Anda di halaman 1dari 54

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia. Seiring

dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi dari tahun ke tahun, kebutuhan

rumah sebagai tempat tinggal juga semakin meningkat, oleh sebab itu kebutuhan

lahan yang akan dijadikan lokasi pembangunan rumah juga semakin tinggi.

Tidak semua lahan yang ada cocok untuk dijadikan kawasan permukiman.

Evaluasi terhadap lahan yang ada perlu dilakukan terlebih dahulu agar dapat

ditentukan lahan mana yang cocok untuk dikembangkan sebagai lokasi kawasan

permukiman, selain itu dengan evaluasi ini juga dapat diketahui tingkat

kesesuaian pada sebuah lahan apabila ingin dijadikan lokasi pembangunan

kawasan permukiman. Kota Rumbia dipilih karena merupakan ibukota

Kabupaten Bombana yang saat ini tengah mengalami perkembangan.

Perumahan dan Permukiman menurut Dharoko dalam Budihardjo. et al,

(2009) terdiri dari 2 bagian yaitu perumahan adalah kelompok rumah yang

berfungsi sebagai tempat tinggal bersama yang dilengkapi dengan sarana dan

prasarana lingkungan, menurut (Kuswartojo, 2005) makna dari perumahan dapat

dikategori menjadi perumahan formal yakni perumahan yang dibangun dengan

suatu aturan yang jelas dengan suatu pola yang teratur, perumahan informal

adalah akumulasi rumah yang dibangun oleh keluarga atau individu tanpa
2

mengikuti suatu aturan sehingga terkesan acak. Sedangkan permukiman dapat

diartikan sebagai suatu tempat atau lingkungan dimana manusia tinggal,

berkembang.

Pemanfaatan lahan untuk permukiman perlu diatur dengan baik, sehingga

sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan, dengan

mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis sehingga tidak sampai terjadi

penurunan kualitas lahan. Menurut Dahuri (2001), pembangunan berkelanjutan

yang merupakan strategi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa

menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhan dan aspirasinya, memiliki dimensi ekologis, sosial-ekonomi dan

budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Dari dimensi ekologis,

agar pembangunan kawasan perkotaan dapat berlangsung secara berkelanjutan,

maka harus memenuhi persyaratan utama, antara lain setiap kegiatan

pembangunan hendaknya ditempatkan di lokasi yang secara biofisik (ekologis)

sesuai dengan persyaratan biofisik dari kegiatan pembangunan tersebut. Selain

itu, perlu juga informasi tentang tata guna lahan perkotaan yang ada saat ini.

Nilai fungsional areal dan ketersediaan lahan merupakan prasyarat utama

untuk urbanisasi yang mendorong terjadinya tujuan-tujuan sosial ekonomi dari

keinginan masyarakat (Kozlowsky, 1997). Dan lahan di pusat kota menjadi

preferensi bagi pencapaian urbanisasi, mengingat pusat kota menjadi pusat

pelayanan bagi daerah belakangnya (daerah komplementer), menyuplainya

dengan barang-barang dan jasa sentral (Sihotang, 2001).


3

Perubahan-perubahan yang terjadi akibat tekanan tranformasi sosial

ekonomi khususnya di pusat kota ini membawa inefisiensi dan inefektifitas

dalam pemanfaatan ruang yang terbatas dan mempengaruhi aspek pengelolaan

kota. Pada tataran praktek, penyimpangan muatan RTRW kerap terjadi.

Kenyataan lain juga menunjukkan banyak bentuk usaha tanpa ijin usaha dan ijin

lokasi dapat beroperasi tanpa adanya sanksi oleh pemerintah daerah. Sehingga

fenomena economic oriented yang belum diatur oleh pemerintah dalam

implementasinya masih mengandalkan kesadaran masyarakat untuk melengkapi

perijinan. Dalam merumuskan pola tata ruang kota di masa yang akan datang

pemahaman latar belakang karakteristik fisik kota diperlukan guna menghindari

dampak-dampak negatif dari pertumbuhan kota (Yunus, 2005).

Laju perkembangan Kota Rumbia yang berlangsung secara cepat disebabkan

pula oleh pertumbuhan penduduk Kota Rumbia sebesar 2,86 % (tahun 2011-

2012) yang berada di atas pertumbuhan penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara

(1,83 %) dapat menimbulkan berbagai konsekuensi yang kurang

menguntungkan bagi perkembangan kota. Hal tersebut timbul akibat dari

keterbatasan lahan dan tingkat kompetensi penggunaan lahan di pusat kota,

keterbatasan lahan dan pertumbuhan penduduk yang pesat serta adanya konsep

pengembangan kota.

Peningkatan jumlah penduduk ini bertautan dengan peningkatan permintaan

terhadap ruang dan sarana prasarana yang mengisi ruang tersebut guna

mendukung aktifitas sosial ekonomi penduduk perkotaan. Lahan yang ada

dengan sendirinya akan berubah fungsi. Meminjam terminologi dari Iwan


4

Kustiwan dalam Tjahjati (1997), bahwa konversi lahan adalah alih fungsi atau

mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian

sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Perkembangan permukiman di Kabupaten Bombana khususnya pada Kota

Rumbia sebagai ibukota kabupaten merupakan bentuk perkembangan fisik kota,

mengingat data-data mengenai perkembangan permukiman sangat penting bagi

perencanaan dan pembangunan, maka perlu dipantau agar tidak menimbulkan

masalah di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis

kesesuaian lahan kawasan perumahan/permukiman pada wilayah Kota Rumbia

(Kec. Rumbia Tengah dan Kec. Rumbia) untuk melihat kondisi perkembangan

kawasan tersebut dan ketersediaan lahan dimasa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

Dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin tinggi (2,86 % pada tahun

2011-2012) di atas laju pertumbuhan penduduk provinsi (1,83 %), Kecamatan

Rumbia dan Rumbia Tengah dari tahun ke tahun menjadi daerah hunian yang

semakin padat terutama di pusat kotanya, hal ini ditandai oleh pembangunan

perumahan dan permukiman di berbagai penjuru wilayah. Namun sayangnya,

pembangunan sektor ini sering mengesampingkan peruntukan lahan sehingga

fungsi lahan di sektor lain menjadi berubah. Perubahan penggunaan lahan

sebenarnya sangat menguntungkan penduduk karena perubahan yang terjadi

mewadahi aktivitas perdagangan dan jasa. Hal ini dapat lebih meningkatkan

perekonomian penduduk, namun terkadang perubahan yang terjadi tidak


5

dibarengi dengan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan

ketidakteraturan kawasan. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis

merumuskan permasalahan yang akan diteliti, yaitu :

1. Bagaimana kondisi sosial ekonomi, fisik kawasan perumahan dan

permukiman dan sosial ekonomi masyarakat di Kota Rumbia (Kec. Rumbia

dan Rumbia Tengah).

2. Bagaimana kesesuaian dan ketersediaan lahan kawasan

perumahan/permukiman.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan mengetahui kondisi kawasan perumahan dan

permukiman dari segi fisik kawasan dan aspek tata ruang.

2. Mengidentifikasi dan mengetahui ketersediaan lahan kawasan

perumahan/permukiman di Kota Rumbia (Kec. Rumbia dan Rumbia Tengah).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam

Pemerintah Daerah dalam menyusun tata ruang wilayah.

2. Bagi masyarakat, merupakan informasi perkembangan pemanfaatan ruang

maupun perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kota Rumbia.

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat menambah dan

memperkaya wawasan ilmu pengetahuan.


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Perencanaan Wilayah

Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang

dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang

lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya

dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai

sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh,

lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk

menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan

meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan

Daerah adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik

umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya

pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan

keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan

cara:

a) secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan

daerah;

b) merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;

c) menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan


7

d) melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga

peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat

ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah

dapat dibagi atas empat komponen yaitu :

(a) Physical Planning (Perencanaan fisik).

Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik

pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada

pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota

menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan

ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara komprehensif.

Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek

lingkungan bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal,

aglomerasi, dan penggunaan lahan).

(b) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).

Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat

ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori

ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi,

pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja,

produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi.

Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan

ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk


8

produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga

keuangan, kesempatan kerja, tabungan).

(c) Social Planning (Perencanaan Sosial)

Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas

sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan

masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat

perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah.

Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan)

Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan

secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.

Menurut Fianstein dan Norman (1991), tipologi perencanaan dibagi atas

empat macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam

perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Traditional planning (perencanaan tradisional)

Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk

merubah sebuah sistem kota yangtelah rusak. Biasanya pada konsep

perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan

pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif

terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan

metode yang professional.


9

b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna)

Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk

mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini

masyarakat kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus

dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.

c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi)

Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat

yang termarjinalkan dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah

masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan

perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf

hidup masyarakat miskin.

d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan)

Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses

pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan.

Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap

permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak

negatif sebuah kebijakan.

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan

Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang saling

terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya adalah suatu

proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban growth) adalah

perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan masyarakat kota.


10

Sedangkan perkembangan kota (urban development) adalah perubahan dalam

masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial politik, sosial budaya dan fisik

(Hendarto, 2001).

Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai dari

nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga yang secara

fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan

kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-

macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri.

Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur tersebut dipandang

secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit

yang merupakan hasil karya manusia.

Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan penduduk

dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan

kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan karena

karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata guna lahan

menjadi suatu konsekwensi logis dalam pertumbuhan dan perkembangan kota.

Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan kehidupan

manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang

heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan kata lain, kota

merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non

alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala pemusatan penduduk yang

cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang beraneka ragam dan perilaku

yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan perekonomian.


11

Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan oleh

adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit, pendidikan, pasar,

industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang luas dan jalanan beraspal

yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor. Dari segi fisik, suatu kota banyak

dipengaruhi oleh struktur-struktur buatan manusia ( artificial), misalnya pola

jalan, landmark, bangunan-bangunan permanen dan monumental, utilitas,

pertamanan dan traffic.

Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan fungsinya

sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif pemerintahan, pusat

militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual dalam satu kelembagaan,

selain itu heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hirarkis pada

masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller mengartikan kota dari sudut

pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara dan penyedia jasa bagi wilayah

kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya, sehingga kota disebut sebagai pusat

pelayanan (Daldjoni, 1997).

Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat kekotaan

adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya prasarana-sarana serta

keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin banyak fungsi dan fasilitas

perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa lokasi konsentrasi itu adalah sebuah

kota. (Tarigan, 2004).


12

C. Pola Ruang Kota

Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, pola

ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi

peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi

budidaya. Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam

wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung

dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten berfungsi :

a. Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan social ekonomi masyarakat dan

kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;

b. Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;

c. Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan

d. Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah

kabupaten.

Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan :

a. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;

b. Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;

c. Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan

lingkungan;

d. Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:


13

1. Teori Konsentrik

Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang meneliti kota

Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di kota mengikuti zone-

zone lingkaran konsentris (melingkar). Struktur penggunaan lahan

dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:

a. Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)

Wilayah PDK atau dalam bahasa asing Central Business District (CBD)

merupakan pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung,

pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.

b. Zone transisi (peralihan)

Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-pabrik ringan

dan tempat tinggal masyarakat terpandang.

c. Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah

Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.

d. Zone pemukiman masyarakat menengah

Zone ini merupakan kawasan pemukiman masyarakat berpenghasilan

menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.

e. Zone pemukiman masyarakat elite

Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh orang kaya

seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.

f. Zone penglaju (suburban)

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang siang

bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di pinggiran.


14

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess (1925)

dapat dilihat pada gambar berikut :

5
4
3
2
1 2 3Keterangan
45 :
Central Business District (CBD)
Zona Peralihan
Zona Perumahan dan Para Pekerja
Zona Permukiman yang Lebih Baik
Zona para Penglaju
Gambar 2.1. Model Zona Konsentris (Burgess)

2. Teori sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt. Ia berpendapat bahwa pola

penggunaan lahan di kota cenderung berkembang mengikuti sektor-sektor

yang lebih bebas daripada berdasarkan lingkaran konsentris.

Adanya pola penggunaan yang berbentuk sektoral yang memanjang

diakibatkan adanya bentuk lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana

rute komunikasi dan transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman

penduduk cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).


15

Gambar 2.2. Teori Sektoral Hoyt

Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt :

 Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.

 Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.

 Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.

 Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.

 Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.

3. Teori Inti Berganda

Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori ini

sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori sektoral.

Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang seperti teori

konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota terdapat tempat-tempat

tertentu yang berfungsi sebagai inti kota seperti wilayah industri, pelabuhan

dan jaringan jalan, kompleks perguruan tinggi, dsb. Dalam arti bahwa pusat

kegiatan bukan satu melainkan ganda C.D. Harris dan E.L. Ullman dalam

Daldjoeni (1992).
16

Gambar 2.3. Teori Inti Berganda C.D. Harris dan E.L. Ullman

D. Pertumbuhan Perumahan dan Permukiman di Indonesia

Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak

terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun

kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.

Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman,

sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan sejak Pelita V dalam

bentuk Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan, namun penekanannya

masih terbatas kepada aspek perumahan saja. Dalam perjalanannya, acuan

tersebut dirasakan kurang sesuai lagi dengan berbagai perkembangan

permasalahan yang semakin kompleks, sehingga diperlukan pengaturan dan

penanganan perumahan dan permukiman yang lebih terintegrasi. Sehingga untuk

itu perlu disusun suatu kebijakan dan strategi baru yang cakupannya dapat

meliputi bidang perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan yang tidak

terpisahkan.
17

Sampai menjelang berakhirnya abad dua puluh, pembangunan perumahan

dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan melalui kebijakan

pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola pasokan. Pola

pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada Perum Perumnas untuk

menyediakan perumahan sederhana pada tahun 1974, dan kemudian juga

dikembangkan oleh para pengembang swasta yang juga melayani masyarakat

golongan berpenghasilan menengah keatas. Namun demikian, dapat diakui

bahwa masih terdapat sekitar 85% perumahan yang diupayakan sendiri oleh

masyarakat secara informal.

Pada akhir abad dua puluh keterpurukan perekonomian yang terjadi di

Indonesia tidak dapat terelakkan, dan hal ini kemudian berdampak pada

merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat

termasuk di dalam menyelenggarakan perumahan dan permukiman, serta yang

sekaligus juga berdampak pada kinerja sektor perumahan dan permukiman, yang

sebenarnya dapat berperan sebagai salah satu lokomotif kebangkitan ekonomi

nasional.

Tata guna lahan perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan peran

kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja, kawasan pertokoan

dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Sedangkan pemanfaatan lahan

dengan melihat aspek aksesbilitas menurut Chapin (1995), pemanfaatan lahan

untuk fasilitas pelayanan kota cenderung mendekati akses barang dan orang

sehingga dekat dengan jaringan transportasi serta dapat dijangkau dari kawasan

permukiman dan tempat berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara fasilitas


18

rekreasi, terutama untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan

dengan potensi alam seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau

flora dan fauna tertentu.

Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota yang ada

dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian bahwa tumbuhnya

perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan jarak yakni menuju dan

dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai keuntungan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang

terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan

kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan

perumahan dan permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan

sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut.

Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun penunjang

diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping

dampak pembangunan perumahan dan permukiman terhadap kelestarian

lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya harus senantiasa

dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan

perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan

pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap selaras dengan

prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan

lingkungan.

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin

menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik perumahan


19

dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk

pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk

menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat

mendorong terwujudnya keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan

perdesaan, serta perkembangan yang terjadi dapat tumbuh secara selaras dan

saling mendukung. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan

ruang-ruang permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan

terjadinya migrasi penduduk.

1. Isu Strategis dan Permasalahan perumahan dan permukiman

Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia

sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam

kehidupan masyarakat, dan kondisi kebijakan pemerintah di dalam mengelola

persoalan perumahan dan permukiman yang ada, antara lain sebagai berikut:

a. Isu kesenjangan pelayanan

Isu kesenjangan pelayanan muncul karena terbatasnya peluang untuk

memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang perumahan dan

permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan

berpendapatan rendah. Di samping itu juga dapat dikarenakan adanya

konflik kepentingan akibat implementasi kebijakan yang relatif masih

belum sepenuhnya dapat memberikan perhatian dan keberpihakan kepada

kepentingan masyarakat secara keseluruhan.


20

b. Isu lingkungan

Isu lingkungan pada kawasan perumahan dan permukiman umumnya

muncul karena dipicu oleh tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang

tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang

terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana dasar, ketidakmampuan

memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman yang ada, dan

masih rendahnya kualitas permukiman baik secara fungsional, lingkungan,

maupun visual wujud lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya

menciptakan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan

berkelanjutan.

c. Isu manajemen pembangunan

Isu manajemen pembangunan muncul umumnya karena dipengaruhi

oleh keterbatasan kinerja tata pemerintahan di seluruh tingkatan, sehingga

berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan,

inkonsistensi di dalam pemanfaatan lahan untuk perumahan dan

permukiman, dan munculnya dampak negatif terhadap lingkungan.

Disamping itu terjadinya proses marjinalisasi sektor lokal oleh sektor

nasional dan global juga berdampak potensial terhadap meningkatnya

kemiskinan serta tersisihnya komunitas informal setempat berikut

terbatasnya peluang usaha.

Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat juga merupakan tantangan

bagi pemerintah, baik nasional maupun lokal, untuk menjaga agar


21

pertumbuhannya lebih merata, termasuk dalam upaya pemenuhan

kebutuhan perumahan dan permukiman. Dengan demikian, pengelolaan

pembangunan perumahan dan permukiman harus memungkinkan

berkembangnya prakarsa masyarakat melalui mekanisme yang dipilihnya

sendiri.

Di pihak lain kemampuan membangun perumahan dan permukiman

oleh komunitas harus direspon secara lebih tepat oleh pemerintah di dalam

kerangka tata pemerintahan yang baik, sehingga kebutuhan akan identitas

lokal masih tetap dapat terjaga di dalam kerangka pembangunan

perumahan dan permukiman yang lebih menyeluruh.

2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman

Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di

Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut menurut kirmanto

(2002) sebagai berikut :

a. perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh

ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan,

perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha;

b. konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada

suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman;

c. alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan

perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga


22

berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-

tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan;

d. terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami tingkat

urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam;

e. komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada

pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar

terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan

menguntungkan.

Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan

menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih,

sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata

bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta

pencemaran air, udara, dan tanah.

Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah

perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan

material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta

kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini

mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali

menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman, 2005).

Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini adalah

tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan dengan

kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya. Tetapi apa bila
23

kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan dalam perumahan

dan pemukiman ini sebenarnya adalah (Yudohusodo, 1991):

a. Kependudukan

Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor utama

yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu

menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka pertambahan

penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan sarana perumahan

menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan serius. Meningkatnya

arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang pemisah antara kota dan desa

merupakan salah satu pemicu permasalahan kependudukan ini.

b. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah

Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan wilayah

yang seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang berkepentingan

dalam hal pembangunan ini, khususnya pembangunan perumahan dan

permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk melaksanakan

pemerataan dalam pembangunan antar keduanya. Tetapi yang kita temui

dilapangan sekarang adalah semakin pesatnya pembangunan yang

dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan semakin tertinggal.

Pesatnya pembangunan perumahan diperkotaan banyak yang tidak sesuai

dengan rencana umum tata ruang kota, inilah yang menyebabkan keadaan

perkotaan semakin hari semakin tidak jelas arah pengembangannya.


24

c. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masih


belum optimal.

Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah

mata, dengan perencanaan yang matang, sinergis dan integral dalam setiap

sektor akan menghasilakn keluaran pengembangan perumahan dan

pemukiman. Belum optimalnya perencanaan berakibat pada lemahnya arah

kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana aksi pengembangan

antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan prioritas

pengembangan perumahan dan pemukiman.

d. Pertanahan dan Prasarana

Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar akan

selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang didaerah perkotaan menjadi

semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita jumpai areal

pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal ini terjadi karena

ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan permintaan akan sarana

hunian selalu meningkat setiap saatnya.

Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian sebagai kawasan

perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi pangan serta

rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih lanjut merupakan

awal dari permasalahan lingkungan diperkotaan, seperti banjir, tanah

longsor dan lain sebagainya.

Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus diikuti

dengan penyediaan prasarana dasar seperti penyediaan air bersih, sistem


25

pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata

bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta

pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai.

e. Pembiayaan.

Permasalahan biaya merupakan salah satu point penting dalam

pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara mikro,

hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk

menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah

sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat dengan

tingkat perekonomian menengah kebawah.

Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan

pembiayaan ini adalah adanya kecenderungan meningkatnya biaya

pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang tidak sebanding

dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar untuk

memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi.

f. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi

Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut menentukan

sukses atau tidaknya program pembangunan perumahan rakyat ini adalah

produksi bahan bangunan dan distribusinya yang erat kaitannya dengan

harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan teknologi pembangunan

perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan kepada tulisan dalam buku

Rumah Untuk Seluruh Rakyat, mengatakan bahwa teknologi dan industri


26

jasa konstruksi, khususnya untuk pembangunan perumahan sederhana

belum banyak kemajuan yang ada.

g. Kelembagaan 

Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu kesatuan

sistem kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan perumahan secara

berencana, terarah dan perpadu, baik itu yang berfungsi sebagai pemegang

kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan pada berbagai tingkat

pemerintahan, maupun lembaga-lembaga pelaksana pembangunan di sektor

pemerintah dan swasta. Hal lain yang juga berhubungan dengan

kelembagaan ini adalah pengembangan unsur-unsur pelaksana

pembangunan yang harus lebih dikembangkan lagi, khususnya

kelembagaan pada tingkat daerah, baik itu yang bersifat formal maupun

non-formal yang dapat mendukung swadaya masyarakat dalam bidang

perumahan dan permukiman.

h. Peranserta Masyarakat 

Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang menyatakan

bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas perumahan yang layak,

tetapi juga mempunyai peran serta dalam pengadaannya. Menurut

kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan pembangunan

perumahan adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, baik itu secara

perorangan maupun secara bersama-sama, pada point ini peran pemerintah

hanyalah sebagai pengatur, pembina dan membantu serta menciptakan


27

iklim yang baik agar masyarakat dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan

perumahan mereka.

Peran serta masyarakat akan dapat berlangsung lebih baik apabila

sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar hasilnya sesuai

dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan

ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian perumahan dan

pemukiman dapat menciptakan suatu proses kemajuan sosial secara lebih

nyata. 

i. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi

penerapan berbagai kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan

pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun bidang pembangunan.

Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah mulai

digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode pra-PELITA

hingga saat sekarang. Namun hal ini belum dapat memberikan dampak

yang cukup berarti dalam pembangunan perumahan, bahkan dalam banyak

hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan

sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan dan tuntutan

pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang, sehingga pembaharuan

dan penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan penting.


28

j. Permasalahan lainnya

Menurut hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat bahwa

kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumah-rumah yang

belum memenuhi syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan rumahnya

maupun kepadatan huniannya. Kebutuhan akan hunian yang selalu

meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan masyarakat dalam

pemenuhannya, sehingga hal ini telah menyebabkan kecenderungan sarana

hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh yang tidak mudah untuk

dikendalikan. Hal lain yang juga masih berhubungan dengan permasalahan

ini adalah faktor sebaran penduduk Indonesia yang masih belum merata.

Berbagai perkembangan, isu strategis, dan permasalahan perumahan dan

permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan kemajemukan perubahan-

perubahan di dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan

pembangunan lingkungan, yang tidak saja mengikuti perubahan berdimensi

ruang dan waktu, tetapi juga perubahan kondisi khususnya bidang ekonomi,

sosial, dan budaya.

Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan realistik, dengan

mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro, sosial, demografi,

lingkungan, dan kebudayaan. Disamping itu, implementasinya dapat mendorong

pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, pemeliharaan dan

rehabilitasi perumahan dan permukiman di perkotaan dan perdesaan, serta telah

mengadopsi dan melaksanakan pendekatan lintas sektoral dan desentralisasi.


29

E. Perubahan Guna Lahan

Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau

mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber

daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati, 1997). Namun

sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land economics, pengertiannya

terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian

atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan

meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).

Anthony J. Catanese dan James C. Snyder (1986) mengatakan bahwa

dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas

dan lokasi, dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat

dianggap sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.

Gambar 2.4. Siklus Perubahan Fungsi Lahan

Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan lahan

melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:


30

a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang terjadi

setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan, mengingat masih

adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat.

b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada suatu

tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk aktifitas atau

perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena daerah asal tidak

mampu mengatasi masalah yang timbul dengan sumber dan swadaya yang

ada.

c. Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku penduduk

dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam hal

restrukturisasi pola aktifitas.

F. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah upaya untuk memperoleh informasi tentang suatu

objek, daerah atau fenomena tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau

fenomena tersebut. Informasi didapatkan dengan sebuah sistem penginderaan

yang terdiri dari berbagai komponen dan interaksi antar komponen. Gambar di

bawah menunjukkan rangkaian komponen tersebut yang meliputi : 1) sumber

tenaga, 2) atmosfer, 3) objek, 4) sensor, serta 5) perolehan data dan penggunaan

data.
31

Gambar 2.5. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)

Sumber tenaga dapat berupa tenaga alami (matahari) maupun buatan yaitu

sinyal radio. Tenaga ini berinteraksi dengan objek di permukaan bumi, kemudian

dipantulkan ke sensor. Atmosfer berperan sebagai media penghantar tenaga yang

berasal dari matahari dan penyampai sinyal yang ditransmisikan atau dipantulkan

oleh objek di permukaan bumi. Pengaruh atmosfer bersifat selektif terhadap

panjang gelombang. Berdasarkan pengaruh ini akan muncul istilah jendela

atmosfer, yaitu spektrum elektromagnetik yang dapat melalui atmosfer dan

mencapai permukaan bumi.

Setiap kenampakan di permukaan bumi dapat dilacak informasinya karena

setiap objek memiliki karateristik spektral tersendiri dalam interaksinya dengan

tenaga yang mengenainya, sehingga menimbulkan perbedaan jumlah tenaga

yang dipantulkan. Sensor yang terpasang pada wahana berfungi sebagai alat
32

perekam sistem penginderaan jauh. Setiap sensor memiliki resolusi spektral,

yaitu kepekaan sensor terhadap bagian spektrum elektro magnetik tertentu, dan

resolusi spasial yang berbeda. Perbedaan kedua hal ini sangat berpengaruh pada

kualitas citra penginderaan jauh yang dihasilkan.

Perolehan data dapat dilakukan secara manual maupun digital menggunakan

komputer. Penggunaan data merupakan komponen sangat penting dalam

penginderaan jauh karena kompo nen ini menentukan dapat diterima atau

tidaknya hasil penginderaan jauh untuk suatu aplikasi. Semakin pesat

perkembangan teknologi penginderaan jauh, semakin luas pula aplikasinya

karena data penginderaan jauh dapat diandalkan dalam analisis keruangan serta

hemat waktu, tenaga, dan biaya. Meskipun demikian penggunaan data

penginderaan jauh harus selalu memperhatikan kerincian data terhadap tujuan

dan skala penelitian yang dilakukan.

G. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Geographic information system (GIS) atau Sistem Informasi Berbasis

Pemetaan dan Geografi adalah sebuah alat bantu manajemen berupa informasi

berbantuan komputer yang berkait erat dengan sistem pemetaan dan analisis

terhadap segala sesuatu serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi.

Teknologi GIS mengintegrasikan operasi pengolahan data berbasis database yang

biasa digunakan saat ini, seperti pengambilan data berdasarkan kebutuhan, serta

analisis statistik dengan menggunakan visualisasi yang khas serta berbagai


33

keuntungan yang mampu ditawarkan melalui analisis geografis melalui gambar-

gambar petanya.

Menurut salah satu ahli yaitu Murai (1999)  Sistem Informasi Geografis

merupakan salah satu system informasi yang digunakan untuk memasukkan ,

menyimpan , memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan

data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan

keputusan dalam perencanaandan pengelolaan penggunaan lahan , sumber daya

alam, lingkungan, fasililats kota, dan pelayanan umum lainnya. Pada intinya SIG

merupakan pengelolaan data geografis yang didasarkan pada kerja komputer

(mesin).

GIS adalah sebuah teknologi yang mampu merubah besar-besaran tentang

bagaimana sebuah aktivitas bisnis diselenggarakan. Teknologi GIS

memungkinkan untuk melihat informasi bisnis secara keseluruhan dengan cara

pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang selama

ini sama sekali tidak terungkap.

H. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang perumahan dan permukiman yang telah

dilakukan oleh beberapa peneliti diuraikan dalam tabel 2.1 sebagai berikut :
34

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

Uraian Peneliti Analisis Hasil Penelitian


1. Konsep Penataan Permukiman Priyo Nur Cahyo, Johan Penelitian kualitatif dengan Konsep Penataan Permukiman
Dalam Rangka Pembangunan Silas, Sri Amiranti analisis fenomenologi dan Madura yang dapat dikembangkan
Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Sastrohutomo. Seminar triangulasi dalam rangka pembangunan
Nasional Perumahan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu
Permukiman dalam adalah dengan Model Open Cluster
Pembangunan Kota, 2012
2. Peningkatan Peran Lembaga Lokal Aris Prihandono. Jurnal Non probability sampling Penyiapan modul pemberdayaan
Dalam Rangka Pembangunan Permukiman. Vol. 4 No. 2 harus mengacu kepada tipologi
Permukiman di Perdesaan September 2009 kelembagaan di atas dan kebutuhan
yang diperlukan, karena orientasi
kegiatan dan nilai-nilai yang
menjadi landasan kerja tiap tipe
lembaga berbeda.

Konsistensi dan keseriusan


pemberdayaan lembaga inilah yang
menjadi tulang punggung penepisan
resiko kegagalan peningkatan peran
lembaga perdesaan dalam
mengurusi pembangunan
perumahan.
3. Pengembangan Kawasan Syamsuddin. Universitas Metode Deskriptif KTM Mahalona sebagai kawasan
Perumahan dan Permukiman pada Diponegoro Semarang, 2010 perumahan dan permukiman belum
Kota Terpadu Mandiri (KTM) memperlihatkan kondisi ideal
keberlanjutan fungsi perumahan
Mahalona Kabupaten Luwu Timur
dan permukiman.
35

Pengembangan usaha ekonomi


belum diolah dengan baik yang
disebabkan karena keberadaan
masyarakat transmigran mayoritas
adalah petani
4. Dinamika Penggunaan Lahan di Bambang Utoyo S. Seminar  Location Quotient (LQ). Perubahan penggunaan lahan di
Wilayah Perkotaan (Studi di Kota Hasil-Hasil Penelitian dan  Shift-Share (SS) Kota Bandar Lampung terjadi
Bandar Lampung) Pengabdian Kepada seiring dengan pertumbuhan dan
Masyarakat, Unila 2012. perkembangan wilayah kota.

Faktor pertumbuhan ekonomi,


pertambahan penduduk dan
preferensi masyarakat merupakan
faktor pemicu terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang tercermin
pada perubahan pola pemanfaatan
ruang wilayah kota.

Selama hampir satu dekade


pertumbuhan ekonomi Kota Bandar
Lampung ditopang oleh sektor
perekonomian di luar sektor
pertanian dan sektor pertambangan
& penggalian. Sedangkan dalam
jangka panjang competitiveness
pertumbuhan ekonomi kota
didukung oleh sektor pertanian;
industri pengolahan non-migas; dan
sektor keuangan, persewaan & jasa
perusahaan.
36

III. KERANGKA PIKIR

Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi

oleh stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan

kota secara komprehensif . Namun beberapa unsur eksternal yang menonjol juga

dapat mempengaruhi perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang

mempengaruhi perkembangan kota adalah :

1)      Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang

berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul  jalur

transportasi, dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. 

Kota pantai, misalnya akan  cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan

pusat lingkaran adalah pelabuhan laut.

2)      Tapak (Site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan

suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah

topografi. Kota yang berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang

kesemua arah, sedangkan yang berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai

kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi.

Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.

3)      Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota

yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan

berkembang lebih pesat  dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota

pertambangan, kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga

berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya;


37

4)      Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat

masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan

akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara

organisasi. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga mempengaruhi daya

perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan

dihindari untuk perkembangan tertentu.

5)      Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih

berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum

akan menarik kota kearah tertentu.

Kerangka pikir analisis kesesuaian lahan kawasan perumahan dan permukiman

Kota Rumbia Kabupaten Bombana dapat dilihat pada gambar di bawah.

KOTA RUMBIA

PERTUMBUHAN PENDUDUKPERUBAHAN LAHAN KESESUAIAN LAHAN

PROSES URBANISASI

KEBUTUHAN LAHAN RTRW KABUPATEN


PERUMAHAN/PERMUKIMAN

ASPEK FISIK SOSIAL EKONOMI


KEMIRINGAN LAHAN JUMLAH PENDUDUK
TOPOGRAFI KARAKTERISTIK
TATA GUNA LAHAN MASYARAKAT
AKSESSIBILITAS MATA PENCAHARIAN
JENIS TANAH EKONOMI WILAYAH
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KETERSEDIAAN LAHAN
PERUMAHAN/PERMUKIMAN

Gambar 2.6. Kerangka Pikir Penelitian


38

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Kawasan Perkotaan Kabupaten Bombana yaitu

di Kecamatan Rumbia Tengah yang merupakan Pusat Kawasan Perdagangan dan

Jasa, serta di Kecamatan Rumbia yang merupakan Pusat Kawasan Pemerintahan.

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 1 bulan yaitu bulan Mei sampai

dengan Juni 2014.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

bersifat kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka. Sumber data diperoleh

dari publikasi resmi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Bombana, Badan Perencanaan Pembangunan

daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bombana dan instansi terkait lainnya pada

Kabupaten dan provinsi serta dari sumber-sumber lain yang relevan.

Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber

berdasarkan hasil survey lapangan dan hasil analisa citra satelit yang digunakan

untuk melakukan identifikasi potensi dan gambaran fisik wilayah. Citra satelit

yang digunakan adalah citra satelit Landsat TM8 resolusi spasial 30m dan Citra

satelit resolusi spasial 0.8 – 1,2 m pemotretan tahun 2012 yang digunakan untuk

mengidentifikasi kawasan-kawasan perumahan pada wilayah penelitian. Untuk

lebih jelasnya, kebutuhan data dapat dilihat pada tabel berikut :


39

Tabel 4.1. Kebutuhan Data Penelitian

Metode Yang
No. Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber
Digunakan

1. Identifikasi kondisi kawasan Analisis GIS  Penggunaan lahan  Bappeda


perumahan/permukiman  Kemiringan Lahan  Dinas PU dan Tata Ruang
 Topografi  Citra Satelit
 Jenis Tanah  Survey
 Sungai  Observasi
 Banjir
 Longsor
 Gempa Bumi
2. Identifikasi ketersediaan lahan  Analisis GIS  Pertumbuhan Penduduk  BPS
kawasan perumahan/permukiman  Proyeksi Penduduk  Luas kawasan yang belum  Citra Sateli
terbangun  Survey
 RTRW
Sumber: Hasil Analisis, 2014.
40

C. Populasi dan Sampel

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling yang digunakan adalah

Purposive Sampling pada Kecamatan Rumbia (terdiri dari 5 desa/kelurahan) dan

Kecamatan Rumbia Tengah (terdiri dari 5 desa/kelurahan) yang dipilah sesuai

dengan tujuan penelitian dengan responden-responden diambil secara

proposional per wilayah desa/kelurahan (data primer) melalui ground research

dengan metode Area Propotional sample yaitu teknik sampling dengan

mengambil wakil setiap wilayah yang terdapat dalam populasi. Adakalanya

jumlah subyek yang ada pada setiap strata atau setiap wilayah tidak sama. Oleh

karena itu, agar mendapat data yang representatif ditentukan seimbang/sebanding

dengan banyaknya subyek dari setiap wilayah (Arikunto, 1998).

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan

diduga (Singarimbun, 1995). Populasi merupakan keseluruhan penduduk atau

individu yang dimaksudkan untuk diselidiki. Pendapat lain mengatakan bahwa

populasi merupakan kumpulan dari ukuran-ukuran tentang sesuatu yang ini

dibuat inferensi. Dalam hal ini populasi berkenaan dengan data bukan pada

orang atau benda (Nasir, 1999). Wilayah Kecamatan Rumbia dan Kecamatan

Rumbia Tengah dengan jumlah penduduk sebesar 81.698 jiwa. Untuk

menentukan jumlah ukuran sampel dipakai formulasi Slovin (dalam Sevilla et al,

1993), yaitu:

N
n= (1)
1+ ne2
41

dimana :

n = ukuran sampel;

N = ukuran populasi;

e2 = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan.

Batas ketelitian yang digunakan dalam menentukan jumlah sampel

penelitian ini adalah 10%, dengan tingkat kepercayaan studi sebesar 90%.

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel yang akan di ambil pada

masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut :

Kecamatan Rumbia Tengah jumlah penduduk 6.659 jiwa

6.659
n= 2
1+6.659 x (0,1)

6.659
¿
67,59

= 98,52 ≈ 99 sampel

Kecamatan Rumbia jumlah penduduk 11.221 jiwa

11.221
n=
1+11.221 x (0,1)2

= 99,12 ≈ 99 sampel

Jadi sampel yang diambil pada wilayah penelitian berjumlah 188 responden.

D. Variabel Penelitian

Dari kajian teori yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa pola

spasial pertumbuhan suatu kawasan perumahan dan permukiman bila ditinjau

dari aspek dinamika pertumbuhan wilayah dan peningkatan kebutuhan lahan,


42

dapat direduksi menjadi beberapa variabel yakni dinamika secara ekonomi yang

terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, dinamika politik yang terkait

dengan keputusan-keputusan atau kebijakan daerah yang dapat mempengaruhi

pola spasial wilayah serta dinamika sosial-budaya yakni pengaruhnya terhadap

karakteristik masyarakat sebagai ujung tombak pelaku kegiatan.

Proses interaksi ketiga variabel tersebut dapat membentuk suatu pola

hubungan yang saling mempengaruhi yang dapat menggambarkan pola spasial

pertumbuhan perumahan di suatu kawasan atau wilayah. Bila dilihat lebih

seksama lagi bahwa pengaruh dari ketiga variabel tersebut kedalam struktur

ruang perkotaan, dimana adanya saling ketergantungan secara fungsional

kawasan seperti satu bagian kawasan berfungsi sebagai pelayan bagi kawasan

lain. Adapun variabel penelitian adalah :

Tabel 4.2 variabel Penelitian

Komponen Data Variabel Sumber Data

1. Fisik Wilayah a. Administrasi Wilayah Citra Satelit


b. Topografi Wilayah BPN
c. Kemiringan Lahan
d. Tata Guna Lahan
e. Aksessibilitas
f. Jenis Tanah
2. Sosial Ekonomi g. Jumlah Penduduk  BPS
h. Karakteristik Masyarakat  Survey Lapangan
i. Mata Pencaharian
j. Ekonomi Wilayah

3. RTRW k. Peta Dasar  Dinas PU dan Tata Ruang


l. Arahan Tata Ruang  Bappeda
m. Kebijakan Tata Ruang

Sumber: Hasil Analisis, 2014


43

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan tahapan yang dilakukan untuk mempermudah

pelaksanaan analisis. Dalam studi ini, pengumpulan data terdiri atas dua cara,

yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.

1. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data ini merupakan teknik pengumpulan yang diperoleh

langsung dari sumbernya, baik melalui pengamatan (observasi) langsung

maupun wawancara pada responden yang terkait, dan bisa dilakukan dengan 3

cara, yaitu:

 Observasi lapangan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

pengamatan di lapangan dan mendokumentasikan perkembangan guna

lahan, aktivitas kota serta sosial masyarakat pada wilayah penelitian dalam

bentuk foto, sketsa atau data tertulis baik narasi maupun numerik.

 Wawancara, digunakan untuk memperoleh data maupun informasi secara

langsung. Wawancara pada studi ini menggunakan teknik wawancara

terstruktur, ditujukan pada penggunaan lahan pada wilayah studi. Persepsi

atau pandangan masyarakat (yang diwakili responden) yang ingin

diperoleh dalam pengumpulan data adalah: data pribadi berupa usia,

pendidikan, penghasilan, pekerjaan, serta masukan kepada pemerintah.

 Kuesioner Adalah teknik data dengan menggunakan daftar pertanyaan

yang sifatnya tertutup dan terbuka. Dalam penelitian ini dipakai kuesioner

bersifat tertutup dengan maksud bahwa jawaban kuesioner telah tersedia


44

dan responden tinggal memilih beberapa alternatif yang telah disediakan

yang mungkin turut mewarnai dalam keputusannya terhadap penggunaan

lahan, maupun perubahan penggunaan lahan yang mungkin terjadi karena

nilai opportunity yang mungkin diharapkannya di kawasan tersebut, serta

alasan memilih lokasi tempat tinggal dan/atau usaha di kawasan tersebut.

2. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan Data Sekunder yaitu pengumpulan secara tidak langsung dari

sumber/obyeknya. Data ini berupa rencana pembangunan dan data numerik

yang dapat diperoleh melalui buku literatur, dokumen penelitian atau melalui

kajian literatur sendiri. Sumber yang terkait bisa dari institusi pemerintah,

pendidikan maupun swasta. Dan instansi yang akan dituju adalah

desa/kelurahan, Bappeda, BPN, BPS, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata

Ruang, Dinas Perhubungan dan instansi terkait lainnya.

F. Metode Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Analisis

Location Quotient (LQ), Analisis Pertumbuhan Penduduk, Analisis Geographic

Information System (GIS), dan Analisis Deskriptif.

1. Analisis Location Quotient (LQ)

Metode analisis Location Quotient (LQ) dilakukan untuk mengetahui

perkembangan sektor perekonomian wilayah yang menjadi basis, metode ini

mengukur tingkat kemandirian suatu ekonomi lokal dalam hal pendapatan atau
45

tenaga kerja. Pengukuran LQ dapat diformulasikan secara matematis sebagai

berikut (Budiharsono, 2002):

vi
vt
LQ i= (2)
Vi
Vt

Dimana vi = Pendapatan sektor i di Kabupaten/Kota;

Vt = Pendapatan total di Kabupaten/Kota;

Vi = Pendapatan sektor i di Sulawesi Tenggara;

Vt = Pendapatan total di Sulawesi Tenggara.

Dengan menggunakan pendekatan teori LQ ini, maka kegiatan

masyarakat dapat dibadi menjadi dua, yakni kegiatan basis dan kegiatan non-

basis. Suatu kegiatan ekonomi dikatakan kegiatan basis apabila nilai LQ = 1,

sementara jika nilai LQ < 1, maka kegiatan ekonomi tersebut dikatakan bukan

kegiatan basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang

hasilnya baik berupa barang atau jasa ditujukan untuk ”diekspor” ke luar dari

lingkungan masyarakat tersebut, baik ke luar daerah, domestik, maupun

internasional. Kegiatan non-basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang

hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu

sendiri dalam lingkungan ekonomi masyarakat tersebut.

2. Proyeksi Jumlah Penduduk

Pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah akan membawa dampak

yang kompleks terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pengaruhnya


46

kepada penggunaan tanah/ lahan yang senantiasa juga mengalami perubahan

secara dinamik. Salah satu konsekuensi yang begitu ketara dari pertumbuhan

penduduk ini adalah kebutuhan tanah/ lahan untuk penyediaan perumahan

yang dapat menampung pertumbuhan penduduk tersebut.

Metode yang digunakan untuk menghitung proyeksi penduduk dalam

penelitian ini dihitung berdasarkan rumus :

Pn = Po (1 + r)n (1)

Dimana ;

Pn = Jumlah Penduduk pada Tahun (n) Perencanaan;

Po = Jumlah Penduduk pada Tahun Dasar 2012;

r = Selisih Tahun Dasar 2012 dengan tahun perencanaan;

n = Laju Pertumbuhan Penduduk rata-rata Kecamatan.

3. Analisis Geographic Information System (GIS)

Geographic Information System (GIS) atau biasa juga disebut Sistem

informasi geografis atau disingkat dengan (SIG) merupakan suatu sistem

berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,

menggabungkan, mengatur, mentranformasi, memanipulasi dan menganalisis

data – data geografis. Data geografis yang dimaksud adalah data spasial yang

terdiri atas lokasi eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam bentuk

koordinat (raster, image) yang ciri-cirinya adalah :

a. Memiliki geometric properties seperti koordinat dan lokasi.

b. Terkait dengan aspek ruang seperti persil, kota, kawasan pembangunan.


47

c. Berhubungan dengan semua fenomena yang terdapat di bumi, misalnya

data, kejadian, gejala, dan objek.

d. Dipakai untuk maksud-maksud tertentu, misalnya analisis, pemantauhan

ataupun pengelolaan.

Data attribut atau data spasial adalah gambaran data yang terdiri atas

informasi yang relevan terhadap suatu lokasi, seperti kedalaman, ketinggian,

lokasi penjualan, dan lain-lain yang bisa dihubungkan dengan lokasi tertentu

dengan maksud untuk memberikan identifikasi, seperti alamat, jumlah

penduduk, nama jalan dan sebagainya.

Pada dasarnya istilah sistem informasi geografis merupakan gabungan

dari tiga unsur pokok : sistem, informasi, dan geografis. Jadi sistem informasi

geografis adalah kumpulan dari sistem yang teroganisir dari perangkat keras

komputer, perangkat lunak, dan data geografi yang dirancang secara efisien

untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis,

dan menampilkan semua bentuk informasi dan data yang bereferensi geografi.

Oleh sebab itu dari definisi tersebut maka sistem informasi geografis

memiliki kemampuan-kemampuan yaiu :

a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi ( spasial dan atribut ).

b. Mengintegrasikan data geografi ( spasial dan atribut ).

c. Memeriksa, mengupdate ( mengedit ), data geografi ( Spasial dan atribut ).

d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi ( spasial dan atribut ).

e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi ( spasial dan atribut ).

f. Mengelola data, memanipulasi data geografi ( spasial dan geografi ).


48

g. Menghasilkan keluaran ( output ) data geografi dalam bentuk-bentuk peta

tematik, tabel, dan data atribut/tabular.

4. Analisis Deskriptif.

Saat ini berbagai macam rancangan penelitian telah dikembangkan dan

salah satu jenis rancangan penelitian adalah Penelitian  Deskriptif.  Berbagai

macam definisi tentang penelitian deskriptif, di antaranya adalah penelitian

yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel

atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan

antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono : 2003). Pendapat

lain mengatakan bahwa, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang

dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala

yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian

dilakukan (Arikunto S. 2005). Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah untuk

membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-

fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam arti ini pada

penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu mencari atau menerangkan saling

hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan hipotesis.

Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang

situasi atau kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga

dirancang untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan

atas satu variabel kepada variabel lain. Karena itu pula penelitian komparasi
49

dan korelasi juga dimasukkan dalam kelompok penelitian deskriptif

(Arikunto, S. 2005).

Secara lebih mendalam tujuan penelitian korelasi  adalah untuk

mengetahui sejauh mana hubungan antar variabel yang diteliti. Penelitian

jenis ini memungkinkan pengukuran beberapa variabel dan saling

hubungannya. Hasil yang diperoleh adalah taraf atau tinggi rendahnya saling

hubungan dan bukan ada atau tidak ada saling hubungan tersebut. Dalam

penelitian komparatif akan dihasilkan informasi mengenai sifat-sifat gejala

yang dipersoalan, diantaranya apa sejalan dengan apa, dalam kondisi apa,

pada urutan dan pola yang bagaimana, dan yang sejenis dengan itu.

G. Konsep Operasional

1. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang

layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat

penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

2. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik

perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan

utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih

dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas

umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan

perkotaan atau kawasan perdesaan.


50

4. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan

lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

5. pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang

meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk

fungsi budidaya.

6. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi

standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman,

dan nyaman.

7. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk

mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya,

dan ekonomi.

8. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan

lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

9. Perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum

menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu

penggunaan ke penggunaan lain.


51

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta.
Jakarta

Arikunto, S. 2005. Manajeman Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Aris P 2009. Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan


Permukiman di Perdesaan. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 2 September 2009.

Archibugi. F., 2008. Planning Theory. From the Political Debate to the
Methodological Reconstruction.

Bambang U. S, 2012. Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan (Studi di


Kota Bandar Lampung). Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, Unila 2012.

Bintarto, 1977. Pola Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi


UGM

Bintarto, R. 1989. Interaksi Desa – Kota dan Permasalahannya. Jakarta. Ghalia


Indonesia.

Badan Pusat Statistik, 2013. Kecamatan Dalam Angka, 2012.

Branch, M. C. (1995), Perencanaan Kota Komprehensif : Penerjemah Ir. Bambang


Hari Wibisono MUP MSc, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Budihardjo, E. 2009. Perumahan dan Permukiman di Indonesia.. Bandung: Alumni.

Budiharsono. 2002. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.


Jakarta: Pradnya Paramita.

Burgess, E. W. (1925). The growth of a city: an introduction to a research project, in


Robert E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City.
Chicago: University of Chicago press.

Catanese, A. J. dan James C. S. (1986), Pengantar Perencanaan Kota, Erlangga,


Jakarta.

Chapin. F.S. 1995. Urban Land Use Planning. University of Illinois. Urbana.
52

Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Param ita. Bogor.

Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruangan dalam teori dan Praktek.
Bandung: Alumni Bandung.

Daldjoeni, N. 1996. Geografi Kota dan Desa. Alumni, Bandung.

Fianstein and Norman, 1991. City Planning and Political Value, Journal Urban
Affairs Quarterly, Vol. 2, No.3.

Hendarto, S. 2001. Dasar-Dasar Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.

Hoyt, Homer (1939). The Structure and Growth of Residential Neighborhoods in


American Cities. Washington, DC., U.S. Federal Housing Administration

Kustiwan, Iwan. 1997. Permasalahan konservasi lahan pertanian dan implikasinya


terhadap penataan ruang wilayah, studi kasus wilayah Pantura Jawa Barat.
Jurnal PWK. Vol. 8 No. 1. 1997.

Jayadinata T. J,  ( 1999 ), “Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Desa, Perkotaan
dan Wilayah“, ITB, Bandung.

Jhingan, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : Rajawali Press.

Keman, S, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman, Jurnal


Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.1, Juli 2005 ; 29-42, Surabaya, 2005.

Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan


Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan [internet],
diperoleh dari [diakses April 2014].

Kuswartojo, T. dkk. 2005. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Penerbit ITB,


Bandung.

Kozlowski, J. 1997. Pendekatan Ambang Batas dalam Perencanaan Kota, Wilayah


dan Lingkungan : Teori dan Praktek. Jakarta: UI-Press.

Murai, S. 1999. GIS Work Book. Institute of Industrial science, University of Tokyo,
7-22-1 Roppongi, Minatoku, Tokyo.

Nasir, M 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.


53

Priyo N. C., Johan S., Amiranti S. S, 2012. Konsep Penataan Permukiman Dalam
Rangka Pembangunan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu. Seminar Nasional
Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota, 2012.

Riyadi dan Deddy, S. B. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama

Sevilla, C. et, al. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.

Sihotang, Paul. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: LP-FEUI.

Singarimbun, M.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S, Jakarta.

Solihin. D., 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan


dan Proses, Diklat perencanaan Pembangunan Ekonomi.

Syamsuddin, 2010. Pengembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman pada


Kota Terpadu Mandiri (KTM) Mahalona Kabupaten Luwu Timur. Universitas
Diponegoro Semarang, 2010.

Sugiono. (2003), Metode Penelitian Admnistrasi, Alfabeta Bandung. Tarigan, R.


2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Tjahjati S. et al. 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia.


Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Yudohusodo, S. (1991), Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Padamu Negeri,


Jakarta. 1991.

Yunus, Hadi Sabari. 1987. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif
Pemecahannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Yunus, H. S. (2005). Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.

Zahnd, Marcus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu: Teori Perancangan Kota
dan Penerapannya. Semarang: Kanisius.
54

Undang-Undang

Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang

Anda mungkin juga menyukai