Anda di halaman 1dari 9

TINGKAT PERKEMBANGAN URBANISASI SPASIAL DI PINGGIRAN KPY

(KAWASAN PERKOTAAN YOGYAKARTA)


TAHUN 2012-2016
Magvirah Andira Selang,1 Doddy Aditya Iskandar,2 Retno Widodo D.P3
1Mahasiswa, Magister Perencanaan Kota Dan Daerah, Universitas Gadjah Mada
email : magvirahands@gmail.com
2, 3Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

INFORMASI ARTIKEL Abstrak


Pembentukan Kawasan Perkotaan Yogyakarta sebagai upaya
untuk pengendalian kawasan perkotaan agar tidak merembet ke
wilayah disekitarnya. Namun pada perkembangannya Kawasan
Perkotaan Yogyakarta (KPY) tanpa disadari telah merembet pada
wilayah pinggiran. Meluasnya Kawasan Perkotaan Yogyakarta ini
digambarkan dengan perubahan fisik guna lahannya yang disebut
Kata kunci: urbanisasi spasial. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk
Urbanisasi spasial mengetahui tingkat perkembangan urbanisasi spasial yang terjadi
KPY di wilayah pinggiran KPY. Teknik analisis yang digunakan yaitu
Perubahan menggunakan metode deduktif yaitu berdasarkan pandangan para
Lahan ahli dan teori-teori untuk mengidentifikasi variabel-variabel dan
indikator dan kemudian diuji kesesuaiannya di lapangan. Serta
overlay peta guna lahan 2012-2016 untuk mengetahui perubahan
guna lahan dan diikuti dengan penentuan kriteria tingkat
urbanisasi berdasarkan pada kondisi KPY. Hasil temuan yaitu
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir perubahan lahan yang terjadi
di wilayah pinggiran KPY yaitu lahan pertanian menjadi non
pertanian mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal
tersebut terbukti dengan semakin bertambah jumlah desa
pinggiran yang mengalami urbanisasi spasial serta besaran luas
alih fungsi lahan. Semakin tinggi urbanisasi yang terjadi di wilayah
pinggiran maka akan semakin meluasnya kawasan perkotaan
Yogyakarta sehingga lama kelamaan akan membentuk wilayah
administratif baru dari kawasan perkotaan tersebut.
Kata kunci : Urbanisasi spasial, KPY, perubahan, lahan

Abstract
Establishment of Yogyakarta urban area is an effort to control the
urban sprawl to be happened in city. However, in its development,
the urban area of Yogyakarta (KPY) has sprawled to its suburbs
area. The urban area sprawl of Yogyakarta is shown by the physical
changes to its land use, called spatial urbanization. So the purpose of
this research is to determine the level of spatial urbanization
development that occurred in the suburbs of KPY. Analytical
technique is done by deductive method which based on the views of
experts and theories to identified the variables and indicators and its
suitability will be tested in the field. Overlay the land use map over
2012-2016 is also done to discover the land use changed. Then
followed by determining the urbanization criteria based on KPY
conditions. Research findings has shown that within the last 5 years,
the land use changed which occurred in the marginal area of KPY is
a conversion of agricultural land into non agriculture land with the
significant changes. It’s proven by the increasing number of
peripheral villages experiencing spatial urbanization and the large
amount of land conversion functions. The higher urbanization that
occurs in the periphery will be the sprawl of its urban area of
Yogyakarta so that will formed a new administrative area in the city.
Keywords: Spatial Urbanization, KPY, land, change
© 2018

32
PENDAHULUAN wilayah pinggiran mengalami perubahan fungsi
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) memiliki lahan. Perubahan pemanfaatan lahan pertanian
fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional yang menjadi non pertanian di Kabupaten Bantul
mencakup Kota Yogyakarta dan beberapa terjadi sangat cepat. Diperkirakan setiap tahun
kecamatan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non
Bantul (PERDA Provinsi DIY No. 2 Tahun 2010). pertanian seluas 40 hektar dan 100 hektar di
Penetapan KPY (Kawasan Perkotaan Yogyakarta) Kabupaten Sleman (Merdeka, Kompas dalam
bertujuan untuk menyatukan kesamaan kawasan Purba 2016).
pinggiran dengan Kota Yogyakarta sebagai satu Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian
kawasan yang memiliki kesamaan fungsional Purba (2016), yang menunjukkan bahwa telah
sebagai perkotaan Yogyakarta agar dapat terjadi konurbasi atau dengan kata lain disebut
menjadi satu aglomerasi besar yang mampu urbanisasi spasial di wilayah pinggiran Kota
melayani aktivitas masyarakat dengan skala yang Yogyakarta. Urbanisasi spasial yang terjadi
lebih besar atau lebih luas. Selain itu, ditandai dengan persentase lahan non-pertanian
pembentukan KPY (Kawasan Perkotaan sebesar >60%-100% sehingga digolongkan
Yogyakarta) sebagai upaya untuk penanganan dalam kategori urban frige dan urban.
dari perembetan kota atau urban sprawl agar Ditambahkan oleh Abdurahman (2016), bahwa
perkembangan kawasan perkotaan dapat sebaran keruangan yang terdapat di Kabupaten
dikendalikan serta dapat mempertahankan Sleman terdiri dari 12% kluster perkotaan, 44%
wilayah di sekitarnya. kluster peri-urban, dan 44% kluster perdesaan.
Pada perkembangannya, KPY (Kawasan Jumlah desa yang termasuk dalam kluster peri-
Perkotaan Yogyakarta) dari tahun ke tahun urban yaitu sebanyak 38 desa dari total 86 desa
mengalami perkembangan yang sangat pesat jika dan sisanya 42 desa adalah perdesaan. Hal ini
ditinjau dari perubahan fisik guna lahannya yang dapat diartikan bahwa jumlah desa peri-urban
disebut urbanisasi spasial. Perubahan spasial (memiliki ciri perkotaan) lebih banyak dari desa
guna lahan yang terjadi di KPY disebabkan oleh (ciri perdesaan). Sehingga dapat dikatakan
keberadaan kampus yang memicu munculnya bahwa telah terjadi urbanisasi spasial yang
pusat kegiatan baru (Rachmawati, 2004). Selain menjadikan desa-desa pinggiran mengalami
keberadaan kampus, aksesibilitas seperti perubahan ciri kedesaan yang berubah dengan
jaringan jalan ring road yang memudahkan ciri perkotaan. Apabila hal tersebut tetap
masyarakat dalam melakukan pergerakan berlanjut maka akan berdampak pada perubahan
sehingga memicu tingkat kebangkitan sehingga mata pencaharian masyarakat di sektor
lama kelamaan tanpa disadari perkembangan pertanian dikarenakan hilangnya lahan
kawasan perkotaan Yogyakarta semakin meluas pertanian. Mengingat sebagian besar desa-desa
keluar dari wilayah administratifnya. pinggiran KPY yaitu didominasi dengan lahan
sawah irigasi dan perkebunan sehingga terjadi
Perkembangan KPY sama halnya dengan perubahan lahan pertanian maka akan
perkembangan Kabupaten Sleman, sebab mengakibatkan berkurangnya ketahanan pangan
sebagian besar cakupan KPY berada di nasional di masa depan.
Kabupaten Sleman. Salah satu penyebabnya yaitu
pertumbuhan penduduk di wilayah pinggiran Perubahan lahan pertanian disebabkan oleh
memiliki kontribusi terbesar pada terbentuknya beberapa faktor yaitu lahan terbangun
lahan terbangun. Lahan terbangun yang terdapat (perumahan, pertokoan,dll), jaringan jalan, dan
di wilayah pinggiran KPY merupakan bentuk dari fasilitas sosial-ekonomi. Menurut Umar (2014),
urbanisasi spasial sebab perubahan tersebut ketiga faktor tersebut telah terbukti berpengaruh
berupa pengurangan luas lahan pertanian yang terhadap perkembangan fisik Kota Makassar ke
diduga sebagai bentuk dari perkembangan fisik wilayah pinggirannya. Namun jika bila dipilah
kekotaan. kembali ternyata perkembangan fisik kekotaan
tidak hanya bernilai negatif saja namun juga
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, positif bagi wilayah pinggiran.
perkembangan fisik kekotaan KPY semakin
meningkat dan melebar sehingga sulit untuk Dengan demikian, berdasarkan penelitian
dikontrol. Salah satu bentuk perkembangan fisik sebelumnya sebagian besar yang teliti yaitu pada
kekotaan KPY yang menjalar ke wilayah wilayah pinggiran kota inti saja dalam hal ini KPY.
perdesaan (desa-desa pinggiran) yaitu Pada kenyataanya perkembangan Kawasan
berkurangnya lahan pertanian (lahan produktif) Perkotaan Yogyakarta (KPY) tanpa disadari telah
menjadi lahan non-pertanian atau lahan berkembang luas keluar ke wilayah pinggiran.
terbangun. Perubahan lahan tersebut dari tahun Perkembangan dari KPY mengakibatkan wilayah
ke tahun mengalami peningkatan. Akibatnya pinggiran mengalami urbanisasi spasial secara
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul sebagai perlahan. Sehingga timbul pertanyaan penelitian
“Bagaimana dengan perubahan fisik yang terjadi
33
di wilayah pinggiran KPY?”. Maka wilayah kekotaan yang rendah menjadi tingkat kekotaan
pinggiran perlu dikaji lebih lanjut untuk yang lebih tinggi. Sehingga urbanisasi ini
mengetahui gejala urbanisasi spasial. Gejala merupakan tahap awal terbentuknya
urbanisasi spasial dilihat dengan perubahan megapolitan (Yunus, 2006).
lahan pertanian menjadi non-pertanian (lahan
Istilah peri-urban atau yang dikenal dengan
terbangun) yang bersifat kekotaan. Setiap desa
daerah pinggiran kota adalah daerah yang
pinggiran memiliki tingkat perubahan guna
memiliki karakteristik campuran yaitu karakter
lahan yang berbeda-beda. Sehingga perbedaan
perkotaan dan perdesaan dalam satu ruang atau
perubahan lahan tersebut menggambarkan
daerah. Menurut Bintarto (1986), wilayah pusat
tingkat perkembangan urbanisasi spasial di
dan wilayah pinggiran merupakan satu sistem
pinggiran KPY.
dalam sebuah keruangan yang lengkap (complete
Dengan demikian, diperlukan penelitian ini untuk spatial system). Hal ini karena terdapat interaksi
mengetahui seberapa besar perubahan lahan antara pusat-tepi yang saling ketergantungan.
pertanian menjadi non-pertanian serta tingkat Wilayah pusat dan tepi ini dikenal dengan istilah
urbanisasi spasial di wilayah pinggiran KPY, center periphery atau konsep “pusat-tepi”. Akbar
apakah tingkat perkembangan urbanisasi di (1993), menambahkan daerah pinggiran berada
wilayah pinggiran antara satu dengan lainnya diantara desa dan kota sehingga daerah pinggiran
mengalami tingkat perkembangan yang sama sering disebut sebagai daerah transisi antara
atau tidak. build up areas dan non built up areas. Maksudnya
perubahan fungsi guna lahan dari lahan tidak
Secara umum urbanisasi diartikan sebagai
terbangun atau dikenal lahan pertanian menjadi
bentuk perpindahan penduduk dari desa ke kota.
lahan terbangun yang diperuntukkan untuk
Namun ternyata pengertian urbanisasi memiliki
kegiatan non-pertanian.
arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut
pandangnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Perkembangan wilayah pinggiran atau sub-urban
Bintarto (1986) bahwa urbanisasi memiliki arti secara ekologis adalah kawasan yang didalamnya
yang bersifat multisektoral dan kompleks baik terjadi invasi atau masuknya penduduk baru,
dari segi demografi, ekonomi, ilmu perilaku lemahnya adanya peraturan daerah yang lemah
(behavioral scientist), sosiologi, dan geografi sehingga terdapat bangunan-bangunan baru
sehingga dalam menentukan definisi urbanisasi yang dibangun tanpa rencana sehingga
diperlukan beberapa pertimbangan dari berbagai menimbulkan kesan semrawut. Wilayah
sumber. Ditambahkan lagi bahwa urbanisasi pinggiran berstatus sebagai perdesaan (rural)
merupakan suatu proses perubahan atau tetapi pada kenyataannya terdapat campuran
pergerakan kehidupan perdesaan mengarah ke rural-urban atau perdesaan-perkotaan
kehidupan perkotaan yang didalamnya (Soesilowati, 2008). Sehingga keberadaan
melibatkan berbagai aspek yaitu perubahan fisik daerah pinggiran ini lama kelamaan akan
ruang, sosial masyarakat, dan ekonomi yang mengalami perubahan baik secara spasial
ditandainya dengan terkonsentrasinya ruang maupun non-spasial yang disebabkan oleh
terbangun sehingga menyebabkan pergerakan perkembangan kota inti. Akibatnya daerah
migrasi penduduk dari lokasi kecil pedesaan ke pinggiran akan mengalami transformasi wilayah
lokasi besar perkotaan (Garnier dalam Soetomo, perdesaan menjadi perkotaan.
2009).
Kota bersifat dinamis yang artinya selalu
Dari semua definisi yang diutarakan oleh para
berubah-ubah atau mengalami perkembangan
ahli memiliki arti yang sama yaitu urbanisasi
dari waktu ke waktu yang bersifat alami maupun
sebagai perubahan atau pergeseran kehidupan
disebabkan oleh kemajuan teknologi yang
yang didalamnya mencakup manusia, ruang, dan
mengalami perubahan baik secara kualitas dan
kegiatan. Untuk menyesuaikan dengan penelitian
kuantitas. Perkembangan kota menurut Yunus
ini urbanisasi yang dimaksud yaitu urbanisasi
(1987) sebagai suatu proses perubahan keadaan
spasial sehingga perubahan atau pergeseran
dalam kurun waktu yang berbeda. Menurut
spasial dari ciri perdesaan mengarah pada ciri-
Rahardjo (1982) terdapat 6 faktor yang
ciri perkotaan. Senada dengan pengertian diatas,
mempengaruhi perkembangan kota antara lain;
terdapat sumber lain yang menyatakan bahwa
1)sosial penduduk, 2)lokasi yang strategis,
urbanisasi spasial adalah “the process of becoming
3)fungsi kawasan perkotaan, 4)kelengkapan
urban” atau proses menjadi kota (Johnston dalam
sarana dan prasarana, 5)kesesuaian lahan,
Ramdan, 2000). Proses menjadi kota ini
6)faktor kemajuan bidang teknologi.
merupakan bentuk dari proses perubahan sifat
kedesaan menjadi sifat kekotaan akibat dari Perkembangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta
perembetan penampakan fisik kekotaan keluar dengan wilayah pinggiran KPY mengindikasikan
dari wilayah administratifnya. Selain itu, terjadi interaksi antara kota-desa. Interaksi ini
urbanisasi spasial merupakan perubahan tingkat kemudian membentuk zona-zona interaksi yang
34
menghubungkan wilayah perkotaan dan
perdesaan (wilayah pinggiran). Menurut Bintarto
(1987), terdapat zona-zona intraksi antara
wilayah perkotaan dan perdesaan membentuk
pola-pola yang konsentrik yang tersusun
berdasarkan tingkatannya yaitu :
a. City sebagai kota inti Gambar 2 Pola Under Bounded City
b. Sub-urban yaitu wilayah yang lokasinya Sumber : Northam dalam Yunus, 1999
berbatasan atau berdekatan dengan pusat
kota. Proses perembetan kota yang terjadi ada 2 yaitu
c. Suburban fringe merupakan wilayah yang perembetan konsentris dan perembetan
melingkari sub-urban. meloncat. Menurut Yunus (1999), perembetan
d. Urban fringe merupakan wilayah terluar konsentris merupakan jenis perembetan area
kota/perkotaan, yang ditandai dengan sifat- perkotaan yang paling lambat. Perembetan
sifatnya yang mirip dengan wilayah perkotaan berjalan terbatas pada semua bagian-bagian luar
tapi bukan wilayah pusat kota. kota sedangkan perembetan meloncat yaitu
e. Rural urban fringe merupakan wilayah yang menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan
terletak antara kota dan desa serta ditandai pertanian sehingga dapat menurunkan
dengan guna lahan pertanian dan campuran. produktifitas pertanian.
f. Rural adalah wilayah perdesaan yang
penggunaan lahannya dominan pertanian. METODE PENELITIAN
Pertama, penelitian ini menggunakan metode
deduktif yaitu penelitian yang dilakukan
berdasarkan pandangan para ahli dan teori-teori
untuk mengidentifikasi variabel dan indikator
dan kemudian diuji kesesuaiannya dilapangan.
Metode deduktif dipakai untuk mengetahui
tingkat perkembangan urbanisasi spasial yang
terjadi pada wilayah pinggiran KPY. Kedua,
penelitian ini dilakukan pada 30 desa pinggiran
yang secara administratif merupakan desa-desa
Gambar 1 Zona Interaksi Kota Desa berbatasan langsung dengan KPY. (lihat gambar
Sumber : Bintarto, 1987 3)

Interaksi kota-desa yang terjadi terus-menerus


mengakibatkan terjadi perubahan baik secara
fisik maupun non-fisik mengakibatkan terjadi
perembetan kenampakan fisik kota. Menurut
Yunus (1999), bentuk fisik kota selalu berubah
tetapi batas administrasi kota relatif sama dari
waktu ke watu. Sehingga sering terlihat batas
kota telah berada jauh di luar administrasi kota.
Kondisi seperti ini disebut sebagai “Under
Bounded City” (Northam dalam Yunus, 1999).
Batas bawah kota atau Under Bounded City
merupakan perencanaan kota yang hanya
terfokus pada kawasan dalam batas administrasi
sedangkan daerah perkotaan yang berada diluar Gambar 3 Lokasi Penelitian
batas adminstrasi bukan termasuk dalam Sumber : hasil analisis, 2017
perencanan kota tersebut. Permasalahan yang
Ketiga, teknik analisis menggunakan cara overlay
kemudian muncul yaitu pengaturan wilayah yang
peta guna lahan Provinsi DIY secara series setiap
mana telah terjadi “built-up areas” di luar batas
dua tahun sekali yaitu tahun 2012-2014 dan
administrasi sehingga membutuhkan
tahun 2014-2016 dengan peta administratif
penanganan dari pemerintah kota maupun
Provinsi DIY untuk mengetahui perubahan guna
pemerintah daerah pinggiran kota. (lihat gambar
lahan pertanian yang terjadi di wilayah
2)
penelitian. Setelah itu menggunakan analisis
tingkat urbanisasi yaitu hasil overlay tersebut
dihitung luas alih fungsi lahan dari pertanian
menjadi lahan non-pertanian atau lahan

35
terbangun kemudian dibagi dengan luas wilayah artinya terjadi pengurangan luas lahan pertanian
(luas desa) untuk diketahui persentase tingkat sehingga dengan perubahan tersebut
urabanisasi. Setelah itu diklasifikasikan dalam 5 mengindikasikan telah terjadi urbanisai spasial
tingkatan yaitu sangat rendah-rendah-sedang- secara perlahan. (lihat tabel 1)
tinggi-sangat tinggi.
Tabel 1 Tingkat Urbanisasi Spasial Di Wilayah
Semakin besar perubahan lahan pertanian maka Pinggiran KPY Tahun 2012 – 2014
semakin besar persentase tingkat urbanisasi dan Desa Perubahan TU Klasifikasi
sebaliknya. Setelah itu, dicocokkan dengan Lahan (ha) (%)
(2012-2014)
persentase luas lahan non-pertanian di Kawasan
Balecatur 8,33 0,84 Sangat Rendah
Perkotaan Yogyakarta yang ditinjau dari hasil
penelitian Purba (2016). Hal tersebut bermaksud Sumberadi 2,05 0,34 Sangat Rendah
agar mempermudah peneliti untuk mengetahui Tlogoadi 3,49 0,72 Sangat Rendah
perubahan lahan yang terjadi pada wilayah Umbulmartani 9,58 1,44 Rendah
pinggiran.
Sukoharjo 1,59 0,20 Sangat Rendah

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Sardonoharjo 12,65 1,35 Rendah


Meluasnya Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) Donoharjo 6,48 0,98 Rendah
menyebabkan wilayah pinggiran mengalami Pandowoharjo 2,53 0,35 Sangat Rendah
perubahan fisik spasial kedesaan menjadi
Tridadi 0,17 0,03 Sangat Rendah
kekotaan salah satunya ditinjau dari perubahan
guna lahan. Berdasarkan hasil penelitian Purba Sendangtirto 2,40 0,46 Sangat Rendah
(2016), yang mengatakan bahwa telah terjadi Tegaltirto 0,64 0,11 Sangat Rendah
konurbasi Kota Yogyakarta dari tahun 1997
Purwomartani 10,65 0,88 Sangat Rendah
sampai 2015. Artinya selama kurun waktu 18
tahun terakhir telah terjadi perubahan luas lahan Bangunjiwo 9,00 0,58 Sangat Rendah
pertanian menjadi non-pertanian di pinggiran Pendowoharjo 0,08 0,01 Sangat Rendah
Kota Yogyakarta dalam hal ini KPY dan sebagian Timbulharjo 2,90 0,37 Sangat Rendah
desa pinggiran KPY sebesar 18.122 ha.
Jambidan 17,35 4,61 Sangat Tinggi
Perubahan tersebut ditandai dengan persentase
lahan non pertanian rata-rata 68,23% dari luas Wonokromo 7,19 1,66 Rendah
wilayah (luas desa) sehingga dapat diidentifikasi Pleret 1,49 0,35 Sangat rendah
tipe perkotan berdasarkan teori Pryor dalam Sitimulyo 4,29 0,46 sangat rendah
Yunus (2008).
Sumber : Analisis, 2017
Namun penelitian tersebut tidak menganalisis *nilai persen (%) merupakan hasil pembagian
rentan waktu 2012-2014 dan tahun terbaru yaitu jumlah luas perubahan lahan dengan luas wilayah
2016 sehingga perubahan spasial yang terjadi (desa)
pada tahun tersebut tidak diketahui. Dalam *Klasfikasi : TU (0,01 - 0,93) sangat rendah, TU (>
penelitian ini analisis menggunakan time series 2 0,93 - 1,85) rendah, TU (> 1,85 - 2,77) sedang, TU
tahun sekali yaitu 2012-2014 dan 2014-2016. (>2,77 - 3,69) tinggi, TU (>3,69 – 4,61) sangat
Pada 2012-2014 dari 30 desa yang berada tinggi.
pinggiran KPY, Desa Jambidan merupakan desa *TU = Tingkat Urbanisasi
yang mengalami urbanisasi spasial tertinggi
karena mengalami perubahan lahan pertanian Tidak semua desa-desa pinggiran yang telah
menjadi non-pertanian sebesar 17,35 (ha) diteliti disajikan dalam tabel hanya desa-desa
dengan persentase tingkat urbanisasi sebesar yang mengalami perubahan guna lahan pertanian
4,6%. Sementara 18 desa lainnya mengalami yang ditampilkan. Sehingga persebaran
perubahan lahan pertanian menjadi non- spasialnya dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
pertanian dalam kategori rendah.
Artinya 18 desa pinggiran ini mengalami
perubahan lahan pertanian menjadi non-
pertanian tetapi dengan luasan yang sangat
sedikit sehingga tingga urbanisasinya termasuk
dalam klasifikasi sangat rendah dan rendah.
Walaupun demikian, 18 desa tersebut tetap
digolongkan mengalami urbanisasi spasial sebab
telah terjadi perubahan fisik kedesaan menjadi
fisik kekotaan yang ditandai dengan perubahan
lahan sawah menjadi lahan permukiman yang

36
Desa Perubahan TU Klasifikasi
Lahan (ha) (%)
(2014-
2016)
Umbulmartani 40,17 6,03 Sangat rendah
Widodomartan 130,03 21,14 Sedang
i
Bimomartani 214,7 35,66 Sangat tinggi
Sindumartani 19,23 4,33 Sangat rendah
Sukoharjo 75,44 9,39 Rendah
Sardonoharjo 147,12 15,68 Sedang

Gambar 4 Peta Perubahan Guna Lahan Donoharjo 135,45 20,52 Sedang


Pertanian-Non Pertanian Tahun 2012-2014 Pandowoharjo 154,91 21,31 Sedang

Sumber : BAPPEDA DIY diolah, 2017 Tridadi 6,7 1,33 Sangat rendah
Margoluwih 78,19 15,64 Sedang
Berdasarkan gambar 4, perbedaan tingkat Sendangtirto 8,64 1,66 Sangat rendah
urbanisasi yang terjadi di desa-desa pinggiran Tegaltirto 50,43 8,82 Rendah
KPY mengindikasikan perkembangan KPY. Hal
tersebut tentunya disebabkan oleh faktor Purwomartani 27,79 2,31 Sangat rendah
aksesibilitas jalan, fasilitas sosial-ekonomi, dan Selomartani 46,33 5,17 Sangat rendah
lahan terbangun (Umar 2014, Purba 2016, dan Bangunjiwo 211,53 13,71 Rendah
Mahfudz 2016). Dari faktor-faktor tersebut
Pendowoharjo 8,35 1,20 Sangat rendah
mengakibatkan terjadi perubahan persebaran
jumlah penduduk. Sehingga semakin banyak Timbulharjo 8,23 1,06 Sangat rendah
penduduk di suatu wilayah maka kebutuhan Jambidan 26,93 7,16 Sangat rendah
ruang tempat aktivitas baik tempat tinggal
Wonokromo 21,29 4,91 Sangat rendah
maupun tempat usaha menjadi semakin tinggi.
Mengingat desa-desa pinggiran memiliki luasan Pleret 108,52 25,53 Tinggi
yang cukup banyak maka wilayah ini dijadikan Sitimulyo 67,57 7,19 Sangat rendah
sebagai tujuan persebaran penduduk yang
Sumber : Analisis, 2017
semakin meningkat. *nilai persen (%) merupakan hasil pembagian jumlah luas
Perkembangan urbanisasi berikutnya yaitu pada perubahan lahan dengan luas wilayah (desa)
*Klasfikasi : TU (0,10-7,22) sangat rendah, TU (>7,22-14,33)
tahun 2014-2016. Dalam 2 tahun ini terlihat rendah, TU (>14,33-21,44) sedang, TU (>21,44-28,55) tinggi, TU
perubahan guna lahan yang cukup signifikan. (>28,55-35,66) sangat tinggi.
Pada tahun 2014-2016 perkembangan urbanisasi *TU = Tingkat Urbanisasi
spasial terjadi pada seluruh desa pinggiran.
Artinya pada tahun ini terjadi urbanisasi spasial Meninjau hasil penelitian Mahfudz (2016),
di 30 desa pinggiran dengan tingkat persentase mengatakan bahwa Kabupaten Sleman sebagai
yang berbeda-beda. (lihat tabel 2) wilayah pinggiran memiliki 38 desa peri urban
dari total 86 desa yang terdiri dari peri urban
Tabel 2 Tingkat Urbanisasi Spasial Di Wilayah primer dan peri urban sekunder . Artinya ada 38
Pinggiran KPY Tahun 2014 – 2016 desa pinggiran Kota Yogyakarta yang memiliki
Desa Perubahan TU Klasifikasi karakterter sebagai peri urban atau desa
Lahan (ha) (%) pinggiran yang memiliki ciri kekotaan lebih besar
(2014- atau dengan kata lain memiliki lahan non-
2016)
Balecatur 62,12 6,30 Sangat rendah
pertanian lebih besar dari lahan pertanian. Hal ini
didasari oleh teori land use triangle Yunus (2008),
Sidorejo 0,56 0,10 Sangat rendah salah satunya terdapat zona bingkai kota
Sidoluhur 7,28 1,40 Sangat rendah kenampakan kekotaan >70%, dan seterusnya
Sidomulyo 2,59 1,04 Sangat rendah
untuk membedakan wilayah pinggiran (lihat
Yunus 2008). Apabila mengarah pada teori
Sidoagung 15,89 4,79 Sangat rendah tersebut, maka desa pinggiran yang mengalami
Sidokarto 10,82 2,97 Sangat rendah urbanisasi spasial yaitu Desa Balecatur dengan
Tirtoadi 30,03 6,04 Sangat rendah luas lahan non-pertanian sebesar 73% dari luas
wilayah (luas desa). Sehingga Desa Balecatur
Sumberadi 81,51 13,59 Rendah
termasuk dalam golongan peri urban.
Tlogoadi 7,84 1,63 Sangat rendah
Berdasarkan hasil analisis, Desa Balecatur yang
memiliki lahan pertanian lebih besar tingkat
37
urbanisasi yang terjadi di Desa Balecatur Sidoagung 4,77 1,44 Sangat rendah
termasuk dalam klasifikasi rendah. Artinya dalam Sidokarto 28,26 7,76 Rendah
waktu 2014-2016 perubahan luas lahan
Tirtoadi 30,03 6,04 Sangat rendah
pertanian menjadi non-pertanian tidak
mengalami perubahan jumlah yang besar Sumberadi 97,28 16,21 Sedang
sehingga tingkat urbanisasinya menjadi sangat Tlogoadi 26,37 5,47 Sangat rendah
rendah. Pada tahun 2014-2016 perkembangan Umbulmartani 89,69 13,47 Rendah
urbanisasi spasial terbesar yaitu terdapat di Desa
Widodomartan 130,03 21,14 Sedang
Bimomartani dan Desa Pleret dengan masing- i
masing tingkat urbanisasi sebesar 35,66% dan Bimomartani 227,35 37,77 Sangat tinggi
25,55%. Disamping itu perkembangan wilayah
Sindumartani 35,28 7,95 Rendah
pinggiran lainnya mengalami perubahan dengan
tingkat urbanisasi rendah sampai sedang. Sukoharjo 158,04 19,68 Sedang
Sehingga walaupun jumlah luas perubahan lahan Sardonoharjo 199,77 21,30 Sedang
itu sedikit tetap dikatakan mengalami urbanisasi Donoharjo 149,86 22,71 Tinggi
spasial. (lihat gambar 5)
Pandowoharjo 176,22 24,24 Tinggi
Tridadi 25,61 5,08 Sangat rendah
Margoluwih 95,28 19,06 Sedang
Sendangtirto 52,63 10,08 Rendah
Tegaltirto 125,47 21,94 Sedang
Purwomartani 142,03 11,79 Rendah
Selomartani 46,33 5,17 Sangat rendah
Bangunjiwo 157,73 10,22 Rendah
Pendowoharjo 6,46 0,93 Sangat rendah
Timbulharjo 4,35 0,56 Sangat rendah
Jambidan 73,20 19,47 Sedang
Wonokromo 30,52 7,03 Sangat rendah
Gambar 5 Peta Perubahan Guna Lahan
Pertanian-Non Pertanian 2014-2016 Pleret 135,21 31,81 Sangat tinggi
Sumber : BAPPEDA DIY diolah, 2017
Sitimulyo 71,86 7,64 Sangat rendah

Sumber : Analisis, 2017


Setelah diketahui tingkat perkembangan *nilai persen (%) merupakan hasil pembagian
urbanisasi yang terjadi dalam kurun waktu 2 jumlah luas perubahan lahan dengan luas wilayah
tahun sekali, kemudian hasil analisis tersebut, (desa)
dijumlahkan. Selanjutnya diambil nilai rata-rata *Klasfikasi : TU (0,10 – 7,64) sangat rendah, TU (>
untuk mengetahui tingkat perkembangan 7,64 – 15,17) rendah, TU (> 15,17 – 22,70)sedang,
urbanisasi spasial yang terjadi pada tahun 2012- TU (>22,70 - 30,23) tinggi, TU (> 30,23 – 37,77)
2016. Perkembangan tersebut kemudian sangat tinggi.
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi tingkat *TU = Tingkat Urbanisasi
perkembangannya. Tujuannya yaitu untuk
mengetahui pola perkembangan Kawasan Berdasarkan tabel 3, semua desa-desa pinggiran
Perkotaan Yogyakarta serta upaya KPY mengalami urbanisasi spasial meskipun
mengendalikan wilayah disekitarnya. (lihat tabel dengan jumlah luasan yang berbeda. Hal tersebut
3) menandakan telah terjadi perkembangan
Tabel 3 kawasan perkotaan yang keluar dari batas
Tingkat Perkembangan Urbanisasi Spasial Di wilayahnya atau Under Bounded City karena
Wilayah Pinggiran KPY Tahun 2012 - 2016 perencanaan kawasan perkotaan hanya fokus
Perubahan pada kawasan yang berada dalam batas
Pertanian- TU
Desa Non (%) Klasifikasi
administrasinya saja. Hasil analisi menunjukkan
Pertanian bahwa Desa Bimomartani dan Desa Pleret
2012-2016 merupakan desa pinggiran yang mengalami
Balecatur 70,45 7,15 Sangat rendah urbanisasi spasial yang sangat tinggi
Sidorejo 0,56 0,10 Sangat rendah dibandingkan dengan desa lain. Perolahan
Sidoluhur 7,28 1,40 Sangat rendah
tingkat urbanisasi spasial sebesar >30%. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan KPY tidak
Sidomulyo 2,59 1,04 Sangat rendah
hanyak mengarah ke bagian utara (Kabupaten

38
Sleman) tapi juga mengarah ke bagian selatan mengalami tingkat urbanisasi yang sangat
yaitu Kabupaten Bantul. (lihat 7) rendah.
2. Perbedaan persentase tingkat urbanisasi yang
KABUPATE
TINGKAT PERKEMBANGAN URBANISASI
SPASIAL DI WILAYAH PINGGIRAN KPY
terjadi di desa-desa pinggiran diperoleh
N SLEMAN
berdasarkan dengan jumlah luas perubahan
SKALA 1 : 195.000 lahan. Semakin besar luas perubahan lahan
LEGENDA
KLASIFIKASI
TINGKATRing Road
URBANISASI :
Jalan Arteri
yang terjadi setiap tahun maka persentase
tingkat urbanisasi spasial menjadi tinggi.
< 0,10 – 7,64 Sangat
rendah
Kota Yogyakarta
< 7,64 – 15,17 Rendah
Kawasan Perkotaan
Yogyakarta
< 15,17 – 22,70 Sedang
KOTA
YOGYAKARTA
< 22,70 – 30,23
Tinggi

< 30,23 – 37,77 Sangat


tinggi
SARAN
1. Perlu adanya kerjasama antar stakeholders di
KABUPATE
N BANTUL
Provinsi DIY dalam merespon perkembangan
guna lahan terbaru agar perkembangan
Gambar 7 Pola Perkembangan Urbanisasi perkotaan Yogyakarta dapat dikendalikan
Spasial Di Wilayah Pinggiran KPY sebelum menjadi semakin semeraut.
Sumber : Hasil analisis, 2017 2. Perlu upaya penerapan sanksi yang tegas dari
pemerintah provinsi dan daerah (desa) dalam
Hasil penelitian Umar (2014), mengatakan menegakkan aturan penataan ruang agar
bahwa pola perkembangan fisik Kota Makassar di sesuai dengan dokumen kebijakan rencana
kawasan peri-urban berbentuk seperti kipas atau tata ruang (RTRW) yang untuk kelangsungan
fan shaped cities (Yunus, 1999). Pola hidup dimasa depan
perkembangan Kota Makassar dan wilayah 3. Perlu diteliti lebih lanjut terkait mobilitas
sekitarnya terdapat 3 titik pusat perkembangan penduduk peri-urban ke wilayah perkotaan,
sehingga jika disambung maka akan membentuk evaluasi kebijakan pelaksanaan Kawasan
model kipas. Model tersebut mengarah pada Perkotaan Yogyakarta (KPY), dan proyeksi
perkembangan aglomerasi kawasan pusat kebutuhan lahan terbangun di pinggiran Kota
pertumbuhan dengan sebutan Mamminasata. Yogyakarta untuk 20 thn kedepan.
Berbeda dengan model perkembangan kota pada
penelitian sebelumnya, perkembangan wilayah UCAPAN TERIMA KASIH
pinggiran KPY berbentuk pola perembetan Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada
konsentris dan pola perembetan meloncat (Leap Bapak Doddy Aditya Iskandar dan Bapak Retno
frog development). Hal tersebut didasari oleh 2 Widodo yang telah menyediakan waktu untuk
alasan yaitu pertama, semua desa yang berada di berdiskusi bersama dalam menyusun penelitian
pinggiran KPY mengalami urbanisasi spasial ini. Terima kasih kepada Badan Perencanaan
maka telah terjadi perembetan area kekotaan Pembangunan Daerah Provinsi DIY yang telah
yang lambat. Perembetan area kekotaan dinilai memudahkan peneliti dalam memperoleh data.
bergerak perlahan-lahan sehingga berbatasan Terima kasih juga buat buat teman-teman MPKD
pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik 48 UGM yang telah memberikan masukan
kota tersebut. Kedua, perkembangan urbanisasi penyusunan tulisan ini. Semoga tulisan ini
spasial terjadi secara terpencar atau melompat memberikan manfaat dan memberikan informasi
secara sparadis dan tumbuh di tengah-tengah baru bagi semuanya.
lahan pertanian. Berdasarkan hasil analisis
diatas, perkembangan tingkat urbanisasi spasial DAFTAR PUSTAKA
dengan klasifikasi sedang-sangat tinggi
menyebar secara tidak merata sehingga dapat BUKU
dikatakan pola perkembangan seperti lompatan Bintarto, R. 1986. Urbanisasi dan
katak. Tipe seperti ini menimbulkan dampak Permasalahannya. Jakarta: Ghalia
negatif bagi kegiatan pertanian sebab dapat Indonesia
menurunkan produktifitas pertanian. Bintarto, R. 1989. Interaksi Desa-Kota. Jakarta:
Penerbit Ghalia.
KESIMPULAN Johnston, R.J. 1981. The Dictionary of Human
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka Geography. Oxford: Basil Blackwell
dapat disimpulkan yaitu : Publisher Limited.
1. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir desa-desa Muta’ali, Lutfi. 2015. Teknik Analisis Regional.
yang berada pinggiran KPY telah mengalami Untuk Perencanaan Wilayah, Tata Ruang
perubahan lahan pertanian menjadi lahan non- Dan Lingkungan. Yogyakarta. Badan
pertanian (lahan terbangun). Perubahan lahan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG).
terbesar terdapat di Desa Bimomartani dengan Soetomo, Sugiono. 2009. Urbanisasi dan
tingkat urbanisasi spasial sebesar 37,77% Morfologi. Proses Perkembangan
(sangat tinggi), sedangkan ada 15 desa yang Peradaban Dan Wadah Ruangnya
39
Menuju Ruang Yang Manusiawi. Ekonomi dan Kebijakan UNNES. Vol.1
Yogyakarta: Graha Ilmu. Edisi pertama No.1
Rahardjo. 1982. Perkembangan Kota dan UNDANG-UNDANG
Beberapa Permasalahannya, Sebuah (PERDA) Peraturan Daerah Provinsi
Bacaan Pelengkap untuk Sosiologi DI.Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010
Masyarakat Kota. Yogyakarta. UGM Tentang Tentang Rencana Tata Ruang
Press. Wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Soetomo, 2009. Urbanisasi dan Morfologi Kota Yogyakarta Tahun 2009-2029
School, J.W. 1981. Modernisasi.
Pengantar sosiologi Pembangunan
Negara-negara Sedang Berkembang.
Jakarta: PT Gramedia. Cetakan kedua
Yunus, Hadi Sabari. 1987. Geografi Permukiman
dan Permasalahan Permukiman di
Indonesia. Yogyakarta. Fakultas Geografi
UGM
Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang
Kota. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Yunus, Hadi Sabari. 2006. Megapolitan. Konsep,
Problematika dan Prospek.
Yunus, Hadi Sabari. 2008. Dinamika Wilayah Peri
Urban Determinan Masa Depan Kota.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar

PENELITIAN
Mahfudz, Akbar Abdurrahman. 2016. Sebaran
Keruangan Tipologi Wilayah Peri-Urban
Di Kabupaten Sleman. Akbar
Abdurrahman Mahfudz. Tesis Pasca
Sarjana Fakultas Geografi UGM. Tidak
dipublikasikan
Purba, Yuna Brat. 2016. Perkembangan Konurbasi
Kota Yogyakarta (1997-2015), Pinggiran
Kota Yogyakarta. Tesis MPKD UGM
Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Ramdan, Dani. 2000. Urbanisasi di Daerah
Pinggiran Kota Metroolitan. Studi kasus
di Kelurahan Cigondewah Kaler
Kecamatan Bandung Kulon Kota
Bandung. Tesis MPKD UGM Yogyakarta.
Tidak dipublikasikan
Umar, Fitrawan. 2014. Pengaruh perkembangan
fisik kota terhadap perubahan
lingkungan fisikal dan sosial-ekonomi di
wilayah peri urban Kota Makasar. Tesis
Pasca Sarjana Fakultas Geografi UGM.
Tidak dipublikasikan

JURNAL/MAKALAH
Akbar, Roos. 1993. Aplikasi Sistem Informasi
Geografi: Land Use Accounting System.
Jurnal PWK ITB. Vol. 4 No.5 Hal 2
Rachmawati, Rini. 2004. Peranan Kampus
Sebagai Pemicu Urbanisasi Spasial Di
Pinggiran Kota Yogyakarta. Majalah
Geografi Indonesia. Vol. 18. No 1. Hal 45.
Soesilowati, Etty. 2008. Dampak Pertumbuhan
Kota Semarang Terhadap Kemacetan
Lalulintas di Wilayah Pinggiran Dan
Kebijakan Yang DiTempuhnya. Jurnal
40

Anda mungkin juga menyukai