasi peltihan-pelatihan keahlian kepada penduduk
usia kerja agar mereka dapat menguasai suatu bidang dan lebih layak dalam pencari
lapangan pekerjaan. Provinsi Maluku Utara merupakan daerah yang berpotensi menjadi
daerah pariwisata, pemerintah dapat menekankan sektor pariwisata dan memperbanyak
sekolah keahlian dalam bidang terkait. Sektor pariwisata dapat menjadi celah emas dalam
memperbanyak lapangan pekerjaan di Maluku Utara. Dengan penduduk usia kerja yang
cukup tinggi, lapangan pekerjaan juga harus diperbanyak karena dalam satu atau dua
dekada kedepan Provinsi Maluku Utara akan diuntungkan oleh adanya bonus demografi
yang dapat mendorong roda perekonomian di Maluku Utara.
Jika perekonomian semakin membaik, maka akan berdampak pula dengan
berkurangnya angka kemiskinan di Maluku Utara dan bertambahnya rata-rata pendapatan
per kapita penduduk. Jika pendapatan meningkat, maka penduduk dapat lebih bisa
menyisihkan uang untuk kebutuhan non makanan seperti keperluan dan fasilitas rumah
tangga yang lebih memadai. Pada kondisi eksisting, setiap tahunnya persentase penduduk
miskin masih cenderung fluktuatif namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut
menunjukan tren turun pada 5 atau 10 tahun ke depan jika lapangan pekerjaan dan
motivasi bekerja sama-sama meningkat.
Angka Harapan Hidup di Maluku Utara telah mendekati angka rata-rata Angka
Harapan Hidup di Indonesia yaitu sebesar 69 tahun (WHO, 2016). Angka Harapan Hidup
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah pendapatan per kapita, pendidikan,
pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan, pengangguran, dan nilai tukar (Sede dan
Ohemeng, 2015). Ibukota Provinsi Maluku Utara menjadi kota dengan Angka Harapan
Hidup paling tinggi di Maluku Utara bahkan melampaui rata-rata di Indonesia. Hal ini
dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang mendapatkan asupan gizi yang
baik dan pola hidup sehat, selain itu aksesibilitas terhadap fasilitas layanan kesehatan
juga berpengaruh terhadap tingginya Angka Harapan Hidup.

4.3 Kebijakan dan Implikasi Terhadap bidang PWK


Secara garis besar, distribusi penduduk di Provinsi Maluku Utara belum tersebar
secara merata karena kebanyakan masyarakat masih memusat di Ibukota Provinsi Maluku
Utara yaitu Kota Ternate, akses menuju fasilitas publik juga lebih lengkap di ibukota
provinsi mengakibatkan Kota Ternate memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat
setempat. Menurut RPIJM Kota Ternate, jumlah konsentrasi penduduk akan relatif
terkonsentrasi di wilayah yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dengan kelengkapan
sarana serta infrastruktur yang umumnya berada pada kawasan perkotaan seperti ibukota
kecamatan, ibukota kabupaten, dan ibukota provinsi. Secara keruangan, kepadatan dan
distribusi penduduk di Kota Ternate dipengaruhi oleh sistem pelayanan dan penyediaan
sarana dan prasarana serta mudahnya akses terhadap wilayah sekitarnya. Hal ini bisa
menjadi refleksi untuk kabupaten/kota lain yang berada di Provinsi Maluku Utara untuk
meningkatkan kualitas infrastruktur dan fasilitas penunjang lainnya agar distribusi
penduduk tidak mengalami ketimpangan yang terlalu memusat di ibukota provinsi.
Aksesibilitas transportasi dan layanan publik juga harus diratakan pada berbagai
kota/kabupaten agar mudah diakses dari berbagai wilayah.
Selanjutnya perlu dipertimbangkan dalam aspek pertumbuhan, distribusi dan
kepadatan penduduk, struktur kependudukan berdasarkan umur dan jenis kelamin,
agama, tenaga kerja, dan pendidikan penduduk untuk membuat RTRW yang kontekstual
di masing-masing kota/kabupaten. Distribusi penduduk harus terus diperbarui
informasinya karena akan berpengaruh terhadap rencana kebutuhan fasilitas publik dan
perumahan yang menunjang kehidupan penduduk setempat di kemudian hari. Angka
kepadatan penduduk juga berguna untuk mengetahui daya tampung suatu wilayah dalam
mengakomodasi penduduknya sehingga dapat dipertimbangkan strategi pembangunan
yang akan direalisasikan kedepannya.
Tingkat pertumbuhan penduduk juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam
mengasumsikan prakiraan jumlah penduduk di masa mendatang, ditinjau dari aspek
fertilitas, mortalitas, dan migrasi penduduk. Dengan mengasumsikan tingkat
pertumbuhan yang terjadi, pemerintah setempat dapat mengantisipasi kebutuhan
penduduk di tahun-tahun berikutnya, selain itu dapat menjadi bahan acuan dalam
mengambil keputusan dalam memperimbangkan kebutuhan fasilitas yang akan dibangun.
Pembangunan fasilitas harus merata dan bisa diakses oleh semua golongan masyarakat
agar tidak terjadi ketimpangan dalam aksesnya.

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu provinsi dengan ibukota provinsi di
Ternate. Diketahui jumlah penduduk Maluku Utara tahun 2020 sekitar 1,2 juta jiwa
berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2020 dan menempati Indeks Pembangunan
Manusia urutan ke 28 dari seluruh provinsi di Indonesia. Penduduk di Maluku Utara
masih terpusat pada ibukota provinsinya yaitu Kota Ternate karena aksesibilitas dan
fasilitas yang tersedia di kota tersebut.
Dari analisa dan pembahasan yang telah dijabarkan, seluruh aspek yang meliputi
jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk, komposisi generasi,
rasio jenis kelamin, distribusi penduduk, etnisitas, fertilitas, mortalitas, migrasi,
pendidikan, kemiskinan, angka harapan hidup, indeks pembangunan manusia, dan rasio
gini memiliki keterkaitan dan hubungan kausalitas. Setiap tahunnya aspek-aspek tersebut
mengalami perubahan baik naik, turun, maupun fluktuatif. Perubahan tersebut tentunya
terjadi karena sebab yang sebagian besar berasal dari fasilitas dan sarana yang diberikan
pemerintah maupun aspek individu masing-masing penduduk.
Provinsi Maluku Utara yang didominasi oleh masyarakat usia kerja berpotensi
untuk mendorong perekonomian dengan adanya bonus demografi, hal ini harus dibarengi
dengan pembekalan yang cukup dalam kesiapan bekerja dan jumlah lapangan pekerjaan
yang tersedia. Karena jika perekonomian berkembang, maka banyak aspek
kependudukan yang semakin baik kualitasnya dan ketimpangan bisa menurun.

5.2 Saran
Pemerintah dapat menggunakan data terkini untuk memprediksikan perubahan
yang akan terjadi di masa mendatang. Data tersebut dapat dijadikan acuan dalam
mengambil keputusan perencanaan yang terkait dengan kependudukan atau perencanaan
wilayah dan kota. Provinsi Maluku Utara dapat meningkatkan kualitas infrastruktur dan
fasilitas secara merata agar distribusi penduduk tidak terlalu padat di ibukota provinsi.
Memperbanyak lapangan pekerjaan menjadi tugas pemerintah dalam memanfaatkan
potensi bonus demografi dan penduduk harus dirangkul untuk bisa merealisasikan
perekonomian dan kesejahteraan yang lebih baik di Provinsi Maluku Utara secara merata.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Administrasi, W., Geografis, G., Administrasi, D., Luas, T., Per, W., & Ternate, K. (n.d.).
Profil kota ternate 2.1. 1–20.
Arif, M. et al. (2021) ‘Analisis Kualitas Penduduk di Provinsi Maluku Utara Berdasarkan
Parameter Analisis Kualitas Penduduk di Provinsi Maluku Utara Berdasarkan
Parameter’, (October 2020). doi: 10.13140/RG.2.2.19707.75046.
BPS Maluku (2021) ‘Profil Kemiskinan di Provinsi Maluku September 2020’, Biro Pusat
Statistik Provinsi Maluku, (No.14/02/15/Th.XV), pp. 1–7.
Effendi, T. N. (2016) ‘Kebijaksanaan Kependudukan: Teori, Konsep, Dan Penerapannya
Di Indonesia’, Populasi, 2(2). doi: 10.22146/jp.10782.
Raharto, A. (2020) ‘Covid-19 Countermeasures in View of the Malthusian Theory of
Population’, Jurnal Kependudukan Indonesia, 2902, pp. 1–6. Available at:
https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/583.
Survei, H., & Antar, P. (2015). Statistik migrasi maluku utara.
Tarigan, P. (2013) ‘Proyeksi Penduduk’, Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), pp. 1689–1699.
Tukiran, T. (2016) ‘Sensus Penduduk Di Indonesia’, Populasi, 11(1), pp. 17–34. doi:
10.22146/jp.12328.
Utara, M. and Gini, B. (2021) ‘Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Maluku
Utara September 2020’, (15), pp. 1–4.
Wati, R. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.

Anda mungkin juga menyukai