Anda di halaman 1dari 11

1.

KONSEP PENATAAN RUANG


Pelaksanaan penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses
pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang guna mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Hal ini dapat tercipta melalui
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan/infrastruktur yang
bersumber pada keterpaduan penggu- naan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Perbedaan utama konsep tata ruang masa lalu dengan tata ruang yang
dikembangkan di abad ke-21 adalah dalam lingkup spektrum pengaturan dan
pembahasannya). Konsep tata ruang lama umumnya lebih mengatur tentang ruang
secara dua dimensi yang ada di permukaan, dengan ketinggian dan kedalaman yang
terbatas. Dalam konsep tata ruang modern abad ke-21, ruang yang diatur tidak
terbatas pada darat saja, melainkan juga meliputi ruang udara, ruang laut, dan ruang
dalam bumi, seperti yang juga lebih ditegaskan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, dalam UU tentang Penataan Ruang tersebut
sangat ditekankan bahwa rencana tata ruang harus betul-betul dimanfaatkan sebagai
acuan dalam pelaksanaan pembangunan oleh masing-masing daerah dan sektor, dan
bila terjadi pelanggaran atau ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dengan
pelaksana- an pembangunan, maka akan dikenakan sanksi baik kepada pelanggar
maupun kepada pejabat yang memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang (Mahi, 2010).
Sanksi tersebut berupa sanksi administratif dan sanksi pidana yang ditetapkan
sebagai upaya untuk terwujudnya tertio pelaksanaan pembangunan. Hal lain yang
juga merupakan pembaharuan di dalam penyelenggaraan penataan ruang antara lain
adalah dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang melalui pemberian insentif dan
disinsentif untuk mendorong agar pelaksanaan pembangusan tetap sejalan dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Lahan sebagai unsur ruang dan modal utama pernbangunan, merupakan
kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan wahana bagi
penyelenggaraan kegiatan manusia. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, lahan
mempunyai sifat yang beragam dimensi, yaitu fisik, ekonomi, sosial budaya, politik,
dan pertahanan keamanan, Dengan demikian, lahan mempunyai peranan strategis bagi
pembangunan dan karena itu pula pengelolaannya harus dapat menjamin
terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara
berkes nambungan.

Pada hakekatnya timbulnya masalah penggunaan lahan disebabkan oleh kebutuhan


akan sumber daya lahan yang terus meningkat, sejalan dengan meningkatnya
pembangunan, sedangkan potensi dan luas lahan yang tersedia terbatas, dan sebagian
besar telah dikuasai dan/atau dimiliki oleh orang-orang atau badan hukum dengan
berbagai bentuk hubungan hukum. Peningkatan kebutuhan lahan selain akibat
meningkat jumlah penduduk dan kegiatannya, juga sebagai konsekuensi
keberlangsungan pembangunan yang menuntut mutu kehidupan yang lebih sempurna

Berbagai indikasi adanya masalah pemanfaatan lahan yang merupakan dampak dari
persaingan penggunaan lahan tersebut di atas antara lain (Mahi, 2013):
a) Semakin berkurangnya luas lahan pertanian subur, yang telah berubah fungsi
menjadi lahan pemukiman, industri, dan keperluan nonpertanian lainnya.
b) Terjadinya benturan kepentingan berbagai sektor pembangunan satu sama lain,
misalnya perkotaan, pertanian, pertambangan, perkebunan, kehutanan,
transmigrasi, pariwisata, kawasan lindung, dan lingkungan hidup lainnya.
c) Menurunnya kualitas lingkunganpermukiman akibat banjir kekurangan air bersih
untuk rumah tangga baik jumlah, mutu, maupun saat tersedianya
d) Meluasnya tanah kritis akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan
potensinya sehingga mempercepat proses erosi, banjir, dan sedimentasi
e) Beberapa penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan telah menghasilkan limbah
yang mengganggu lingkungan hidup berupa pencemaran air dan udara.

Upaya penataan ruang di Indonesia telah dimulai sejak penyusunan rencana garis
besar kota dan rencana induk kota, wilayah pusat-pusat pertumbuhan industri, tata guna hutan
kesepakatan dan sebagainya. Sementara itu, penduduk terus bertambah dan berpindah
mengikuti kegiatan ekonomi dan sosial yang membentuk tata ruangnya sendiri menurut
kepentingannya masing-masing. Maka berkembanglah perkampungan di daeral yang
lerengnya terjal, di tengah hutan alam, di sekitar hutan mangrove, terumbu karang, dan di
sekitar kota. Berkembang pula kawasan industri dan perumahan di tengah-tengah persawahan
yang subur, di atas situs purbakala, di sepanjang jalan, sempadan sungai serta Pantai.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya
memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di indonesia, maka ditempuh upaya
penataan ruang yang terdiri dari tiga proses utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya,
yakni :

1) Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang
wilayah (IRTHW). Di samping sebagai “guidence of future actions” RTRW pada
dasarnya merupakan bentuk intervensi saat dilakukan agar interaksi manusia/makhluk
hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras seimbang untuk
tercapainya, kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan perabangunan (development sustainability).
2) Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang
atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
3) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan
penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan
tujuan penataan ruang wilayahnya

2. ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG DI INDONESIA


Beberapa issu strategis serta tantangan dalanı penyelenggaraan penataan ruang di
Indonesia (Dirjen Penataan kuang, 2005), antara lain:
1) Beberapa isu strategis dalam peryelenggaraan penataan ruang nasional, yakni
a. terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan
hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya.
b. belum bertungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, menyinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan
program sektor tadi. Berbagai fenomena bencana (water-related disaster)
seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang terjadi secara merata di berbagai
wilayah di Indonesia pada paling tidak 5 tahun belakangan ini, pada dasarnya,
merupkan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pmanfaatan
ruang, antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi
dengan pelestarian lingkungan.
c. terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang
seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap
rencana tata ruang serta kelmahan dalam pengendalian pembangunan,
d. belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTR- WN.
e. belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempakan kepentingan
sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta
kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan
masing-masing secara berlebihan. Hal ini juga terlihat dari inisiatif untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk
memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan
dan keberlanjuan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan
lindung menjadi kawasan budi daya guna meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah.
2) Beberapa Isu strategis penataan ruang lainnya adalah sebagai beriku yang
sekaligus merupakan tantangan (Bappenas, 2006)
a. Fenomena urbanisasi
Kenaikan jumlah penduduk perkotaan sebagai wujud terjadinya fenomena
urbanisasi akibat migrasi desa-kota. Data menunjukkan bahwa jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup
pesat dari 32,8 juta atau 22.3% dari total penduduk rasional (1980), meningkat
menjadi 55.4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998),
menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka
150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) degan laju
pertumbuhan penduduk kota rata-rata 1.49% per tahun (1990-1995). Dengan
kecenderungan urbanisası yang terus meningkat, perhatian pada penataan
ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian khusus, misalnya melalui
penerapan zoning regulation, mekanisme insentif dan disinsentif, dan
sebagainya
b. Kesenjangan antar wilayah
Perkembangan kawasan perkotaan yang membentuk pola linear yang dikenal
dengan ribbon development, seperti yang terjadi di Pantai Utara Jawa secara
intensif pun mulai terjadi di Pantai Timur Sumatra. Konsentrasi perkembangan
kawasan perkotaan yang memanjang pada kedua pulau utara tersebut telah
menimbulkan kesenjangan antarwilayah pulau yang cukup signifikan serta
inefisiensi pelayanan prasarana-sarana. Sebagai gambaran konsentrasi
kegiatan ekonomi di Pantura Jawa mencapai 85%. jauh meninggalkan Pantai
Selatan (15%). Hal ini pun dicirikan dengan intensitas pergerakan orang dan
barang yang sangat tinggi, seperti pada lintas utara Jawa dan lintas Timur
Sumatera.

c. Perkembangan kota yang tidak terarah


Terjadinya perkembangan kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk
konurbasi antara kota inti dengan kota-kota sekitarnya. Konurbasi dimaksud
dicirikan dengan munculnya 3 kota metropolitan dengan penduduk di atas 1
juta jiwa (Jakarta. Surabaya, Bandung. Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang.
Palembang, dan Makassar) dan 9 kota besar (Bandar Lampung. Malang,
Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan
Denpasar) Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan
berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan, pelayanan
prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan
pencemaran lingkungan
d. Pembangunan Pusat-pusat Permukiman di Kawasan Perbatasan negara.
Pengembangan kota-kota padkawasan perbatasan negarabaik yang berada di
mainiand maupun di pulau-pulau kecilsebagai pusat-pusat pertumbuhan
wilayah dan beranda depan negara (frontier region) pada saat ini masih jauh
dari harapan. Ketetinggalan, keterisolasian dan keterbatasan aksesibiiitas, serta
ke- terbatasan pelayanan merupakan kondisi yang tipikal terjadi.
e. Masih rendah partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.
Walaupun Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran
Serta Masyarakat yang telah diatur dalam UU No. 26/2007 dan karenanya
telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat sebagai subjek
utama dalam penataan ruang wilayah masih belum menemukan bentuk
terbaiknya. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa penyaluran hak-hak
msyarakat dalam penataan ruang saja belum terjamin sepenuhnya, terlebih
pelaksanaan kewajibannya masih jauh dari yang diharapkan.
f. Belum maksimalnya pemanfaatan teknologi informasi.
Dukungan teknologi informasi dalaın proses pengambilan keputusan atau
intervensi kebijakan penataan ruang belum dioptimalkan pemanfaatannya,
walaupun kompleksitas permasalahan pengembangan wilayain yang dihadapi
telah nyata. Era otonomi daerah akan menempatkan masing-masing wilayah
otonom dalam iklim kompetisi yang ketat.
Di dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk uang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya, sedangkan yang dimaksud dengan Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan
pola ruang. Di dalam proses pemanfaatannya perlu dilakukan penataan ruang, sedangkan
yang dimaksud dengan Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan penyelenggaraan penataan
ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan
penataan ruang secara lebih spesifik penataan ruang dalah supaya untuk terwujudnya tata
ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaan linkanguan alam, lingkungan buatan,
lingkungan sosial, interakas antar linkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta
pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada dan tersedia.

3. STRUKTUR RUANG
Di dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dikemukakan bahwa
Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional, sedangkan Pola
Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Struktur ruang dan pola ruang yang secara
hierarkis dan fungsional berhubungan dengan pola ruang membentuk tata ruang.
Perencanaan struktur dan pola ruang merupakan kegiatan menyusun rencana tata
ruang yang produknya menitikberatkan kepada pengaturan hierarki pusat permukiman
dari pusat pelayanan barang dan jasa, serta keterkaitan antara pusat tersebut melalui
sistem prasarana. Sistem prasarana meliputi (a) jaringan transportasi (seperti jalan
raya, jalan kereta api, sungai yang dimanfaatkan sebagai sarana angkutan), dan (b)
jaringan utilitas (seperti: air bersih, air kotor pengaturan air hujan, jaringan telepon,
jaringan gas, jaringan listrik dan sistem pengelolaan sampan).

Struktur Ruang wilayah akan dibentuk melalui :

a. Optimalisasi pelayanan prasarana transportasi arteri yang ada, sehingga distribusi


aksesibilitas dapat dilakukan secara terpadu dengan memanfaatkan prasarana arteri
yang ada.
b. Mendorong pembangunan feeder-road yang berfungsi sebagai kolektor untuk
melayani pusat-pusat produksi komoditas primer dengan pusat produksi lokal atau
agropolitan di seluruh bagian wilayah.
c. Bersamaan dengan pembangunan feeder-road, permanfaatan pelabuhan-pelabuhan
kecil juga didorong untuk melayani perdagangan antar bagian wilayah.
d. Meningkatkan pelayanan prasarana perkotaan untuk pusat-pusat lokal atau
agropolitan sehingga mampu berfungsi sebagai pusat agroindustri dan agrobisnis.
e. Mendorong pemanfaatan jalur kereta api untuk melayani pergerakan jarak sedang
antar bagian wilayah dengan bagian wilayah lainnya.

Wawasan sistem tata ruang menelankan pada keterkaitan antara tiga proses yang
saling bergantungan, yaitu:
a. Proses pengalokasian aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan
fungsional tertentu.
b. Proses pengadaan atau ketersediaan sarana fisik yang menjawab kebutuhan akan
ruang bagi aktivitas seperti untuk tempat bekerja, tempat tinggal, transportasi, dan
komunikasi. Proses seperti ini misalnya pengadaan bangunan jalan, utilitas umum
dan sebagainya. Dalam proses pengalokasian aktivitas akan ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya alam dan buatan, serta kondisi fisik di wilayah tersebut.
c. Proses pengadaan dan pengalokasian tatanan ruang yang berkaitan dengan bagian-
bagian permukaan bumi, tempat berbagai aktivitas dilakukan, dengan bagian atas
ruang (angkasa) serta ke bagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya
perlu dilihat dalam wawasan yang integrative.
7. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA (RTRWK)
RTRWK merupakan dokumen perencanaan tata ruang yang diterapkan di wilayah
administratif sebuah kota. Dokumen ini merinci penggunaan lahan dan ruang di dalam kota
tersebut, termasuk zonasi untuk pemukiman, perkantoran, perdagangan, industri, pertanian,
konservasi, dan lain-lain. RTRWK biasanya menggambarkan arah pengembangan kota dalam
jangka panjang, termasuk pembangunan infrastruktur, transportasi, dan fasilitas umum
lainnya.

Tujuan dari RTRWK antara lain adalah:

1) Menciptakan keseimbangan antara pengembangan perkotaan dan pelestarian


lingkungan.
2) Menjamin ketersediaan lahan untuk pemukiman, usaha, dan fasilitas umum yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Meminimalkan konflik penggunaan lahan dan ruang di dalam kota.
4) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk kota.

Beberapa komponen utama dari RTRWK meliputi:


1) Penggunaan Lahan : Menentukan zona-zona penggunaan lahan seperti perumahan,
kawasan industri, kawasan perdagangan, kawasan hijau, dan kawasan konservasi.
2) Pola Ruang : Merumuskan pola pengembangan wilayah yang mengatur distribusi
kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan fasilitas umum untuk mendukung pertumbuhan
kota yang terencana.
3) Kebijakan Pengembangan : Menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang
berorientasi pada pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, pengendalian
pertumbuhan kota yang terkontrol, serta pemberdayaan masyarakat.
4) Pelestarian Lingkungan : Menetapkan strategi dan langkah-langkah untuk
melestarikan lingkungan hidup dan menjaga keseimbangan ekosistem dalam konteks
perkotaan.
5) Infrastruktur dan Transportasi : Merencanakan pembangunan infrastruktur seperti
jalan raya, jaringan transportasi publik, serta sistem drainase untuk mendukung
mobilitas dan aksesibilitas di dalam kota.
8. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN (RTRWKab)
RTRWKab adalah dokumen perencanaan tata ruang yang diterapkan di wilayah
administratif sebuah kabupaten. Dokumen ini merinci penggunaan lahan dan ruang di dalam
kabupaten tersebut, dengan mempertimbangkan karakteristik geografis, sosial, ekonomi, dan
budaya setempat. RTRWKab mengatur zonasi untuk berbagai kegiatan seperti pemukiman,
pertanian, hutan, pariwisata, dan industri.

Tujuan dari RTRWKab antara lain adalah:


1) Mengatur penggunaan lahan secara efisien dan berkelanjutan sesuai dengan
karakteristik wilayah kabupaten.
2) Meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah kabupaten.
3) Menjamin pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
4) Meningkatkan kualitas hidup penduduk dan memperkuat identitas lokal.

Beberapa komponen utama dari RTRWKab meliputi:


1) Penggunaan Lahan : Menetapkan zonasi penggunaan lahan seperti pertanian,
perumahan, kawasan industri, kawasan hutan, kawasan pertambangan, dan kawasan
konservasi.
2) Pola Ruang : Merumuskan pola pengembangan wilayah yang mengatur distribusi
kegiatan ekonomi, infrastruktur, serta fasilitas umum di seluruh wilayah kabupaten.
3) Kebijakan Pembangunan : Menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang
berorientasi pada pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, pengendalian
pertumbuhan penduduk, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4) Pelestarian Alam dan Budaya : Menetapkan strategi dan langkah-langkah untuk
melestarikan keanekaragaman hayati, lingkungan alam, serta warisan budaya di
wilayah kabupaten.
5) Pengembangan Infrastruktur : Merencanakan pembangunan infrastruktur seperti jalan
raya, sistem irigasi, jaringan listrik, serta sarana kesehatan dan pendidikan untuk
mendukung pembangunan yang berkelanjutan di seluruh wilayah kabupaten.

9. RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)


Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area di dalam suatu kawasan perkotaan atau
pedesaan yang ditujukan untuk kepentingan ruang terbuka, penghijauan, dan rekreasi. RTH
memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan, kesehatan
masyarakat, serta estetika lingkungan perkotaan. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai
Ruang Terbuka Hijau:

Fungsi RTH:
1) Penghijauan: RTH berperan sebagai area penyangga hijau yang dapat mengurangi
polusi udara, menyediakan oksigen, serta menciptakan lingkungan yang sejuk dan
nyaman.
2) Rekreasi dan Rekreasi: RTH memberikan ruang untuk kegiatan rekreasi dan olahraga
masyarakat, seperti berjalan-jalan, bersepeda, jogging, bermain, atau sekadar
bersantai.
3) Konservasi Lingkungan: RTH dapat berfungsi sebagai habitat bagi flora dan fauna
lokal, membantu pelestarian biodiversitas serta ekosistem alami.
4) Mitigasi Bencana: RTH memiliki peran dalam mitigasi bencana, seperti banjir dan
tanah longsor, dengan menyerap air hujan, memperlambat aliran air, dan menjaga
kualitas tanah.

Tipe RTH:
1) Taman Kota: Area terbuka yang dirancang khusus untuk rekreasi dan kegiatan sosial
masyarakat.
2) Taman Perumahan: RTH yang terdapat di lingkungan perumahan atau pemukiman,
bertujuan memberikan ruang terbuka bagi warga di sekitarnya.
3) Lapangan Olahraga: Tempat khusus untuk aktivitas olahraga seperti lapangan sepak
bola, lapangan basket, atau lapangan tenis.
4) Taman Pendidikan: RTH yang memiliki fungsi edukasi, biasanya terdapat di
lingkungan sekolah atau perguruan tinggi.

Manfaat RTH:
1) Kesehatan Masyarakat: RTH memberikan lingkungan yang sehat dan segar,
meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental masyarakat.
2) Estetika Kota: RTH memberikan keindahan visual bagi kota dengan taman-taman
yang rapi, tumbuhan hias, dan tata ruang yang teratur.
3) Peningkatan Nilai Properti: Keberadaan RTH dapat meningkatkan nilai properti di
sekitarnya, karena lingkungan yang hijau dan nyaman.
4) Penyerapan Karbon: Tumbuhan di RTH dapat menyerap karbon dioksida dari udara,
membantu mengurangi efek pemanasan global.

Perlindungan dan Pengelolaan RTH:


1) Perencanaan Tata Ruang: RTH harus dimasukkan dalam perencanaan tata ruang kota
dan pedesaan untuk memastikan keberadaannya di setiap kawasan.
2) Pemeliharaan dan Pengawasan: RTH membutuhkan pemeliharaan rutin, termasuk
pemangkasan tanaman, perawatan lahan, serta pengendalian hama dan penyakit.
3) Partisipasi Masyarakat: Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian
RTH, termasuk dalam kegiatan penanaman, kebersihan, dan pengembangan fasilitas
rekreasi.

Anda mungkin juga menyukai