Anda di halaman 1dari 15

Analisis Urban Sprawl dan Dampaknya pada

Ketahanan Pangan
PL2101 - Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Disusun oleh:
Jasmin Anizah Latief
15420077
K-01

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota


Institut Teknologi Bandung
2021
Abstrak
Urban sprawl merupakan fenomena yang terjadi akibat perkembangan kota
yang semakin pesat, tetapi memiliki keterbatasan lahan sehingga perkembangan
kota semakin meluas ke wilayah pinggiran. Dampak dari urban sprawl kepada
lingkungan meliputi polusi air, polusi udara, hingga alih fungsi lahan dari pertanian ke
non-pertanian. Di samping itu, kebutuhan hidup manusia semakin meningkat seiring
dengan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, manusia sangat membutuhkan ketersediaan tanah, baik untuk
kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Kebutuhan sandang dipenuhi dengan
adanya kegiatan industri yang membutuhkan tanah untuk mendirikan kegiatan
industrinya. Kebutuhan papan berkaitan dengan tanah yang digunakan untuk lokasi
pemukiman. Kebutuhan pangan membutuhkan tanah sebagai salah satu faktor
produksi kegiatan usahatani. Oleh karena itu, perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian dapat menjadi ancaman bagi kemampuan produksi
pertanian dan ketahanan pangan.
Kata Kunci: urban sprawl, lahan, pertanian, pangan.

Abstract
Urban sprawl is a phenomenon that occurs due to the rapid development of
the city, but has limited land so that urban development is increasingly expanding to
the outskirts. The impact of urban sprawl on the environment includes water
pollution, air pollution, and land conversion from agriculture to non-agriculture. In
addition, the needs of human life are increasing along with economic development
and population growth. To meet the needs of life, humans really need the availability
of land, both for the needs of clothing, shelter, and food. The need for clothing is met
by industrial activities that require land to establish industrial activities. The need for
boards is related to the land used for residential locations. Food needs require land
as a production factor for farming activities. Therefore, changing the use of
agricultural land to non-agricultural use can pose a threat to agricultural production
capabilities and food security.
Keywords: urban sprawl, land, agriculture, food.

Pendahuluan
Urban didefinisikan sebagai sebuah kota dan Sprawl memiliki arti datang, pergi,
tersebar secara acak sehingga Urban Sprawl dikenal sebagai pemekaran kota ke
daerah-daerah di sekitarnya secara tidak terstruktur, acak, dan tanpa rencana. Yunus (2006)
menyatakan urban sprawl sebagai proses transformasi fisik-spasial dari bentuk-bentuk
kedesaan menjadi bentuk-bentuk kekotaan. Lebih lanjut, urban sprawl juga dapat
didefinisikan dengan pertumbuhan kota yang tidak direncanakan, tidak terintegrasi oleh
jaringan jalan, dan meloncat di wilayah pinggiran kota (Heripoerwanto, 2009). Glaeser &
Kahn (2004) juga termasuk yang berpendapat bahwa urban sprawl merupakan hal yang tak
bisa dihindari karena ini bukanlah hasil dari kebijakan pemerintah atau perencanaan kota
yang buruk, tetapi merupakan hasil dari kehidupan kota yang didasarkan pada kendaraan
bermotor. Perumahan baru, jalan, dan bangunan komersial menyebabkan daerah perkotaan
tumbuh lebih jauh ke pedesaan dan meningkatkan kepadatan pemukiman di daerah
tersebut. Pertumbuhan kota terjadi jauh keluar pinggiran kota terkadang melewati
batas-batas administrasi. Ukuran kota yang mengalami sprawl terus membesar seolah–olah
menyatu dengan kota-kota di sekitarnya sehingga menjadikan dua atau lebih kawasan yang
secara administratif berbeda (terpisah) menjadi satu kesatuan kenampakan kekotaan (kota
metropolitan) dengan bentuk dan fungsi-fungsi bangunan yang berkarakteristik kota.
Pedesaan yang dikenal sebagai penyokong kehidupan perkotaan seperti pertanian,
perkebunan, budidaya, peternakan, dan sebagainya, telah berubah fungsi menjadi
pemukiman padat penduduk, bahkan menjadi kawasan industri. Oleh karena itu, urban
sprawl berpotensi mempengaruhi struktur fisik suatu wilayah yang dapat berdampak positif
maupun negatif. Dampak positifnya adalah perdesaan dan perkotaan menjadi setara
dengan fasilitas yang dibangun pemerintah sehingga akses menuju desa menjadi mudah
dan ekonomi masyarakat desa meningkat. Akan tetapi, di sisi lain, urban sprawl mempunyai
dampak negatif yang dirasa lebih dominan karena lahan pertanian di pedesaan mengalami
peralihan menjadi lahan non-pertanian demi memenuhi kebutuhan pemukiman penduduk.
Terjadinya alih fungsi lahan selain mengancam ketersediaan pangan juga membuat
perumahan tanpa fasilitas dasar yang memadai seperti air, sanitasi, dan listrik yang baik
akan mempengaruhi kesehatan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Tatanan kota
pun menjadi semakin tidak terstruktur karena RTRW yang dirancang tidak sesuai kondisi
eksisting.
Topik analisis dampak lingkungan dari urban sprawl terhadap ketahanan pangan
dipilih oleh penulis melihat kota-kota di Indonesia yang berkembang dengan sangat cepat
didorong faktor perkembangan ekonomi. Dampak secara mikro juga terjadi membuat
hilangnya kesempatan kerja petani dan mengakibatkan penduduk yang tadinya mempunyai
supply beras sendiri akhirnya harus membeli beras. Selain itu, dampak dari alih fungsi lahan
juga sejalan dengan kegagalan implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang seharusnya dapat mengantisipasi masalah alih fungsi lahan.
Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang diambil pemerintah sebagai antisipasi pada
dampak urban sprawl yang lebih buruk.

Bahan dan Metode


Di bagian ini, akan dibahas mengenai jurnal-jurnal yang didapatkan untuk membuat
literature review. Jurnal yang digunakan bersumber dari website di internet. Substansi jurnal
yang didapat dominan ditulis oleh penulis lokal. Penulis menemukan jurnal-jurnal tersebut
dengan mencari kata kunci “urban sprawl”, “urban sprawl dan dampaknya”, “alih fungsi
lahan”, dan “ketahanan pangan”. Kemudian dilakukan pemilahan untuk menemukan
jurnal-jurnal yang cocok untuk dikaji lebih lanjut dengan metode literature review. Digunakan
enam jurnal berbahasa Indonesia sebagai sumber.

Hasil Penelitian
Tabel 1. Review Artikel
Peneliti Judul Metode Output

Firdaus, Karakteristik, Tipologi, Simple 1. Terjadi perembetan


Febby Urban Sprawl random memanjang (ribbon development)
Asteriani, sampling dan perembetan meloncat (leap
Anissa frog development). Perembetan
Ramadhani memanjang (ribbon development)
(2018) merupakan tipe perembetan yang
dominan.
2. Dilakukan proses analisis pada
lima indikator tingkat urban sprawl
yakni kepadatan penduduk,
kepadatan bangunan, jarak dari
pusat kota, pembangunan dalam
jangkauan jaringan jalan, dan
pola lompatan katak.

PERESLI Metode 1. Perubahan penggunaan tanah


SILITONGA Pengaruh Perubahan Survey pertanian menjadi non pertanian
(Sekolah Penggunaan Tanah di wilayah Kecamatan Gamping
Tinggi ternyata akan berpengaruh
Pertanahan Pertanian terhadap terhadap kenaikan harga tanah.
Nasional, Kenaikan Harga 2. Besarnya pengaruh perubahan
1996) Tanah di Kecamatan penggunaan tanah pertanian
menjadi non pertanian di wilayah
Gamping Kabupaten
Kecamatan Gamping terhadap
Daerah Tingkat II kenaikan harga tanah ternyata
Sleman Provinsi hanya kecil.
Daerah Istimewa
Yogyakarta

NOVITASARI Metode 1. Secara bersama-sama variabel


PRIYANTI Faktor-Faktor yang Survey luas bidang tanah yang dimiliki,
DEWI Mempengaruhi jarak bidang tanah ke pusat
(Sekolah Perubahan kegiatan, jarak bidang tanah ke
Tinggi Penggunaan Tanah jalan aspal terdekat dan
Pertanahan Pertanian Menjadi produktivitas tanah mempunyai
Nasional, Tanah Non Pertanian pengaruh nyata terhadap
2005) di Kecamatan perubahan penggunaan tanah
Gamping Kabupaten pertanian menjadi tanah non
Sleman Provinsi D.I pertanian di Kecamatan Gamping
Yogyakarta sebesar 89,6% dan masih ada
10,4% yang dipengaruhi oleh
faktor lain di luar variabel
tersebut.
2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan
penggunaan tanah pertanian
menjadi tanah non pertanian di
Kecamatan Gamping menurut
tingkat besarnya pengaruh
berturut-turut adalah : a. Jarak
bidang tanah ke jalan aspal
terdekat b. NJOP (Nilai Jual
Objek Pajak) c. Jarak bidang
tanah ke pusat kegiatan d. Luas
bidang tanah yang dimiliki 14 e.
Produktivitas tanah.
3. Faktor yang paling
berpengaruh terhadap perubahan
penggunaan tanah pertanian
menjadi tanah non pertanian di
Kecamatan Gamping adalah jarak
bidang tanah ke jalan aspal
terdekat. Hal tersebut karena
akses jalan merupakan faktor
yang penting dalam
pengembangan pembangunan
wilayah.

VINO Urbanisasi, Alih Metode 1. Di wilayah kota dan pinggiran


ANAMUNTIA Fungsi Tanah Deskriptif kota Yogyakarta dalam kurun
NASIR Pertanian, dan waktu 1996-2006 telah
(Sekolah Kehilangan Produksi mengalami urbanisasi yang
Tinggi Pertanian di Wilayah signifikan yang ditandai oleh
Pertanahan Kota dan Pinggiran adanya indikator terjadinya
Nasional, Kota Yogyakarta transformasi spasial
2009) (pertumbuhan penduduk,
pembangunan fasilitas umum,
utilitas umum, densifikasi
permukiman). Intensitas
urbanisasi meningkat di
wilayah-wilayah kota dan
pinggiran kota sebagai fungsi dari
peningkatan kondisi transformasi
spasial.
2. Alih fungsi tanah pertanian ke
non pertanian di wilayah kota dan
pinggiran kota Yogyakarta terjadi
sangat pesat.
3. Alih fungsi tanah pertanian ke
non pertanian di wilayah kota dan
pinggiran kota Yogyakarta
menunjukkan intensitas yang
beragam sebagai fungsi dari
keragaman urbanisasi yang
terjadi.
4. Besarnya kehilangan produksi
pertanian di wilayah kota dan
pinggiran kota Yogyakarta
berkorelasi positif dengan
intensitas alih fungsi tanah
pertanian yang terjadi di wilayah
tersebut.

Arsan Urban Sprawl di Studi 1. Urban sprawl cenderung


Nurrokhman Indonesia dan Literatur diabaikan sebagai konteks besar
(2019) Kegagalan implementasi kebijakan
Implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun
Kebijakan 2009 tentang Perlindungan Lahan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pertanian Pangan 2. Antisipasi atas masalah alih
Berkelanjutan fungsi lahan menjadi bersifat
sektoral, terbatas dalam sektor
pertanian saja, tidak terhubung
dengan kebijakan lain seperti
penyediaan perumahan dan
pembatasan kendaraan bermotor,
sehingga undang-undang
tersebut gagal
diimplementasikan.
3. Pembangunan perumahan
vertikal bisa menjadi salah satu
bentuk intervensi teknis yang
dilakukan pemerintah. Bentuk
intervensi itu adalah bagian dari
peran strategis bahwa pemerintah
harus mengendalikan mekanisme
pasar dan membatasi hubungan
kepemilikan tanah pribadi baik
luasan maupun batas waktunya.

Iwan Isa Strategi Pengendalian Studi 1. Pengamanan lahan pertanian


(2018) Alih Fungsi Lahan Literatur sudah termasuk ke dalam
Pertanian kebijakan pemerintah dan telah
dituangkan ke dalam berbagai
rumusan keputusan pemerintah.
2. Pembangunan pertanian dalam
memasuki era globalisasi
mendatang memerlukan
perhatian yang serius untuk
membangun masyarakat petani.
3. Perlu ditetapkan suatu
peraturan perundangan yang
mengikat tentang perlindungan
lahan pertanian produktif, yang
menjadi dasar penetapan zonasi
lahan pertanian abadi.

Isi/Pembahasan
● Faktor Pendorong Terjadinya Urban Sprawl
Terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya urban sprawl. Faktor-faktor
keruangan dan lingkungan yang terdapat di daerah pinggiran kota akan menyebabkan
variasi akselerasi perkembangan spasial yang terjadi. Semakin banyak dan kuat
faktor-faktor penarik yang terdapat di daerah pinggiran terhadap penduduk dan
fungsi-fungsi, maka akan semakin cepat pula proses bertambahnya ruang kekotaan.
a. Faktor Aksesibilitas
Aksesibilitas merupakan daya tarik suatu lokasi karena akan memperoleh
kemudahan dalam pencapaiannya menuju ke berbagai pusat aktivitas (Luhst, 2010).
Faktor aksesibilitas berperan besar terhadap perubahan pemanfaatan lahan di
daerah pinggiran kota. Aksesibilitas memberikan kenyamanan dan kemudahan untuk
mencapai suatu lokasi melalui sistem jaringan transportasi. Selain itu, aksesibilitas
juga dapat diartikan sebagai jarak dari suatu tempat menuju tempat yang lain. Untuk
mengetahui tingkat aksesibilitas suatu wilayah, dapat dilakukan dengan menghitung
variabel sebagai berikut:
1. Jarak
Jarak standar pada penggunaan lahan dalam kota menyatakan bahwa jarak
suatu pemukiman menuju tempat kerja adalah 1,5-2,75 km (Chapin, 1999).
Tabel 2. Klasifikasi Aksesibilitas Menurut Jarak

Jarak (km) Klasifikasi

<1,5 Baik

1,5-2,75 Sedang

>2,75 Rendah
Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999)

2. Waktu
Standar jarak penggunaan lahan dalam kota menyatakan bahwa waktu
tempuh suatu pemukiman menuju tempat kerja adalah 20-30 menit (Chapin,
1999).
Tabel 3. Klasifikasi Aksesibilitas Menurut Waktu

Waktu (Menit) Klasifikasi

<20 Baik

20-30 Sedang

>30 Rendah
Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999)

3. Biaya
Peraturan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika nomor
551.2 tahun 2015 tentang Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Jarak Batas
Bawah Angkutan Penumpang Kelas Ekonomi menyebutkan bahwa batas
biaya transportasi umum di kisaran Rp2.400-Rp12.200.

Tabel 4. Klasifikasi Aksesibilitas Menurut Biaya

Waktu (Menit) Klasifikasi

<4000 Baik

4000-8000 Sedang

>8000 Rendah
Sumber: Peraturan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika

b. Faktor Ketersediaan Sarana


Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan faktor penarik untuk penduduk
datang ke arah wilayah tersebut. Doni Firmansyah (2007) berpendapat bahwa
semakin banyak dan lengkap sarana dan prasarana umum di suatu kawasan
menjadikan kawasan tersebut memiliki daya tarik yang membuat developer ingin
mengembangkan wilayah perumahan lebih besar. Perumahan dibangun oleh
developer karena mempertimbangkan dijangkaunya perumahan baru oleh fasilitas
umum yang nantinya akan dibutuhkan oleh penghuni dari perumahan tersebut.

Tabel 5. Jangkauan Pelayanan Sarana

Sarana Jenis Sarana Jangkauan Sumber

Pendidikan TK 500 SNI 03-1733-2004

SD 1000 SNI 03-1733-2004

SMP 1000 SNI 03-1733-2004

SMA 3000 SNI 03-1733-2004

Kesehatan Poliklinik 1000 SNI 03-1733-2004

Pustu 1500 SNI 03-1733-2004

Puskesmas 3000 SNI 03-1733-2004

Rumah Sakit 4000 SNI 03-1733-2004


Perekonomian Minimarket 500 Masrun (2007)

Pasar 750 Jayadinata (1999)


Sumber: SNI 03-1733-2004; Masrun (2007); Jayadinata (1999)

c. Faktor Fisik Dasar


Faktor fisik dasar suatu wilayah mempengaruhi pertimbangan individu maupun
instansi tertentu untuk bertempat tinggal, membangun bangunan, mendirikan usaha
sehingga kemampuan lahan suatu wilayah menjadi pertimbangan bagi penduduk.
Menurut Bhatta (2010), kondisi fisik kota yang mempengaruhi diantaranya dilihat dari
jenis tanah, ketersediaan air, kemiringan lahan, dan sebagainya yang dapat dinilai
melalui kemampuan lahan sebuah kawasan. Kemampuan lahan merupakan sifat
lahan yang menyatakan kesanggupan untuk memberikan hasil optimum pada
penggunaannya.

Tabel 6. Pembobotan (SKL) Morfologi

Kemiringan Lahan Morfologi SKL Morfologi Nilai


(%)

0-2 Dataran Tinggi 5

2-5 Landai Cukup 4

5-15 Perbukitan Sedang Sedang 3

15-40 Perbukitan Terjal Kurang 2

>40 Perbukitan Sangat Terjal Rendah 1


Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2/PRT/M/2007

Tabel 7. Pembobotan (SKL) Ketersediaan Air

Curah Hujan SKL Ketersediaan Air Nilai

4000-4500 mm Tinggi 5

3500-4000 mm Cukup 4

3000-3500 mm Sedang 3

2500-3000 mm Kurang 2

<2500 mm Rendah 1
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2/PRT/M/2007

Tabel 8. Pembobotan (SKL) Kerawanan Bencana

Gerakan Tanah Nilai

Tinggi 5

Menengah 4

Rendah 3

Sangat Rendah 2
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2/PRT/M/2007

d. Faktor Kebijakan
Intensitas perkembangan kota di pinggiran dipengaruhi oleh peraturan yang ada
apakah dilakukan secara konsisten dan konsekuen atau tidak. Hal ini akan
mengakibatkan dampak-dampak pada keruangan, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Rahman (2008) menjelaskan bahwa minimnya kontrol terhadap pengaplikasian
kebijakan mengenai tata ruang mendorong pertumbuhan yang tidak terkendali
sehingga suatu kawasan menjadi sprawl. Inkonsistensi dalam implementasi
peraturan tata ruang merupakan salah satu penyebab urban sprawl karena dengan
lemahnya peraturan akan mengakibatkan perkembangan suatu wilayah menjadi
tidak terkontrol.

e. Faktor Harga Lahan


Harga tanah mempengaruhi masyarakat untuk menentukan tempat tinggal di
pinggiran kota karena daerah pinggiran kota memiliki harga tanah yang lebih
terjangkau dibandingkan dengan daerah perkotaan. Kondisi lingkungan di daerah
pinggiran kota juga cenderung lebih baik dan belum tercemar. Harga tanah yang
lebih murah juga menjadi daya tarik bagi developer karena membuat pengeluaran
atau modal untuk membangun perumahan menjadi lebih sedikit.

f. Faktor Ketersediaan Lahan


Ketersediaan lahan di kota jumlahnya terbatas tidak sebanding dengan jumlah
penduduk kota yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga ketersediaan lahan
di kota menjadi sebuah tantangan. Akibat tingginya permintaan, masyarakat yang
sudah tidak mendapatkan lahan di kota akan menuju ke pinggiran kota yang masih
memiliki lahan yang belum terbangun karena ketersediaan lahan yang lebih luas
daripada kota. Untuk mengetahui intensitas pemanfaatan lahan terbangun
dibutuhkan beberapa data diantaranya:
1. Data luas lahan terbangun
2. Luas lahan setiap zona kelurahan
3. Klasifikasi intensitas kepadatan bangunan

Dari data tersebut akan dimasukan ke dalam rumus intensitas kepadatan bangunan
sebagai berikut:

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛


𝐾𝐷𝐵/𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐿𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑠𝑎𝑛
𝑥 100%

𝐾𝐷𝐻/𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐿𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑁𝑜𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛 = 100% − 𝐾𝐷𝐵

Kemudian juga terdapat faktor preferensi bermukim yang merupakan kecenderungan


seseorang untuk membuat keputusan bermukim atau tidak di suatu wilayah. Menurut Turner
(1977), konsep prioritas bermukim disebabkan oleh beberapa faktor yang dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan penghuni. Faktor-faktor tersebut diantaranya seperti faktor keamanan,
identitas, standar hunian, dan hak kepemilikan rumah. Bagi masyarakat berpenghasilan
rendah, yang menjadi prioritas mereka adalah opportunity atau kemudahan dalam
mendapatkan akses pekerjaan, interaksi sosial, dan budaya. Untuk masyarakat
berpenghasilan menengah, faktor preferensi bermukimnya karena keamanan, hak
kepemilikan hunian, dan hunian standar modern. Sedangkan untuk masyarakat
berpenghasilan tinggi, faktor preferensinya terkait dengan identity (kualitas hunian dalam
melindungi penghuninya) dan hunian standar modern.
Gambar 1. Prioritas Bermukim oleh Turner
Sumber: Turner, 1977

Berdasarkan beberapa studi di Eropa, pertumbuhan populasi bukan lagi menjadi


faktor penentu utama dari urban sprawl. Akan tetapi, faktor budaya dan preferensi bermukim
tiap individu terkait faktor ekonomi (kekuatan pasar, harga rumah, dan biaya transportasi)
menjadi hal yang lebih banyak mempengaruhi. Faktor preferensi bermukim ini juga
dipengaruhi oleh faktor keamanan dan lingkungan yang tenang juga pendapatan dari setiap
individu.

● Karakteristik Urban Sprawl


Keberadaan sprawl ditandai dengan beberapa karakteristik perubahan pola lahan
diantaranya:
1. Single-Use Zoning: kawasan komersial, perumahan, dan area industri saling
terpisah satu sama lain.
2. Low-Density Zoning: adanya pertumbuhan di wilayah dengan tingkat
kepadatan penduduk rendah.
3. Car-Dependent Communities: penggunaan kendaraan bermotor atau mobil
yang tinggi sebagai alat transportasi karena isolasi area perumahan dari
kawasan industri dan komersial.

● Bentuk perkembangan Urban Sprawl


Bentuk perkembangan wilayah kekotaan menurut Northam (1994) terbagi menjadi
tiga bentuk yaitu concentric development, ribbon development, dan leapfrog development.
a. Concentric Development
Teori ini dikemukakan oleh E. W. Burgess (2000) pada studi kasus di Kota
Chicago yang membahas mengenai morfologi kota tersebut. Menurutnya
sebuah kota yang besar akan cenderung berkembang ke arah luar bagian
kota. Oleh karena semua bagian pinggiran kota berkembang ke segala arah,
maka pola keruangan yang terbentuk akan berbentuk lingkaran-lingkaran
berlapis dengan daerah pusat kegiatan sebagai inti. Perkembangan bentuk
konsentrik paling lambat karena perambatannya terbatas pada semua bagian
terluar fisik kota.

b. Ribbon Development
Perkembangan kota secara memita merupakan perkembangan kota
berdasarkan jaringan transportasi yang tersedia, sehingga jalur transportasi
memegang peranan yang sangat penting pada perkembangan wilayah
bentuk ini. Terdapat ketidakmerataan perkembangan karena perkembangan
berat di sepanjang rute transportasi.
c. Leapfrog Development
Perkembangan kota secara melompat/leapfrog merupakan perkembangan
kota yang tidak teratur atau saling terpisah melompat dari kota induk. Tipe ini
dikatakan tidak efektif dan efisien dalam ekonomi, dianggap paling
merugikan, tidak mempunyai nilai estetika, dan tidak menarik.

● Dampak Urban Sprawl


Urban sprawl memiliki dampak di berbagai aspek mulai dari ekonomi, mobilitas,
sosial, dan tentunya lingkungan. Urban sprawl berdampak pada meningkatnya polusi air. Hal
ini terjadi karena sprawl menciptakan sejumlah besar infrastruktur dan bangunan yang
dibangun menggunakan bahan tahan air seperti aspal, beton, batu bata, dan batu
menyebabkan air tidak mungkin meresap ke dalam tanah. Sebaliknya, air mengalir dari
permukaan yang kedap air akan mengambil banyak jenis polusi dalam prosesnya dan
kemudian mengalir ke saluran pembuangan. Hal ini akan berdampak juga pada ekonomi
karena peningkatan biaya pengolahan air, pengurangan pasokan air perumahan dan kota,
dan peningkatan kejadian intensitas banjir.
Dampak pada aspek lalu lintas menjadi lebih buruk karena setiap orang bergantung
pada penggunaan mobil dan kendaraan pribadi untuk sampai ke tujuan mereka. Pola
pembangunan sistem transportasi daerah sprawl diutamakan untuk dapat mengakomodasi
peningkatan lalu lintas daripada pejalan kaki. Hal ini menambah biaya yang lebih tinggi bagi
penduduk karena akan lebih banyak dibutuhkan biaya untuk bensin, pembelian mobil, dan
biaya perawatan. Bagi pemerintah daerah, uang akan dibelanjakan untuk membangun jalan
dan perbaikan yang sama dengan beban pajak yang meningkat. Selain itu, akibat dari
penggunaan kendaraan bermotor adalah meningkatnya polusi udara yang akan
menghasilkan emisi gas dan efek rumah kaca.
Dampak paling krusial yang akan dibahas lebih mendalam oleh penulis adalah
dampak pada keadaan pangan. Urban sprawl cenderung mengurangi kualitas areal
tanaman karena polusi yang dihasilkan oleh perumahan dan berkurangnya lahan pertanian
karena alih fungsi lahan. Padahal, kebutuhan pangan terus meningkat terutama beras akibat
dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan daya beli beras. Produksi pertanian
yang berkurang akan mengakibatkan ketersediaan pangan berkurang dan tidak dapat
terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk. Selain itu, dari sekian banyak faktor, alih fungsi
lahan merupakan faktor yang memiliki dimensi yang paling luas. Alih fungsi lahan
mempunyai lingkup kebijakan dengan berbagai hubungan antar wilayah, antar desa dan
kota, juga antar berbagai sektor. Tidak hanya sektor pertanian saja, tetapi juga sektor-sektor
lain yang saling terkait.

● Dampak pada Ketahanan Pangan


Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang paling penting bagi suatu usaha
tani. Oleh karena itu, perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dapat
menjadi ancaman bagi kemampuan suatu usaha tani untuk menghasilkan produk pertanian.
Perubahan penggunaan tanah pertanian produktif ke non pertanian menjadi penyebab
utama menurunnya luas panen komoditas pangan. Menurut Irawan (2000), kebanyakan
petani di Indonesia memiliki lahan pertanian yang sempit, sehingga produksi pangan
berkurang dengan hasil yang diperoleh petani dari kegiatan usaha tani ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh jika petani menjual lahannya. Padahal, untuk
memperoleh keuntungan dan efisiensi dari suatu usaha, perlu dipenuhinya suatu skala
usaha pada suatu aktivitas ekonomi.
Luas tanah tanaman pangan dapat meningkat akibat dilakukannya pencetakan
sawah baru, tetapi kualitas areal tanaman pangan cenderung berkurang. Padahal
kebutuhan pangan terus meningkat terutama beras, yang merupakan dampak dari
pertambahan jumlah penduduk dan adanya peningkatan daya beli beras. Produksi pertanian
yang berkurang akibat dari perubahan penggunaan tanah yang semakin tinggi dan tidak
terkendali mengakibatkan ketersediaan pangan berkurang dan tidak dapat terpenuhinya
kebutuhan pangan penduduk.

Tabel 9. Luas Panen Padi Menurut Provinsi, 2014 - 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik

Permasalahan yang terjadi pada aspek ketersediaan pangan adalah peningkatan


produksi pangan yang cenderung tidak meningkat tidak sebanding dengan pertumbuhan
penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005). Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa
terdapat provinsi yang mengalami pertumbuhan yang negatif pada luas panen padi setiap
tahunnya. Jika dilihat dari tabel Jumlah Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia pada
rentang tahun yang sama di BPS, provinsi yang mengalami pertumbuhan negatif tersebut
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Akan tetapi, tentu saja peningkatan jumlah penduduk tidak menjadi satu-satunya
faktor utama dalam konversi fungsi lahan pertanian.
Tabel 10. Stok Beras sebagai Bahan Makanan

Elemen Tahun

2017 2018 2019 2020 2021

Stok Beras 557.937,00 519.824,00 531.979,00 535.494,00 535.494,00


(ton)
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

Tabel 11. Jumlah Impor Beras

Elemen Tahun

2017 2018 2019 2020 2021

Jumlah 65.567,00 71.034,00 78.088,00 78.796,00 78.796,00


Impor Beras
(ton)
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

Tabel 12. Jumlah Ekspor Beras

Elemen Tahun

2017 2018 2019 2020 2021

Jumlah 19.586,00 20.129,00 22.150,00 22.204,00 22.204,00


Ekspor
Beras (ton)
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

Kondisi pangan (beras) eksisting di Indonesia saat ini dapat dilihat pada tabel 2, 3,
dan 4 di atas. Dapat dilihat bahwa stok beras setiap tahunnya cenderung sama. Dalam
jangka panjang, hal ini akan menyebabkan menurunnya ketahanan pangan karena stok
beras seharusnya mengalami peningkatan mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Selain
itu, angka impor beras juga dinilai tinggi dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya
padahal Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang
seharusnya dapat diharapkan memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.

● Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Pemenuhan hak atas pangan merupakan tugas negara dan terjaminya kebutuhan
pangan merupakan hak asasi manusia. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal
28A dan Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
juga sesuai dengan Article 25 Universal Declaration of Human Rights Juncto Article 11
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR). Pemenuhan ini
tentu akan mengalami kesulitan jika lahan pertanian telah beralih fungsi. Pemerintah telah
mengambil langkah dengan membuat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Akan tetapi, alih fungsi lahan
pertanian tetap saja terjadi secara masif walau sudah dua belas tahun sejak undang-undang
tersebut disahkan.
UU 41/2009 telah memiliki aturan turunan. Di level pemerintah pusat, peraturan
pemerintah (PP) dan peraturan menteri telah terbit sebagai amanah UU tersebut. Peraturan
Pemerintah (PP) yang telah terbit antara lain PP No. 1/2011 tentang Penetapan dan alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 12/2012 tentang Insentif Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Jika dilihat dari kebijakan yang telah ada, belum ada kebijakan yang menyentuh
masalah tanah atau lahan pertanian yang terus beralih fungsi padahal itu merupakan
masalah fundamental. Kebijakan mencegah alih fungsi lahan justru bias dengan kegiatan
peningkatan produktivitas pertanian. Mekanisme pasar cenderung dominan untuk
mengendalikan alih fungsi lahan, maka semestinya pemerintah juga turun tangan untuk
mengendalikan mekanisme pasar tersebut. Jika pemerintah tidak lagi punya kuasa untuk
memaksa, maka pemerintah harus mengintervensi pasar dengan membeli tanah-tanah
tersebut. Tujuannya supaya tanah-tanah berada di bawah kendali pemerintah dan kebijakan
ini juga berjalan secara praktis mengakomodasi kondisi eksisting.

● Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan


Pengendalian lahan pertanian dapat dilakukan dari segi permintaan dan penawaran.
Dari segi penawaran dengan memberikan insentif bagi pemilik lahan dan dari segi
permintaan dengan mengembangkan pajak tanah yang progresif, mengembangkan prinsip
pembangunan hemat lahan seperti rumah susun, dan meningkatkan efisiensi kebutuhan
lahan non-pertanian. Kemudian untuk mempertahankan produksi pangan dilakukan dengan
membatasi alih fungsi lahan yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja ahli,
mengarahkan alih fungsi lahan pada tanah yang kurang produktif, membatasi batas
maksimum alih fungsi lahan sesuai kemampuan pengadaan pangan mandiri setiap wilayah,
dan menetapkan kawasan pangan abadi yang tidak boleh dialih fungsikan.
Beberapa kebijakan prioritas yang dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai
berikut:
a. Membentuk badan khusus yang mengendalikan alih fungsi lahan baik di
tingkat nasional maupun daerah
b. Menyusun peraturan tentang perlindungan lahan pertanian
c. Menetapkan zonasi lahan pertanian yang dilindungi
d. Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan dan pemerintah
daerah setempat
e. Mengintegrasikan ketentuan dalam RTRW nasional, provinsi, hingga
kabupaten/kota

Penutup
Urban sprawl merupakan suatu isu yang tidak dapat dihindari seiring dengan
berkembangnya sebuah kota. Ketersediaan lahan yang jumlahnya terbatas tidak mampu
mencukupi jumlah penduduk kota yang terus mengalami peningkatan. Akibatnya, harga
lahan akan semakin mahal di tengah kota dan mendorong penduduk untuk menjalar
mencari lahan yang lebih murah ke daerah pinggiran. Pembangunan infrastruktur pun
semakin luas dan merata sehingga aksesibilitas menuju pusat kota semakin baik. Kawasan
urban sprawl ditandai dengan kawasan komersial, perumahan, dan industri yang saling
terpisah satu sama lain, pertumbuhan di wilayah tingkat penduduk rendah, dan penggunaan
kendaraan bermotor yang tinggi.
Terdapat berbagai macam dampak yang ditimbulkan dari adanya urban sprawl.
Dampak positifnya adalah ekonomi di wilayah pedesaan semakin meningkat dan fasilitas
yang dibangun pemerintah pun menjadi setara. Akan tetapi, dampak negatif dari urban
sprawl dinilai lebih dominan daripada dampak positifnya. Dampak negatif tersebut
berpengaruh di berbagai aspek mulai dari ekonomi, mobilitas, sosial, dan tentunya
lingkungan. Daerah sprawl akan mengalami peningkatan polusi udara, polusi air,
bertambahnya biaya hidup, dan yang paling krusial adalah alih fungsi lahan pertanian. Lebih
lanjut, alih fungsi lahan pertanian tersebut akan berdampak pada ketahanan pangan.
Pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan pangan. Akan
tetapi, produksi pertanian semakin berkurang akibat dari alih fungsi penggunaan lahan yang
tinggi dan tidak terkendali. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi hak atas
pangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk dapat meregulasi alih
fungsi lahan pertanian. Kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Akan
tetapi, undang-undang tersebut dinilai belum dapat meregulasi tingkat alih fungsi lahan
secara efektif dan aspek urban sprawl cenderung diabaikan. Antisipasi terhadap alih fungsi
lahan juga cenderung terbatas dalam sektor pertanian saja, tidak terhubung dengan
kebijakan lain seperti penyediaan perumahan dan pembatasan kendaraan bermotor. Untuk
mencegah alih fungsi lahan yang lebih buruk, terdapat strategi-strategi yang dapat dilakukan
pemerintah untuk membatasi alih fungsi lahan tersebut diantaranya dengan membentuk
badan khusus dan mengintegrasikan ketentuan zonasi lahan, peraturan, dan bentuk insentif
ke dalam RTRW.

Daftar Pustaka
● Khasanah, M. and Widi Astuti, D. (2020) ‘Memahami Urban Sprawl: Analisa
Perkembangan Permukiman Kota Salatiga Dengan Digitasi Arcgis’, Langkau Betang:
Jurnal Arsitektur, 7(2), p. 151. doi: 10.26418/lantang.v7i2.41869.
● Sosial, F. I., Hukum, J. and Kewarganegaraan, D. A. N. (2006) ‘Pertanian Ke Non
Pertanian’.
● Firdaus, F., Asteriani, F. and Ramadhani, A. (2018) ‘Karakteristik, Tipologi, Urban
Sprawl’, Jurnal Saintis, 18(2), pp. 89–108. doi: 10.25299/saintis.2018.vol18(2).3191.
● Nurrokhman, A. (2019) ‘Urban Sprawl di Indonesia dan Kegagalan Implementasi
Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan’, pp. 1–14. doi:
10.31227/osf.io/tqj8c.
● Rostini, N. (2012) ‘Strategi Bertanam Cabai’. Available at:
https://www.google.co.id/books/edition/Strategi_Bertanam_CabaiPen/uPuDAgAAQB
AJ?hl=id&gbpv=1&dq=rostini+strategi+bertanam+cabai&printsec=frontcover.

Anda mungkin juga menyukai